Anda di halaman 1dari 3

Salah satu fenomena yang sering diramalkan akan menjadi trend di abad XXI ini adalah munculnya

gerakan spiritualitas baru. Terhadap gerakan ini, Rederic dan Maryann Brussat mengistilahkannya
dengan “kemelekan spiritual” atau kebangkitan spiritual. Ekspresi gerakan ini sering tampil dengan
wajahnya yang sangat beragam, mulai dari Cult, Sect, New Thought, New Relegious Movement, Human
Potential Movement, hingga gerakan New Age. Namun demikian dari semua gerakan tersebut, jika
ditarik garis horizontalnya, hampir memiliki kesamaan-kesamaan misi, yakni memenuhi hasrat spiritual
yang mendamaikan hati. Tuntutan untuk melakukan gerakan ini dilatarbelakangi oleh banyak hal, antara
lain, pertama: kebutuhan untuk melakukan responsi terhadap paradigma modernisme yang telah
mengalami kegagalan dalam beberapa aspeknya; kedua, sebagai respon terhadap kebutuhan
masyarakat, akibat dari dampak hegemoni Barat yang mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas dan
lepas dari tuntutan ajaran keagamaan. Sebagai konsekuensinya, gerakan tersebut banyak yang berpaling
dari agama Barat, dan pada giliranya berpihak ke agama-agama Timur. Seperti Hinduisme, Budhisme,
Zen, Taoisme; ketiga, tidak menutup kemungkinan gerakan tersebut muncul karena perubahan budaya
yang amat cepat dalam kehidupan keseharian akibat dari kesalahan desain kita sendiri. Gerakan New
Age pada hakikatnya juga merupakan reaksi atas dosa-dosa sains modern yang hampa terhadap
perasaan (dehumanisasi), dosa-dosa kapitalisme dan imperialisme yang belum bisa lepas dari watak
eksploitasinya. Untuk menghadapi ini, gerakan New Age mencoba berpaling dari eksploitasi, selanjutnya
berpihak pada upaya-upaya perdamaian, toleransi, kesadaran dan keseimbangan alam. Dengan
demikian gerakan ini bisa diartikan sebagai sebuah proses pencarian jati diri manusia, setelah sekian
lama manusia ditimpa oleh krisis kemanusiaan yang tak kunjung reda. Sementara itu agama formal yang
mestinya dijadikan tempat kembali mereka, kini dianggap telah kehilangan pesan-pesan
universalitasnya. Sehingga wajar jika kemudian pendukung dari gerakan ini sering menggunakan jargon
Spirituality Yes, Organized Relegions No. Atas dasar inilah muncul sebuah pertanyaan, apa yang
melatarbelakangi gerakan ini menuduh agama formal telah kehilangan daya aktualitas dan
universalitasnya? Kelompok Chicago Studies edisi tahun 1997 dalam sebuah buku berjudul Wacana
Spiritualitas Timur dan Barat (Ruslani, ed.), mengangkat tujuh tulisan pakar mengenai paradigma
spiritualitas ditinjau dari sudut pandang agama-agama (Islam, Protestan, katolik barat, Hindu, Budha dan
spiritualitas tanpa agama). Masing-masing memberikan wawasan tersendiri mengenai spiritualitas
dalam setiap tradisi tersebut. I Islam sebenarnya sangat perhatian terhadap tradisi spiritualitas dan
moralitas. Dalam kenyataannya Islam memiliki tradisi spiritualitas yang kaya dan amat berharga yang
sudah berjalan selama rentang waktu lebih dari 14 abad. Sayangnya, orang-orang non muslim tidak
begitu memahami dan mengetahui misi yang semulia itu. Boleh jadi hal demikian akibat dari persistensi
stereotip yang tidak adil dan salah kaprah mengenai kaum muslimin dalam mengapresiasikan ajarannya.
Dalam perspektif sejarah, Muhammad saw. adalah sosok yang telah melalui proses spiritualitas itu. Ia
dipersepsikan sebagai anak muda yang jujur, pencari spiritual yang kritis, dan terkadang ia
berkontemplasi ke bukit-bukit di sekitar Makah untuk beribadah. Di sebuah bukit, tempat dimana ia
