Anda di halaman 1dari 51

BAB III

PRAKTIK PEMBERLAKUAN KLAUSULA HARDSHIP DALAM

KONTRAK JUAL BELI INTERNASIONAL DAN KONTRAK JUAL BELI

DI INDONESIA

A. Pemberlakuan Klausula Hardship dalam Kontrak Internasional

Klausula hardship merupakan upaya preventif yang

disediakan dalam kontrak pada saat terjadi situasi yang secara

signifikan merubah keseimbangan kontrak. Penerapan klausula

hardship digunakan oleh para pihak dengan maksud pada saat

adanya perubahan kondisi yang dapat mengubah keseimbangan

kontrak, mereka tidak secara langsung mengakhirinya atau

membatalkannya namun tetap untuk melanjutkan kontrak tersebut. 1

Belum ada definisi yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan

perubahaan secara fundamental, karena perubahan fundamental

bergantung pada keadaan dan peristiwa itu sendiri. Namun, apabila

yang dimaksud dengan perubahan fundamental yang memengaruhi

biaya pelaksanaan kontrak merupakan suatu kemampuan yang

dapat dihitung secara pasti, maka perubahan seperti kenaikkan

atau penurunan biaya secara drastis sebesar kurang dari atau lebih

1
Hubert Konarski, “Force Majeure and Hardship Clause in International Contractual
Practice”, International Bus. LJ, 2003, hlm. 15.
dari 50% (lima puluh persen) biaya atau nilai pelaksanaan kontrak

dianggap sebagai jumlah yang fundamental. 2

Perubahan secara fundamental dari keseimbangan kontrak

memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mengajukan

negosiasi ulang kintrak dengan itikad baik untuk menyesuaikan

kontrak, memulihkan kontrak, atau untuk menuntut pengakhiran

kontrak apabila negosiasi gagal dijalani. Dalam praktik kontrak

internasional ketentuan hardship berkaitan dengan keadaan yang

dapat diramalkan3 namun dapat merugikan apabila tetap dilakukan.

Di bawah instrumen UPICC, hardship membutuhkan perubahan

keadaan yang begitu parah dan mendasar bahwa debitur tidak

dapat melakukan prestasinya meskipun ada kemungkinan untuk

tetap melaksanakan prestasi. Terlepas dari hal itu, dalam

praktiknya, belum ada hal yang dapat mendeterminasi perubahan

fundamental atau kinerja yang memberatkan itu dapat diukur dalam

segi apa, hal ini dikarenakan para pihak bebas untuk menentukan

tingkat “keberatan” dalam kontrak dilandasi dengan alasan yang

relevan.4

Klausul hardship tak lazim ditemukan dalam kontrak-kontrak

komersial yang ada, ketentuan hardship dalam PECL, ICC, dan

UPICC dianggap sebagai soft law sehingga tidak mewajibkan

2
Agus Yudha Hernoko, “”Force Majeure Clause” atau “Hardship Clause” Problematika
dalam Perancangan Kontrak Bisnis”, Perspektif, Vol. XI, No.3, 2006, hlm. 216.
3
Hubert Konarski, “Force Majeure and Hardship Clause in International Contractual
Practice”, Op.Cit., hlm. 16.
4
Ibid.,
prinsip tersebut untuk dituangkan dalam kontrak. Namun, dalam

perkembangan hukum kontrak di negara Inggris telah mengadopsi

prinsip hardship dan memasukkan ketentuan ini secara tegas di

dalam kontrak mereka untuk memberikan perlindungan yang

terjamin. Klausul semacam ini ini lebih dikenal sebagai “economic

hardship” di Inggris dan sudah bertahun-tahun digunakan pada

kontrak energi, seperti halnya klausul hardship telah menyediakan

mekanisme untuk memperhitungkan volatilitas yang melekat pada

pasar energi seperti fluktuasi harga minyak dan kerentanan pasar

energi terhadap tren ekonomi makro yang luas. 5

Klausul “economic hardship” yang dianut dalam hukum

Inggris mengatur bahwa pihak-pihak yang terkena dampak dari

perubahan keadaan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan

radikal yang tak terduga dalam kondisi pasar dapat bersama-sama

mempertimbangkan adanya penyesuaian dalam kontrak. 6

Pengadilan di Inggris memberlakukan implikasi dari keadaan sulit

secara kontraktual yang dimasukkan secara tegas dalam kontrak

dan dirancang dengan kepastian yang cukup untuk dapat

ditegakkan.7

5
James Langley, Matthew Vinall, and Matthew Turner, “Three degrees of hardship: an
English Law Perspective”,
https://www.dentons.com/en/insights/articles/2021/january/22/three-degrees-of-hardship-
an-english-law-perspective#footnote5-ref, diakses pada 2 Mei 2023.
6
Ibid.,
7
Ibid.,
i. Superior Overseas Development Corporation and Phillips

Petroleum (U.K.) Co. Ltd. v. British Gas Corporation (1981)

Kasus yang cukup familiar di Inggris ini melibatkan British

Gas Corporation selaku pembeli gas alam dan juga penjual gas

alam (purchaser and seller) yang dibagi menjadi beberapa sub-

company yakni Phillips Group dan Arpet Group dan subdivisi

lebih lanjut yaitu Superior Overseas Development Co.Ltd dan

asosiasinya. Pada tahun 1968, Phillips Group dan British Gas

Corporation membuat perjanjian jual beli gas alami. Di dalam

perjanjian tersebut, pada Pasal 10(7)a tertulis bahwa akan ada

penetapan peninjauan harga oleh Panel Ahli jika sewaktu-waktu

terjadi perubahan keadaan ekonomi yang menimbulkan keadaan

sulit (substantial hardship).

