Anda di halaman 1dari 97

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 11 TAHUN 2019


TENTANG
PENANGGULANGAN KUSTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan di


indonesia karena menimbulkan masalah yang sangat
kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya karena
masih terdapat stigma di masyarakat terhadap kusta dan
disabilitas yang ditimbulkannya;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014
tentang Penanggulangan Penyakit Menular, perlu
menyusun pedoman penanggulangan kusta;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan
Kusta.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
-2-

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang
Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 59);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014
tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1508) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2018
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 945);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN
TENTANG PENANGGULANGAN KUSTA.
-3-

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1. Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium leprae.
2. Penanggulangan Kusta adalah upaya kesehatan yang
ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan
memutus mata rantai penularan Kusta.
3. Eliminasi Kusta adalah kondisi penurunan penderita
terdaftar pada suatu wilayah.
4. Penderita Kusta adalah seseorang yang terinfeksi kuman
Mycobacterium leprae yang disertai tanda dan gejala
klinis.
5. Surveilans adalah kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang
Penderita Kusta dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya penularan Kusta untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
6. Kemoprofilaksis adalah pemberian obat pada kontak
Penderita Kusta untuk mencegah penularan Kusta.
7. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
8. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
-4-

10. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur


penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.

BAB II
TARGET DAN STRATEGI

Pasal 2
(1) Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat
menetapkan target Eliminasi Kusta.
(2) Penanggulangan Kusta bertujuan untuk mencapai
Eliminasi Kusta tingkat provinsi pada tahun 2019 dan
tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024.
(3) Indikator pencapaian target Eliminasi Kusta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa angka prevalensi
<1/10.000 (kurang dari satu per sepuluh ribu)
penduduk.

Pasal 3
Strategi Eliminasi Kusta meliputi:
a. penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan
lintas sektor;
b. penguatan peran serta masyarakat dan
organisasi kemasyarakatan;
c. penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam
Penanggulangan Kusta; dan
d. penguatan sistem Surveilans serta pemantauan dan
evaluasi kegiatan Penanggulangan Kusta.

Pasal 4
Pelaksanaan target dan strategi Penanggulangan Kusta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 mengacu
pada Pedoman Penanggulangan Kusta sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
-5-

BAB III
KEGIATAN PENANGGULANGAN KUSTA

Pasal 5
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab menyelenggarakan Penanggulangan
Kusta.
(2) Penyelenggaraan Penanggulangan Kusta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan.

Pasal 6
(1) Penyelenggaraan Penanggulangan Kusta dilaksanakan
melalui upaya pencegahan dan pengendalian.
(2) Upaya pencegahan dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. promosi kesehatan;
b. Surveilans;
c. Kemoprofilaksis; dan
d. tata laksana Penderita Kusta.

Pasal 7
(1) Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a diarahkan untuk
memberdayakan masyarakat agar mampu berperan aktif
dalam mendukung perubahan perilaku dan lingkungan
serta menjaga dan meningkatkan kesehatan untuk
pencegahan dan pengendalian Kusta.
(2) Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
a. memberikan informasi kepada masyarakat tentang
tanda dan gejala dini Kusta, serta teknis kegiatan
Penanggulangan Kusta;
b. mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat
untuk penghapusan stigma dan menghilangkan
-6-

diskriminasi pada Penderita Kusta dan orang yang


pernah mengalami Kusta;
c. mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk
memperoleh dukungan kebijakan Penanggulangan
Kusta, khususnya penghapusan stigma dan
diskriminasi, serta pembiayaan; dan
d. membantu individu, keluarga, dan masyarakat
untuk berperan aktif dalam penemuan dan tata
laksana Penderita Kusta, pelaksanaan
Kemoprofilaksis, dan kegiatan penelitian dan
pengembangan.

Pasal 8
(1) Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dilakukan oleh semua tenaga kesehatan
yang dikoordinasikan oleh tenaga promosi kesehatan
atau pimpinan unit kerja fasilitas pelayanan kesehatan
yang ada, dan/atau pengelola program pada dinas
kesehatan daerah kabupaten/kota, dinas kesehatan
daerah provinsi, dan Kementerian Kesehatan.
(2) Pelaksanaan Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan lingkup tugas dan
fungsinya masing-masing.

Pasal 9
(1) Kegiatan Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) huruf b diarahkan untuk penemuan Penderita
Kusta dan penanganan secara dini serta mengetahui
besaran masalah di suatu wilayah.
(2) Kegiatan Surveilans sebagaimana pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengumpulan data;
b. pengolahan data;
c. analisis data; dan
d. diseminasi informasi.
-7-

(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


huruf a dilakukan melalui penemuan Penderita Kusta
secara aktif dan pasif.
(4) Pengumpulan data melalui penemuan Penderita Kusta
secara aktif paling sedikit dilakukan melalui survei cepat
desa, intensifikasi penemuan Penderita Kusta,
pemeriksaan anak sekolah, dan pemeriksaan kontak
serumah, tetangga, dan sosial.
(5) Pengumpulan data melalui penemuan Penderita Kusta
secara pasif dilaksanakan dengan cara menerima data
dari fasilitas pelayanan kesehatan, masyarakat, dan
sumber data lainnya.
(6) Pengolahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan dengan cara perekaman data,
kodifikasi, validasi, dan/atau pengelompokan
berdasarkan tempat, waktu, usia, klasifikasi Kusta, dan
jenis kelamin.
(7) Analisis data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c dilakukan melalui metode epidemiologi deskriptif
dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang
sesuai dengan tujuan Surveilans.
(8) Diseminasi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf d dilakukan dengan cara menyampaikan
informasi kepada pengelola program dan unit lain yang
membutuhkan serta memberikan umpan balik sesuai
kebutuhan.

Pasal 10
Kegiatan Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dilaksanakan oleh pengelola program atau unit pengelola
sistem informasi kesehatan pada fasilitas pelayanan
kesehatan, dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, dinas
kesehatan daerah provinsi dan Kementerian Kesehatan.

Pasal 11
Kegiatan Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dilaksanakan baik pada daerah yang belum
mencapai
-8-

Eliminasi Kusta maupun daerah yang telah mencapai


Eliminasi Kusta untuk mempertahankan status Eliminasi
Kusta.

Pasal 12
(1) Kemoprofilaksis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) huruf c diarahkan untuk mencegah penularan
Kusta pada orang yang kontak dengan Penderita Kusta.
(2) Kemoprofilaksis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk pemberian obat rifampisin
dosis tunggal pada orang yang kontak dengan Penderita
Kusta yang memenuhi kriteria dan persyaratan.
(3) Kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga)
bulan pada daerah yang memiliki Penderita Kusta;
b. berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
c. tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun waktu 2
(dua) tahun terakhir;
d. tidak sedang dirawat di rumah sakit;
e. tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
f. bukan suspek tuberkulosis;
g. bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta; dan
h. bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
(4) Obat rifampisin sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh petugas kesehatan dan wajib diminum
langsung di depan petugas pada saat diberikan.

Pasal 13
Kemoprofilaksis dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota setempat dengan menggunakan metode yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah sasaran.

Pasal 14
(1) Tata laksana Penderita Kusta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d diarahkan untuk
mengobati Penderita Kusta secara dini dan mencegah
-9-

disabilitas akibat Kusta.


(2) Tata laksana Penderita Kusta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. penegakkan diagnosis;
b. pemberian obat dan pemantauan pengobatan; dan
c. pencegahan dan penanganan disabilitas.
(3) Tata laksana Penderita Kusta sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 15
Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan
harus tetap dilakukan pemantauan oleh petugas Puskesmas
untuk menghindari reaksi Kusta yang dapat menyebabkan
disabilitas.

Pasal 16
Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Kusta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengacu
pada Pedoman Penanggulangan Kusta sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH

Pasal 17
Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat
bertanggung jawab:
a. menetapkan kebijakan Penanggulangan Kusta;
b. menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan;
c. melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja
dengan pemangku kepentingan terkait;
d. melakukan advokasi dan kerja sama antar lintas program
dan lintas sektor;
-10-

e. menyusun materi dalam media komunikasi, informasi,


dan edukasi program Penanggulangan Kusta dan
mendistribusikan ke daerah;
f. meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia;
g. melakukan pemantauan dan evaluasi; dan
h. melakukan penelitian dan pengembangan.

Pasal 18
Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah
provinsi bertanggung jawab:
a. membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan
Kusta di wilayah daerah provinsi sesuai kebijakan
nasional;
b. melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja
dengan pemangku kepentingan terkait;
c. melakukan bimbingan teknis dan pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan program Penanggulangan Kusta
kepada kabupaten/kota melalui Dinas Kesehatan,
Rumah Sakit, Puskesmas, dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya;
d. menyediakan sumber daya yang diperlukan;
e. menyediakan dan mengembangkan media komunikasi,
informasi, dan edukasi program Penanggulangan Kusta;
f. meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas
sektor di tingkat daerah provinsi;
g. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program
Penanggulangan Kusta kepada para pemangku
kepentingan di daerah kabupaten/kota dan lintas sektor
terkait;
h. meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia;
dan
i. melakukan penelitian dan pengembangan.

Pasal 19
Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab:
-11-

a. membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan


Kusta di wilayah daerah kabupaten/kota sesuai
kebijakan nasional dan kebijakan daerah provinsi;
b. meningkatkan kemampuan tenaga Puskesmas, Rumah
Sakit, klinik, dan kader;
c. menyediakan sumber daya yang diperlukan;
d. menyediakan dan mengembangkan media komunikasi,
informasi, dan edukasi program Penanggulangan Kusta;
e. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program
Penanggulangan Kusta kepada para pemangku
kepentingan dan lintas sektor terkait; dan
f. melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan Penanggulangan Kusta kepada Puskesmas.

BAB V
SUMBER DAYA

Pasal 20
Dalam rangka penyelenggaraan Penanggulangan Kusta
diperlukan dukungan:
a. sumber daya manusia;
b. sarana, prasarana, dan peralatan;
c. obat dan alat kesehatan; dan
d. pendanaan.

Pasal 21
(1) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf a merupakan tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam pelaksanaan Penanggulangan Kusta
dapat melibatkan masyarakat terlatih.

Pasal 22
Sarana, prasarana, dan peralatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf b paling sedikit meliputi:
-12-

a. fasilitas pelayanan kesehatan termasuk fasilitas


penunjang diagnosis penyakit; dan
b. peralatan pencegahan disabilitas.

Pasal 23
Obat dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf c paling sedikit meliputi obat dan bahan medis habis
pakai sesuai kebutuhan tata laksana Penderita Kusta dan
kebutuhan Penanggulangan Kusta.

Pasal 24
Pendanaan Penanggulangan Kusta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf d dapat bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan/atau sumber lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 25
(1) Peran serta masyarakat diarahkan untuk merdayakan
dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
kegiatan Penanggulangan Kusta.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. keikutsertaan sebagai kader;
b. menjadi pengawas minum obat;
c. keikutsertaan dalam kegiatan promosi kesehatan
dan deteksi dini Penderita Kusta; dan
d. partisipasi dan dukungan lainnya dalam
pelaksanaan kegiatan Penanggulangan Kusta.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk orang yang pernah mengalami Kusta.
-13-

BAB VII
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pasal 26
(1) Setiap Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain
yang memberikan layanan pengobatan Kusta wajib
melakukan pencatatan dan pelaporan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. jumlah Penderita Kusta;
b. pemantauan pengobatan;
c. hasil pengobatan;
d. reaksi Kusta;
e. tingkat disabilitas; dan
f. pemantauan setelah selesai pengobatan.
(3) Hasil pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikompilasi dan diolah untuk dilakukan pelaporan secara
berjenjang kepada dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota, dinas kesehatan daerah provinsi, dan
Kementerian Kesehatan.
(4) Hasil pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) digunakan sebagai dasar pemenuhan
kebutuhan program dan untuk penetapan status
pencapaian Eliminasi Kusta.
(5) Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengacu
pada Pedoman Penanggulangan Kusta sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN

Pasal 27
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Penanggulangan Kusta dilakukan secara berjenjang oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan
-14-

Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai kewenangan


masing-masing.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi
profesi dan masyarakat.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. mencapai target Eliminasi Kusta; dan
b. mempertahankan keberlangsungan program
Penanggulangan Kusta pasca Eliminasi Kusta.
c. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan Penanggulangan Kusta; dan
d. meningkatkan cakupan wilayah pelaksanaan
Kemoprofilaksis;
(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi;
b. pelatihan;
c. bimbingan teknis; dan
d. pemantauan dan evaluasi.

Pasal 28
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (4) huruf d dilakukan untuk mengukur
pencapaian indikator program Penanggulangan Kusta.
(2) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Pedoman
Penanggulangan Kusta sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-15-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2019

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

NILA FARID MOELOEK

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2019

DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 449


-16-

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2019
TENTANG
PENANGGULANGAN KUSTA

PEDOMAN PENANGGULANGAN KUSTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya
karena Kusta sampai saat ini masih merupakan stigma di masyarakat,
keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru
terhadap Kusta dan disabilitas yang ditimbulkannya.
Dalam program nasional Penanggulangan Kusta, dilakukan upaya
secara berkesinambungan untuk menurunkan beban Kusta. Sejak Multi
Drug Therapy (MDT) diperkenalkan 3 dekade yang lalu, masalah Kusta
turun secara signifikan, perkampungan Kusta di hampir seluruh tempat
ditutup dan Kusta bisa diobati di rumah sakit dan Puskesmas.
Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta tingkat nasional (angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun 2000, sesuai target
Eliminasi Kusta global yang diamanatkan WHA (World Health Assembly)
tahun 1991. Angka prevalensi Kusta di Indonesia telah menurun dari 5,2
per 10.000 penduduk pada tahun 1981 menjadi 0,9 per 10.000 penduduk
pada tahun 2000. Namun sejak tahun 2001 sampai sekarang, situasi
epidemiologi Kusta di Indonesia statis dengan angka penemuan Penderita
Kusta baru berada pada kisaran 17.000-20.000 Penderita Kusta baru per
tahunnya dan terjadi peningkatan tren Penderita Kusta disabilitas tingkat
2, dengan proporsi di atas 10%.
-17-

Sampai dengan tahun 2017 masih terdapat 10 (sepuluh) provinsi dan


142 (seratus empat puluh dua) kabupaten/kota yang belum mencapai
Eliminasi Kusta. Pencapaian Eliminasi Kusta pada suatu wilayah provinsi
tidak selalu berbanding lurus terhadap pencapaian Eliminasi Kusta di
kabupaten/kota pada wilayah provinsi yang telah mencapai Eliminasi
Kusta tersebut. Hal ini disebabkan masih terdapat kantong-kantong Kusta
pada kabupaten/kota di provinsi tersebut karena penularan Kusta
setempat masih tinggi dan adanya stigma terhadap Kusta. Dengan adanya
kantong-kantong Kusta pada kabupaten/kota tersebut maka pencapaian
angka prevalensi menuju Eliminasi Kusta di tingkat kabupaten/kota
masih belum dapat terwujud. Untuk itu, diperlukan kegiatan inovatif dan
penemuan Penderita Kusta secara aktif.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Penanggulangan
Kusta yang belum optimal antara lain:
1. masyarakat belum sepenuhnya mendapatkan informasi tentang
Kusta dan mempunyai asumsi bahwa Kusta tidak dapat
disembuhkan karena melihat disabilitas yang ditimbulkan.
2. kurangnya kemampuan petugas Puskesmas dalam deteksi dini dan
tata laksana Penderita Kusta.
3. manajemen MDT yang belum baik.
4. kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
Penanggulangan Kusta.
5. stigma dan diskriminasi masih tinggi.
6. besarnya masalah penanggulangan penyakit lain misalnya
Tuberkulosis dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Hal ini
berpengaruh kepada kurangnya perhatian terhadap Penanggulangan
Kusta.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan,
pengobatan serta pemulihan kesehatan termasuk rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup Orang
Yang (Pernah) Mengalami Kusta, maka penanganan menjadi lebih efektif
melalui pendekatan yang terpadu dan terintegrasi. Selain itu melalui
peningkatan kesadaran masyarakat, komitmen pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya, maka Kusta diharapkan dapat diatasi dan tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu diperlukan pedoman
dalam Penanggulangan Kusta yang dilaksanakan secara terpadu dan
menyeluruh sehingga target Eliminasi Kusta dapat tercapai.
-18-

B. Tujuan
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam menyelenggarakan
Penanggulangan Kusta dan mencapai Eliminasi Kusta tahun 2019 di
tingkat provinsi dan tahun 2024 di tingkat kabupaten/kota.