mengasingkan diri itulah, selanjutnya ia memperoleh pengalaman spiritual yang tinggi. Akhirnya melalui
pengalaman tersebut Muhammad saw. melihat apa yang dinamakan “wahyu”, yang secara harfiah berisi
pesan yang menentang nilai-nilai masyarakat jahiliyah abad ke tujuh. Ajaran yang terkandung dalam
wahyu tersebut, di satu sisi membuat beberapa orang tertarik, di sisi lain membuat orang-orang takut,
utamnya adalah kelompok Quraisy. Ketakutan seperti ini bukan semata-mata karena ajaran tauhidnya,
tetapi karena ajaran sosial yang dibawa Muhammad saw. sebagai ajaran yang concern terhadap
penegaan keadilan ekonomi dan persamaan sosial. Itulah yang akan selalu mengancam kemapanan
monopoli perdagangan para kafilah Quraisy yang merupakan kunci untuk memperkaya diri mereka.
Dengan demikian tradisi spiritualitas dalam Islam adalah spiritualitas yang sarat dengan pesan-pesan
sosialnya. Belum lagi tradisi spiritualitas lain yang lebih penting dalam Islam. Tradisi spiritual dimaksud
adalah shalat sehari semalam. Tradisi ini dianggap sebagai jantung spiritualitas Islam. Dianggap
demikian karena shalat diawali dengan penataan niat yang dalam untuk berkomunikasi dengan Tuhan
dan diakhiri dengan ucapan salam perdamaian terhadap sesama manusia. Inilah yang kemudian di
dalam Islam disebut sebagai ibadah mahdlah, ibadah yang dilakukan manusia untuk berinteraksi dengan
Tuhannya dan diakhiri dengan sikap kritis terhadap kualitas moral dan spiritualitas dalam suatu
tindakan sosial. II Tradisi spiritualitas dalam Islam ini sangat berbeda secara simbolis jika didekatkan
dengan tradisi spiritualitas Katolik Barat. Dalam tradisi spiritualitas Katolik Barat terdapat benang merah
yang menghubungkan banyak pengalaman spiritual. Garis yang mungkin bisa menghasilkan perubahan
yang akurat dalam spiritualitas Katolik Barat adalah perjalanan menuju Tuhan melalui Yesus Kristus
dengan kekuatan roh kudusnya. Meskipun dengan cara dan penekanan yang berbeda model pencarian
Tuhan dalam tradisi Katolik Barat, tetapi model ini juga berlaku di Kristen Protestan. Perjalanan menuju
Tuhan tersebut adakalanya yang bisa diartikulasikan, ada pula yang tidak bisa. Singkatnya dalam tradisi
spiritualitas Katolik Barat, pengalaman dari orang-orang yang beriman mengungkapkan adanya proses
konversi, transformasi dan penyempurnaan. Berbaliknya pikiran dan hati menuju jalan baru, yaitu yang
disebut oleh Santo Paulus sebagai “berjalan dalam roh”. Sekali saja orang melakukan konversi berarti
orang-orang yang beriman hidup dalam transformasi, yakni semakin memuliakan kesucian Tuhan. Ini
semua terjadi setelah misteri Yesus Kristus bisa dihadirkan dalam Gereja. Menurut Louis J. Comeli, letak
kelemahan dalam spiritualitas Katolik Barat adalah kurangnya integritas spiritual dan teologi. Disamping
beberapa unsur spiritualitasnya sudah lama menjadi hal yang problematis, dimana secara pereodik
unsur-unsur tersebut berputar dalam bentuk yang berbeda-beda. Fenomena menarik yang perlu dipetik
dari pengalaman spiritualitas Katolik Barat adalah ajaran sebagai ekspresi kasih yang mendalam. Di
sinilah titik temu spiritualitas Islam dengan Katolik Barat. Dimana keduanya berakhir pada komitmen
ajaran sosialnya. Tradisi salat dalam Islam, perjalanan menuju Tuhan dalam Katolik Barat adalah identik
dengan sembahyang dalam spiritualitas Kristen Protestan. Menurut Friedrich Heider dalam makalahnya,
cara bersembahyang Kristen Protestan ada dua macam, sembahyang mistik dan profetik. Model