Pada tahun 1976, seluruh anggota Phillips Group dan Arpet

Group mengajukan klaim atas hardship yang didengar oleh panel

ahli, namun penentuan yang dibuat oleh panbel tidak

sepenuhnya memuaskan salah satu pihak sehingga para pihak

sepakat untuk mengubah putusan tersebut. Hal ini

menyebabkan, pada 1 Oktober 1980, seluruh penjual

mengajukan klaim hardship terhadap British Gas Corporation.

Selanjutnya, klausula hardship untuk mengatasi hal-hal seperti

ini sebenarnya sudah tersedia dalam perjanjian, dalam Article 10

(7) perjanjian tertulis:


(a) “If at any time or from time to time during the contract

period there has been any substantial change in the

economic circumstances relating to this Agreement and

(notwithstanding the effect of the other relieving or

adjusting provisions of this Agreement) either party feels

that such change is causing it to suffer substantial

economic hardship then the parties shall (at the request of

either of them) meet together to consider what (if any)

adjustment in the prices then in force under this

Agreement or in the price revision mechanism contained

in Clauses 4, 5 and 6 of this Article are justified in the

circumstances in fairness to the parties to offset or

alleviate the said hardship caused by such change.

(b) If the parties shall not within ninety (90) days after any

such request have reached agreement on the

adjustments (if any) in the said prices or price revision

mechanism which are to be made then the matter may

forthwith be referred by either party for determination by

experts to be appointed in the manner set out in Article

xviii hereof save that the appointment of the third expert

referred to in Clause 1(c) of that Article shall in any event

be made by the Minister of Power in consultation with the

Lord Chancellor.
(c) The experts shall determine what (if any) adjustments in

the said prices or in the said price revision mechanism

shall be made for the purposes aforesaid and any revised

prices or any change in the price revision mechanism so

determined by such experts shall take effect six (6)

months after the date on which the request for the review

was first made".8

Dapat dilihat bahwa dalam penyusunan kontrak antara

Superior Overseas Development and Phillip Petoroleum (U.K)

dengan British Gas Corporation telah mengadopsi ketentuan

Hardship yang dimasukkan sebagai bagian klausul dalam

kontrak. Di mana, tertulis dalam Article 10 (7) sub-paragraf a-b

bahwasanya, apabila terjadi perubahan yang menimbulkan

implikasi pada kesulitan yang diderita oleh salah satu pihak

maka para pihak dapat bertemu untuk melakukan negosiasi dan

penyesuaian terhadap harga, apabila saat melakukan

renegosiasi tidak dicapai kesepakatan maka para pihak dapat

mengajukan penyesuaian harga yang dilakukan panel ahli,

apabila keputusan panel ahli tidak juga memuaskan maka para

pihak dapat mengajukan klaim kepada majelis arbitrase atau

pengadilan. Ketentuan ini disusun serupa dengan ketentuan


8
Superior Overseas Develoment Corporation v. British Gas Corporation, [1981] EWCA
Civ J0728-2.
tinjauan harga yang biasanya ditemukan dalam kontrak-kontrak

energi di Amerika, namun perbedaannya klausula hardship ini

hanya berlaku jika terjadi perubahan ekonomi yang

menyebabkan kesulutan bagi salah satu pihak. 9 Dalam hal para

pihak tidak dapat menyelesaikan peninjauan harga secara

damai, maka dibutuhkan keputusan dari majelis arbitrase atau

pengadilan untuk menyelasaikan hal tersebut.

ii. Associated British Ports v. Tata Steel UK Limited

Kasus Associated British Ports v. Tata Steel UK Limited

diputuskan dalam persidangan di Royal Courts of Justice

London pada Maret 2017. Kasus ini bermula dari adanya klaim

yang diajukan oleh Associated British Ports untuk meminta

permohonan penjelasan kepada majelis sidang untuk

menginterpretasikan klausul yang ada dalam perjanjian

lisensinya dengan Tata Steel UK Limited. Associated British Port

memiliki dan mengoperasikan 21 (dua puluh satu) pelabuhan di

Britania Raya dan Tata Steel UK Limited adalah pemilik bisnis

pembuatan baja, di dekat salah satu pelabuhan milik Associated

British Port terdapat pabrik baja milik Tata Steel, sehingga pada

1 Maret 1995 keduanya membentuk perjanjian lisensi untuk

menetapkan hak dan kewajiban antara Tata Steel UK Limited

9
Phillip Spencer Ashley dan Ben Holland, “Natural Gas Price Reviews: Past, Present,
and Future”, Journal of Energy & Natural Resources Law, 30 (1), 2015, hlm. 34.
dan Associated British Ports sehubungan dengan penggunaan

fasilitas Tidal Harbour milik Associated British Ports oleh Tata

Steel UK Limited.10

Pada tanggal 11 Februari 2016, Tata Steel UK Limited telah

memberikan pemberitahuan kepada Associated British Ports

tentang adanya perubahan kondisi keuangan dan meminta

dilakukan renegosiasi untuk merundingkan beberapa

amandemen dalam perjanjian terutama mengenai separuh dari

biaya pelaksanaan kontrak yang dibayarkan oleh Tata Steel UK

Limited. Pemberitahuan ini didasarkan pada Pasal 22 Perjanjian

yang berbunyi:

