Anda di halaman 1dari 51

HUBUNGAN ANTARA ORAL HYGIENE DAN KEHILANGAN GIGI

DENGAN POLA MAKAN PADA LANSIA DI DESA ARON


GLUMPANG VII KECAMATAN MATANGKULI
ACEH UTARA

PROPOSAL SKRIPSI
Disusun Oleh

SILFI INDRIANI
1912210209

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS SAINS TEKNOLOGI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BINA BANGSA GETSAMPENA (UBBG)
BANDA ACEH
T.A 2022/2023
1

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan pemerintah dalam Pembangunan Nasional bisa

dikatakan berhasil dan mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang.

Keberhasilan tersebut dapat dilihat dengan adanya kemajuan ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang medis, ilmu kedokteran

dan keperawatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan

umur harapan hidup, yang berarti bertambah pula populasi lanjut usia (lansia)

(Widyastuti et al., 2020).

Lansia merupakan seseorang yang sudah berumur diatas 60 tahun.

Secara biologis, lansia mempunyai ciri-ciri yang dapat dilihat secara nyata

pada perubahan-peubanhan fisik dan mentalnya. Proses ini terjadi secara

alami yang tidak dapat dihindari dab berjalan secara terus menerus. Semakin

bertambahnya usia seseorang, beberapa fungsi vital dalam tubuh ikut

mengalami kemunduran fungsional. Pendengaran mulai menurun,

penglihatan kabur, dan kekuatan fisiknya pun mulai melemah (Massie, 2019).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2020, di kawasan

asia Tenggara populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada

tahun 2050 diperkirakan populasi Lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun

2013. Pada tahun 2018 jumlah lansia sekitar 5,300,000 (7,4%) dari total

populasi, sedangkan pada tahun 2019 jumlah lansia 24,000,000 9,77%) dari

total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia mencapai

1
2

28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada

tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80,000,000 (Kemenkes, 2021).

Hasil riset kesehatan dasar menunjukkan prevalensi hipertensi secara

nasional mencapai 31,7%, dari jumlah itu 60% lansia penderita hipertensi

berakhir pada stroke, sedangkan sisanya mengalami penyakit jantung dan

kebutaan, sementara hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035 Indonesia

akan memasuki periode lansia (Aging) dimana 10% penduduk akan berusia

60 tahun keatas. Pada tahun 2019 proyeksi lansia mencapai 8,5%, tahun 2020

yaitu 10%, tahun 2030 mencapai 13,8% dan pada tahun 2035 mencapai

15,8% (Kemenkes, 2021). Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Aceh

jumlah lansia yang ada di Provinsi Aceh tahun 2020 sebanyak 194.636

(Dinkes Aceh, 2021).

Proses penuaan menyebabkan fungsi fisiologik lansia mengalami

penurunan dan lebih rentan terhadap keluhan fisik yang berakibat munculnya

berbagai penyakit tidak menular,3 salah satunya masalah pada gigi dan

mulut. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menyatakan

persentase kehilangan gigi akibat dicabut atau tanggal sendiri merupakan

masalah gigi dan mulut terbesar kedua di Indonesia, yakni sebesar 19%.

Prevalensi kehilangan gigi pada kelompok usia 55-64 tahun sebesar 29%, dan

meningkat pada kelompok usia 65 tahun ke atas sebesar 30,6%. Penyebab

utama kehilangan gigi pada orang dewasa berasal dari masalah periodontal

yang bisa lebih parah pada lansia apabila dibiarkan (Riskesdas, 2018).
3

Malnutrisi dan gangguan pola makan sering dialami oleh lansia,

salah satu penyebabnya adalah kehilangan gigi. Kebersihan mulut atau oral

hygiene masih menjadi masalah utama lansia. Secara umum problem

kesehatan gigi dan mulut yang paling sering dialami oleh lansia adalah

kehilangan gigi oleh karena karies dan penyakit jaringan periodontal.

Buruknya oral hygiene pada lansia bisa mempengaruhi kesehatan umum dan

status gizi karena fungsi pengunyahan berkurang secara bertahap, Hal ini

akan menyebabkan perubahan diet yang disebabkan karena lansia

menghindari beberapa makanan tertentu, khususnya makanan yang sulit

untuk di kunyah (Pindobilowo, 2018).

Gigi geligi memiliki fungsi dan peran yang sangat penting bagi

kehidupan. Fungsi gigi yaitu untuk mastikasi (pengunyahan), estetik

(keindahan), dan fonetik (berbicara). Kesehatan gigi geligi serta jaringan

pendukungnya turut menentukan kesehatan rongga mulut secara keseluruhan

termasuk kondisi kesehatan secara umum. Keadaan rongga mulut yang buruk

menyebabkan terjadinya karies dan penyakit periodontal sehingga terjadi

kehilangan gigi (Pioh et al., 2018).

Kehilangan gigi dalam jumlah banyak mengakibatkan efisiensi

fungsi pengunyahan dan fungsi penelanan menurun sehingga bisa membuat

lansia mengalami kesulitan makan. Asupan nutrisi seperti karbohidrat,

protein, serat, kalsium, dan beberapa vita-min jauh lebih rendah pada lansia

edentulus karena terdapat perubahan dalam pemilihan makanan. Pasien

edentulus cenderung menghindari makanan berserat dan lebih memilih


4

makanan lunak yang telah diproses lama. Gangguan fungsi pengunyahan

yang terjadi akibat edentulisme dapat mengurangi asupan nutrisi dan

berdampak negatif terhadap status gizi lansia. Kondisi ini menggambarkan

kebutuhan penggunaan gigi tiruan untuk memperbaiki fungsi pengunyahan

yang terganggu akibat kehilangan gigi (Halim et al., 2021).

Kehilangan gigi yang tidak dirawat dengan menggunakan gigi tiruan

tentu akan menyebabkan fungsi gigi yang hilang tidak bisa dikembalikan,

yang akan mengakibatkan terganggunya status gizi dan kualitas hidup lansia.

Terganggunya status gizi lansia disebabkan karena pada kondisi kehilangan

banyak gigi akan menurunkan kemampuan mastikasi atau pengunyahan

sehingga dapat menyebabkan terjadinya pembatasan diet tertentu dan

berkurangnya asupan nutrient yang sangat dibutuhkan tubuh. Makanan yang

tidak dicerna secara sempurna tidak akan terserap dengan baik oleh tubuh

sehingga juga mempengaruhi asupan zat gizi (Adhiatman et al., 2018).

Penelitian terkait yang dilakukan oleh Setiaji (2018) mengenai

hubungan antara oral hygiene dan kehilangan gigi dengan status gizi lansia di

Desa Sirkandi Kecamatan Purwareja Klampok Kabupaten Banjarnegara yang

menyimpulkan bahwa ada hubungan antara oral hygiene terhadap status gizi

lansia (p<0.05) dan ada hubungan antara kehilangan gigi dengan status gizi

lansia (p<0.05) (Setiaji, 2018).

Penelitian terkait lainnya yang dilakukan oleh Susilawati et al.,

(2017), mengenai hubungan kesehatan gigi dan mulut, pola konsumsi

makanan dengan status gizi lansia di Desa Culik Kecamatan Abang


5

Kabupaten Karangasem yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara kesehatan gigi dan mulut dengan pola konsumsi lansia di

Desa Culik dengan nilai p value 0,000<0,05 (Susilawati et al., 2017).