C. Sasaran
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Masyarakat antara lain Lembaga swadaya masyarakat (LSM),
organisasi Profesi, dan Orang yang Pernah Mengalami Kusta
(OYPMK).
-19-

BAB II
EPIDEMIOLOGI

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium leprae. Timbulnya Kusta merupakan suatu interaksi antara
berbagai faktor penyebab yaitu pejamu (host), kuman (agent), dan lingkungan
(environment), melalui suatu proses yang dikenal sebagai rantai penularan
yang terdiri dari 6 komponen, yaitu penyebab, sumber penularan, cara keluar
dari sumber penularan, cara penularan, cara masuk ke pejamu, dan pejamu.
Dengan mengetahui proses terjadinya infeksi atau rantai penularan
penyakit maka intervensi yang sesuai dapat dilakukan untuk memutuskan
mata rantai penularan tersebut.

A. Epidemiologi Kusta
1. Distribusi Penderita Kusta di Indonesia secara Geografi
Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan
Brazil, dengan jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017
mencapai 15.910 Penderita Kusta (angka penemuan Penderita Kusta
baru 6,07 per 100.000 penduduk). Eliminasi Kusta telah dicapai di
24 provinsi (Gambar 2.1) dan 142 Kab/Kota (Gambar 2.2). Walaupun
demikian, Penderita Kusta masih tersebar di ± 7.548
desa/kelurahan/kampung, mencakup wilayah kerja ± 1.975
Puskesmas, di ± 341 Kab/Kota di seluruh Provinsi di Indonesia.

Gambar 2.1
Capaian Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia
-20-

Gambar 2.2
Capaian Eliminasi Kusta Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia

2. Distribusi Penderita Kusta di Indonesia Menurut Waktu


Distribusi menurut waktu seperti terlihat pada tabel di bawah.
Angka prevalensi dan penemuan penderita baru Kusta cenderung
statis tiap tahunnya.

Gambar 2.3
Trend Penderita Kusta di Indonesia Tahun 2011-2018

3. Distribusi Penderita Kusta Menurut Faktor Manusia


Ada beberapa hal yang menjadi distribusi Penderita Kusta
menurut faktor manusia, antara lain:
a. Etnik atau Suku
Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya, didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi
distribusi tipe Kusta. Pada negara Myanmar kejadian Kusta
-21-

lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan


dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan
hal yang sama, kejadian Kusta lepromatosa lebih banyak pada
etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India. Data menurut
etnik/suku di Indonesia belum tersedia karena keterbatasan
studi berkaitan dengan hal tersebut.
b. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian
Kusta, dan hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan
adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian Kusta
sangat cepat menurun bahkan hilang.
c. Distribusi Menurut Usia
Pada penyakit kronis seperti Kusta, angka prevalensi
penyakit berdasarkan kelompok umur tidak menggambarkan
risiko kelompok umur tertentu untuk terkena penyakit. Kusta
diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai
usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang
terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Di Indonesia,
proporsi Penderita Kusta pada anak masih di atas 5%, yang
mengindikasikan tingginya transmisi di wilayah setempat.

Gambar 2.4
Trend Penderita Kusta pada Anak Tahun 2011-2018

d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin


Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali di
beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih
-22-

banyak terserang daripada perempuan. Di Indonesia, proporsi


Penderita Kusta laki-laki dan perempuan relatif seimbang.

B. Hal-hal yang Berkaitan Dengan Kejadian Kusta


1. Penyebab
Penyebab Kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae, untuk
pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun
1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai
afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem
retikulo endotelial. Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3
minggu. Kuman Mycobacterium leprae dari sekret nasal dapat
bertahan sampai 9 hari (dalam iklim tropis) di luar tubuh manusia.
Pertumbuhan optimal Kuman Mycobacterium leprae secara in vivo
yang dilakukan pada tikus dapat bertahan pada suhu 27 0-300 C.
Saat ini ada penemuan subspesies Mycobacterium lepromatosis yang
juga menyebabkan Kusta yang berbeda komponen genetiknya dengan
Mycobacterium leprae.
2. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap
sebagai sumber penularan di Indonesia, walaupun kuman
Mycobacterium leprae dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan
pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus
(athymic nude mouse). Di Amerika sudah ditemukan penularan dari
armadillo.
3. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Kuman Mycobacterium leprae banyak ditemukan di mukosa
hidung manusia. Pada Penderita Kusta tipe lepromatosa telah
terbukti bahwa saluran napas bagian atas merupakan sumber
kuman.
4. Cara Penularan
Kuman Mycobacterium leprae mempunyai masa inkubasi rata-
rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan
terjadi apabila Myobacterium leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh Penderita Kusta dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara
teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan Penderita Kusta. Penderita Kusta yang sudah minum obat
-23-

Multi Drugs Therapy (MDT) tidak menjadi sumber penularan kepada


orang lain.
5. Cara masuk ke dalam pejamu
Menurut teori, cara masuknya kuman Mycobacterium leprae ke
dalam tubuh adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang lama.
6. Pejamu
Manusia merupakan satu-satunya pejamu bagi kuman
Myobacterium leprae. Faktor kekebalan tubuh berperan pada
terjangkitnya Kusta, sehingga pada kondisi manusia dengan
kekebalan tubuh yang rendah akan mudah terinfeksi. Kekebalan
tubuh yang rendah antara lain dapat dipengaruhi oleh faktor
fisiologis seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi
dan malnutrisi.
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap Kusta, hanya
sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular
tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
menjadi sakit, contohnya yaitu dari 100 orang yang terpapar, 95
orang tidak menjadi sakit (kebal), 3 orang sembuh sendiri tanpa obat,
2 orang menjadi sakit dan hal ini dikaitkan dengan
memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam
salah satu dari tiga kelompok berikut ini, yaitu:
a. pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh sempurna
merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi
resisten terhadap kuman Myobacterium leprae.
b. pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi terhadap
kuman Myobacterium leprae, jika menderita Kusta biasanya
merupakan tipe Pausibasiler (PB). Pausibasiler adalah tipe Kusta
yang mempunyai sedikit kuman Myobacterium leprae.
c. pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh rendah terhadap
kuman Myobacterium leprae, jika menderita Kusta biasanya
merupakan tipe Multibasiler (MB). Multibasiler adalah tipe Kusta
yang mempunyai banyak kuman Myobacterium leprae.
-24-

C. Diagnosis Banding
Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan
kulit pada Kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan Kusta sebagai
peniru terhebat (the greatest imitator) dalam penyakit kulit. Beberapa
kelainan kulit yang mirip dengan Kusta antara lain:
1. bercak eritem berskuama: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis
seboroik, tinea korporis.
2. Bercak hipopigmentasi dengan skuama: pitiriasis versicolor, pitiriasis
alba.
3. Bercak hipopigmentasi tanpa skuama: vitiligo.
4. Papul atau nodul: neurofibromatosis, prurigo nodularis.
Diagnosis banding juga dapat dilihat dengan menggunakan skin
aplikasi mobile phone yang sudah dilengkapi dengan gambar.

D. Reaksi Kusta
Reaksi Kusta merupakan suatu episode akut pada perjalanan
penyakit yang kronis, yang dibagi dua tipe berdasarkan reaksi
imunologiknya, yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi dan
tipe 2 yang disebut sebagai reaksi ENL (Eritema Nodosum
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena disabilitas
yang ditimbulkannya. Disabilitas Kusta terjadi akibat gangguan fungsi
saraf pada mata, tangan atau kaki. Semakin lama waktu sejak saat
pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, semakin
besar risiko timbulnya kedisabilitasan akibat terjadinya kerusakan saraf
yang progresif. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi
saraf adalah reaksi Kusta. Jika reaksi mengenai saraf tepi akan
menyebabkan gangguan fungsi saraf yang akhirnya dapat menyebabkan
disabilitas.
Kerusakan saraf akibat reaksi bila terjadi kurang dari 6 bulan dan
diobati dengan cepat dan tepat, tidak akan terjadi kerusakan saraf yang
permanen. Pada disabilitas permanen, yang dapat dilakukan hanya upaya
mencegah pertambahan disabilitas dan rehabilitasi medis.
Terdapat 2 jenis disabilitas Kusta, yaitu disabilitas primer
disabilitas Disabilitas primer yaitu disebabkan langsung
Sedangkan
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan
kuman Myobacterium leprae, seperti anestesi, claw hand,dan kulit
disabilitas sekunder terjadi akibat disabilitas primer,
-25-

akib adany kerusaka sara seper ulku


da kontraktu
detek di adany reak Kust setia pemeriksaa
Penangana
Untuk reak di da tep merupaka salah upay
pencegahan disabilitas
Penderita Kustanasional
program Kusta harus dilakukan dengan
yaitu format teliti dan
Prevention menggunakan Itulah
of Dissability
sebabnya MDT harus diambil oleh Penderita Kusta sendiri, bukan oleh
orang lain. Reaksi Kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi
selama atau setelah pengobatan. Penyebab pasti
terjadinya reaksi masih belum jelas. Faktor pencetus memegang peranan
penting.

E. Tingkat Disabilitas Menurut WHO


Tabel 2.1.
Tingkat Disabilitas Kusta Menurut WHO

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada mata Tidak ada disabilitas akibat


akibat Kusta. Kusta.

1 Ada kerusakan karena Kusta Anestesi, kelemahan otot.


(anestesi pada kornea, tetapi (Tidak ada
gangguan visus tidak berat disabilitas/kerusakan
visus > 6/60: masih dapat yang kelihatan akibat Kusta).
menghitung jari dari jarak 6
meter).

2 Ada lagoftalmos, iridosiklitis, Ada disabilitas/ kerusakan


opasitas pada kornea serta yang kelihatan akibat Kusta,
gangguan visus berat (visus misalnya ulkus, jari kiting,
<6/60: tidak mampu kaki semper.
menghitung jari dari jarak 6
meter).

Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus).


Tingkat 1 : ada kelainan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos,
kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu.
-26-

BAB III
TARGET DAN STRATEGI

Melihat permasalahan Kusta yang masih ada di Indonesia dan dalam


upaya melanjutkan Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat menetapkan
target Eliminasi Kusta beserta indikator pencapaian target Eliminasi Kusta.
Untuk mewujudkan target Eliminasi Kusta tersebut juga ditetapkan strategi
Penanggulangan Kusta dan target pencapaian Eliminasi Kusta per periode
waktu secara bertahap sesuai dengan peta jalan.
A. Targ
Target Eliminasi Kusta untuk tingkat provinsi yaitu pada tahun
2019, dan untuk kabupaten/kota pada tahun 2024. Indikator pencapaian
target Eliminasi Kusta berupa angka prevalensi <1/10.000 (kurang dari
satu per sepuluh ribu) penduduk. Untuk mewujudkan target Eliminasi
Kusta dilakukan penetapan dan pelaksanaan strategi Eliminasi Kusta,
dan intensifikasi kegiatan Penanggulangan Kusta.
Setelah Eliminasi Kusta di seluruh provinsi dan kabupaten/kota
tercapai, Penaggulangan Kusta masih tetap perlu dilanjutkan dengan
tujuan menurunkan Penderita Kusta dan memutuskan transmisi Kusta.
Hal ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDG’s) 3.3
yaitu penurunan 90% jumlah orang yang membutuhkan intervensi
terhadap penyakit-penyakit AIDS, Tuberculosis, Malaria, dan penyakit
tropis terabaikan yaitu Kusta dan Filariasis. Untuk itu pada tahun 2024-
2030 dilakukan upaya untuk menurunkan angka prevalensi Kusta tingkat
nasional sampai kurang dari 0,05 per 10.000 penduduk dengan rincian
sebagai berikut:
1. Penurunan 90% Penderita Kusta baru yang membutuhkan
pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) (baseline tahun 2017 adalah
16.000 Penderita Kusta baru).
2. Tidak ada disabilitas Kusta pada Penderita Kusta anak (nol Penderita
Kusta anak dengan disabilitas di antara Penderita Kusta baru).
3. Mempertahankan angka disabilitas Kusta tingkat dua <1/1.000.000
penduduk.
4. mempertahankan angka Penderita Kusta selesai pengobatan tepat
waktu (RFT rate) > 90%.
-27-

B. Strate
1. Penguatan Advokasi dan Koordinasi Lintas Program dan
SektPermasalahan Kusta tidak dapat diselesaikan oleh sektor
kesehatan saja dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam
penyelesaiannya. Secara umum permasalahan Kusta meliputi
pelaksanaan program yang belum berkesinambungan, kurangnya
perhatian dari pemangku kepentingan dan ketersediaan sumber daya
yang belum memadai untuk pelaksanaan program di daerah.
Pelaksanaan program yang belum berkesinambungan tercermin
dari fluktuatifnya jumlah penemuan Penderita Kusta baru aktif. Hal
ini sesuai dengan fakta biologis bahwa masa inkubasi Kusta yang
panjang mengharuskan adanya kesinambungan Penanggulangan
Kusta di daerah dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu dibutuhkan komitmen dari pemangku
kepentingan melalui penguatan advokasi serta koordinasi dan kerja
sama lintas program dan lintas sektor dalam Penanggulangan Kusta
sesuai tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing. Untuk
memperoleh komitmen Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan
Kusta, dapat dilakukan melalui advokasi agar memperoleh dukungan
kebijakan. Kebijakan ini mencakup terjaminnya ketersediaan sumber
daya untuk Penanggulangan Kusta serta penghapusan stigma
terhadap orang yang sedang dan pernah mengalami Kusta beserta
keluarganya.
Kebijakan Kusta nasional perlu terus disosialisasikan ke
Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai acuan
dalam pelaksanaan program Penanggulangan Kusta di daerah.
2. Penguatan Peran Serta Masyarakat dan Organisasi
Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan mempunyai peran
penting dalam Penanggulangan Kusta. Peran masyarakat dan
organisasi kemasyarakatan yang dapat dilakukan antara lain:
a. penemuan Penderita Kusta yang dapat dilakukan melalui
penemuan Penderita Kusta secara aktif, pasif, intensif, dan
masif, berbasis keluarga atau masyarakat.
b penemuan Penderita Kusta melalui kolaborasi dengan Orang
yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), kader kesehatan, tokoh
-28-

c.