“It is hereby agreed between the parties that in the event of any

major physical or financial change in circumstances affecting the

operation of [Tata's] Works at Llanwern or Port Talbot or ABP's

operation of the Tidal Harbour on or at any time after the 15th

day of September 2007 either party may serve notice on the

other requiring the terms of this Licence to be re-negotiated with

effect from the date on which such notice shall be served. The

parties shall immediately seek to agree amended terms

reflecting such change in circumstances and if agreement is not

reached within a period of six months from the date of the notice

the matter shall be referred to an Arbitrator (whose decision shall


10
Associated British Port v. Tata Steel UK Limited, [2017] EWHC 694 (Ch)
be binding on both parties and who shall so far as possible be an

expert in the area of dispute between the parties) to be agreed

by the parties or (if the parties shall fail to agree) to be appointed

on the joint application of the parties or (if either shall neglect

forthwith to join in such application then on the sole application of

the other of them) by the President for the time being of the Law

Society.”

Berdasarkan bunyi klausul di atas, dapat disimpulkan bahwa

kontrak antara keduanya mengakui adanya penerapan klausula

hardship dan menyediakan upaya renegosiasi sebagai solusi

dalam hal terjadi kondisi hardship. Di sisi lain, Associated British

Port merasa bahwa tidak ada perubahan ekonomi yang besar

dalam keadaan sehingga kondisi yang diajukan oleh Tata Steel

tidak cukup untuk memicu berlakunya klausul tersebut. Namun,

dalam keputusannya, hakim memutuskan bahwa klausul

tersebut tetap valid meskipun tidak ada tolak ukur yang jelas

dalam menentukan perubahan ekonomi yang besar, hakim

mencatata bahwa tidak sulit untuk menentukan arti komersial di

balik klausul tersebut. Sehingga frasa tersebut cukup pasti dan

menjamin untuk dapat ditegakkan.11

11
Stevens & Boltons, “High Court Rules “Renegotiation” Clause in Commercial Contract
is Not Void for Uncertainty”,
https://www.stevens-bolton.com/site/insights/articles/commercial_contract_re_negotiation
_clause_is_not_void, diakses pada 3 Mei 2023.
Penyusunan klausul hardship yang tertuang dalam kontrak

tersebut mengadopsi prinsip hardship secara umum di mana

adanya upaya renegosiasi dalam hal perubahan keadaan yang

dapat mempersulit pelaksanaan kontrak dan apabila dalam

jangka waktu yang sudah ditentukan para pihak tidak dapat

menyepakati hasil renegosiasi, permasalahan tersebut dapat

diajukan kepada majelis arbitrase atau pengadilan sesuai

dengan kesepakatan dalam kontrak.

B. Implementasi Pemberlakuan Prinsip Hardship dalam

Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia

Hukum Kontrak di Indonesia berkiblat sepenuhnya pada

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUHPer yang telah

diadopsi dari undang-undang Hukum Perdata peninggalan

Belanda. Dalam konteks hukum Indonesia, KUHPer tidak

mengenali prinsip keadaan sulit atau hardship sehingga tidak akan

ditemukan satu pun ketentuan dalam KUHper yang mengatur

mengenai pengaturan hardship. Meskipun demikian, Naskah RUU

Tentang Kontrak yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN) RI pada tahun 2013 menuliskan beberapa

ketentuan internasional yang perlu diadopsi dalam adanya

perkembangan hukum kontrak di Indonesia, di mana salah satunya

adalah mengenai hardship.


Dalam praktik transaksi komersial bisnis, kiranya perlu untuk

mulai mempertimbangkan penerapan klausula hardship untuk

mengatasi masalah kontraktual. Implementasi klausula hardship

dapat dijadikan sebagai “escape clause” untuk menjadi alternatif

apabila terdapat perubahan secara fundamental yang

memengaruhi keseimbangan kontrak.12 Dimuatnya klausula

hardship dalam kontrak bisnis di Indonesia selain menjadi alternatif

dalam hal terjadi keadaan sulit, dapat juga untuk mengatasi

kesulitan dalam penerapan doktrin frustration atau kegagalan

kontrak dan doktrin overmacht atau keadaan memaksa.13

Meskipun hukum kontrak di Indonesia tidak mengenal

prinsip hardship dan sampai saat ini belum ada pengaturan yang

tegas, dalam praktik pengadilan sebenarnya sudah ada beberapa

kasus di mana pengadilan ataupun para pihak yang berperkara

menerapkan konsep hardship dalam kasus keadaan sulit yang

terjadi dalam hubungan kontraktual para pelaku bisnis di Indonesia,

umumnya hakim menggunakan dasar terkait perubahan keadaan

seperti force majeure yang diatur dalam KUHPer dan merujuk pada

asas itikad baik dalam perjanjian.