pertama menitikberatkan upaya manusia mencari kesatuan melalui penyucian, iluminasi. Sementara
yang kedua menitik beratkan pada keaktifan Tuhan, pelayanan yang baik dari Tuhan. Tradisi semacam
ini hampir mirip dengan tradisi spiritualitas Kristen Maronit, dimana dalam tradisi ini, seseorang tidak
cukup hanya dengan memberi kehidupan, tetapi ia harus hidup melalui hubungan dengan Tuhan yang
merupakan pusat dari segala sesuatu. Pandangan ini bisa mempertinggi kesadaran akan kesucian hidup
dan memperdalam apresiasi terhadap derajat segala sesuatu yang hidup sebagai pantulan Tuhan.
Adalah berarti Maronit jika kita melakukan sesuatu dengan visi yang mencerahkan, kita mampu melihat
dibalik kebiasaan hidup, dengan demikian dengan kesadaran penuh bisa bertemu dengan Tuhan
(Yohanes : 10 : 10). Akan lebih menarik lagi jika kita mengamati pengalaman spiritualitas Yahudi.
Identitas dan komitment keimanan Yahudi nampaknya berpusat dalam pemahaman masyarakat Yahudi
terhadap perjanjiannya dengan Tuhan. Dimulai dengan orang Yahudi pertama, Ibrahim dan pengikutnya,
Isa, Ya’qub dan diakhiri dengan melibatkan seluruh umat saat di Gunung Sinai. Kunci dari perjanjian ini
adalah hubungan timbal balik, hubungan yang saling menguntungkan, antara umat dengan Tuhan, serta
Tuhan dengan umat, yang terjadi secara interaktif. Dengan demikian moralitas terhadap diri sendiri dan
terhadap orang lain adalah inti dari ajaran spiritualitas dari agama Yudhaisme. III Selanjutnya kita akan
menengok spiritualitas agama Hindu. Fokus sentral dari agama eternal (Hindu) ini, adalah tradisi asketik,
mistik dan kontemplasinya. Semangat kehidupan batin ini dipahami dengan kesederhanaan perasaan
dalam gambaran gua hati, relung hati, metafora yang mengungkapkan ke dalam batin, pencarian yang
penuh gairah demi hubungan langsung dengan Tuhan. Karena itu jika ada pertanyaan dimanakah
Tuhan? Orang Hindu akan menunjuk di dadanya. Berbeda jika kita bandingkan dengan spiritualitas
agama Budha, pengalaman spiritualitas Budha agaknya berdekatan dengan spiritualitas Islam. Budha
mencoba merealisasikan empat kebenaran tertinggi dalam kehidupan para penganutnya, dengan
melalui delapan jalan kebenaran. Dari sekian ajarannya secara esoteris, tak satupun yang berseberangan
dengan Islam, lebih-lebih jika spiritualitas Budhis terletak dalam berbagai kebajikan, kearifan dan kasih
sayang yang tidak bisa dipisahkan. Empat kebenaran tertinggi itu antara lain adalah dukkha
(penderitaan), tanha (hasrat), nirwana (ketenangan), kebebasan dari ketidakpuasan. Bagaimana dengan
spiritualitas agama formal? Tradisi spiritualitas yang terakhir ini muncul sesuai dengan pengalaman
spiritualitasnya. Spiritualitas muncul bukan karena dari aturan baku agamanya, melainkan berdasar pada
subjektivitas masing-masing individu, ketika memahami fenomena alam. Tradisi ini akan senantiasa
muncul dengan wajahnya yang selalu berbeda-beda, karena tidak adanya ajaran spiritualitas yang baku.
Dari semua pengalaman tradisi spiritualitas agama-agama di atas, bila ditarik benang merahnya, akan
diperoleh beberapa kesamaan-kesamaan misi, utamanya adalah misi transendental dan horisantal.
Hindu, dalam hal ini nampaknya merupakan satu-satunya agama yang agak berbeda jika dibandingkan
dengan pengalaman spiritualitas agama lain. Hindu lebih banyak mengembangkan aspek-aspek asketik,
mistik dan kontemplasinya, dan tidak banyak berurusan dengan misi sosialnya. @

(Author)

Berita Terkait

Anda mungkin juga menyukai