agama, tokoh masyarakat dan lintas sektor lainnya dalam


menemukan bercak pada kulit.
penyebarluasan informasi tentang Kusta untuk menghilangkan
stigma dan diskriminasi Kusta, sehingga perlu dilakukan
edukasi kepada masyarakat agar mendapatkan pemahaman
yang benar tentang Kusta.
3. Penyediaan Sumber Daya yang Mencukupi Dalam Penanggulangan
Kusta
Ketersediaan sumber daya yang memadai baik secara kuantitas
maupun kualitas sangat dibutuhkan dalam Penanggulangan Kusta.
Penyediaan sumber daya antara lain melalui peningkatan kapasitas
petugas kesehatan, pelibatan masyarakat dan Orang yang Pernah
Mengalami Kusta (OYPMK), penyediaan dana serta logistik di semua
tingkatan baik di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Beberapa daerah belum mengalokasikan dana yang memadai
untuk program Kusta karena diangggap bukan prioritas. Namun
faktanya di daerah tersebut didapati jumlah penderita baru Kusta
dan angka kecacatan yang tinggi, yang membutuhkan intervensi
kegiatan promotif dan preventif yang adekuat. Selain itu tingginya
mutasi tenaga kesehatan terlatih Kusta dan masih kurangnya
pelatihan teknis Kusta yang diselenggarakan oleh daerah
menimbulkan masalah dalam kontinuitas pelaksanaan program.
Untuk itu dukungan Pemerintah Daerah dalam program Kusta
sangat dibutuhkan terutama dalam era desentralisasi ini, untuk
memastikan kesinambungan kegiatan dan pelayanan program di
daerah. Dukungan yang diharapkan terutama dalam ketersediaan
dana dan sumber daya manusia yakni tenaga kesehatan dan
masyarakat terlatih.
4. Penguatan Sistem Surveilans Kesehatan serta Pemantauan
Surveilans
Evaluasi KegiatanKusta merupakan
Penanggulangan kegiatan penting untuk
memperoleh data epidemiologi yang diperlukan dalam sistim
informasi program Penanggulangan Kusta. Surveilans Kusta
dilakukan pada kelompok orang yang sedang dalam pengobatan
Kusta maupun kelompok masyarakat di wilayah setempat sebagai
kelompok yang memiliki resiko penularan Kusta.
-29-

Fasilitas pelayanan kesehatan milik masyarakat/swasta


diharapkan berkontribusi dalam pelaksanaan Surveilans penemuan
Penderita Kusta melalui koordinasi dengan Puskesmas setempat.
Melalui Surveilans Kusta yang baik maka pencapaian maupun
kendala dalam menuju Eliminasi Kusta dapat diantisipasi dan diatasi
dengan tanggap.
-30-

BAB IV
KEGIATAN PENANGGULANGAN

A. Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya kepada
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri. Promosi kesehatan dilakukan
melalui sinergisitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, organisasi
kemasyarakatan, swasta/dunia usaha, dan masyarakat yang telah
diberikan pengetahuan mengenai Kusta antara lain kader, tokoh
masyarakat, serta Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
Sasaran promosi kesehatan dalam kegiatan Penanggulangan Kusta

yaitu Penderita Kusta, keluarga, masyarakat termasuk tokoh


Promosi Kesehatan dilaksanakan dalam bentuk:
tokoh agama, tokoh adat, tokoh publik,organisasi kemasyarakatan,
1. memberikan informasi tentang tanda dan gejala dini Kusta, serta
kader, tenaga kesehatan, penentu kebijakan
Kusta.dan pemangku
teknis kegiatan Penanggulangan Informasi tersebut dapat
berupa pedoman, petunjuk teknis, leaflet, poster, lembar balik,
spanduk, banner, penyuluhan, dan lain-lain.
2. mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat untuk
penghapusan stigma dan menghilangkan diskriminasi pada Penderita
Kusta dan orang yang pernah mengalami Kusta, melalui kampanye,
iklan layanan masyarakat, film pendek, pertunjukkan tradisional,
dan lain-lain.
3. mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh
dukungan kebijakan Penanggulangan Kusta, khususnya
penghapusan stigma dan diskriminasi, serta pembiayaan, yang dapat
dilakukan melalui peraturan perundang-perundangan, advokasi,
seminar, dan lain-lain.
4. membantu individu, keluarga, dan masyarakat untuk berperan aktif
dalam penemuan dan tata laksana Penderita Kusta, pelaksanaan
Kemoprofilaksis, dan kegiatan penelitian dan pengembangan.
-31-

B. Surveilans Kusta
Surveilans Kusta dilaksanakan baik pada daerah yang belum
mencapai Eliminasi Kusta maupun daerah yang telah mencapai Eliminasi
Kusta untuk mempertahankan status Eliminasi Kusta.

Sasaran Surveilans Kusta dalam kegiatan Penanggulangan


sebagai
Kegiatan
1 Surveilans
kelompok orangKusta
yangdilaksanakan
sedang dalammelalui:
pengobatan
1.
2. kelompok
Pengumpulanmasyarakat di wilayah setempat sebagai kelompok
Pengumpulan
memiliki data dilakukan dalam bentuk penemuan
resiko penularan
3 Penderita Kusta yang
kelompok orang secara
telahaktif dan pasif. pengobatan
menyelesaikan Penemuan secara aktif
4 dilakukan
kelompokoleh tenaga
orang yang kesehatan dan masyarakat
diduga mengalami melalui:
resistensi obat
a.
Kust Pemeriksaan kontak
Pemeriksaan kontak pada Penderita Kusta baru dan pasca RFT
dilakukan sekali setahun selama 5 tahun. Pemeriksaan ini
dilakukan pada kontak serumah, tetangga dan kontak sosial.
Kontak serumah adalah mereka yang tinggal dalam satu rumah,
kontak tetangga adalah mereka yang tinggal kira-kira 10 rumah
sekitar Penderita Kusta, sementara kontak sosial adalah teman
sekolah atau rekan sekerja yang bergaul dengan Penderita Kusta
minimal 20 jam per minggu.
b. Rapid Village Survey, intensifikasi penemuan Penderita Kusta
tingkat kabupaten/kota, dan pemeriksaan anak sekolah
Rapid Village Survey (RVS) yang selanjutnya disebut dengan
pemeriksaan cepat desa dilakukan di desa yang memiliki kasus
atau riwayat kasus Kusta. Pemeriksaan dilakukan untuk
mencari suspek minimum 10% dari populasi desa tersebut.
Apabila distribusi Penderita Kusta di suatu wilayah
kabupaten/kota cukup luas dan masih terus ditemukan kasus
dalam waktu 2-5 tahun terakhir, maka dilakukan intensifikasi
penemuan Penderita Kusta. Target pemeriksaan Kusta minimal
80% dari total penduduk.
-32-

Pemeriksaan anak sekolah diintegrasikan dengan pelaksanaan


penjaringan kesehatan anak sekolah. Kegiatan ini lebih
diintensifkan pada wilayah yang memiliki kasus Kusta pada
anak kurang dari 15 tahun.
c. Kegiatan partisipasi masyarakat dalam Penanggulangan Kusta
melalui Desa Sahabat Kusta, Cinta Keluarga, Kelompok Sobat
Kusta yang berbasis masyarakat.
Kegiatan tersebut berfokus pada partisipasi kelompok potensial
lokal dalam mengedukasi pengenalan tanda dini Kusta kepada
masyarakat di sekitarnya dan memotivasi suspek untuk
memeriksakan diri ke Puskesmas.
Penemuan secara pasif adalah pengumpulan data berdasarkan
kedatangan Penderita Kusta ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya
atas kemauan sendiri karena mengenali tanda Kusta atau datang
untuk konsultasi permasalahan kesehatan lainnya.
Pengumpulan data pencegahan disabilitas dilakukan pada
Penderita Kusta yang sedang dalam pengobatan dan setelah selesai
pengobatan. Penderita Kusta yang sedang dalam pengobatan diamati
keteraturan berobat, fungsi saraf, dan adanya reaksi setiap bulan.
Penderita Kusta yang telah menyelesaikan pengobatan diamati fungsi
saraf dan adanya reaksi selama selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5
tahun untuk tipe MB.
Pengumpulan data juga dilakukan pada kelompok yang diduga
mengalami resistensi obat anti mikrobial Kusta, yaitu Penderita
Kusta baru dan Penderita Kusta yang mendapatkan pengobatan
kembali.
2. Pengolahan Data
Data dari fasilitas pelayanan kesehatan, masyarakat, dan
sumber data lainnya diolah dan selanjutnya divalidasi secara berkala.
Data harus memenuhi standar yaitu lengkap, tepat waktu dan
akurat, serta sesuai dengan indikator program. Pengolahan data
dilakukan melalui Sistem Informasi Pencatatan dan Pelaporan Kusta
ke dalam bentuk tabel, grafik, dan peta.
3. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan/atau analitik
menurut orang, tempat, dan waktu. Analisis berupa angka
prevalensi, angka penemuan kasus baru, proporsi kasus anak di
-33-

antara kasus baru, proporsi kasus MB di antara kasus baru, proporsi


kasus perempuan di antara kasus baru, proporsi kasus cacat tingkat
2 di antara kasus baru, proporsi penemuan kasus Kusta baru tanpa
cacat, angka cacat tingkat 2, proporsi cakupan pemeriksaan kontak.
4. Diseminasi Informasi
Hasil analisis dibuat dalam bentuk laporan dan/atau presentasi.
Laporan tersebut dikirimkan oleh unit penanggungjawab kepada
jenjang struktural yang lebih tinggi dan memberi umpan balik.
Diseminasi informasi juga ditujukan kepada seluruh stakeholder
yang terkait, yaitu jajaran kesehatan, LSM, profesi, perguruan tinggi,
dan masyarakat. Informasi akan menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan
BTA pencegahan pengendalian Kusta dan
evaluasi program.

Tanda Utama

BERCA

Tanda Utama

Ragu

Ada Gambar 4.1. Tidak Ada


Bukan Kusta

Kusta
Tersangka

Jumlah Bercak Kusta Penebalan saraf dan gangguan fungsi


BTA Observasi 3-6 bulan
Atau

Bercak 1-5 Bercak >5


Saraf 1 BTA (-) Saraf 1 BTA (-)
Ada Tidak Ada Ragu
Rujuk

PB MB
Alur Penemuan Dini Penderita Kusta
-34-

Alur Penemuan Dini Penderita Kusta tersebut di atas dapat


dijelaskan sebagai berikut:
1. Penemuan Penderita Kusta diawali dengan pemeriksaan bercak
kulit yang dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya pemeriksaan
bercak kulit akan dikonfirmasi oleh tenaga kesehatan terlatih
untuk mencari tanda utama Kusta, yaitu bercak kulit mati rasa,
penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi yang diperoleh
dari pemeriksaan klinis, dan Basil Tahan Asam (BTA) positif
pada kerokan kulit pada bercak yang diperoleh dari pemeriksaan
laboratorium.
2. Jika ditemukan salah satu saja dari tanda utama maka diagnosa
Kusta dapat ditegakkan. Selanjutnya klasifikasi Kusta
ditentukan berdasarkan jumlah bercak Kusta, jumlah saraf tepi
yang menebal dan disertai gangguan fungsi dan hasil
pemeriksaan BTA.
3. Jika bercak Kusta berjumlah 1-5, penebalan saraf tepi dan
disertai gangguan fungsi hanya satu saraf serta BTA negatif
pada kerokan kulit, maka klasifikasinya adalah Pausibasiler
(PB).
4. Jika jumlah bercak Kusta lebih dari 5, penebalan saraf tepi dan
disertai gangguan fungsi lebih dari satu saraf serta BTA positif
pada kerokan kulit, maka klasifikasinya adalah Multibasiler
(MB).
5. Selanjutnya Penderita Kusta diberikan pengobatan sesuai
klasifikasi Kusta.
6. Jika dari pemeriksaan klinis, belum ditemukan tanda utama,
namun ada bercak kulit yang mencurigakan, riwayat menetap di
wilayah dengan riwayat Penderita Kusta, riwayat kontak erat
dan lama dengan orang yang mengalami Kusta, maka orang
tersebut dinyatakan sebagai tersangka/suspek Kusta. Pada
tersangka/suspek Kusta dilakukan pemeriksaan kerokan
jaringan kulit oleh tenaga kesehatan Puskesmas. Jika tenaga
kesehatan Puskesmas tidak ada, maka suspek diberikan edukasi
tentang keadaannya dan lakukan observasi 3-6 bulan untuk
kemudian diperiksa kembali. Selanjutnya apabila selama
observasi 3-6 bulan ditemukan tanda utama pada
-35-

tersangka/suspek Kusta, maka diagnosa Kusta dapat


ditegakkan dan diberikan pengobatan sesuai klasifikasi.
7. Untuk tersangka yang tetap menunjukkan tanda meragukan
maka dianjurkan untuk dirujuk ke layanan spesialistik.
8. Jika dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan tanda utama dan
tanda mencurigakan, serta tidak ada riwayat menetap di wilayah
dengan Penderita Kusta ataupun riwayat kontak lama dengan
orang yang mengalami Kusta maka orang tersebut dapat
langsung dinyatakan bukan Kusta.