i. Putusan Nomor 2817K/Pdt/2013 mengenai kasus antara PT

Adhi Karya (Persero) Tbk dan Pemerintah Daerah

Kabupaten Pelalawan
12
Agus Yudha Hernoko, “”Force Majeure Clause” atau “Hardship Clause” Problematika
dalam Perancangan Kontrak Bisnis”, Op. Cit., hlm. 221.
13
Ibid., hlm. 222.
Kasus antara PT Adhi Karya dan Pemerintah Daerah

Kabupaten Pelalawan bersumber dari dibentuknya Perjanjian

Pembangunan Sarana dan Prasarana Ibadah Pekerjaan 06

Pembangunan Mesjid Agung di Pangkalan Kerinci melalui

pelelangan yang telah menetapkan, memutus, dan menunjuk PT

Adhi Karya sebagai pemenang lelang atas pelaksanaan

pembangunan masjid tersebut dengan nilai perjanjian sejumlah

Rp 29.588.000.000,00 dengan Jaminan Pelaksanaan sejumlah

Rp 1.479.400,00. Perjanjian ini ditetapkan selama jangka waktu

pelaksanaan 20 (dua puluh) bulan dan jangka waktu

pemeliharaan selama 6 (enam) bulan.

Selama pelaksanaan pekerjaan berlangsung, terjadi

perubahan keadaan di mana Kementerian Energi Sumber Daya

Mineral mengeluarkan kebojakan moneter melalui Peraturan

Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2008 tentang Harga Jual

Eceran Bahan Bakar Minyak, Jenis Minyak Tanah (Kerosene),

Bensin Premium dan Minyal Solar (Gasoline) untuk Keperluan

Rumah Tangga, Usaha Kecil, Usaha Perikanan, Transportasi

dan Pelayanan Umum. Peraturan Menteri ESDM ini

menimbulkan pula adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak

(BBM) yang secara langsung berimplikasi pada setiap sektor

industri, ekonomi, dan tidak menutup kemungkinan pada usaha

jasa konstruksi karena adanya kenaikan harga barang, bahan,


serta upah yang dipakai dalam pembangunan proyek menjadi

naik sehingga mengakibatkan pula kenaikan biaya dan nilai

pengerjaan dari PT Adhi Karya. Dalam hal ini, PT Adhi Karya

selaku pelaksana dalam proyek merasa dirugikan dengan

mengeluarkan biaya ekstra di luar kesepakatan yang dituangkan.

PT Adhi Karya berdasarkan itikad baik tetap melaksanakan

pekerjaannya dengan catatan mengupayakan adanya

penyesuaian harga/esklasi terhadap pengerjaan proyek yang

telah dikerjakannya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan, namun Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan

tidak pernah mengajukan adanya penyesuaian anggara kepada

instansi terkait untik menentukan esklasi harga. Oleh karenanya,

PT Adhi Karya mengajukan gugatan mengenai hal ini. PT Adhi

Karya dalam gugatannya mendalilkan bahwa penyesuaian

anggaran untuk harga/eskalasi dari proyek merupakan tanggung

jawab dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (4) Kontrak Induk

yang memuat ketentuan mengenai dimungkinkannya untuk

mengajukan penyesuaian harga/eskalasi dalam hal adanya

kebijakan pemerintah dalam bidang moneter yang secara resmi

menetapkan adanya kenaikkan harga yang di mana termasuk

dalam keadaan force majeure dalam pelaksanaan kontrak

tersebut.
Sebelum adanya putusan kasasi yang menolak gugatan dari

Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan, Putusan Nomor

07/PDT.G/2012/PN.Plw yang merupakan putusan atas gugatan

PT Adhi Karya telah mengabulkan gugatan PT Adhi Karya untuk

sebagian dengan menyatakan bahwa ketentuan dalam kontrak

induk adalah sah menurut hukum dan telah menetapkan

Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan telah melakukan

perbuatan wanprestasi dan menghukumnya untuk melakukan

pemenuhan permintaan audit dan pembayaran penyesuaian

harga/eskalasi dari pelaksanaan kontrak.

ii. Putusan Nomor 21/PAILIT/2016/PN-NIAGA Sby mengenai

kasus antara PT Insam Batubara Energy dan CV Arjuna

Perseteruan antara PT Insam Batubara Energy dan CV

Arjuna berawal dari adanya permohonan pailit yang diajukan

oleh PT Insam Batubara Energy terhadap CV Arjuna

dikarenakan CV Arjuna mempunyai utang kepada PT Insam

Batubara Energy yang lahir atas Kontrak untuk Jual Beli

Batubara Uap (Steam Coal) atau Contract For Sale and

Purchase of Steam Coal No: SPA-ARJ-IBE-2015-00 dan

Perjanjian Pembayaran No: Payment-ARJ-NJM-IBE-2015.