Jumlah lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli

Aceh Utara sebanyak 237 lansia. Berdasarkan hasil survey awal terhadap 10

orang lansia ditemukan sebanyak 7 lansia (70%) mengalami masalah atau

gangguan pola makan yang disebabkan oleh kehilangan gigi dan kurangnya

kebersihan mulut (oral hygiene) pada lansia tersebut sementara 3 lansia

(30%) lainnya tidak mengalami gangguan pola makan. Berdasarkan hasil

wawancara penulis dengan tenaga kesehatan setempat, kebanyakan lansia

mempunyai oral hygiene yang buruk. Menurut lansia membersihkan gigi

kurang bermanfaat karena sebagian gigi mereka sudah ada yang ompong,

mereka beranggapan bahwa karena usia yang sudah tua sehingga tidak terlalu

memperhatikan kebersihan gigi dan mulut.

Menurut Setiaji (2018), akibat kurangnya oral hygiene berdampak

pada kehilangan gigi disamping faktor bertambahnya usia. Individu yang

memiliki sedikit gigi di rongga mulutnya dan tidak beroklusi dengan baik

cenderung mempunyai masalah dengan pola makanannya. Kondisi inilah

yang akan mengakibatkan pemasukan zat gizi yang kurang sehingga dapat

mempengaruhi kesehatan umum dan status gizi seseorang.

Berdasarkan data dan teori di atas mendasari pentingnya penelitian

untuk mengetahui hubungan antara oral hygiene dan kehilangan gigi dengan
6

pola makan pada lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli

Aceh Utara.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan

antara Oral Hygiene dan Kehilangan Gigi dengan Pola Makan pada Lansia di

Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara oral hygiene dan kehilangan gigi

dengan pola makan pada lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan

Matangkuli Aceh Utara.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pola makan pada lansia di Desa Aron Glumpang VII

Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

b. Mengetahui oral hygiene pada lansia di Desa Aron Glumpang VII

Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

c. Mengetahui kehilangan gigi pada lansia di Desa Aron Glumpang VII

Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

d. Mengetahui hubungan antara oral hygiene dengan pola makan pada

lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh

Utara.
7

e. Mengetahui hubungan antara kehilangan gigi dengan pola makan pada

lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh

Utara.

1.4. Hipotesis

Ha1 : Ada hubungan oral hygiene dengan pola makan pada lansia di

Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

Ha2 : Ada hubungan kehilangan gigi dengan pola makan pada lansia di

Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

responden untuk meningkatan pemahaman seta kesadaran lansia untuk

mencegah gangguan pola makan dengan lebih memperhatikan kebersihan

mulut dan gigi.

1.5.1. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu menambah

pengetahuan mengenai hubungan antara oral hygiene dan kehilangan gigi

dengan pola makan pada lansia.

1.5.2. Institusi Pelayanan Kesehatan

Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas untuk mengadakan

sebuah sosialisasi yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat


8

terutama lansia mengenai upaya untuk mencegah gangguan pola makan

yang terkait dengan kebersihan mulut dan kehilangan gigi.

1.5.3. Penelitian Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti lain yang

ingin melakukan penelitian mengenai hubungan antara oral hygiene dan

kehilangan gigi dengan pola makan pada lansia dengan metode yang

berbeda.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menurut Nasrullah (2017) lansia atau menua adalah suatu keadaan

yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi

dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya,

yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis,

maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,

misalnya kemunduran fisik, yang ditandai dengan kulit yang mengendur,

rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang

tidak proporsional.

Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia

yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada

kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang

disebut aging proses (Manurung et al., 2020). Proses penuaan merupakan

suatu proses alamiah yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang

wajar dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang, di mana

semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta

9
10

menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh

kasih sayang (Rohmah et al., 2017).

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-

angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses

menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam

dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang

isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang

bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi

sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin

meningkat, sehingga jumlah lansia makin bertambah (Kholifah, 2016).

2.1.2 Ciri-Ciri Lansia

Menurut Manurung et al., (2020) Ciri-ciri lansia adalah sebagai

berikut :

a. Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan

faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi

yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat

proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki

motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih

lama terjadi.
11

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang

kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan

pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi

ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain

sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai

mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada

lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas

dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan

sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak

memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan

yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.

Contoh : Lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan

untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno,

kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,

cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.


12

2.1.3 Klasifikasi Lansia

Menurut Nasrullah (2017), pembagian kelompok lansia

berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut:

a. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-59 tahun

b. Lansia (edderly), yaitu kelompok usia 60-74 tahun

c. Lansia tua (old),yaitu kelompok usia 75-90 tahun

d. Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90 tahun.

2.1.5. Tipe Lanjut Usia

Menurut Nasrullah (2017), tipe lanjut usia yaitu :

a. Tipe arif bijaksana, Lanjut usia ini kaya dengan hikmah, pengalaman,

menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,

bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi

undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri, Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang

dengan kegiatan baru, selektif dan mencari pekerjaan dan teman

pergaulan, serta memenuhi undangan.

c. Tipe tidak puas, Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin,

menentang proses penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan,

kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman

yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut,

sulit dilayani dan pengkritik.


13

d. Tipe pasrah, Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib

baik, mempunyai konsep habis (habis gelap datang terang), mengikuti

kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.

2.1.4 Perubahan pada Lansia

Menurut Risnah et al., (2022), perubahan-perubahan yang terjadi

pada lansia yaitu :

a. Perubahan fisik : meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua

sistem tubuh seperti sel, persyarafan, sistem pernafasan, sistem

pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem

perkemihan, sistem pencernaan, sistem interegumen, sistem endokrin,

dan sistem muskuloskeletal.

b. Perubahan mental dan psikologis pada lansia, faktor-faktor yang

mempengaruhi perubahan mental pada lansia yaitu : perubahan fisik,

kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),

lingkungan, gangguan memori, IQ (Intelegense quotient) perubahan

psikologis seperti pensiunan, merasakan atau sadar akan kematian,

perubahan dalam hidup yaitu memasuki rumah perawatan lebih

sempit, ekonomi melemah atau menurun akibat berhentinya dari

jabatan, meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,

bertambahnya biaya pengobatan, penyakit kronis dan

ketidakmampuan, gangguan syaraf dan pencernaan dan hilangnya

kekuatan dan ketegangan fisik (perubahan terhadap gambaran diri dan

konsep diri).
14

c. Pensiun : nilai seseorang sering diukur oleh produktivitas dan identitas

yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseoarang

pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan kehilangan,

antara lain: kehilangan financial (income berkurang), kehilangan status

(dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan

segala fasilitasnya), kehilangan teman/kenalan atau relasi, kehilangan

pekerjaan/kegiatan, merasakan atau sadar akan kematian (sense of

awareness of mortality).

d. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit, ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan

(economic deprivation), eningkatnya biaya hidup pada penghasilan

yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan, penyakit kronis dan

ketidakmampuan, gangguan saraf panca indra timbul kebutaan dan

ketulian, gangguan gizi akibat kehilangan jabatan dan rangkaian dari

kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan

family.

2.1.6. Permasalahan yang Sering dihadapi oleh Lansia

Lansia mengalami perubahan dalam kehidupannya sehingga

menimbulkan beberapa masalah. Masalah yang hadapi oleh lansia adalah

fisik yang mulai melemah, sering terjadi radang persendian ketika

melakukan aktivitas yang cukup berat, indra pengelihatan yang mulai

kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan tubuh

yang menurun, sehingga sering sakit. Masalah yang hadapi lansia terkait
15

dengan perkembangan kognitif adalah melemahnya daya ingat terhadap

sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat

(Kholifah, 2016).