C. Kemoprofilaksis Kusta
Kemoprofilaksis Kusta adalah pemberian obat yang ditujukan untuk
pencegahan Kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada daerah yang
memiliki Penderita Kusta yang tinggi, atau berdasarkan hasil Surveilans
di daerah yang memiliki Penderita Kusta yang rendah pada situasi
khusus. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada penduduk yang
memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
1. penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah
yang memiliki Penderita Kusta;
2. berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
3. tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir;
4. tidak sedang dirawat di rumah sakit;
5. tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
6. bukan suspek tuberkulosis;
7. bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta;
8. bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
Pemberian Kemoprofilaksis Kusta dilaksanakan 1 (satu) kali dan
dapat diulang kembali setelah 2 (dua) tahun dari pemberian sebelumnya
apabila di antara kontak serumah/kontak tetangga/kontak sosial
ditemukan lagi Penderita Kusta baru. Kemoprofilaksis Kusta yang
diberikan oleh petugas kesehatan wajib diminum langsung di depan
petugas pada saat diberikan. Penentuan sasaran penduduk yang akan
diberikan Kemoprofilaksis Kusta sesuai dengan metode yang ditentukan
oleh Pemerintah Daerah setempat. Adapun pemilihan metode pelaksanaan
Kemoprofilaksis Kusta disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah
sasaran. Pelaksanaan Kemoprofilaksis Kusta sebagai berikut:
-36-

1. Persiapan Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data Epidemiologi dan Identifikasi Karakteristik
Masyarakat
Sebelum mengambil keputusan untuk melaksanakan
Kemoprofilaksis Kusta, pengelola program harus mengetahui
dengan jelas mengenai data epidemiologi Kusta di daerahnya.
Hal ini penting untuk digunakan sebagai dasar menentukan
pendekatan pelaksanaan Kemoprofilaksis Kusta yang sesuai dan
cakupan kontak/penduduk yang akan diberi Kemoprofilaksis
Kusta. Data epidemiologi yang harus diketahui adalah sebagai
berikut:
1) jumlah penduduk berdasarkan golongan umur
2) jumlah kepala keluarga
3) jumlah kontak
4) jumlah tenaga kesehatan dan kader
5) pemetaan lokasi dengan Penderita Kusta (desa, Puskesmas)
6) jumlah Penderita Kusta baru
7) angka prevalensi (PR)
8) angka penemuan Penderita Kusta baru (CDR)
9) proporsi cacat tingkat 2 di antara Penderita Kusta baru
Selain data epidemiologi, harus diketahui juga data dan
informasi tentang situasi masyarakat (kearifan lokal, budaya
dan adat istiadat) di lokasi sasaran, terutama yang terkait
dengan stigma dan diskriminasi terhadap Orang yang Pernah
Mengalami Kusta (OYPMK).
b. Pemilihan Metode Pendekatan dalam Pelaksanaan Kegiatan
Pemberian Kemoprofilaksis Kusta
1) Pendekatan Blanket
Kegiatan Kemoprofilaksis Kusta dengan pendekatan
blanket adalah kegiatan Kemoprofilaksis Kusta dengan
sasaran seluruh penduduk di suatu daerah. Metode ini
membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar, oleh
karenanya pendekatan ini sangat disarankan pada daerah–
daerah dengan kriteria:
a) daerah dengan beban tinggi yang memiliki angka
penemuan Penderita Kusta baru >5 per 100.000
penduduk.
-37-

b) daerah terisolir dengan akses terbatas/sulit (DTPK,


daerah tertinggal).
c) daerah dengan pelayanan kesehatan (terutama Kusta)
yang tidak memadai/rutin.
Keuntungan menggunakan pendekatan blanket yaitu
Kemoprofilaksis Kusta hanya dilakukan 1 (satu) kali saja
pada seluruh penduduk sehingga mendapatkan intervensi
yang sama dan lebih termotivasi untuk meminum obat
Kemoprofilaksis Kusta.
2) Pendekatan Partisipasi Masyarakat
Kegiatan Kemoprofilaksis Kusta dengan pendekatan
partisipasi masyarakat melibatkan anggota keluarga,
petugas kesehatan di desa, tokoh masyarakat/agama, kader
kesehatan dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang
berada di lokasi tempat tinggal Penderita Kusta.
Melalui pemberdayaan masyarakat, khususnya anggota
keluarga dapat melakukan pemeriksaan diri (self screening)
secara dini berdasarkan informasi yang tercantum dalam
alat bantu format pemeriksaan Kusta (self screening
format/SSF).
Masyarakat diberi waktu untuk melihat format serta
melakukan pemeriksaan diri dan melaporkan saat petugas
datang berkunjung untuk tindak lanjut pada waktu yang
telah ditentukan.
Kriteria daerah yang perlu melakukan pendekatan
partisipasi masyarakat adalah :
a) daerah beban tinggi yang memiliki Penderita Kusta
baru >5 per 100.000 penduduk atau >30 Penderita
Kusta baru per tahun selama 3 tahun berturut-turut.
b) Tersedia tenaga kader kesehatan aktif yang memadai.
Keuntungan Kemoprofilaksis Kusta
dengan pendekatan partisipasi
masyarakat yaitu dapat meningkatkan diseminasi informasi
Kusta dan meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko
penularan Kusta. Selain itu, beban kerja petugas dalam
melakukan pemeriksaan Kusta relatif lebih ringan.
-38-

Kelemahan pendekatan ini yaitu masyarakat tidak


akurat dalam memberikan informasi dan mengenali gejala
dini Kusta sehingga Kemoprofilaksis Kusta tidak tepat
sasaran.
3) Pendekatan Kontak
Setiap kontak Penderita Kusta diharapkan bisa
mendapatkan Kemoprofilaksis Kusta. Kegiatan
Kemoprofilaksis Kusta ini dengan sasaran meliputi seluruh
kontak (kontak serumah, tetangga, dan sosial) dari
Penderita Kusta baru. Daerah yang tidak termasuk dalam
kriteria daerah yang dapat melakukan Kemoprofilaksis
Kusta dengan pendekatan blanket ataupun pendekatan
partisipasi masyarakat dapat melakukan Kemoprofilaksis
Kusta dengan pendekatan kontak.
Keuntungan Kemoprofilaksis Kusta
dengan pendekatan kontak yaitu
dapat menjadi stimulan bagi petugas dan masyarakat
sehingga cakupan pemeriksaan kontak dapat meningkat.
Kelemahan pendekatan ini adalah kerahasiaan, dimana
identitas index case dan Penderita Kusta baru yang terjaring
pada saat kegiatan ini lebih mudah diketahui oleh
masyarakat sekitar. Selain itu beban kerja petugas lebih
berat karena rata-rata jumlah kontak yang harus diperiksa
sebanyak 20 orang.

2. Waktu Pelaksanaan
Guna mempermudah monitoring terhadap pelaksanaan
Kemoprofilaksis Kusta dibutuhkan rencana kerja yang dituangkan
dalam tabel waktu. Rencana kerja tersebut tertuang dalam Rencana
Usulan Kegiatan (RUK) dan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)
Puskesmas.
-39-

Tabel. 4.1
Tabel Waktu Pelaksanaan

Rencana waktu pelaksanaan kegiatan

November
September
Kegiatan

Desember
Februari

Oktober
Januari

Agustus
Maret
April

Juni
Juli
Mei
Perencanaan
1. Persiapan
2. Sosialisasi, advokasi
3. Pelatihan / on the job training
4. Pembuatan daftar sasaran
5. Pembuatan peta sasaran
6. Pelaksanaan :
a. Pembagian SSF (motede
parsipatory)
b. Penyuluhan
c. Pemeriksaan kontak
d. Kemoprofilaksis Kusta
7. Monitoring
8. Pelaporan tw 1
9. Pelaporan tw 2
10. Pelaporan tw 3
11. Pelaporan tw 4
12. Evaluasi tahunan

3. Prosedur Pelaksanaan
Berikut adalah prosedur pelaksanaan Kemoprofilaksis Kusta
dengan berbagai pendekatan:
a. Pendekatan Blanket
Tahapan pelaksanaan kegiatan Kemoprofilaksis Kusta dengan
pendekatan blanket sebagai berikut:
1) Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pemangku
kepentingan atau kepada para pengambil kebijakan
-40-

(Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa/Lurah)


setempat.
2) Mempersiapkan daftar penduduk berdasarkan gologan
umur dan alamat kemudian melakukan pemetaan
berdasarkan data tersebut.
3) Melakukan kegiatan Kemoprofilaksis Kusta ke lokasi sesuai
dengan hasil pemetaan.
4) Penyuluhan yang berisi tentang:
a) informasi tentang Kusta
b) Informasi tentang pentingnya kegiatan Kemoprofilaksis
Kusta
c) Informasi tentang Rifampisin dan efek sampingnya
d) Informasikan tentang kriteria eksklusi
e) Informed consent pemberian Kemoprofilaksis Kusta
f) Pemberian Kemoprofilaksis Kusta di depan petugas
5) Apabila ditemukan suspek Kusta dan/atau TB maka
dilakukan konfirmasi diagnosis pada petugas program yang
bersangkutan.
6) Apabila ditemukan suspek Kusta dan/atau TB maka
dilakukan konfirmasi diagnosis oleh tenaga kesehatan
Puskesmas terlatih yang bersangkutan.
7) Apabila pada waktu pelaksanan kegiatan ada penduduk
yang tidak ada di tempat maka petugas kesehatan
berkewajiban untuk mengunjungi rumah untuk
memberikan kemoprofilaksis paling lambat 1 bulan sejak
pelaksanaan kegiatan.
-41-

Gambar 4.2
Alur Pelaksanaan Kegiatan Kemoprofilaksis Kusta
dengan Pendekatan Blanket
-42-

b. Pendekatan Partisipasi Masyarakat


Tahapan pelaksanaan kegiatan Kemoprofilaksis Kusta
dengan pendekatan partisipasi masyarakat sebagai berikut:
1) Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pemangku
kepentingan atau kepada para pengambil kebijakan
(Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa/Lurah)
setempat.
2) Daftar nama Penderita Kusta baru lengkap dengan
alamatnya.
3) Mempersiapkan daftar penduduk berdasarkan golongan
umur, jumlah KK dan alamat yang kontak.
4) Petugas Kusta di Puskesmas bersama-sama Penderita
Kusta membuat peta sasaran secara sederhana.
5) Petugas Kusta mendelegasikan pembagian self screening
format kepada kader kesehatan/bidan desa.
6) Dalam waktu 7 (tujuh) hari kemudian atau sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan, petugas Kusta serta petugas
kesehatan lainnya dan kader kesehatan desa melakukan
kunjungan ke lokasi.
7) Penyuluhan yang berisi tentang :
a) informasi tentang Kusta
b) Informasi tentang pentingnya kegiatan Kemoprofilaksis
Kusta
c) Informasi tentang Rifampisin dan efek sampingnya
d) Informasikan tentang kriteria eksklusi
e) Informed consent pemberian Kemoprofilaksis Kusta
f) Pemberian Kemoprofilaksis Kusta di depan petugas
8) Apabila ditemukan suspek Kusta dan/atau TB maka
dilakukan konfirmasi diagnosis pada petugas program yang
bersangkutan.
9) Apabila ditemukan suspek Kusta dan/atau TB maka
dilakukan konfirmasi diagnosis oleh tenaga kesehatan
Puskesmas terlatih yang bersangkutan.
10) Apabila pada waktu pelaksanan kegiatan ada penduduk
yang tidak ada di tempat maka petugas kesehatan
berkewajiban untuk mengunjungi rumah untuk
-43-

memberikan Kemoprofilaksis Kusta paling lambat 1 bulan


sejak pelaksanaan kegiatan.

Gambar 4.3
Alur Pelaksanaan Kegiatan Kemoprofilaksis Kusta
dengan Pendekatan Partisipasi Masyarakat
-44-

c. Pendekatan Kontak
1) Tahapan pelaksanaan kegiatan Kemoprofilaksis Kusta
dengan pendekatan kontak sebagai berikut:
2) Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pemangku
kepentingan atau kepada para pengambil kebijakan
(Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa/Lurah)
setempat.
3) Mempersiapkan daftar Penderita Kusta indeks (Penderita
Kusta baru) beserta kontaknya dan alamat kemudian
melakukan pemetaan berdasarkan data tersebut.
4) Melakukan kunjungan ke lokasi sesuai dengan hasil
pemetaan.
5) Penyuluhan yang berisi tentang:
a) informasi tentang Kusta
b) Informasi tentang pentingnya kegiatan Kemoprofilaksis
Kusta
c) Informasi tentang Rifampisin dan efek sampingnya
d) Informasikan tentang kriteria eksklusi
e) Informed consent pemberian Kemoprofilaksis Kusta
f) Pemberian Kemoprofilaksis Kusta di depan petugas
6) Apabila ditemukan suspek Kusta dan/atau TB maka
dilakukan konfirmasi diagnosis kepada tenaga kesehatan
yang berkompeten.
7) Apabila pada waktu pelaksanan kegiatan ada penduduk
yang tidak ada di tempat maka petugas kesehatan
berkewajiban untuk mengunjungi rumah untuk
memberikan Kemoprofilaksis paling lambat 1 bulan sejak
pelaksanaan kegiatan.
-45-

Gambar 4.4
Alur Pelaksanaan Kegiatan Kemoprofilaksis Kusta
dengan Pendekatan Kontak
-46-

Gambar 4.5
Contoh Pemetaan Sasaran Pemberian Kemoprofilaksis Kusta

Gambar 4.5 memperlihatkan contoh pemetaan sasaran


Kemoprofilaksis Kusta. Pemetaan ini memperlihatkan legenda
sederhana (sungai, jalan desa, dan lain-lain), gambaran posisi
rumah Penderita Kusta, rumah kontak Penderita Kusta, rumah
bukan kontak. Pemetaan saat penting sebagai dokumen untuk
melaksanakan dan menindaklanjuti kegiatan Kemoprofilaksis
Kusta yang dilakukan.

D. Tata Laksana Penderita Kusta


Tata laksana Penderita Kusta dilaksanakan melalui kegiatan
diagnosis, pengobatan Kusta, dan pencegahan disabilitas di Puskesmas
dan layanan rujukan. Rujukan dilakukan bagi Penderita Kusta yang
menimbulkan komplikasi dan/atau membutuhkan penanganan lebih
lanjut. Tata laksana Penderita Kusta dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tata
laksana Penderita Kusta dilakukan melalui kegiatan:
-47-

1. Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis Kusta, perlu dicari tanda-tanda
utama
(cardinal yaitu:
a.
kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi
eritema yang mati rasa
b. penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi
akibat peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis.
c. fungsi saraf ini dapat
adanya
1 Basil Tahanfungsi
gangguan Asamsensoris:
(BTA) di dalam kerokan jaringan
(slit skin
2 gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
Diagnosis Kusta apabila terdapat satu dari tanda-
3 gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis
tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar Penderita Kusta
terdapat
dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis dan/atau pemeriksaan
bakteriologis dan penunjang lain. Jika masih ragu maka dianggap
sebagai Penderita Kusta yang dicurigai (suspek/tersangka).
a. Tanda-Tanda Suspek/Tersangka Kusta
1) Tanda-Tanda Pada Kulit
a) bercak kulit yang eritema atau hipopigmentasi
(gambaran yang paling sering ditemukan), datar atau
menimbul, dapat disertai dengan tidak gatal dan
mengkilap atau kering bersisik.
b) adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat
(anhidrosis) dan atau alis mata tidak berambut
(madarosis).
c) bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping
telinga.
d) timbul lepuh atau luka tanpa rasa nyeri pada tangan
dan kaki.
2) Tanda-tanda pada saraf
a) nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf.
b) rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada
anggota gerak.
c) kelemahan anggota gerak dan/atau kelopak mata.
-48-

d) adanya disabilitas (deformitas).


e) luka (ulkus) yang sulit sembuh.

b. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang teliti dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosa Kusta. Pemeriksaan tersebut meliputi:
a. anamnesis, termasuk riwayat
b. pemeriksaan
1) pemeriksaan
pemeriksaan kulit/dermatologis merupakan
pemeriksaan bercak putih mati rasa atau merah pada
kulit.
2) pemeriksaan saraf
pemeriksaan saraf tepi adalah pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara meraba saraf tepi antara lain
saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis
posterior. Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara
sistematis pada mata, tangan dan kaki.