Berdasarkan kontrak jual beli batubara uap PT Insam Batubara

Energy telah melakukan pembayaran berupa prepayment senilai


US$ 3.000.000,00 (tiga juta Dollar Amerika Serikat) untuk

pembelian batubara dari CV Arjuna, namun dalam pelaksanaan

yang baru berjalan selama 5 (lima) bulan, CV Arjuna berhenti

menjual batubara kepada PT Insam Batubara Energy dan hal

tersebut mengakibatkan PT Insam Batubara Energy mengalami

kerugian.

Dalam pembelaannya melalui kuasa hukumnya, CV Arjuna

menyatakan bahwa terhentinya penyerahan batubara kepada PT

Insam Batubara Energy adalah karena adanya kondisi ekonomi

yang seharusnya membuat para pihak melakukan negosiasi

kontrak ulang (hardship). Kondisi hardship terjadi akibat dari

adanya harga batu baran yang turun secara drastis dalam

rentang waktu Desember 2015/2016 kala itu yang telah

membuat CV Arjuna merygi karena telah mengeluarkan dana

untuk investasi dan modal kerja sehingga tidak mungkin

melanjutkan pengadaan batu bara agar tidak memperarah

kerugian bagi CV Arjuna. Penghentian suplai tersebut juga

dilakukan atas niat untuk menghindari kerugian dari PT Insam

Batubara Energy yang merupakan trader batu bara dan bukan

pengguna akhir batu bara mengingat harga pasar yang tidak

kondusif untuk melakukan perdagangan batu bara.

Dalam persidangan ini, dihadirkan pula beberapa Saksi Ahli

untuk memberikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan PT


Insam Batubara Energy dan CV. Arjuna, di mana dalam

keterangan ahli Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. berpendapat

bahwa penundaan pelaksanaan dan kewajiban renegosiasi atas

adanya hardship harus dituangkan dalam kontrak yang

ditandatangani karena tidak adanya pengaturan mengenai hal ini

dalam hukum perjanjian Indonesia sehingga sulit untuk

menjadikan dasar dari prinsip ini untuk menghilangkan kewajiban

CV. Arjuna untuk membayar kewajiban utangnya kepada PT

Insam Batubara Energy.

Kasus ini berujung pada ditolaknya permohonan Pailit yang

diajukan oleh PT Insam Batubara Energy terhadap CV Arjuna.

Namun, tidak ada putusan hakim yang berisikan penyelesaian

mengenai hal-hal lain yang bersifat kontraktual seperti upaya

untuk melakukan renegosiasi atas kondisi hardship yang terjadi

karena dalam kontrak antara keduanya terdapat klausula

arbitrase, sehingga substansi lain di luar kepailitan diselesaikan

oleh para pihak melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI).

Dilihat dari kedua kasus di atas, bahwasanya prinsip

hardship tidak secara eksplisit diadopsi oleh hakim dalam

pertimbangannya memutuskan suatu putusan, namun

digunakannya prinsip hardship dalam beberapa dalil gugatan serta

pengadopsian prinsip ini ke dalam klausula kontrak telah tercermin


dari adanya contoh-contoh kasus di atas. Hal ini tentu dapat

menjadi salah satu faktor pertimbangan hakim untuk melakukan

pengukuran kondisi yang sedang dialami oleh para pihak.

Dalam contoh kasus antara PT Adhi Karya dan Pemerintah

Daerah Kabupaten Pelalawan telah dimuat sebuah klausul

mengenai penyesuaian harga/eskalasi yang menjadi mode

alternatif dalam hal terdapat sebuah perubahan kebijakan moneter.

Model klausula ini telah diadopsi di beberapa negara dalam energi

industri untuk menghadapi masalah atau peristiwa sejenis dan

dikenal dengan istilah “Price Review Clause”. Klausula ini pernah

ditemukan dalam perjanjian di Amerika, contohnya pada

Agreement for the Sale and Purchase of Liquified Natural Gas

(Sonatrach and Distrigas Corporation LNG SPA, 1976).14

C. Kebiijakan Domestic Market Obligation (DMO) pada Sektor

Batu Bara di Indonesia dan Dampaknya dalam Pelaksanaan

Kontrak Jual Beli Batu Bara Internasional

Sebagai salah satu produsen sekaligus eksportir batu bara

terbesar di dunia, pemerintah Indonesia menggulirkan beberapa

cara untuk tetap menjaga cadangan batu bara untuk kebutuhan

domestik. Melalui konstitusi negara UUD 1945, UU Minerba, hingga

sejumlah peraturan derivatif lainnya di bidang mineral dan batu

14
Phillip Spencer Ashley dan Ben Holland, “Natural Gas Price Reviews: Past, Present,
and Future”, Op. Cit., hlm. 34.
bara mengatur tentang kewajiban para perusahaan batu bara untuk

memenuhi kebutuhan cadangan batu bara dalam negeri untuk

kepentingan nasional sebelum melakukan ekspor ke luar negeri.