Selain itu, masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan

emosional, adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat,

sehingga tingkat perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar.

Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai

dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang

kurang terpenuhi. Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan

spiritual, adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat

yang mulai menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota

keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika

menemui permasalahan hidup yang cukup serius (Kholifah, 2016).

2.1.7. Kebutuhan Kesehatan Yang Lazim Pada Lansia

Kebutuhan kesehatan yang diperlukan oleh lansia adalah

kebutuhan lanjut usia secara fisik meliputi sandang pangan, papan,

kesehatan dan spiritual. Kebutuhan makan umumnya tiga kali sehari ada

juga dua kali. Makanan yang tidak keras, tidak asin dan tidak berlemak.

Kebutuhan sandang, dibutuhkan pakaian yang nyaman dipakai. Pilihan

warna sesuai dengan budaya setempat (Manurung et al., 2020).

Kondisi lanjut usia yang rentan secara psikis, membutuhkan

lingkungan yang mengerti dan memahami mereka. Lanjut usia

membutuhkan teman yang sabar, yang mengerti dan memahami


16

kondisinya. Mereka membutuhkan teman mengobrol, membutuhkan

dikunjungi kerabat, sering disapa dan didengar nasihatnya. Lanjut usia

juga butuh rekreasi, silaturahmi kepada kerabat dan masyarakat. Lanjut

usia membutuhkan orang-orang dalam berelasi sosial. Terutama kerabat,

juga teman sebaya, sekelompok kegiatan dan masyarakat di

lingkungannya. Melalui kegiatan keagamaan, olah raga, arisan, dan lain-

lain (Tarwoto dan Wartonah, 2016).

Bagi yang tidak memiliki pendapatan tetap, membutuhkan bantuan

sumber keuangan. Terutama yang berasal dari kerabatnya. Secara ekonomi

lanjut usia yang tidak potensial membutuhkan uang untuk biaya hidup.

Bagi lanjut usia yang masih produktif membutuhkan keterampilan, UEP

dan bantuan modal usaha sebagai penguatan usahanya (Nasrullah, 2017).

Umumnya mereka mengisi waktu untuk beribadah. Melalui Ibadah lanjut

usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan kedamaian menghadapi

hari tua. Mereka sangat mendambakan generasi penerus yang sungguh-

sungguh menjalani ibadah (Manurung et al., 2020).

2.2 Pola Makan Lansia

2.2.1 Komponen Pola Makan Lansia

Menurut Kemenkes (2014), pola makan merupakan makanan yang

tersusun meliputi dari jumlah, jenis bahan makanan, yang biasa

dikonsumsi pada saat tertentu. Pola makan yang benar adalah makanan

pokok, lauk-pauk, buahbuahan dan sayur-sayuran, serta dikonsumsi

secukupnya dan tidak berlebihan. Jika sudah terpenuhi maka juga akan
17

mencukupkan zat tenaga, zat pembangun serta zat pengatur gizi tubuh,

menjadikan gizi yang cukup bagi tubuh dan tidak mudah terserang

penyakit karena daya tahan tubuh yang baik. Menurut Oetoro (2018),

secara umum ada 3 komponen penting yaitu:

e. Jenis Makanan

Jenis makanan adalah bahan makan yang bervariasi yang jika

dimakan, dicerna, dan diserap menghasilkan susunan menu yang sehat

dan seimbang. Jenis makanan yang di konsumsi harus variatif dan

kaya nutrisi. Diantaranya mengandung nutrisi yang bermanfaat bagi

tubuh yaituh karbohidrat, protein, vitamin, lemak, dan mineral.

f. Jumlah Porsi Makan

Makanan sehat itu jumlahnya harus disesuaikan dengan ukuran

yang dikonsumsi. Bagi yang memiliki berat badan yang ideal, maka

mengosumsi makanan yang sehat tidak perlu menambahkan maupun

mengurangi porsi makanan cukup yang sedang-sedang saja.

Sedangkan, bagi pemilik berat badan lebih gemuk, jumlah makanan

sehat harus dikurangi. Jumlah atau porsi makan merupakan suatu

ukuran makan yang di konsumsi pada setiap kali makan.

g. Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari-hari. Secara

alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan

mulai dari mulut sampai usus halus.


18

2.2.2 Klasifikasi Pola Makan Lansia

Menurut Almatsier (2015), klasifikasi pola makan terdiri dari pola

makan sehat dan tidak sehat.

a. Pola Makan Sehat

Pola makan sehat merupakan makanan seimbang dengan

beraneka ragam zat gizi dalam takaran yang cukup dan tidak

berlebihan. Pola makan yang sehat bisa dilihat dari 3 yaitu jenis,

jumlah, dan jadwal.

1) Jumlah Makanan

Jumlah makanan merupakan berapa banyak makanan yang

masuk dalam tubuh kita disini bisa porsi penuh atau separurh porsi.

Jumlah makanan yang dimakan bisa diukur dengan timbangan atau

menggunakan ukuran rumah tangga. Makanan yang ideal harus

mengandung energy dan zat gizi esensial (komponen bahan

makanan yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sendiri tetapi

diperlukan dalam kesehatan dan pertumbuhan) dalam jumlah yang

cukup.

2) Jenis Makanan

Tubuh manusia perlu adanya asupan makanan yang

mengandung gizi seimbang. Menurut Pedoman Umum Gizi

Seimbang (PUGS) bahan makanan dikelompokkan menjadi 3

fungsi utama zat gizi, sebagai berikut :


19

a) Sumber energi bisa didapatkan pada padi dan sereal diperoleh

seperti beras, jagung, dan gandum selain itu bisa diperolah dari

tanaman umbi yaitu singkong, dan talas. Sumber energy

lainnya juga dapat diperoleh dari hasil olahan seperti tepung,

mie, roti, sereal dan lain sebagainya.

b) Sumber protein dapat diperoleh pada sumber protein hewai

serta sumber protein nabati. Protein hewani didapatkan pada

daging-dagingan, telur, serta keju, sedangkan protein nabati

didapatkan dari kacang berupa kedelai, kacang tanah, kacang

hijau, kacang merah dan kacang tolo dan degala jenis

olahannya.

c) Sumber zat pengatur terdapat pada sayuran dan buah-buahan,

terutama pada sayur dengan warna hijau, yang biasa terdapat

pada dedaunan seperti daun singkong, bayem. Pada buah

biasanya terdapat pada buah dengan warna orange atau jingga,

terdapat pada buah mangga, nanas, apel dan lan sebagainya.

3) Frekuensi Makan

Frekuensi makan merupakan gambaran berapa kali makan

dalam sehari yang meliputi makan pagi, makan siang, makan

malam, dan makan selingan. Pola makan yang baik dan benar

mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin serta mineral.

Makanan selingan diperlukan jika porsi dalam makanan utama

yang dikonsumsi belum terpenuhi, makanan selingan tidak boleh


20

berlebihan karena dapat menyebabkan nafsu makan utama

menurun akibat kekenyangan. Frekuensi makan balita sangat

berbeda dengan orang dewasa, hal ini porsi makan balita lebih

sedikit karena balita kebutuhan gizi pada balita lebih sedikit

daripada dewasa. Selain itu pola makan balita harus mempunyai

kandungan air dan serat yang sesuai, tekstur makanannya

cenderung lunak dan memberikan rasa kenyang.