Tabel 4.1
Fungsi Normal Beberapa Saraf Tepi

SARAF FUNGSI

MOTORIK SENSORIK OTONOM

Auricularis Mempersarafi area Mempersarafi


magnus belakang kelenjar
Telinga keringat,
kelenjar minyak
dan pembuluh
darah

Facialis Mempersarafi
kelopak mata agar
bisa menutup

Ulnaris Mempersarafi jari Rasa raba telapak


manis dan jari tangan: jari
-49-

SARAF FUNGSI

MOTORIK SENSORIK OTONOM

kelingking kelingking dan


separuh jari manis

Medianus Mempersarafi ibu Rasa raba telapak


jari, telunjuk dan tangan bagian ibu
jari tengah jari, telunjuk, jari
tengah, separuh
jari manis

Radialis Kekuatan
pergelangan
tangan

Peroneus Kekuatan
Communis pergelangan kaki

Tibialis Posterior Mempersarafi jari Rasa raba telapak


kaki kaki

c. Pemeriksaan Bakteriologis dan Penunjang Lain


Pemeriksaan bakteriologis dilakukan melalui kerokan
jaringan kulit (skin smear) yaitu pemeriksaan sediaan yang
diperoleh melalui sayatan dan kerokan jaringan kulit yang
kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat
Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini membutuhkan sarana
laboratorium dan tenaga kesehatan dengan keterampilan
khusus. Apabila sarana dan tenaga kesehatan dengan
keterampilan khusus tersebut tidak tersedia maka dapat
dilakukan observasi selama 3-6 bulan.
Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan di rumah
sakit rujukan yang memiliki fasilitas terkait. Pemeriksan
tersebut antara lain histopatologi, serologis, Polimerase Chain
Reaction (PCR).
Dalam klasifikasi Kusta sesuai dengan kriteria WHO dapat
dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe
Multibasiler (MB). Sebagai dasar penentuan dari klasifikasi ini
-50-

yaitu gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui


pemeriksaan kerokan jaringan kulit.

Tabel 4.2
Tanda-Tanda Kusta Pada Tipe Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB)

TANDA PB MB

Lesi kulit (berbentuk Jumlah lesi 1 – 5 Jumlah lesi > 5


bercak datar, papul atau □ Hipopigmentasi atau □ Distribusi lebih
nodus) eritema simetris
□ Distribusi asimetris □ Mati/kurang rasa
□ Mati/kurang rasa tidak jelas
jelas

Kerusakan saraf Hanya satu saraf Lebih dari 1 saraf


(ditemukan adanya
mati/kurang rasa, dan
atau kelemahan otot yang
dipersarafi saraf yang
terkena)

Hasil pemeriksaan slit skin Negatif Positif


smear BTA

2. Pengobatan Secara Umum


Pengobatan Kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe
PB maupun MB. MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat anti
Kusta, salah satunya Rifampisin sebagai anti Kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat anti Kusta lain bersifat
bakteriostatik. MDT tersedia dalam bentuk 4 macam blister MDT
sesuai dengan kelompok umur (PB dewasa, MB dewasa, PB anak dan
MB anak). Tata cara minum MDT adalah dosis hari pertama pada
setiap blister MDT diminum di depan petugas saat Penderita Kusta
datang atau bertemu Penderita Kusta, selanjutnya diminum di rumah
dengan pengawasan keluarga. Pengobatan Kusta dengan MDT
bertujuan untuk:
a. memutuskan mata rantai penularan
b. mencegah resistensi obat
-51-

c. meningkatkan keteraturan berobat


d. mencegah terjadinya disabilitas atau mencegah bertambahnya
disabilitas yang sudah ada sebelum pengobatan
Dengan matinya kuman, maka sumber penularan dari Penderita
Kusta, terutama tipe MB ke orang lain terputus. Disabilitas yang
sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan
MDT. Bila Penderita Kusta tidak minum obat secara teratur, maka
kuman Kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga
gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru dapat
timbul pada kulit dan saraf. Kelompok orang yang membutuhkan
MDT meliputi:
a. Penderita Kusta yang baru didiagnosa Kusta dan belum pernah
mendapat MDT.
b. Penderita Kusta ulangan yaitu Penderita Kusta yang mengalami
hal-hal di bawah ini:
1) relaps
2) masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
3) pindah berobat (pindah masuk)
4) ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut:
a. Penderita Kusta Tipe Pausibasiler (PB)
Pengobatan Tipe PB diberikan dosis berdasarkan golongan umur
sesuai tabel di bawah. Pemberian satu blister untuk 28 hari
sehingga dibutuhkan 6 blister yang dapat diminum selama 6–9
bulan.

Blister PB dewasa Blister PB anak


-52-

Tabel 4.3
Pemberian MDT Tipe PB Berdasarkan Golongan Umur

USIA USIA 5-9 USIA USIA


JENIS OBAT KETERANGAN
< 5 TH TH 10-15 TH > 15 TH

300 450 600 mg/bln Minum di


Rifampisin
mg/bln mg/bln depan petugas
Berdasar
25 50 100 mg/bln Minum di
kan berat
mg/bln mg/bln depan petugas
Dapson badan*
25 50 100 Minum di
mg/hari mg/hari mg/hari rumah

*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:


a. Rifampisin : bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson : bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB

b. Penderita Kusta Tipe Multibasiler (MB)


Pengobatan Tipe MB diberikan dosis berdasarkan golongan
umur sesuai tabel di bawah. Pemberian satu blister untuk 28
hari sehingga dibutuhkan 12 blister yang dapat diminum selama
12-18 bulan.

Blister MB dewasa Blister MB anak

Tabel 4.4
Pemberian MDT tipe MB berdasarkan golongan umur.

JENIS < 5 TH 5-9 TH 10-15 TH >15 TH KETERANGAN


OBAT

Berdasar 300mg/bln 450 600mg/bln Minum di


Rifampisin
-kan mg/bln depan petugas
-53-

JENIS < 5 TH 5-9 TH 10-15 TH >15 TH KETERANGAN


OBAT

berat 25mg/bln 50mg/bln 100mg/bln Minum di


badan* depan petugas
Dapson
25mg/bln 50mg/bln 100mg/bln Minum di
rumah

100mg/bln 150mg/bln 300mg/bln Minum di


depan petugas

Klofazimin 50 mg 2x 50 mg 50 mg per Minum di


seminggu setiap 2 hari rumah
hari

*Dosis anak dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan:


a. Rifampisin : bulanan 10 – 15 mg/kgBB
b. Dapson : bulanan atau harian 1 – 2 mg/kgBB
c. Klofazimin : bulanan : 6 mg/kgBB, harian : 1 mg/kgBB

Efek Samping MDT dan Penanganannya


Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya secara ringkas
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.5
Efek Samping Obat MDT dan Penanganannya

MASALAH NAMA OBAT PENANGANAN

Ringan :

Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (menenangkan


merah Penderita Kusta dengan
penjelasan yang benar),
konseling

Perubahan warna kulit Klofazimin Konseling


menjadi coklat

Masalah gastro Semua obat (3 Obat diminum bersama dengan


intestinal obat dalam MDT) makanan atau setelah makan
-54-

MASALAH NAMA OBAT PENANGANAN

Anemia Hemolitik Dapson Hentikan Dapson

Serius :

Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan Dapson, Rujuk

Alergi Urtikaria Dapson atau Hentikan keduanya, Rujuk


Rifampisin

Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk

Shock, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin, Rujuk


ginjal

3. Pengobatan pada Penderita Kusta dengan Keadaan Khusus


a. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu
hamil/menyusui dan anaknya
b. Tuberkulosis: bila seseorang menderita Tuberkulosis (TB) dan
Kusta, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat
diberikan bersamaan, dengan dosis Rifampisin sesuai dosis
untuk Tuberkulosis:
1) untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe PB untuk
pengobatan Kusta cukup ditambahkan Dapson 100 mg,
karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama
pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan
PB.
2) untuk penderita TB yang menderita Kusta tipe MB
Pengobatan Kusta cukup dengan Dapson dan Klofazimin
karena Rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama
pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu
pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka
pengobatan Kusta kembali sesuai blister MDT
c. Untuk Penderita Kusta PB yang alergi terhadap Dapson, Dapson
dapat diganti dengan Klofazimin.
d. Untuk Penderita Kusta MB yang alergi terhadap dapson,
pengobatan hanya dengan dua macam obat saja, yaitu
-55-

Rifampisin dan Klofazimin sesuai dosis dan jangka waktu


pengobatan MB.
e. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Dapson (contoh
Sindrom Dapson/SD)
Setelah SD reda, terapi MDT tanpa Dapson dapat dilanjutkan.
Penderita Kusta MB melanjutkan terapi dengan Rifampisin dan
Klofazimin saja sampai memenuhi regimen 12 bulan. Penderita
Kusta PB melanjutkan terapi dengan Rifampisin dan Klofazimin
(sebagai pengganti Dapson) sampai memenuhi regimen 6 bulan.
f. Penderita Kusta yang tidak dapat minum Rifampisin
Penyebabnya adalah ada efek samping Rifampisin atau ada
penyakit penyerta seperti hepatitis kronis, atau terinfeksi dengan
Rifampicin-resistant M leprae. Mereka mendapat regimen 24
bulan sebagai berikut:
1) Klofazimin 50 mg ditambah 2 dari obat berikut-Ofloksasin
400 mg atau Minosiklin 100 mg atau Klaritomisin 50 mg,
setiap hari - untuk 6 bulan.
2) kemudian dilanjutkan dengan Klofazimin 50 mg ditambah
Ofloksasin 400 mg atau Minosiklin 100 mg, setiap hari
selama 18 bulan.
g. Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin
Pada Penderita Kusta yang menolak minum Klofazimin karena
terjadi perubahan warna kulit diberikan regimen berikut:
MDT MB 12 bulan tapi Klofazimin diganti Ofloksasin 400 mg per
hari atau Minosiklin 100 mg per hari atau Rifampisin 600 mg
per bulan, Ofloksasin 400 mg per bulan dan Minosiklin 100 mg
per bulan, selama 24 bulan.

4. Upaya Pencegahan Disabilitas


Komponen pencegahan disabilitas terdiri atas:
a. Penemuan Dini Penderita Kusta Sebelum Disabilitas
Kegiatan ini dilakukan dengan cara active case finding
(penemuan Penderita Kusta secara aktif).
b. Pengobatan Penderita Kusta dengan MDT sampai RFT
Dengan memberikan MDT sesuai regimen WHO maka dapat
menghindari risiko penularan dan mengurangi resiko disabilitas.
-56-

c. Deteksi Dini Adanya Reaksi Kusta dengan Pemeriksaan Fungsi


Saraf Secara Rutin
Setiap kali memeriksa seorang Penderita Kusta, juga
dilakukan pemeriksaan pada kulit dan saraf untuk mendeteksi
dini adanya reaksi. Hasil pemeriksaan selanjutnya akan dicatat
ke dalam formulir Pemantauan Fungsi Saraf (PFS). Formulir
tersebut rutin diisi pada setiap kali kunjungan Penderita Kusta
ke Puskesmas saat mengambil obat. Hasil kesimpulan
pemeriksaan selanjutnya akan menentukan penanganan lebih
lanjut terhadap kerusakan saraf yang terjadi.
Reaksi Kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis
penyakit Kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler
respons) atau reaksi antigen-antibodi (Humoral respons) yang
dapat merugikan Penderita Kusta, terutama pada saraf tepi yang
bisa menyebabkan gangguan fungsi (cacat) yang ditandai dengan
peradangan akut baik di kulit maupun saraf tepi. Reaksi Kusta
dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan, dan
sesudah pengobatan.
Hal-hal yang mempermudah (pencetus) terjadinya reaksi
Kusta misalnya:
1) Penderita Kusta dalam keadaan kondisi lemah
2) Kehamilan dan setelah melahirkan (masa nifas)
3) Sesudah mendapat imunisasi
4) Infeksi (seperti malaria, infeksi pada gigi, bisul, dan lain-lain)
5) Stress fisik dan mental
6) Kurang gizi
7) Pemakaian obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh.
Untuk mengatasi dan mengendalikan faktor pencetus
terjadinya reaksi Kusta, perlu dilakukan:
1) Memperhatikan status gizi baik dengan memenuhi
konsumsi gizi seimbang
2) Pemeriksaan gigi
3) Pemberian obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan
B12 untuk membantu mengurangi dampak efek samping
obat
4) Pemberian obat cacing dosis tunggal sesuai berat badan
5) Penanganan infeksi lain
-57-

6) Pemberian konseling

Jenis Reaksi
Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu
reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2 yang masing-masing derajatnya
dibagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat.

Pasal 4.6
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat Pada Reaksi Tipe 1 dan 2

GEJALA/ REAKSI TIPE 1 REAKSI TIPE 2


NO
TANDA RINGAN BERAT RINGAN BERAT

1. Kulit Bercak: Bercak: Nodul: Nodul: merah,


merah, merah, merah, panas, nyeri
tebal, panas, tebal, panas, panas, nyeri yang
nyeri.* nyeri yang bertambah
bertambah parah à
parah à sampai pecah
sampai
pecah

2. Saraf Tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada
perabaan: perabaan: (+) perabaan: perabaan: (+)
(-) (-)

Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan


fungsi: (-) fungsi: (+) fungsi: (-) fungsi: (+)

3. Keadaan Demam: (-) Demam: ± Demam: ± Demam: (+)


Umum

4. Gangguan - - - +
Pada Organ (Misalnya
Lain pada mata,
sendi, testis,
dan lain-lain)

* : Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat.
-58-

d. Penanganan Reaksi Kusta


Penanganan reaksi Kusta yang cepat dan tepat akan
mencegah Penderita Kusta dari disabilitas. Penanganan reaksi
Kusta dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terdiri atas dokter
dan tenaga kesehatan lain yang terlatih dalam penanganan
Kusta.
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu
dilakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami berdasarkan
derajat reaksinya. Derajat reaksi dapat ditentukan melalui
jawaban dari pertanyaan yang terdapat dalam form Pemantauan
Fungsi Saraf (PFS) berikut:
1) Apakah lagopthalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir ?
2) Adakah nyeri tekan pada saraf ?
3) Adakah kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir ?
4) Adakah rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir ?
5) Adakah bercak pecah atau nodul ulserasi/pecah ?
6) Adakah bercak aktif (meradang) di lokasi saraf tepi ?
Jika tidak ada jawaban “ya” dari semua pertanyaan di atas,
maka dikategorikan sebagai “Reaksi Ringan”, sedangkan bila ada
jawaban “ya” dari salah satu pertanyaan di atas, maka
dikategorikan sebagai “Reaksi Berat”.

Penanganan Untuk Reaksi Ringan


1) Berobat jalan, istirahat dirumah.
2) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu.
3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.
4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis
tidak diubah.

Penanganan Untuk Reaksi Berat


1) Mobilisasi lokal/istirahat di rumah.
2) Pemberian analgesik, sedatif.
3) Mencari dan menghilangkan faktor pencetus.
4) Jika dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis
tidak berubah.
5) Reaksi tipe 1 dan tipe 2 berat diobati dengan prednison
sesuai skema.
-59-

6) Bila ada indikasi rawat inap Penderita Kusta dikirim ke


rumah sakit.
7) Reaksi tipe 2 berat berulang diobati dengan prednison dan
Klofazimin.
Pada Penderita Kusta yang mengalami reaksi berat, diperlukan
pengisian form lain, yaitu Form Evaluasi Pengobatan Reaksi
Berat. Form ini akan diisi rutin setiap 1-2 minggu untuk
mengevaluasi kondisi Penderita Kusta.