Kebijakan untuk memenuhi kebutuhan cadangan batu bara dalam

negeri atau kerap dikenal dengan istilah DMO memiliki tujuan untuk

menjamin terpenuhinya kebutuhan batu bara dalam negeri secara

berkelanjutan dan mencegah terjadinya kelangkaan batu bara di

dalam negeri.15’

Kerangka mengenai DMO memang dimuat di beberapa

kerangka normatif di Indonesia, namun istilah mengenai DMO

sendiri disebutkan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018

tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara

sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Permen

ESDM Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25

Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan

Batu Bara, yang menyatakan adanya pengendalian penjualan batu

bara yang bertujuan untuk menjamin pasokan kebutuhan dalam

negeri. Di mana Menteri ESDM berhak untuk menetapkan jumlah

dan jenis kebutuhan batu bara untuk pemenuhan kebutuhan dalam

negeri (domestic market obligation/DMO).


15
Ice Fachmi, Tri Soelistyo, dkk., “Pengaruh Kebijakan DMO Batubara Terhadap
Ketahanan Energi Nasional dalam Mendukung Pertahanan dan Keamanan Negara”,
Jurnal Patriot Biru Triwulan Ketiga, Vol 1, No.3, 2022, hlm. 60.
Kebijakan DMO umumnya mewajibkan untuk para

pemegang izin pertambangan dan pengolahan batu bara untuk

meyisihkan total produksinya sebanyak 25% dari presentase total

produksi tahunan untuk cadangan domestik, namun pada awal

tahun 2022 pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan DMO

dengan sanksi pelarangan ekspor batu bara ke luar negeri akibat

dari tidak terpenuhinya pasokan batu bara pada tahun sebelumnya

yang disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang tidak

memenuhi target DMO pada tahun 2021. 16 Pengendalian ekspor ini

ditujukan untuk mengamankan ketersediaan batu bara dalam

negeri untuk jangka panjang, pembatasan ini dalam jangka pendek

dapat berimplikasi pada pengurangan pendapatan negara maupun

perusahaan tambang17 karena tidak adanya keuntungan dari

ekspor yang masuk.

Para produsen batu bara di Indonesia memang lebih tertarik

untuk menjual hasil produksi batu bara ke pasar internasional

dibanding dalam negeri, keuntungan dari adanya lonjakan harga

batu bara pada tahun 202118 menjadi salah satu faktor kuat

tingginya nilai ekspor dan tidak terpenuhinya target DMO dalam

negeri. Pengendalian ekspor ini sebetulnya bukan poin utama dari

kebijakan DMO, menilik pada 3 (tiga) peraturan terakhir yang


16
Ibid., hlm. 61.
17
Hanan Nugroho, “Coal As the National Energy Supplier Forward: What are Policies to
be Prepared?”, Jurnal Perencanaan Pembangunan, Vol. 1, No.1, 2017, hlm. 8.
18
Ice Fachmi, Tri Soelistyo, dkk., “Pengaruh Kebijakan DMO Batubara Terhadap
Ketahanan Energi Nasional dalam Mendukung Pertahanan dan Keamanan Negara”, Op.
Cit., hlm. 61.
mengatur DMO, Keputusan Menteri ESDM 139

K/HK.02/MEM.B/2021 dan Keputusan Menteri ESDM 13

K/HK.021/MEM.B./2022 mengatur adanya larangan ekspor bagi

yang tidak memenuhi target DMO serta dalam Keputusan Menteri

ESDM 13 tahun 2022 mengatur pula adanya sanksi administratif.

Hal ini menunjukan bahwa pada setidaknya triwulan pertama tahun

2022, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan pengendalian

ekspor akibat tidak terpenuhinya target DMO pada tahun 2021.

Selanjutnya, peraturan terbaru dalam lingkup pengaturan DMO,

Keputusan Menteri ESDM 267 K/MB.01/MEM.B./2022 sudah

menghilangkan larangan ekspor ini kecuali apabila produsen tidak

membayarkan denda dan dana kompensasi atas kelalaiannya

dalam tidak memenuhi target DMO.

Larangan ekspor yang terjadi pada awal tahun 2022 tentu

telah membatasi pergerakkan seluruh perusahaan batu bara, baik

bagi mereka yang telah memenuhi target maupun belum memenuhi

target. Pembentukkan kebijakan semacam ini biasanya berdampak

masif dan merata sehingga para perusahaan yang sudah

memenuhi target tetap terkena imbas dari kebijakan ini. Para

perusahaan batu bara secara bersamaan melakukan klaim force

majeure atas adanya peristiwa tersebut dengan dasar adanya

perubahan kebijakan pemerintah atau governmental force majeure.


Salah satu kasus yang terjadi adalah pada PT Kaltim Prima

Coal (KPC), salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di

Indonesia yang berada di Kalimantan Timur ini terkena dampak dari

adanya larangan ekspor meskipun pada saat itu KPC sudah

memenuhi target DMO yang bahkan sudah melebihi target. KPC

pun melakukan klaim force majeure kepada importir karena tidak

dapat melakukan ekspor ke luar negeri akibat adanya larangan

ekspor yang diterapkan secara masif oleh pemerintah di Indonesia.

Yang menjadi catatan dalam hal ini adalah, tidak semua

perusahaan telah memenuhi target, namun semua perusahaan

tambang batu bara terkena dampak larangan ekspor ini, oleh

karenanya validitas atas aksi klaim force majeure yang hampir

dilakukan oleh seluruh perusahaan dapat menjadi pertanyaan.