4) Jadwal Makan

Jadwal makan dapat menentukan frekuensi makan dalam

sehari dengan rutinitas pola makan optimal yakni terdapat 3

makanan utama dengan jarak 3 jam, jadwal ini bisa dimodifikasi

sesuai kebutuhan asal tetap dalam waktu 3 jam.

b. Pola Makan Tidak Sehat

Pola makan yang buruk adalah kebiasaan mengonsumsi

makanan sehari hari yang tidak sehat. Pola makan yang buruk bisa

berisiko pada kesehatan tabuh. Menurut Almatsier (2015), dirangkum

dari beberapa sumber pola makan yang tidak sehat seperti :

1) Melewatkan sarapan, sarapan dibutuhkan karena untuk menjaga

konsentrasi saat melakukan aktivitas, menu sarapan tentunya harus

disesuaikan dan dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan.

2) Terlalu banyak mengkonsumsi minuman manis, mnuman manis

akan membuat gula darah naik dan lebih berisiko terkena penyakit
21

diabetes, selain itu minuman manis juga dapat menyebabkan

obesitas.

3) Terlalu sering mengkonsumsi gorengan juga dapat mempengaruhi

peningkatan kalori dan peningkatan kolesterol.

4) Konsumsi junk food ternyata kandungan didalamnya terdapat 80%

lemak jenuh, konsumsi junk food yang berlebihan akan

menyebabkan obesitas dan penyakit lainnya.

5) Kurangnya konsumsi sayur dan buah, hal ini tubuh membutuhkan

serat untuk membantu pencernaan selain itu kurangnya makan

sayur juga dapat menyebabkan hipertensi dan risiko lainnya.

6) Makan larut malam akan membuat berat badan naik dan

menjadikan obesitas, selain itu juga dapat menyebabkan asam

lambung naik di siang hari.

2.2.3 Pola Makan Seimbang

Pola makanan ialah cara untuk mengatur jumlah porsi ataupun

jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari yang mengandung zat gizi

seperti karbohidrat, lemak, mineral, protein, vitamin, kadar air ataupun zat

gizi lainnya. Pola makan seimbang merupakan susunan porsi makanan

yang mengandung gizi yang seimbang dalam tubuh, selain itu

mengandung dua zat yaitu zat pengatur dan pembangun. Makanan

seimbang merupakan makanan yang terdapat banyak kandungan serta

asupan gizi pada makanan pokok, lauk nabati, sayur dan buah-buahan

(Kemenkes, 2014).
22

Suatu makanan dapat dikatakan seimbang apabila makanan

tersebut memenuhi kebutuhan atau asupan isi yang sesuai dengan

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Zat pembangun pada makanan

berasal dari lauk nabati seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan.

Sedangkan dari protein hewani ialah telur, ayam, ikan, daging, susu dan

lain sebagainya. Zat pembangun tersebut memiliki peran aktif untuk

meningkatkan kualitas perkembangan kecerdasan individu. Sedangkan

untuk zat pengatur pada makanan berasal dari sayur sayuran dan buah

buahan yang banyak mengandung vitamin ataupun mineral dan berfungsi

untuk membantu melancarkan fungsi organ tubuh (Kemenkes, 2014).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Lansia

Pola makan yang terbentuk gambaran sama dengan kebiasaan

makan seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya

pola makan adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan, dan

lingkungan (Sulistyoningsih, 2017).

a. Faktor ekonomi

Faktor Ekonomi mencangkup dalam peningkatan peluang

untuk daya beli pangan dengan kualitas dan kuantitas dalam

pendapatan menurun dan meningkatnya daya beli pangan secara

kualitas maupun kuantitas masyarakat. Pendapatan yang tinggi dapat

mencangkup kurangnya daya beli dengan kurangnya pola makan

masyarakat sehingga pemilihan suatu bahan makanan yang lebih di


23

dasarkan dalam pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.

Kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor.

b. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya merupakan faktor yang memepengaruhi

dari budaya, pantangan mengkomsumsi jenis makanan dapat di

pengaruhi oleh faktor sosial budaya dalam kepercayaan budaya adat

daerah yang menjadi kebiasaan atau adat daerah. Kebudayaan di suatu

masyarakat memiliki cara mengkonsumsi pola makan dengan cara

sendiri.

c. Faktor agama

Faktor agama pola makan mempunyai suatu cara dan bentuk

makan dengan baik dan benar. Dalam budaya mempunyai suatu cara

bentuk macam pola makan seperti bagaimana cara makan, bagaimana

pengolahannya, bagaimana Persipan makanan, dan bagaimana

penyajian makannya.

d. Faktor Pendidikan

Faktor pendidikan pola makan adalah salah satu pengetahuan

yang di pelajari dan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan

yang akan di makan dan pengetahuan tentang gizi.

e. Faktor lingkungan

Dalam faktor lingkungan pola makan berpengaruh terhadap

pembentukan perilaku makan, dalam lingkungan keluarga melalui

adanya promosi, media elektronik, dan media cetak.


24

2.3. Oral Hygiene

2.3.1. Pengertian Oral Hygiene

Oral hygiene atau Kebersihan mulut adalah salah satu tindakan

yang diperlukan untuk menjaga agar mulut terhindar dari infeksi,

membersihkan dan menyegarkan mulut. Kesadaran menjaga kebersihan

mulut sangat perlu dan merupakan obat pencegahan terjadinya masalah

gigi dan mulut yang paling manjur (Hamdani, 2018). Kebersihan mulut

adalah tindakan yang dianjurkan untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah

dan mukosa membrane mulut, mencegah terjadinya infeksi rongga mulut

dan bibir (Tucker, 2017).

Oral hygiene merupakan salah satu bentuk dari kebersihan diri.

Oral hygiene dalam kesehatan gigi dan mulut sangatlah penting, beberapa

masalah mulut dan gigi dapat terjadi karena kurangnya menjaga

kebersihan gigi dan mulut. Secara ilmiah mulut akan melakukan

pembersihan yang dilakukan oleh lidah dan air liur, tetapi apabila lidah

dan air liur tidak dapat bekerja dengan semestinya akan menimbulkan

terjadinya infeksi pada rongga mulut (Setianingsih et al., 2017).

Mulut merupakan bagian pertama dari system perncernaan dan

merupakan bagian tambahan dari system pernafasan. Dalam rongga mulut

terdapat gigi dan lidah yang berperan penting dalam proses pencernaan

awal. Selain gigi dan lidah, ada pula saliva yang penting untuk

membersihkan mulut secara mekanis. Mulut merupakan rongga tidak

bersih sehingga harus selalu dibersihkan. Salah satu tujuan perawatan gigi
25

dan mulut adalah untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan

melalui mulut (misal : tifus, hepatitis) mencegah penyakit mulut dan gigi,

meningkatkan daya tahan tubuh (Efendi, 2017).