Skema Pemberian Prednison


Pada Orang Dewasa
Reaksi Tipe 1 dan 2 Berat
1) 2 minggu I : 40 mg/hari (1 x 8 tab) pagi hari sesudah
makan
2) 2 minggu II : 30 mg/hari ( 1 x 6 tab) pagi hari sesudah
makan
3) 2 minggu III : 20 mg/hari (1 x 4 tab) pagi hari sesudah
makan
4) 2 minggu IV : 15 mg/hari (1 x 3 tab) pagi hari sesudah
makan
5) 2 minggu V : 10 mg/hari ( 1 x 2 tab) pagi hari sesudah
makan
6) 2 minggu VI : 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah
makan
Sebelum menurunkan dosis Prednison, kondisi Penderita Kusta
perlu dievaluasi. Apabila ada nyeri saraf, sebaiknya dicari dosis
awal untuk Penderita Kusta tersebut dengan memeriksa ulang
setelah 1 minggu, bila tidak ada perbaikan dosis dinaikkan
menjadi 50 mg sampai 60 mg/hari. Dosis awal ini dipertahankan
selama 2 minggu.

Penangan Reaksi Berat Pada Anak


Penggunaan Prednison untuk pengobatan reaksi berat pada
anak perlu pemantauan ketat karena Prednison merupakan
golongan steroid yang dapat mengganggu proses pertumbuhan.
Dosis maksimum Prednison pada anak tidak boleh melebihi 1
mg/kgBB. Minimal jangka waktu pengobatan adalah 12 minggu
-60-

(3 bulan). Pemberian Prednison sebaiknya diberikan dalam dosis


tunggal pagi hari sesudah makan karena kadar kortisol alamiah
dalam tubuh paling tinggi pada pagi hari.
Selambat-lambatnya setiap 2 minggu Penderita Kusta harus
diperiksa ulang dan mencatatnya dalam form pencegahan cacat.
Form pemberian Prednison diisi berdasarkan hasil evaluasi
pemeriksaan fungsi saraf. Bila tidak ada perbaikan maka dosis
Prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3 s/d 4 minggu atau
dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari)
jika kondisi memburuk.
Penderita Kusta yang mendapatkan pengobatan Prednison
perlu diberikan edukasi mengenai ancaman terjadinya
kecacatan, lama pengobatan yang diberikan, pentingnya
kepatuhan berobat, perlunya melaporkan diri pada petugas
apabila nyeri dan gangguan fungsi bertambah.

Efek Samping Prednison (Kortikosteroid)


Penghentian prednison secara tiba-tiba mengakibatkan:
1) Demam
2) Nyeri otot
3) Nyeri sendi
4) Malaise
Pemberian prednison terus-menerus mengakibatkan:
1) Gangguan cairan dan elektrolit
2) Hiperglikemi
3) Mudah infeksi
4) Perdarahan atau perforasi pada penderita tukak lambung
5) Osteoporosis
6) Cushing Syndrome: moon face, obesitas sentral, jerawat,
pertumbuhan rambut berlebihan, timbunan lemak
supraklavikuler.
Kontra indikasi pemberian Prednison di antaranya hipertensi,
TBC, diabetes melitus, tukak lambung berat, infeksi berat.

Pemberian Klofazimin
Pada jenis reaksi tertentu, Prednison diberikan bersamaan
dengan tambahan Klofazimin. Klofazimin baru akan
-61-

menunjukkan khasiatnya dalam mengatasi peradangan setelah


lebih dari 4 minggu, sebelum itu efek anti radang hanya didapat
dari prednison. Jenis reaksi yang membutuhkan tambahan
klofazimin adalah:
1) Reaksi Tipe II (ENL) berat berulang:
a) Episode reaksi lebih satu kali
b) ENL berat dengan dosis prednison naik turun
2) Reaksi ENL berat setelah RFT
Dosis untuk orang dewasa adalah 3 x 100 mg/hari
selama 2 bulan. Kemudian dosis diturunkan menjadi 2 x
100 mg per hari selama 2 bulan, dan kemudian diturunkan
menjadi 100 mg per hari selama 2 bulan. Jika Penderita
Kusta masih dalam pengobatan MDT, maka dosis
Klofazimin harus disesuaikan dengan dosis di atas.

Indikasi Rujukan Penderita Reaksi Kusta ke Rumah Sakit


1) ENL melepuh, suhu tubuh tinggi, neuritis, ENL yang pecah-
pecah
2) Reaksi tipe 1 dengan disertai dengan bercak ulserasi, lesi di
wajah, edema tangan dan kaki, atau neuritis
3) Disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya
hepatitis, DM, hipertensi, tukak lambung yang berat, dan
lain-lain.
4) Ibu hamil
5) Reaksi ENL berat berulang pada Penderita Kusta anak

e. Penyuluhan
Penyuluhan mengenai Kusta dilakukan secara
komprehensif yang meliputi segala aspek baik medis maupun
non medis. Penyuluhan bertujuan agar Penderita Kusta dan
keluarga dapat mengenali tanda dan gejala disabilitas, berobat
dengan tuntas, melakukan perawatan diri, serta menghilangkan
stigma dan diskriminasi.
Penyuluhan mengenai Kusta dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan masyarakat terlatih termasuk OYPMK. Sasaran
penyuluhan adalah Penderita Kusta, keluarga, dan masyarakat.
-62-

Materi penyuluhan disesuaikan dengan sasaran penyuluhan,


sebagai berikut :
1) Pada Penderita Kusta
a) Meyakinkan bahwa Penderita Kusta bisa sembuh
b) Memotivasi Penderita Kusta untuk berobat teratur
c) Memberi pesan untuk segera kembali bila mengalami
keluhan
d) Mengajarkan cara perawatan diri
2) Pada Keluarga
e) Penyebab Kusta, sumber, dan cara penularan
f) Tidak perlu takut/menjauhi Penderita Kusta
g) Kusta dapat disembuhkan dan obatnya gratis
h) Mendukung keteraturan berobat Penderita Kusta
i) Membantu Penderita Kusta memeriksakan diri bila
ada keluhan
j) Memotivasi Penderita Kusta melakukan perawatan diri
3) Pada Masyarakat
k) Penyebab, sumber dan cara penularan Kusta
l) Tanda-tanda dini Kusta
m) Risiko bila terlambat diobati dapat menimbulkan
disabilitas
n) Tempat pengobatan yang tepat
o) Kusta bisa disembuhkan dan obatnya gratis

f. Perawatan Diri
Tujuan perawatan diri adalah untuk mencegah timbulnya
disabilitas dan memburuknya keadaan disabilitas.Tenaga
kesehatan di Puskesmas harus memperhatikan kondisi
Penderita Kusta yang berisiko menjadi disabilitas atau telah
mengalami disabilitas dan menentukan tindakan perawatan diri
apa yang perlu dilakukan Penderita Kusta itu. Petugas jangan
hanya memberikan penyuluhan dengan kata-kata kepada
Penderita Kusta, tetapi memperagakan cara perawatan diri.
Bantulah Penderita Kusta agar Penderita Kusta dapat
melakukannya sendiri dengan mengupayakan penggunaan
material yang mudah diperoleh di sekitar lingkungan Penderita
Kusta.
-63-

Penderita Kusta harus mengerti bahwa pengobatan MDT


sudah atau akan membunuh bakteri Kusta, tetapi disabilitas
pada mata, tangan atau kaki yang terlanjur terjadi akan tetap
ada seumur hidupnya, sehingga dia harus mampu melakukan
perawatan diri secara kontinu agar disabilitas tidak bertambah
berat.
Perawatan diri pada mata, tangan dan kaki dilakukan oleh
Penderita Kusta seumur hidup dengan prinsip 3 M yaitu
Memeriksa, Merawat, dan Melindungi. Perawatan diri ini bisa
dilakukan di rumah setiap hari dan lebih baik bila bisa dibentuk
Kelompok Perawatan Diri (KPD). Anggota kelompok ini selain
Penderita Kusta dan OYPMK juga dapat diintegrasikan dengan
penderita disabilitas akibat Filariasis ataupun disabilitas akibat
Diabetes Melitus.
Kelompok perawatan diri dapat ditingkatkan menjadi Self
Help Group (SHG) yang dibentuk dengan tujuan selain untuk
perawatan diri juga dapat mengurangi stigma dan diskriminasi
serta meningkatkan taraf hidup ekonomi Penderita Kusta dan
keluarganya.

g. Penggunaan Alat Bantu


Beberapa Penderita Kusta dengan disabilitas membutuhkan
alat bantu untuk mencegah memburuknya disabilitas dan
membantu Penderita Kusta dalam melakukan aktifitas sehari-
hari. Alat bantu dapat berupa alat yang sederhana sampai
dengan alat yang lebih canggih, misalnya tongkat penyangga,
alat pelindung kaki dan kaki/tangan palsu.

h. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis diberikan kepada Penderita Kusta yang
membutuhkan intervensi medis yang lebih kompleks. Beberapa
intervensi tersebut membutuhkan penanganan spesialistik
misalnya pada:
1) Mata
Penderita Kusta yang mengalami lagoftalmos berat
dilakukan bedah korektif.
-64-

2) Tangan
a) Kelemahan jari tangan atau claw-hand dilakukan
operasi koreksi, dengan syarat sendi-sendi masih
bergerak (mobile).
b) Penderita Kusta dengan infeksi berat yang
membutuhkan antibiotik atau operasi.
3) Kaki
a) Ulkus kronik atau semua luka komplikata dilakukan
tindakan bedah septik/skuestrektomi/amputasi.
b) Penderita Kusta dengan infeksi berat
yang membutuhkan antibiotik atau operasi.

E. Pemantauan dan evaluasi pengobatan


Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus
tetap dilakukan pemantauan oleh petugas Puskesmas untuk menghindari
reaksi Kusta yang dapat menyebabkan disabilitas. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam pemantauan dan evaluasi pengobatan, yaitu:
1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
2. Apabila Penderita Kusta terlambat mengambil obat, paling lama
dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
3. Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis
dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT
Penderita Kusta dikeluarkan dari register kohort.
4. Penderita Kusta yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
a. disabilitas tingkat 1 atau 2
b. pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat)
dilakukan pengamatan secara semi-aktif
5. Penderita Kusta PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister)
dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan
laboratorium.
6. Penderita Kusta MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis
(blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
pemeriksaan laboratorium.
7. Putus obat (default) jika seorang Penderita Kusta PB tidak
mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan Penderita Kusta
MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
-65-

untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan),


maka yang bersangkutan dikategorikan sebagai putus obat (default)
dan Penderita Kusta tersebut disebut sebagai penderita defaulter.
Tindakan Bagi Penderita Putus Obat (Defaulter):
a. Dikeluarkan dari register kohort
b. Bila kemudian datang kembali, lakukan pemeriksaan klinis
ulang dengan teliti. Bila hasil pemeriksaan:
1) ditemukan tanda-tanda klinis yang aktif
a) Kemerahan/peninggian dari lesi lama di kulit
b) Adanya lesi baru
c) Adanya pembesaran saraf yang baru; maka penderita
mendapat pengobatan MDT ulang sesuai klasifikasi
saat itu
2) atau bila hasil pemeriksaan indeks Morphology (MI) positif
3) bila tidak ada tanda-tanda aktif maka penderita tidak perlu
diobati lagi. Ada kalanya setelah dinyatakan default
penderita diobati kembali, tetapi tetap belum memahami
tujuan pengobatan sehingga ia berhenti atau tidak lagi
mengambil obatnya sampai lebih dari 3 bulan, maka
dinyatakan default kedua. Penderita default kedua tidak
dikeluarkan dari register kohort, dan hanya dilanjutkan
pengobatan yang tersisa hingga lengkap. Untuk penderita
dengan default lebih dari 2 kali, diperlukan tindakan dan
penanganan khusus.
8. Relaps
a. relaps atau kambuh terjadi bila sebelumnya Penderita Kusta
sudah pernah dinyatakan sembuh atau telah menyelesaikan
pengobatan MDT oleh dokter atau petugas kesehatan, timbul lesi
kulit baru di tempat yang berbeda dan bukan lesi lama yang
bertambah aktif. Penderita Kusta juga dinyatakan relaps jika
terdapat penebalan saraf baru yang disertai defisit neurologis
yang sebelumnya tidak ada.
b. untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan kepada
pengelola program atau dokter yang memiliki kemampuan klinis
dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB, jika pada
pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks
Bakteri 2+ atau lebih bila dibandingkan dengan Indeks bakteri
-66-

saat diagnosis. Apabila tidak dilakukan pemeriksaan BTA saat


diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan Indeks Morphology. Bila
hasil Indeks Morphology positif maka dinyatakan relaps.
Penderita Kusta dapat diberikan MDT maksimal 24 bulan
dengan follow up pemeriksaan MI setiap 3 bulan. Jika MI sudah
negatif maka MDT dihentikan. Jika di akhir bulan ke 24 hasil MI
masih positif maka harus dilakukan pemeriksaan resistensi
MDT.
c. untuk orang yang pernah mendapat pengobatan dapson
monoterapi (sebelum diperkenalkannya MDT) bila tanda Kusta
aktif muncul kembali, maka Penderita Kusta tersebut
dimasukkan dalam kategori relaps dan diberi MDT
9. Indikasi pengeluaran Penderita Kusta dari register kohort adalah
RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke
pelayanan kesehatan) dapat diberikan sekaligus beberapa blister
disertai dengan penyuluhan lengkap mengenai efek samping, tanda-
tanda reaksi, agar secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan.
-67-

BAB V
SUMBER DAYA

A. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia dalam Penanggulangan Kusta merupakan
tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kompetensi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengelola program
(tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan Puskesmas). Selain tenaga
kesehatan dan pengelola program, sumber daya manusia dalam
pelaksanaan Penanggulangan Kusta juga meliputi masyarakat terlatih
(kader), tokoh agama/tokoh masyarakat, dan Orang yang Pernah
Mengalami Kusta (OYPMK). Sumber daya manusia dalam Penanggulangan
Kusta tersebut harus telah memperoleh peningkatan kapasitas untuk
melakukan kegiatan Penanggulangan Kusta.
Peningkatan kapasitas merupakan salah satu upaya peningkatan
sumber daya manusia dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan petugas kesehatan dalam bidang Kusta. Peningkatan
kapasitas dapat dilakukan melalui pelatihan. Metode pelatihan dapat
dilaksanakan secara konvensional, klasik, maupun dengan metode
pelatihan orang dewasa dan pelatihan jarak jauh/e-learning. Setelah
pelaksanaan pelatihan diharapkan dilakukan evaluasi melalui supervisi.
Dalam Penanggulangan Kusta, kapasitas yang harus dimiliki oleh
masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1. Pengelola Program di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan dan
Puskesmas
a. untuk pengelola program di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota telah mendapat pelatihan program
pengendalian penyakit Kusta melalui pelatihan di level
nasional/provinsi.
b. pengelola program Kusta di Puskesmas telah mendapat
pelatihan di provinsi atau kabupaten/kota tentang tata laksana
Kusta.
2. Kader Kesehatan, tokoh agama/tokoh masyarakat, dan OYPMK telah
mendapat sosialisasi tentang program pengendalian Kusta.
-68-