Tidak dapat dilaksanakannya kegiatan ekspor akibat dari

perubahan kebijakan DMO di Indonesia tentu menjadi perhatian

khusus bagi para pelaku usaha di Indonesia maupun pelaku usaha

luar negeri yang hendak melakukan transaksi lintas batas, dalam

hal ini jual beli batu bara yang berasal dari Indonesia. Negara-

negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Filipina yang banyak

mengadalkan pasokan batu bara dari Indonesia 19 perlu

mempertimbangkan mengenai eksistensi kebijakan DMO yang

kerap berubah dari waktu ke waktu, bahkan dapat terjadi

perubahan sebanyak 2 (dua) kali dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.


19
Ibid.,
Pembentukkan kontrak antara eksportir dan importir perlu mengatur

dengan tegas dan jelas mengenai perubahan kebijakan ini,

berdasarkan preseden yang sudah ada serta memahami betul

penerapan kebijakan ini dalam lapangan. Perubahan kebijakan

mengenai DMO bisa saja tidak hanya memengaruhi pelaksanaan

dalam hal ini membatasi ekspor, namun dapat juga memengaruhi

nilai dari pelaksanaan prestasi yang meningkat akibat adanya

perubahan kebijakan dalam negeri.

BAB IV

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERLAKUAN KLAUSULA

HARDSHIP DALAM MENGHADAPI DOMESTIC MARKET OBLIGATION


(DMO) BERDASARKAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

(FREEDOM OF CONTRACT) PADA KONTRAK JUAL BELI BATU

BARA INTERNASIONAL

D. Pengklasifikasian Domestic Market Obligation (DMO) sebagai

Klausula Hardship dalam Kontrak Jual Beli Batu Bara

Internasional

Hardship sebagai salah satu prinsip perubahan keadaan

yang telah diakui dalam perkembangan hukum kontrak

internasional telah membawa adanya pembaharuan pengaturan

hukum kontrak khususnya bagi kontrak-kontrak gas bumi, minyak

bumi, batu bara, dan objek-objek sumber daya alam lainnya yang

nilainya bergantung pada harga pasar. Dalam menentukan apakah

suatu keadaan dapat digolongkan sebagai keadaan hardship atau

tidak sebenarnya dibebaskan kepada para pihak dalam membuat

kontrak, karena tidak ada ketentuan seperti dalam CISG ataupun

UPICC yang mengatur secara tegas bentuk-bentuk kondisi seperti

apa yang dapat termasuk sebagai keadaan hardship.

Untuk menentukan suatu perubahan keadaan menjadi

keadaan hardship dapat dilakukan dalam beberapa cara:

1) Dituliskan Klausula Hardship dalam Kontrak

Dalam hal ini, para pihak telah terlebih dahulu

menuliskan dan memuat klausula hardship dalam


kontrak. Pembentukkan klausula ini dibebaskan kepada

para pihak, contoh dari klausula ini dapat dilihat pada

beberapa kasus seperti dalam kasus Associated British

Ports v. Tata Steel UK Limited20, di mana dalam kontrak

lisensi antara keduanya terdapat klausula economic

hardship, sehingga pada saat pelaksanaan kontrak

Tata Steel yang mengalami kesulitan kondisi keuangan

mengajukan renegosiasi kepada Associated British

Port.

Meskipun, dalam persidangan Associated British Port

mengajukan pembelaan bahwa tidak ada tolak ukur

yang pasti dalam menentukan adanya kesulitan

ekonomi, Hakim memutuskan bahwa meskipun

demikian kekuatan mengikat dalam klausula economic

hardship tetap berlaku dan mengikat para pihak, oleh

karenanya renegosiasi wajib untuk dilakukan pada saat

salah satu pihak merasakan adanya kondisi sulit atau


20
Lihat dalam kutipan putusan Associated British Port v. Tata Steel UK Limited [2017], “ It
is hereby agreed between the parties that in the event of any major physical or financial
change in circumstances affecting the operation of [Tata's] Works at Llanwern or Port
Talbot or ABP's operation of the Tidal Harbour on or at any time after the 15th day of
September 2007 either party may serve notice on the other requiring the terms of this
Licence to be re-negotiated with effect from the date on which such notice shall be
served.  The parties shall immediately seek to agree amended terms reflecting such
change in circumstances and if agreement is not reached within a period of six months
from the date of the notice the matter shall be referred to an Arbitrator (whose decision
shall be binding on both parties and who shall so far as possible be an expert in the area
of dispute between the parties) to be agreed by the parties or (if the parties shall fail to
agree) to be appointed on the joint application of the parties or (if either shall neglect
forthwith to join in such application then on the sole application of the other of them) by
the President for the time being of the Law Society.”
hardship yang membuatnya kesulitan untuk

melaksanakan prestasi dalam kontraknya.