Kesehatan gigi dan rongga mulut bukan sekedar menyangkut

kesehatan di rongga mulut saja. Kesehatan mencerminkan kesehatan

seluruh tubuh. Orang yang giginya tidak sehat, pasti kesehatan dirinya

mundur. Sebaliknya yang giginya sehat dan terawat baik, seluruh dirinya

sehat dan segar bugar. Menggosok gigi sebaiknya dilakukan setiap selesai

makan. Sikat gigi jangan ditekan keras-keras pada gigi kemudian

digosokkan cepat-cepat. Tujuan menggosok gigi ialah membersihkan gigi

dan seluruh rongga mulut. Dibersihkan dari sisa-sisa makanan, agar tidak

ada sesuatu yang membusuk dan menjadi sarang bakteri (Irianto, 2017).

2.3.2. Tujuan Oral Hygiene

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2016), tujuan oral hygiene adalah

sebagai berikut:

a. Agar mulut tetap bersih / tidak berbau

b. Mencegah infeksi mulut, bibir dan lidah pecah-pecah stomatitis

c. Membantu merangsang nafsu makan

d. Meningkatkan daya tahan tubuh

e. Melaksanakan kebersihan perorangan

f. Merupakan suatu usaha pengobatan


26

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Oral Hygiene

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2016), Faktor-faktor yang

mempengaruhi seseorang melakukan oral hiygiene adalah sebagai berikut:

a. Status Sosial Ekonomi

Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkat

praktik kebersihan yang digunakan. Hal ini berpengaruh terhadap

kemampuan klien menyediakan bahan-bahan yang penting seperti

pasta gigi.

b. Praktik Sosial

Kelompok-kelompok sosial wadah seseorang berhubungan dapat

mempengaruhi praktek hygiene pribadi. Selama masa kanak-kanak,

anak-anak mendapatkan praktik oral hygiene dari orang tua mereka.

c. Pengetahuan

Pengetahuan yang kurang dapat membuat orang enggan memenuhi

kebutuhan hygiene pribadi. Pengetahuan tentang oral hygiene dan

implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik oral hygiene.

Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup. Klien juga

harus termotivasi untuk melakukan oral hygiene.

d. Status Kesehatan

Klien paralisis atau memiliki restriksi fisik pada tangan mengalami

penurunan kekuatan tangan atau keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan hygiene mulut.


27

e. Cacat Jasmani / Mental Bawaan

Kondisi cacat dan gangguan mental menghambat kemampuan individu

untuk melakukan perawatan diri secara mandiri.

2.3.4. Perawatan Gigi pada Lansia

Menurut Barnes dan Walls (2016), cara-cara perawatan gigi pada

lansia yang masih mempunyai gigi dapat dilakukan dengan cara menyikat

giginya sendiri, yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Bila

terdapat gigi berlubang dan endapan warna kuning sampai kecoklatan

segera diperiksakan di Puskesmas/ dokter gigi terdekat.

Bagi lansia yang menggunakan gigi palsu, gigi dibersihkan dengan

sikat gigi dan pasta gigi perlahan-lahan di bawah air yang mengalir. Pada

saat tidur, gigi palsu sebaiknya dilepas. Sedangkan bagi lansia yang tidak

mempunyai gigi, setiap selesai makan harus rajin gosok gigi untuk

menjaga gigi selalu bersih (Srigupta, 2017).

2.3.5. Dampak Tidak Dilakukannya Oral Hygiene

Kebersihan mulut yang buruk akan mengakibatkan persentase

karies lebih tinggi. Menurut Tarigan (2015), karies adalah penyakit

jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari

permukaan gigi (pit, fissure, dan daerah interproksimal) meluas ke arah

pulpa. Karies gigi juga dapat dialami oleh setiap orang serta dapat timbul

pada satu permukaan gigi atau lebih dan dapat meluas kebagian yang lebih

dalam, misalnya dari email ke dentin atau ke pulpa.


28

Kalkulus adalah salah satu dampak buruknya oral hygiene yaitu

plak yang telah mengalami pengerasan, kalsifikasi atau remineralisasi.

Kalkulus yang melekat di permukaan gigi biasanya berwarna putih

kekuningan sampai coklat kehitaman yang dapat terlihat oleh mata.

Permukaan keras tidak dapat dibersihkan dengan sikat gigi atau tusuk gigi.

Kalkulus yang tidak terlihat biasanya tumbuh dibawah gusi,

mengakibatkan gusi infeksi, mudah berdarah dan bau mulut.

Perkembangannya kemudian menjadi periodontitis, jika kerusakannya

sudah mengenai tulang penyangga gigi biasanya ditandai dengan lepasnya

garis perlekatan gusi. Kerusakan tulang penyangga gigi inilah yang

menyebabkan gigi mulai goyang, jika tidak segera dirawat hal ini

berakibat pada tindakan pencabutan gigi (Pratiwi, 2017).

Dampak lain buruknya oral hygiene yaitu timbulnya bau mulut

(halitosis) adalah bau nafas yang tidak enak, tidak menyenangkan dan

menusuk hidung. Bau mulut dapat diatasi dengan menjaga kebersihan gigi

dan mulut. Selain itu, terjadinya gingivitis yang merupakan peradangan

pada gusi (gingival). Gingivitis sering terjadi dan bisa timbul kapan saja.

Plak merupakan penyebab utama dari gingivitis. Plak merupakan suatu

lapisan yang utamanya terdiri dari bakteri (Soebroto, 2016).

2.4. Kehilangan Gigi

2.4.1. Pengertian Kehilangan Gigi

Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih

gigi dari soketnya. Kejadian hilangnya gigi dapat terjadi pada anak – anak
29

hingga dewasa dan kehilangan gigi permanen pada orang dewasa

sangatlah tidak diinginkan terjadi. Kehilangan gigi masih sangat sering

terjadi di berbagai negara dan bahkan memiliki prevalansi yang cukup

tinggi. Kehilangan gigi dapat terjadi pada bagian anterior, posterior, atau

anterior dan posterior (Hidayat dan Tandiari, 2016).

Kehilangan gigi merupakan penyebab terbanyak menurunnya

fungsi pengunyahan. Kehilangan gigi juga dapat mempengaruhi rongga

mulut dan kesehatan umum sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup

seseorang secara keseluruhan. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh

berbagai hal. Penyebab terbanyak kehilangan gigi adalah akibat buruknya

status kesehatan rongga mulut, terutama karies dan penyakit periodontal

(Senjaya, 2016).

2.4.2. Etiologi Kehilangan Gigi

Kehilangan gigi merupakan hasil dari suatu proses penyakit

sehingga dapat diklasifikasikan sebagai masalah rongga mulut. Kehilangan

gigi geligi lebih sering disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

penyakit periodontal. Faktor lain seperti trauma, sikap dan karakteristik

terhadap pelayanan kesehatan gigi, faktor sosio demografi serta gaya

hidup juga turut memengaruhi hilangnya gigi (Sihombing, 2015).

Kehilangan Gigi yang dibiarkan terlalu lama akan menyebabkan

migrasi patologis gigi-geligi yang tersisa, penurunan tulang alveolar pada

daerah yang edentulous, penurunan fungsi pengunyahan hingga gangguan

berbicara dan juga dapat berpengaruh terhadap sendi temporomandibular.


30

Karena idealnya oklusi yang baik harus memungkinkan mandibula

bertranslasi tanpa hambatan oklusal saat terjadi gerakan fungsional

terutama pada segmen posterior sehingga distribusi beban lebih merata.

Kehilangan gigi lebih dari 3 gigi posterior dalam satu lengkung rahang

dapat menggaggu system mastikasi. Permasalahan Kesehatan umum dan

gigi mulut dapat mempengaruhi kualitas hidup individu lanjut usia

(Wardhana dkk, 2015).