Peran dan tugas yang harus dimiliki oleh masing-masing pihak


adalah sebagai berikut:
1. Pengelola Program di Tingkat Pusat
a. membuat peraturan perundang-undangan sebagai dasar
legalitas kegiatan Penanggulangan Kusta.
b. membuat kebijakan dan strategi terkait dengan
kegiatan Penanggulangan Kusta.
c. melaksanakan sosialisasi dan advokasi di berbagai tingkatan.
d. koordinasi dengan komisi ahli berkaitan dengan inovasi-inovasi
dalam Penanggulangan Kusta di tingkat nasional
e. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
Penanggulangan Kusta di tingkat nasional.
f. menyediakan dan distribusi obat Rifampisin dan obat MDT.
2. Pengelola Program di Tingkat Provinsi
a. menentukan dan menyeleksi pelaksanaan Penanggulangan
Kusta di kabupaten/kota berdasarkan prasyaratan yang telah
ditentukan.
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
c. menjalin kerja sama dengan rumah sakit umum daerah
terutama untuk tata laksana Penderita Kusta dicurigai efek
samping obat.
d. melakukan bimbingan teknis pelaksanaan Penanggulangan
Kusta di kabupaten/kota.
e. melaporkan hasil kegiatan Penanggulangan Kusta ke
Kementerian Kesehatan setiap triwulan. (rekapitulasi
Kemoprofilaksis Kusta pada kontak Penderita Kusta baru tingkat
provinsi)
f. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
Penanggulangan Kusta di kabupaten/kota.
g. mencari dan melakukan inovasi-inovasi program sesuai kearifan
lokal untuk menghentikan penularan.
3. Pengelola Program di Tingkat Kabupaten/Kota
a. melaksanakan advokasi dan sosialisasi di tingkat
kabupaten/kota dan Puskesmas.
b. melakukan koordinasi dengan rumah sakit umum daerah dalam
penangan efek samping obat.
-69-

c. melakukan konfirmasi diagnosis terhadap suspek Kusta yang


ditemukan (secara acak).
d. melakukan bimbingan teknis pelaksanaan Penanggulangan
Kusta di Puskesmas.
e. melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
pengobatan MDT dan Kemoprofilaksis Kusta di Puskesmas.
f. mengumpulkan laporan dari setiap Puskesmas yang
melaksanakan kegiatan Penanggulangan Kusta dan melaporkan
ke provinsi setiap triwulan bersamaan dengan laporan rutin
program.
g. mencari dan melakukan inovasi-inovasi program sesuai kearifan
lokal untuk menghentikan penularan.
4. Pengelola program di Tingkat Puskesmas
a. melaksanakan advokasi dan sosialisasi di tingkat desa.
b. membuat daftar Penderita Kusta baru dan kontaknya.
c. membuat pemetaan sederhana tentang index case dan
kontaknya.
d. melakukan koordinasi dengan petugas Puskesmas Pembantu,
Poskesdes, kepala desa, dan kader kesehatan.
e. mengoordinasikan dengan pengelola program Tuberkulosis
terkait dengan suspek Tuberkulosis yang ditemukan pada saat
pemeriksaan kontak.
f. melaksanakan pemeriksaan kontak dan Kemoprofilaksis Kusta.
g. membuat pencatatan dan pelaporan Penanggulangan Kusta dan
melaporkan kepada pengelola program tingkat kabupaten/kota
setiap triwulan.
5. Bidan Desa/Tenaga Kesehatan di Desa
a. membantu membuat pemetaan Penderita Kusta.
b. membantu mendistribusikan format penemuan bercak.
c. membantu melaksanakan penjaringan suspek dan pemberian
obat.
d. mencatat dan melaporkan hasil kegiatan penjaringan suspek
dan pemberian obat.
6. Kader Kesehatan/Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat
a. terlibat dalam sosialisasi di tingkat desa.
b. membantu menggerakan masyarakat desa.
c. membantu pendistribusian format penemuan bercak
-70-

d. Melakukan kunjungan rumah untuk membantu program


Penanggulangan Kusta.

B. Sarana, Prasarana, dan Peralatan


Sarana, prasarana, dan peralatan yang dibutuhkan dalam
Penanggulangan Kusta paling sedikit berupa:
1. fasilitas pelayanan kesehatan termasuk fasilitas penunjang diagnosis
penyakit. Fasilitas penunjang diagnosis contohnya laboratorium
dengan kelengkapan yang dibutuhkan antara lain, bunsen, rak
pewarna.
2. peralatan pencegahan disabilitas, seperti alat bantu protese/kaki
palsu, sandal/sepatu untuk Penderita Kusta yang telapak kakinya
mati rasa.
Selain sarana, prasararana, dan peralatan tersebut di atas, dalam
Penanggulangan Kusta juga dibutuhkan peralatan perawatan diri untuk
mengurangi tingkat keparahan disabilitas.

C. Obat dan Alat Kesehatan


Obat dan alat kesehatan paling sedikit meliputi obat dan bahan
medis habis pakai sesuai kebutuhan tata laksana Penderita Kusta dan
kebutuhan Penanggulangan Kusta.
Obat dan bahan medis habis pakai yang biasa digunakan dalam
Penanggulangan Kusta yaitu obat anti Kusta (Multi Drugs Therapy/MDT),
Prednison, vitamin, obat cacing, Ferro sulphat, anti oksidan, reagensia
Ziehl Nielsen (ZN), Objek glass, spiritus, kapas, emersion oil.
Obat dan bahan medis habis pakai harus dipastikan ketersediannya
di fasilitas pelayanan kesehatan. Perkiraan kebutuhan obat dan bahan
medis habis pakai dihitung berdasarkan data program.
Pengelolaan Logistik MDT
Pengelolaan logistik MDT adalah satu rangkaian kegiatan yang
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan pelaporan, serta monitoring
dan evaluasi. Persediaan MDT yang cukup, tidak terputus, dan tepat
waktu di fasilitas pelayanan kesehatan diperlukan untuk melayani
Penderita Kusta agar tidak putus berobat. Kondisi ini seluruhnya
tergantung pada efisiensi pengelolaan MDT di Puskesmas,
-71-

kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Selain itu, pengelolaan yang efisien


juga akan mencegah obat terbuang karena rusak atau kadaluwarsa.

D. Pendanaan
Pendanaan Penanggulangan Kusta dapat bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dan/atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah Pusat akan selalu mendorong pendanaan daerah yang
dapat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Dana Alokasi
Khusus Non Fisik, dan anggaran dana desa untuk menjaga
kesinambungan program dan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap
program Penanggulangan Kusta.
-72-

BAB VI
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat


penting untuk mendapatkan gambaran dan informasi kegiatan di semua
tingkat pelaksana program Penanggulangan Kusta.
A. Pencatatan
Pencatatan adalah suatu kegiatan yang dilakukan petugas untuk
mencatat hasil kegiatan program Penanggulangan Kusta. Pencatatan
dilakukan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan
pelayanan Kusta. Pencatatan Kusta paling sedikit meliputi:
1. jumlah Penderita Kusta;
2. pemantauan pengobatan;
3. hasil pengobatan;
4. reaksi Kusta;
5. tingkat disabilitas; dan
6. pemantauan setelah selesai pengobatan
Kegiatan pencatatan yang dilakukan baik di fasilitas pelayanan
kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, maupun dinas kesehatan
provinsi, sebagai berikut:
1. Pencatatan di Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya
Setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas baik
dilaksanakan di dalam gedung maupun di luar gedung dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya harus dicatat dengan baik. Berikut
kegiatan pencatatan yang dilakukan oleh Puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya:
a. Pencatatan Hasil Penemuan Suspek di Masyarakat
Pencatatan tersebut dapat dilakukan oleh petugas ataupun
kader kesehatan. Kader kesehatan mencatat, mengumpulkan,
memilah, dan merekap hasil penemuan bercak yang dilakukan
oleh masing-masing kepala keluarga pada formulir penemuan
bercak. Pencatatan yang dilakukan meliputi alamat, nama
kepala keluarga berikut anggota keluarga, usia, dan tempat
ditemukan bercak. Kader melaporkan rekapan tersebut ke
petugas Puskesmas terlatih Kusta untuk dikonfirmasi dengan
mengikuti alur diagnosis.
-73-

b. Pencatatan Penderita Kusta


Penderita Kusta yang telah ditemukan, baik melalui
kegiatan pasif maupun aktif, serta mendapatkan pengobatan
dicatat dalam Kartu Penderita. Pencatatan meliputi identitas diri
Penderita Kusta, cara penemuan, diagnosis, riwayat pengobatan,
gambaran kelainan kulit dan saraf (charting), keadaan cacat,
pengobatan MDT, dan pemeriksaan kontak serumah. Pencatatan
di Kartu Penderita dipindahkan ke register kohort monitoring
Penderita Kusta tipe PB dan MB secara manual atau
dimasukkan dalam Sistem Informasi Program Kusta (SIPK)
online.
c. Pemantauan Fungsi Saraf
Pencatatan tersebut bertujuan untuk mengetahui tanda-
tanda dini reaksi, menentukan tingkat kecacatan, serta
membantu menentukan dosis tappering off (penurunan dosis
Prednison) pada penderita reaksi. Pencatatan meliputi hasil
pemeriksaan fungsi sensorik, motorik, dan otonom pada mata,
tangan, dan kaki, serta hasil kesimpulan pemeriksaan.
d. Evaluasi Pemberian Prednison
Pencatatan ini hanya dilakukan untuk memantau
pengobatan pada Penderita Kusta reaksi berat yang
mendapatkan Prednison. Pencatatan meliputi indikasi
pemberian Prednison, hasil pemeriksaan fungsi saraf, dan
tindak lanjut pengobatan .
e. Pencatatan Hasil Pemeriksaan Kontak
Pencatatan ini dilakukan setiap kali dilaksanakan
pemeriksaan kontak Penderita Kusta. Pencatatan hasil
pemantauan dari pemeriksaan pada kontak dilakukan selama 5
tahun, mengingat inkubasi Kusta 2-5 tahun. Pencatatan
meliputi nama kontak, usia, jenis kelamin, tanggal, bulan tahun
pemeriksaan dan hasil pemeriksaan.
f. Pencatatan Pemantauan Setelah Pengobatan (Pasca RFT)
Pencatatan ini dilakukan pada Penderita Kusta yang telah
menyelesaikan pengobatan dan memiliki salah satu atau lebih
faktor resiko berupa cacat tingkat 1 atau 2, pernah mengalami
reaksi, dan hasil BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada
nodul atua infiltrat). Pencatatan pemantauan pada pemeriksaan
-74-

fungsi syaraf dilakukan selama 5 tahun setelah menyelesaikan


pengobatan, meliputi tanggal bulan, tahun kunjungan OYPMK,
hasil pemeriksaan fungsi saraf, keadaan cacat dan nama
petugas yang memeriksa.
g. Kemoprofilaksis Kusta Pada Kontak
Pencatatan dilakukan pada kontak yang mendapatkan satu
dosis tunggal Rifampisin sebagai Kemoprofilaksis Kusta.
Pencatatan meliputi identitas Penderita Kusta baru (index case),
nama dan informasi kontak, alasan eksklusi, konfirmasi
diagnosa dan efek samping yang terjadi. Hasil pencatatan
kemudian direkap berdasarkan Form Rekapitulasi Pemberian
Kemoprofilaksis pada Kontak.
h. Pengelolaan Logistik
Pencatatan dilakukan oleh Puskesmas yang mendapat
logistik berupa MDT, Rifampicin, Prednison, dan media
komunikasi, informasi dan edukasi. Pencatatan meliputi tanggal
dan jumlah penerimaan, sumber penerimaan, tanggal
kadaluarsa, jumlah yang dikeluarkan, tujuan pengeluaran,
jumlah yang rusak atau kadaluarsa, dan sisa stok.

Pencatatan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir:


a. Pemeriksaan Suspek (Formulir 1)
b. Kartu Penderita Kusta (Formulir 2)
c. Register Kohort Monitoring Penderita Kusta Tipe PB dan MB
(Formulir 3)
d. Pemantauan Fungsi Saraf (Formulir 4)
e. Evaluasi Pemberian Prednison (Formulir 5)
f. Pemeriksaan Kontak (Formulir 6)
g. Pemantauan Setelah Pengobatan (Pasca RFT) (Formulir 7)
h. Kemoprofilaksis Kusta Pada Kontak (Formulir 8)
i. Register Stok Obat MB Dewasa/Anak dan PB Dewasa/Anak
(Formulir 9)
j. Permintaan MDT (Formulir 10)

2. Pencatatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota


Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan pencatatan
rekapitulasi laporan program yang masuk dari Puskesmas/fasilitas
-75-

pelayanan kesehatan lainnya. Untuk rekapitulasi pencatatan


Penderita Kusta menggunakan Sistem Informasi Program Kusta
(SIPK) berbasis offline yang dikenal dengan Recording and Reporting
(RR elektronik) maupun Sistem Informasi Program Kusta (SIPK)
online.

3. Pencatatan di Dinas Kesehatan Provinsi


Dinas kesehatan provinsi melakukan pencatatan rekapitulasi
laporan program yang masuk dari dinas kesehatan kabupaten/kota.
Untuk rekapitulasi pencatatan Penderita Kusta, petugas dinas
kesehatan provinsi melakukan pemantauan, pengecekan dan validasi
data kabupaten/kota menggunakan Sistem Informasi Program Kusta
(SIPK) berbasis offline maupun online.

B. Pelaporan
1. Pelaporan oleh Puskesmas ditujukan kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota setiap bulan.
2. Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan kompilasi pelaporan
dari Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, dan
melakukan analisis situasi epidemiologi Kusta untuk pengambilan
kebijakan dan rencana tindak lanjut, serta melaporkan ke dinas
kesehatan provinsi setiap 3 (tiga) bulan.
3. Dinas kesehatan provinsi melakukan kompilasi pelaporan dan
melakukan analisis situasi epidemiologi Kusta untuk pengambilan
kebijakan dan rencana tindak lanjut serta melaporkan ke Direktur
Jenderal di Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan fungsi di
bidang pencegahan dan pengendalian penyakit setiap 3 (tiga) bulan.
4. Direktorat Jenderal yang memiliki tugas dan fungsi di bidang
pencegahan dan pengendalian penyakit melakukan kompilasi
pelaporan dan melakukan analisis situasi epidemiologi Kusta untuk
pengambilan kebijakan teknis dan tindak lanjut serta memberikan
umpan balik ke dinas kesehatan provinsi dan menyampaikan laporan
ke Menteri Kesehatan.