2.4.3. Dampak Kehilangan Gigi pada Lansia

Menurut Siagian (2016), berikut adalah beberapa dampak

kehilangan gigi pada lansia:

a. Migrasi dan Rotasi Gigi

Pergeseran, miring atau berputarnya gigi dapat terjadi karena

hilangnya kesinambungan pada lengkung gigi. Karena gigi ini tidak

lagi menempati poisi yang normal untuk menerima beban yang terjadi

pada saat pengunyahan, sehingga mengakibatkan kerusakan strutur

periodontal.

b. Erupsi berlebih

Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai pertumbuhan tulang

alvelar. Bila hal ini terjadi tanpa pertumbuhan tulang alveolar, maka

struktur periodontal akan mengalami kemundurn sehingga gigi mulai

ekstrusi.
31

c. Penurunan efisiensi kunyah

Penurunan efisiensi kunyah merupakan dampak yang akan

ditimbulkan akibat kehilangan gigi terutama pada bagian gigi

posterior.

d. Gangguan pada sendi temporo-mandibula

Dampak kehilangan gigi pada lansia dapat menyebabkan gangguan

pada struktur sendi rahang.

e. Beban berlebih pada jaringan pendukung

Bila lansia sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi yang

masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besr sehingga terjadi

adanya beban yang berlebih. Beban yang berlebih ini akan

mengakibatkan kerusakan membran periodontal.

f. Kelainan bicara & estetik

Kehilangan gigi pada bagian depan atas dan bawah sering kali

menyebabkan kelainan bicara dan akan mempengaruhi estetik

dikarenakan akan mengurangi daya tarik seseorang.

g. Terganggunya kebersihan mulut

Celah antara gigi yang hilang menyebabkan gigi mudah disisipi sisa

makanan, sehingga kebersihan mulut menjadi terganggu dan mudah

terjadi plak.

2.5. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Setiaji (2018), yang berjudul

“Hubungan Antara Oral Hygiene dan Kehilangan Gigi Dengan Status Gizi
32

Lansia di Desa Sirkandi Kecamatan Purwareja Klampok Kabupaten

Banjarnegara”. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Oral hygiene

dikategorikan cukup 55.4% dan kehilangan gigi berdasarkan jumlah gigi

mayoritas 0-10 gigi 71.1%. Status gizi lansia dikategorikan kurus 61.4%.

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara oral

hygiene terhadap status gizi lansia (p<0.05).

Penelitian yang dilakukan oleh Hermawati (2017), yang berjudul

“Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Gizi Lansia di PSTW Budi

Mulia 03 Margaguna Jakarta Selatan”. Pada penelitian ini kehilangan gigi

fungsional lebih banyak yaitu seesar 69,1% daripada kehilangan gigi non

fungsional. Berdasarkan status gizi didapatkan hasil bahwa gizi kurang

lebih besar (32,7%) dibandingkan dengan gizi lebih (18,2%). Hasil uji

statistik dengan menggunakan Pearson Chi-quare diperoleh p-value 0,001

yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kehilangan

gigi dengan status gizi di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia

03 Margaguna Jakarta Selatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan and Putranti (2021) yang

berjudul “Hubungan Kehilangan Gigi Sebagian Terhadap Status Gizi dan

Kualitas Hidup di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2020”.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kehilangan gigi

sebagian terhadap status gizi dan kualitas hidup lansia di UPT Pelayanan

Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2020 berdasarkan jumlah gigi yang ada

dan jumlah functional tooth units (FTUs) di rongga mulut p=0,0001


33

(p<0,05). Jumlah gigi yang ada dan jumlah functional tooth units (FTUs)

di rongga mulut berhubunganPenurunan kemampuan mastikasi dan

menyebabkan status gizi dan kualitas hidup pada lansia.

2.6. Kerangka Teori

Kerangka pemikiran atau kerangka teori dalam penelitian ini adalah :

Lansia

Perubahan Psikologis Perubahan Fisik Perubahan Mental

Perubahan Anatomi Perubahan Fisiologi

1. Perubahan Struktur Jaringan


Rongga Mulut
2. Kehilangan Gigi
3. Penurunan Efisiensi
Mengunyah
4. Penurunan asupan makanan

Gangguan Pola Makan

Gambar 2.1
Kerangka Teoritis
34

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan

menggeneralisasikan suatu pengertian. Kerangka konsep penelitian ini

disusun berdasarkan teori. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini

adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Oral Hygiene
Pola Makan

Kehilangan Gigi

Gambar 2.2
Kerangka Konsep
35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini akan menggunakan jenis analytic yang

bersifat cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar

variabel dimana variabel independen (bebas) dan variabel dependen

(terikat) diidentifikasi pada satu satuan waktu (Sugiyono, 2016).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Aron Glumpang VII

Kecamatan Matangkuli Aceh Utara pada bulan Februari 2023.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diamati dalam suatu

penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Desa

Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara sebanyak 237

orang.

3.3.2. Sampel

Besar sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan

rumus Slovin dalam Setiadi (2013), dibawah ini :

N
n= 2
1+ N (d )

237
=
1+ 337(0,01)

35
36

237
=
1+ 2,37

237
=
3,37

= 70,3 ≈71 responden

Keterangan :

N = Besar populasi

n = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,1)

Adapun teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara

melakukan pembagian antara jumlah anggota populasi berdasarkan

masing-masing strata (Proportional Stratified Random Sampling) yaitu

dengan cara:

a. Membatasi jumlah sampel berdasarkan kesempatan menjadi sampel yang

akan diteliti.

b. Sampel yang diambil berdasarkan hasil perhitungan dengan

menggunakan rumus:

Jumlah Lansia Tiap Dusun


¿ X Jumlah Sampel
Jumlah Populasi

= Jumlah sampel yang diambil tiap dusun

Tabel 3.1. Distribusi Jumlah Responden Tiap Dusun


No Kelas Jumlah Siswa Sampel Yang diambil
1. Dusun I 72 22
2. Dusun II 44 13
3. Dusun III 52 16
4. Dusun IV 69 20
Jumlah 237 71
37

Selanjutnya cara penarikan sampel pada masing-masing ruangan

dilakukan dengan cara acak sederhana (simple random sampling) yaitu

dengan cara mengundi atau lotre technique.

3.3.3. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat diteliti atau

layak diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu :

1) Bersedia Menjadi responden

2) Mampu berkomunikasi dengan baik

3) Mampu mengikuti prosedur penelitian

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak dapat

dimasukan atau tidak layak untuk diteliti sebagai berikut:

1) Lansia dengan penyakit kronis

2) Kurang kooperatif

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian

dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data

langsung dari subjek sebagai sumber informasi yang diteliti misalnya data

hasil wawancara.
38

b. Data Sekunder

Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder

yaitu dimana peneliti mendapatkan data jumlah lansia di Desa Aron

Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

c. Data Tersier

Data tersier yaitu bahan pustaka melalui textbook, jurnal dan internet.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer diperoleh dari hasil yang diambil langsung dari responden

dengan secara angket yaitu menyebarkan kuesioner yang berisi

pertanyaan dan selanjutnya diisi oleh responden, kemudian dikumpulkan

untuk pengolahan dan analisa data, waktu pengisian kuesioner diawasi

oleh sebelumnya.

b. Data sekunder diperoleh dari Desa Aron Glumpang VII Kecamatan

Matangkuli Aceh Utara.

c. Data tersier diperoleh langsung dari jurnal dan perpustakaan.

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel Penelitian

a. Variabel Independen : Variabel independen dalam penelitian ini adalah

oral hygiene dan kehilangan gigi.

b. Variabel Dependen : Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah pola

makan lansia.
39

3.5.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Defenisi Cara Skala


No Variabel Alat ukur Hasil Ukur
Operasional ukur Ukur
Variabel Dependen
1. Pola Jenis, frekuensi Wawancara Kuesioner Ordinal - Baik
Makan dan jumlah - Kurang Baik
Lansia makan yang
dikonsumsi
oleh lansia
Variabel Independen
2. Oral Praktik Wawancara Kuesioner Ordinal - Baik
Hygiene menjaga mulut - Kurang Baik
agar tetap
bersih dan
bebas dari
penyakit dan
masalah lain
3. Kehilangan Keadaan gigi Wawancara Kuesioner Ordinal - >10
Gigi tidak ada atau - 6-10
lepas dari soket - <6
atau tempatnya
atau keadaan
gigi yang
mengakibatkan
gigi lepas.

3.6. Metode Pengukuran Variabel

3.6.1. Pola Makan

Pengukuran pola makan menggunakan skala likert dengan memberikan 12

pertanyaan, dengan penilaian jika menjawab selalu diberikan skor 5, sering

diberikan skor 4, kadang-kadang diberikan skor 3, jarang diberikan skor 2

dan tidak pernah diberikan skor 1. Adapun penentuan kategori ditentukan

berdasarkan skor yang diperoleh yaitu :

Baik : Jika skor 31-60 (>50%)

Kurang Baik : Jika skor 0-30 (≤50%)


40

3.6.2. Oral Hygiene

Metode pengukuran oral hygiene pada lansia dilakukan dengan cara

wawancara menggunakan 10 pernyataan dengan pilihan jawaban ya dan

tidak, jika menjawab Ya diberikan skor 1 dan Tidak diberikan skor 0.

Dengan kriteria penilaian :

Baik : Jika skor 6-10 (>50%)

Kurang Baik : Jika skor 0-5 (≤50%)

3.6.3. Kehilangan Gigi

Metode pengukuran kehilangan gigi pada lansia dilakukan dengan cara

wawancara menggunakan 1 pertanyaan.

3.7. Metode Analisa Data

3.7.1. Pengolahan Data

Data yang telah didapat dari hasil pengkajian responden melalui

wawancara mengunakan kuesioner diolah secara komputerisasi. Menurut

Nursalam (2017), langkah-langkah pengolahan data adalah sebagai

berikut:

a. Editing

Editing adalah suatu kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian

formulir atau kuesioner.Kuesioner yang dikembalikan responden diperiksa

kelengkapan pengisian terutama identitas responden beserta jawaban yang

diberikan.Peneliti melakukan editing di lapangan sehingga apabila terjadi

kesalahan data dapat segera dilakukan perbaikan.


41

b. Coding

Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variabel-

variabel yang diteliti, misalnya nama responden dirumah menjadi nomor.

c. Entring

Data entry, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

masih dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan kedalam

program komputer yang digunakan peneliti yaitu program for windows.

d. Data Processing

Semua data yang telah diinput kedalam aplikasi komputer akan diolah

sesuai dengan kebutuhan dari penelitian.

3.7.2. Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam

memperoleh kesimpulan. Menurut (Notoatmodjo, 2018) Analisis data

penelitian ini menggunakan analisis data secara kuantitatif yaitu:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian dan hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan

antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen

dengan menggunakan uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk

memutuskan apakah ada hubungan antara variabel bebas dan variabel


42

terikat, maka menggunakan p value yang dibandingkan dengan tingkat

kesalahan (Alpha) yaitu sebesar 5% atau 0,05. Apabila p value ≤0,05 maka

Ho ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara variabel

dependen dan variabel independen, apabila p value >0,05 maka Ho

diterima yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel

dependen dan independen.

Data yang akan diperoleh dari penelitian ini dikategorikan.

Keseluruhan metode pengolahan data yang telah diperoleh dilakukan

dengan menggunakan program SPSS dengan derajat kemaknaan α = 5%

(0,05). Proses pengujian chi square adalah membandingkan frekuensi

yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan (ekspektasi). Bila nilai

frekuensi observasi dengan nilai frekuensi harapan sama, maka dikatakan

tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan). Sebaliknya, nilai

frekuensi observasi dan nilai harapan berbeda, maka dikatakan ada

perbedaan yang bermakna (signifikan). Aturan yang berlaku pada Chi-

Square adalah sebagai berikut:

1) Bila pada 2x2 dijumpai nilai Expected (harapan) kurang dari 5, maka

yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”.

2) Bila tabel 2x2 dan tidak ada nilai E<5, maka uji yang dipakai

sebaiknya “Continuity Correction (α)”.

3) Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 3x2, 3x3, dsb, maka digunakan

uji “Pearson Chi Square”(Sugiyono, 2016).


43

3.8. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian diperlukan etika untuk menghindari

terjadinya tindakan yang tidak etis dalam melakukan penelitian. Menurut

Setiadi (2017), etika yang harus diterapkan dalam penelitian sebagai

berikut :

a. Informed Consent

Informed consent atau lembaran persetujuan diberikan kepada

responden yang memenuhi kriteria obyektif, agar responden memahami

maksud dan tujuan penelitian. Apabila subyek penelitian setuju maka

harus menandatangani lembaran persetujuan sebagai responden

penelitian, dan responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan

tetap menghormati hak-hak calon responden.

b. Anonimity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti

tidak mencantumkan nama responden pada lembaran angket yang di isi

responden.

c. Confidentiality

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang di sajikan atau di

laporkan sebagai hasil riset.


44

DAFTAR PUSTAKA

Adhiatman, A. . G. W., Kusumadewi, S. and Griadhi, P. A. (2018) ‘Hubungan


Kehilangan Gigi Dengan Status Gizi Dan Kualitas Hidup Pada
Perkumpulan Lansia Di Desa Penatahan Kecamatan Penebel Tabanan’,
ODONTO : Dental Journal, 5(2), p. 145. doi: 10.30659/odj.5.2.145-151.

Almatsier, S. (2015) Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT SUN.

Barnes, I. and Walls, A. (2016) Perawatan Gigi Terpadu Untuk Lansia. Jakarta:
EGC.

Dinkes Aceh (2021) ‘Profil Dinas Kesehatan Aceh’. Banda Aceh: Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh. Available at: https://dinkes.acehprov.go.id.

Efendi, F. (2017) Keperawatan kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Halim, J. et al. (2021) ‘Hubungan Kemampuan Mastikasi Pemakai Gigi Tiruan


Lengkap dengan Kekuatan Gigit, Ketebalan Musculus masseter,
kemampuan kognitif dan Kualitas Hidup Lansia’, Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran, 33(3), p. 222. doi: 10.24198/jkg.v33i3.35336.

Hasibuan, W. W. and Putranti, D. T. (2021) ‘Hubungan Kehilangan Gigi


Sebagian Terhadap Status Gizi dan Kualitas Hidup di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2020’, Cakradonya Dental Journal,
13(1), pp. 72–80. doi: 10.24815/cdj.v13i1.20916.