Format formulir pencatatan di Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Lainnya sebagai berikut:
-76-

Formulir 1
Formulir Pemeriksaan Suspek Kusta
-77-

Formulir 2
Kartu Penderita Kusta

I. Kartu Penderita Kusta Bagian Depan


-78-

II. Kartu Penderita Kusta Bagian Belakang


-79-

Formulir 3
Register Kohort Monitoring Penderita Kusta

I. Register Kohort Monitoring Penderita Kusta Tipe MB


-80-

II. Register Kohort Monitoring Penderita Kusta Tipe PB


-81-

Formulir 4
Pemantauan Fungsi Saraf/Pencatatan Pencegahan Cacat
-82-

Formulir 5
Evaluasi Pemberian Prednison/Evaluasi Reaksi Berat
-83-

Formulir 6
Pemeriksaan Kontak
-84-

Formulir 7
Pemantauan Setelah Pengobatan (Pasca RFT)

FORMULIR PEMANTAUAN PASKA PENGOBATAN (RFT)


ORANG YANG PERNAH MENGALAMI KUSTA (OYPMK)

Nama : Alamat :

Umur : Puskesmas :

Jenis Kabupaten
kelamin : :

Tipe Kusta : Tahun Penemuan :

Tingkat cacat :
saat RFT

Indikasi
pemantauan:

1 Memiliki cacat tingkat 1 atau 2 Ya / Tidak

2 Selama pengobatan pernah mengalami reaksi Ya / Tidak

3 Hasil BTA pada awal pengobatan positif >3 atau memiliki


nodul/infiltrate Ya / Tidak

Hasil Pemeriksaan Tingkat


Intervensi yang

Fungsi Saraf Disabilitas (WHO)


Tgl kunjungan

memeriksa
diberikan*

Nama petugas
Tidak ada

nilai skor
tertinggi

Jumlah
Ringan
Reaksi

yang
Reaksi

reaksi
Berat

Nilai

*intervensi yang diberikan: Pemberian Prednison, perawatan diri atau


penyuluhan
-85-

Formulir 8
Kemoprofilaksis Kusta Pada Kontak Kasus Baru
-86-

Formulir 9
Register Stok Obat MB Dewasa/Anak dan PB Dewasa/Anak
-87-

Formulir 10
Permintaan
MDT
-88-

BAB VII
PEMANTAUAN DAN
EVALUASI

Pemantauan dan evaluasi program Penanggulangan Kusta merupakan


salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan
program Kusta. Pemantauan dilakukan secara rutin dan berkala agar masalah
dalam pelaksanaan kegiatan program dapat diketahui lebih awal dan dapat
segera dilakukan tindakan perbaikan. Pemantauan dan evaluasi program
Penanggulangan Kusta dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali dan 1 (satu)
tahun untuk mengukur pencapaian tujuan, indikator dan target yang telah
ditetapkan. Seluruh kegiatan program harus dievaluasi baik aspek input,
proses, maupun output dengan cara menganalisa laporan rutin yang masuk,
menelaah laporan kunjungan/supervisi, wawancara ke petugas kesehatan
ataupun masyarakat sasaran.
Pemantauan dan evaluasi merupakan tanggung jawab masing masing
tingkat pelaksana program, mulai dari pelaksana program di Puskesmas, dinas
kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi sampai dengan
Pemerintah Pusat.
Untuk menilai program secara keseluruhan diperlukan beberapa
indikator. Hasil dari pemantauan dan evaluasi ini dipergunakan untuk dasar
perencanaan tahun berikutnya.
A. Indikator Program Kusta
Indikator program Kusta merupakan alat ukur kinerja dan kemajuan
program (marker of progress) serta untuk mempermudah analisis data.
Kemajuan atau keberhasilan program Penanggulangan Kusta dinilai dari
beberapa indikator, sebagai berikut:
1. Penderita Kusta Terdaftar dan Angka Penderita Kusta Terdaftar
(Prevalence and Prevalence Rate = PR)
Merupakan jumlah Penderita Kusta PB dan MB terdaftar atau yang
mendapatkan pengobatan pada saat tertentu per 10.000 penduduk.
Angka ini menunjukkan besarnya masalah di suatu daerah,
menentukan beban kerja, dan sebagai alat evaluasi. Target nasional
program Penanggulangan Kusta adalah angka Penderita Kusta
terdaftar < 1 per 10.000 penduduk.
Rumus:
-89-

2. Angka Penemuan Penderita Kusta Baru (Case Detection Rate = CDR)


Adalah jumlah Penderita Kusta yang baru ditemukan pada periode 1
(satu) tahun per 100.000 penduduk, dengan target program CDR <5
per 100.000 penduduk. Merupakan indikator yang bermanfaat dalam
menetapkan besarnya masalah dan transmisi yang
sedang berlangsung. Selain itu, juga dipergunakan
untuk menghitung jumlah kebutuhan obat serta
menunjukkan aktivitas program. Rumus:

3. Tidak Ada Kebijakan yang Memperbolehkan Adanya Diskriminasi


Terhadap OYPMK dan Keluarganya
Indikator ini menunjukkan ada tidaknya diskriminasi dalam
masyarakat dengan melihat kesenjangan akses atau kesempatan bagi
OYPMK mendapatkan pelayanan kesehatan. Indikator tersebut dinilai
dengan melihat ada tidaknya kebijakan, peraturan perundang-
undangan, atau produk hukum lainnya yang menimbulkan
diskriminasi terhadap OYPMK dan keluarganya.

4. Proporsi Penderita Kusta Baru dengan Cacat Tingkat 2


Adalah jumlah Penderita Kusta cacat tingkat 2 yang ditemukan di
antara Penderita Kusta baru pada periode 1 (satu) tahun. Angka ini
bermanfaat untuk menunjukkan keterlambatan antara kejadian
penyakit dan penegakkan diagnosa (keterlambatan Penderita Kusta
mencari pengobatan atau keterlambatan petugas dalam penemuan
Penderita Kusta). Target proporsi Penderita Kusta baru dengan cacat
tingkat 2 adalah < 5%.
Rumus:

5. Angka cacat tingkat 2 (Grade 2 Disability Rate)


Adalah angka Penderita Kusta baru yang telah mengalami cacat
tingkat 2 per 1.000.000 penduduk. Angka ini merefleksikan
perubahan dalam deteksi Penderita Kusta baru dengan penekanan
-90-

pada penemuan Penderita Kusta secara dini. Target yang ditetapkan


untuk indikator tersebut adalah < 1 per 1.000.000 penduduk.
Rumus:

6. Proporsi Penderita Kusta Baru Tanpa Cacat


Jumlah Penderita Kusta baru tanpa cacat (cacat tingkat 0) di antara
total Penderita Kusta baru yang ditemukan di suatu wilayah dalam
periode waktu satu tahun. Indikator tersebut merefleksikan upaya
penemuan Penderita Kusta secara dini.
Rumus:

7. Proporsi Penderita Kusta Baru Pada Anak


Merupakan proporsi Penderita Kusta baru pada anak usia <15 tahun,
dengan target <5%. Indikator tersebut dapat digunakan untuk
melihat keadaan penularan saat ini dan memperkirakan kebutuhan
obat.
Rumus:

8. Jumlah Penderita Kusta Baru Pada Anak dengan Cacat Tingkat 2


Merupakan jumlah Penderita Kusta baru pada anak (< 15 tahun)
yang mengalami cacat tingkat 2. Indikator tersebut mengindikasikan
kualitas penemuan Penderita Kusta, kualitas pelayanan Kusta, serta
merefleksikan kesadaran komunitas. Adanya Penderita Kusta baru
pada anak dengan cacat tingkat 2 mengindikasikan keterlambatan
penemuan Penderita Kusta dan transmisi infeksi yang masih
berlangsung di masyarakat. Target yang diharapkan adalah tidak ada
Penderita Kusta baru pada anak dengan cacat tingkat 2 pada tahun
2020.

9. Proporsi Perempuan di antara Penderita Kusta Baru


Merupakan jumlah Penderita Kusta perempuan di antara Penderita
Kusta Kusta baru yang ditemukan pada periode 1 (satu) tahun.
-91-

Indikator tersebut menggambarkan akses pelayanan kesehatan


terhadap perempuan di antara Penderita Kusta baru.
Rumus:

10. Proporsi Penderita Kusta MB di antara Penderita Baru


Jumlah Penderita Kusta MB yang ditemukan di antara Penderita
Kusta baru pada periode 1 (satu) tahun. Angka tersebut dapat
digunakan untuk memperkirakan sumber penyebaran infeksi dan
untuk menghitung kebutuhan obat.
Rumus:

11. Proporsi Kontak Penderita Kusta yang Diperiksa


Merupakan proporsi kontak dari penderita indeks yang diperiksa di
antara kontak yang terdaftar (kontak termasuk di antaranya kontak
serumah dan kontak sosial). Indikator tersebut mengindikasikan
intensitas upaya penemuan Penderita Kusta dan kualitas penemuan
Penderita Kusta. Target yang ditentukan adalah 85% kontak
Penderita Kusta diperiksa.
Rumus:

12. Angka Kesembuhan atau Release From Treatment (RFT) Rate


Angka ini sangat penting dalam menilai kualitas tata laksana
penderita dan kepatuhan Penderita Kusta dalam minum obat.
a. RFT Rate MB
Jumlah Penderita Kusta baru MB dari periode kohort 1 (satu)
tahun yang sama yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu
(12 dosis dalam 12-18 bulan) dinyatakan dalam persentase.
Rumus:
-92-

b. RFT Rate PB
Jumlah kasus baru PB dari periode kohort 1 tahun yang sama
yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu (6 dosis dalam 6-9
bulan) dinyatakan dalam persentase.
Rumus:

13. Proposi Penderita Defaulter


Jumlah Penderita Kusta yang tidak menyelesaikan pengobatan tepat
waktu (PB tidak mengambil obat lebih dari 3 bulan, MB tidak
mengambil obat lebih dari 6 bulan) di antara Penderita Kusta baru
yang mendapat pengobatan pada periode 1 (satu) tahun. Indikator ini
bermanfaat untuk melihat kualitas kegiatan pembinaan
pengobatan/keteraturan berobat.
Rumus:

14. Proporsi Penderita Kambuh atau Relaps


Merupakan jumlah Penderita Kusta kambuh atau relaps yang
ditemukan. Indikator ini digunakan untuk melihat efektivitas
pengobatan MDT. Peningkatan jumlah Penderita Kusta relaps yang
ditemukan di suatu wilayah dapat mengindikasikan peningkatan
kualitas pelaporan ataupun adanya resistensi obat.
Rumus:

15. Proporsi penderita impor (foreign born) di antara penderita baru


Kusta Merupakan jumlah penderita impor di antara penderita baru
Kusta yang ditemukan pada periode 1 (satu) tahun. Indikator tersebut
mengindikasikan besaran transmisi lokal di suatu wilayah dan
aksesibilitas penderita impor terhadap pelayanan Kusta, serta
mengindikasikan secara tidak langsung tentang kualitas pelayanan
yang tersedia. Proporsi yang tinggi dapat disebabkan migrasi yang
signifikan dari negara beban tinggi Kusta.
-93-

Rumus:

16. Jumlah Penderita Kusta yang Mengalami Reaksi Berat


Indikator ini berguna untuk perhitungan kebutuhan prednison atau
obat anti reaksi lainnya.

17. Jumlah Penderita Kusta yang Mengalami Reaksi Berat Berulang


Indikator ini berguna untuk perhitungan kebutuhan prednison dan
lampren atau obat anti reaksi lainnya.

18. Jumlah Penderita Kusta yang Mengalami Reaksi ENL Setelah RFT
Indikator ini berguna untuk perhitungan kebutuhan prednison dan
lampren atau obat anti reaksi lainnya.

19. Proporsi Penderita Kusta Baru yang Diperiksa Fungsi Saraf Selama
Pengobatan
Indikator tersebut mengindikasikan kinerja petugas dalam
pencegahan kecacatan.
Rumus:

20. Proporsi Penderita Kusta yang dievaluasi Nilai Kecacatannya, Minimal


Dilaksanakan Pada Awal dan Akhir Pengobatan
Indikator tersebut penting untuk menjamin seluruh Penderita Kusta
baru dipantau secara adekuat selama pengobatan. Hal tersebut
merefleksikan kualitas dari manajemen tata laksana Penderita Kusta.
Target yang ditentukan adalah >85% Penderita Kusta dievaluasi nilai
kecacatannya.
Rumus:
-94-

21. Proporsi Penderita Kusta yang bertambah kecacatannya selama


pengobatan
Indikator tersebut merefleksikan kualitas dari manajemen tata
laksana Penderita Kusta secara keseluruhan, khususnya penanganan
Penderita Kusta reaksi. Target yang diharapkan adalah 1% dari
keseluruhan Penderita Kusta.
Rumus:

22. Proporsi Penderita Kusta Baru yang didiagnosis Dengan Benar


Jumlah Penderita Kusta baru yang didiagnosis dengan benar (setelah
dikonfirmasi) di antara Penderita Kusta yang baru ditemukan pada
periode satu tahun. Indikator ini bermanfaat untuk melihat kualitas
diagnosis.
Rumus:

23. Proporsi Penderita Kusta dan OYPMK yang Mendapatkan Pelatihan


Perawatan Diri
Indikator tersebut mengukur intensitas partisipasi fasilitas pelayanan
kesehatan dalam bidang rehabilitasi dan pencegahan kecacatan,
dengan target 100%.
Rumus:

24. Proporsi Penderita Kusta resisten obat Kusta (MDT ) di antara


Penderita Kusta relaps
Indikator tersebut penting untuk memantau trend resistensi obat.
Rumus:
-95-

25. Proporsi Cakupan Pemberian Obat Rifampisin Pada Kemopropilaksis


Kusta dengan Pendekatan Blanket
Target dari indikator tersebut adalah 80% dari seluruh penduduk di
wilayah tersebut mendapatkan rifampisin pada saat dilaksanakan
Kemoprofilaksis dengan pendekatan blanket.
Rumus:

26. Proporsi Cakupan Pemberian Obat Rifampisin Pada Kemopropilaksis


dengan Pendekatan Partisipasi Masyarakat
Target dari indikator tersebut adalah 90% dari jumlah sasaran yang
sudah ditentukan.
Rumus:

27. Proporsi Cakupan Pemberian Obat Rifampisin Pada Kemopropilaksis


dengan Pendekatan Kontak
Target dari indikator tersebut adalah 80% dari jumlah sasaran yang
sudah ditentukan.
Rumus:

28. Rerata jumlah kontak yang menerima Kemoprofilaksis Kusta untuk


setiap Penderita Kusta indeks (khusus bagi wilayah yang
melaksanakan Kemoprofilaksis Kusta dengan metode partisipasi
masyarakat dan kontak. Target rata-rata jumlah kontak yang
menerima Rifampisin pada Kemoprofilaksis Kusta dengan
pendekatan partisipasi masyarakat adalah sebanyak 35 orang,
sedangkan rata-rata jumlah kontak yang menerima rifampisin pada
Kemoprofilaksis dengan pendekatan kontak adalah 22 orang.

29. Proporsi Kontak yang Mendapat Kemoprofiaksis Kusta


Menjadi Penderita Kusta Baru
Target yang ditetapkan untuk indikator tersebut adalah <5%.
-96-

Rumus:

B. Analisis Indikator
Terhadap indikator program Kusta dilakukan analisis untuk
mendapatkan hasil pencapaian keberhasilan program yang dilihat
berdasarkan jumlah kabupaten/kota dan provinsi yang mencapai
Eliminasi Kusta serta jumlah desa/kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota, dan provinsi yang masih memiliki beban tinggi
(endemis).
Apabila dari hasil analisis, masih belum mencapai keberhasilan
program maka disusun rekomendasi untuk perbaikan program.
-97-

BAB VIII
PENUTUP

Dengan diterbitkanya pedoman Penanggulangan Kusta, diharapkan dapat


digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan yang menjalankan program
kusta, agar pencapaian target Penanggulangan Kusta berupa Eliminasi Kusta
pada tahun 2019 di Provinsi dan 2024 di seluruh kabupaten/kota dapat
tercapai.

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ttd

NILA FARID MOELOEK

Anda mungkin juga menyukai