Hermawati, I. (2017) Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Gizi Lansia di


PSTW Budi Mulia 03 Margaguna Jakarta Selatan. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Irianto, D. P. (2017) Pedoman Gizi Lengkap keluarga & Olahragawan.


Yogyakarta: CV Andi Offset.

Kemenkes (2014) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41


Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI (2021) ‘Profil Kesehatan Indonesia’. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kholifah, S. N. (2016) Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan


Gerontik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Manurung, S. S., Ritonga, I. L. and Damanik, H. (2020) Buku Ajar Keperawatan


Gerontik. Yogyakarta: Deepublish.
45

Massie, R. G. A. (2019) ‘The Access to Available Health Services for Elderly


People In Indonesian Urban Areas’, Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesehatan, 3(1), pp. 46–56.

Nasrullah, D. (2017) Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Buku Kesehatan.

Notoatmodjo, S. (2018) Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rhineka Cipta.

Nursalam (2017) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis


Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Oetoro, D. S. (2018) ‘1000 Jurus Makan Pintar dan Hidup Bugar’. Jakarta.

Pindobilowo (2018) ‘Pengaruh Oral Hygiene Terhadap Malnutrisi pada Lansia’,


Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM, 14(1), pp. 1–
5.

Pioh, C., Siagian, K. V. and Tendean, L. (2018) ‘Hubungan antara Jumlah


Kehilangan Gigi dengan Status Gizi pada Lansia di Desa Kolongan Atas II
Kecamatan Sonder’, Jurnal e-GIGI, 6(2), pp. 143–150.

Pratiwi, D. (2017) Gigi Sehat Merawat Gigi Sehari-hari. Jakarta: PT Kompas.

Riskesdas (2018) Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Risnah et al. (2022) Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Dasar


Manusia. Jakarta: Trans Info Media.

Rohmah, A. I. N., Purwaningsih and Bariyah, K. (2017) ‘Kualitas Hidup Lanjut


Usia’, Jurnal Keperawatan, 3(2), pp. 120–132.

Setiadi (2017) Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Setiaji, A. L. (2018) Hubungan Antara Oral Hygiene Dan Kehilangan Gigi


Dengan Status Gizi Lansia di Desa Sirkandi Kecamatan Purwareja
Klampok Kabupaten Banjarnegara. Universitas Muhammadiyah
Puwokerto.

Setianingsih, Riandhyanita, F. and Asyrofi, A. (2017) ‘Gambaran Pelaksanaan


Tindakan Oral Hygiene pada Pasien di Ruang Intensive Care Unit (ICU)’,
Jurnal Perawat Indonesia, 1(2), pp. 48–53.

Soebroto, I. (2016) Cara Mudah Mengatasi Karies Gigi. Yogyakarta: Bangkit.

Srigupta, A. . (2017) Perawatan Gigi dan Mulut. Jakarta: Prestasi Pustaka.


46

Sugiyono (2016) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Sulistyoningsih, H. (2017) Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Susilawati, D. N., Suiraoka, I. P. and Sugiani, P. P. S. (2017) ‘Hubungan


Kesehatan Gigi Dan Mulut, Pola Konsumsi Makanan Dengan Status Gizi
Lansia di Desa Culik Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem’, Jurnal
Ilmu Gizi, pp. 24–32.

Tarigan, R. (2015) Karies Gigi. Ed 2. Jakarta: EGC.

Tarwoto and Wartonah (2016) Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Tucker (2017) Patient Care Standart : Nursing Process Diagnosis and Outcome.
Jakarta: EGC.

Widyastuti, V. W., Indriati, P. A. and Supriyadi (2020) ‘Hubungan Tingkat


Pengetahuan Tentang Senam Lansia dengan Keaktifan Mengikuti Senam
Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran’, Artikel
Penelitian S1 Ilmu Keperawatan.
47

LEMBAR INFORMED CONSENT RESPONDEN

Dengan menandatangani lembar ini, saya:

Nama :

Umur :

Pendidikan :

Memberikan persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian yang

berjudul Hubungan antara Oral Hygiene dan Kehilangan Gigi dengan Pola Makan

pada Lansia di Desa Aron Glumpang VII Kecamatan Matangkuli Aceh Utara.

Saya telah dijelaskan bahwa jawaban kuesioner ini hanya digunakan untuk

keperluan penelitian dan saya secara suka rela bersedia menjadi responden

penelitian ini

Aceh Utara, 2023

Responden

KUESIONER
48

HUBUNGAN ANTARA ORAL HYGIENE DAN KEHILANGAN GIGI


DENGAN POLA MAKAN PADA LANSIA DI DESA ARON
GLUMPANG VII KECAMATAN MATANGKULI
ACEH UTARA

I. Identitas Responden

No Responden :

Nama :

Umur :

Suhu :

Alamat :

II. Pola Makan

Keterangan
SL : Selalu
S : Sering
KD : Kadang-Kadang
J : Jarang
TP : Tidak Pernah
No Pernyataan SL S KD J TP
1 Anda makan satu hari rata-rata 3 porsi
nasi yang dikonsumsi 3 kali dalam
sehari
2 Makan pagi pada jam 07.00-08.00
dengan porsi 1 piring nasi
3 Anda mengkonsumsi makanan selingan
jam 10.00 sebanyak 2 potong roti dan 1
potong buah.
4 Anda makan siang jam 13.00-14.00
dengan porsi 1 piring karbohidrat
5 Anda mengkonsumsi makanan selingan
jam 17.00 sebanyak 2 potong roti dan 1
potong buah.
6 Anda makan sore/malam jam 19.00
dengan porsi 1 piring karbohidrat
7 Anda mengkonsumsi makanan yang
bervariasi seperti nasi, sayur, buah dan
49

lauk pauk.
8 Anda mengurangi makanan berlemak
tinggi pada setiap kali makan seperti
daging merah dan gorengan
9 Anda mengkonsumsi buah seperti pisang
dan papaya sebagai makanan selingan
10 Anda mengkonsumsi makanan cemilan
yang bersumber tepung-tepungan seperti
kue dan roti.
11 Apakah anda sering mengkonsumsi
makanan pedas
12 Apakah anda sering makan makanan siap
saji seperti mie instan dan bakso.

III.Oral Hygiene

No Pernyataan Ya Tidak
1 Menggosok gigi minimal 2 kali sehari setelah makan
dan sebelum tidur
2 Menggosok gigi cukup dilakukan saat mandi pagi dan
sore hari
3 Sikat gigi yang benar adalah yang ujung sikatnya kecil
dan pipih sehingga dapat menjangkau bagian belakang
gigi
4 Sikat gigi perlu diganti secara rutin
5 Saat menggosok gigi permukaan gusi dan lidah tidak
perlu disikat
6 Menggosok gigi yang benar adalah menggosok seluruh
bagian gigi (depan, belakang, sela-sela gigi)
7 Setelah menggosok gigi tidak harus berkumur dengan
air yang bersih
8 Menggosok gigi menggunakan pasta gigi (odol)
berfluoride (odol yang rasanya mint dan terasa dingin
setelah menggunakannya)
9 Pemeriksaan gigi sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan
sekali
10 Membersihkan rongga mulut sehari sekali.

IV. Kehilangan Gigi


50

1. Apakah anda mengalami kehilangan gigi ?

a. Ya

b. Tidak

2. Jika Ya, berapa jumlah gigi anda yang hilang ?

a. >10 gigi

b. 6-10 gigi

c. <6 gigi

Anda mungkin juga menyukai