2) Ditetapkan oleh Hakim atau Arbiter dalam

Penyelesaian Sengketa

Untuk menentukan apakah suatu kondisi sulit yang

sedang dihadapi oleh salah satu pihak dalam kontrak

adalah keadaan hardship dapat juga ditentukan oleh

Hakim atau Arbiter dalam pengadilan pada saat para

pihak mengajukan gugatan. Metode ini seperti

melakukan pengujian untuk menentukan apakah

kondisi yang dihadapi benar-benar kondisi hardship

atau force majeure atau mungkin juga perubahan

keadaan lain bahkan dapat juga dibuktikan bahwa

salah satu pihak wanprestasi dengan menghindari

pelaksanaan prestasi atas dasar terkena perubahan

keadaan yang mengubah keseimbangan kontraktual

sehingga ia tidak mampu melaksanakan prestaisnya.

Salah satu kasus di mana adanya putusan hakim

yang menetapkan salah satu pihak terkena hardship

sehingga tidak dapat melaksanakan prestasinya adalah

pada kasus Scafom International BV v. Lorraine Tubes

S.A.S, di mana kasus yang melibatkan Scafom

International sebuah perusahaan Belanda yang terikat


dalam kontrak jual beli baja dan Exma sebuah

perusahaan Perancis yang tidak memuat adanya

klausula penyesuaian harga sehingga pada saat

pelaksanaan kontrak, nilai baja pada saat itu naik

sekitar 70%. Exma selaku penjual melakukan

pemberitahuan dan meminta untuk adanya

penyesuaian harga karena adanya perubahaan tidak

terduga namun Scafom selaku pembeli tidak menerima

saran tersebut dan melakukan gugatan ke pengadilan

karena Exma tidak melaksanakan kewajibannya, yakni

mengirimkan objek baja yang diperjanjikan.

Pada putusan Mahkamah Agung Belgia, menetapkan

bahwa tidak dimuatnya klausula penyesuaian harga

tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya

penyesuaian atau peninjauan harga kembali bahkan

renegosiasi. Mahkamah Agung menyadari bahwa

kejadian kenaikkan harga ini bukan merupakan force

majeure, mengingat kontrak di antara keduanya tunduk

pada CISG dengan mengacu pada Article 7 (1) dan (2)

CISG di mana dapat dibuat untuk prinsip-priniso umum

yang mengatur hukum perdagangan internasional

seperti UPICC, maka Mahkamah Agung mengacu pada

prinsip hardship yang dimuat dalam UPICC di mana


pihak yang terdampak perubahan keadaan yang

menimbulkan ketidakseimbangan kontrak memiliki hak

untuk mengupayakn adanya renegosiasi kontrak. 21

Klausula keadaan sulit atau hardship merupakan ketentuan

hukum yang dapat dimasukkan ke dalam kontrak untuk melindungi

pihak yang berkontrak dalam menghadapi keadaan yang tidak

terduga. Klausula ini dirancang untuk mengurangi risiko pihak

kontraktual dengan mengizinkan adanya penyesuaian atau

interpretasi terhadap kontrak. Untuk menentukan apakah

perubahan kebijakan dalam DMO batu bara, khususnya mengenai

pelarangan ekspor batu bara dapat diklasifikasikan sebagai

hardship, maka dapat diintefikasi melalui unsur-unsur atau

karakteristik hardship itu sendiri.

i. Keadaan yang tidak terduga

Perubahan kebijakan DMO yang kian berubah setiap waktu,

bahkan dapat berubah dalam satu tahun lebih dari 2 (dua) kali

hingga terdapat ketentuan larangan ekspor batu bara dapat

dianggap sebagai keadaan yang tidak terduga jika perusahaan

atau pihak dalam kontrak terpengaruh tidak dapat memprediksi

atau mengatisipasi secara wajar bahwa perubahan tersebut

akan terjadi.
21
Amalina Ahmad Tajudin, “Scafom International BV v. Lorraine Tubes S.A.S. : a case
review of changing circumstances under the United Nations Convention on International
Sale of Goods (CISG) of 1980”, Juridical Tribune, Vol. 4, Issue 2, 2014, hlm. 215.
Jika kebijakan tersebut berubah tanpa adanya

pemberitahuan atau tanpa adanya indikasi sebelumnya, unsur

keadaan yang tidak terduga dapat menjadi argumen kuat untuk

melakukan klaim hardship bagi pihak yang terkena dampak.

ii. Risiko di luar kendali para pihak

Keadaan hardship kerap kali dikaitkan dengan situasi di

mana risiko yang muncul dari perubahan kebijakan atau kondisi

ekonomi tidak dapat dikendalikan oleh pihak yang terkena

dampak. Apabila perubahan kebijakan DMO batu bara terjadi

tanpa adanya mekanisme perlindungan atau pengaturan yang

memadai bagi perusahaan terpengaruh, maka perubahan

tersebut dapat memenuhi unsur tidak terkendalinya risiko oleh

para pihak.

Dalam hal ini, meskipun kebijakan DMO sudah berlaku sejak

lama, namun perubahan seperti dilarangnya melakukan ekspor

dapat menjadi hal yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya

oleh para pihak. Sesuai dengan pemaparan mengenai

ketentuan perubahan kebijakan DMO selama 1 (satu) tahun

terakhir menunjukan bahwa ketentuan seperti pelarangan

ekspor tidak selamanya berlaku. Bahkan hanya pernah terjadi 1

(satu) kali selama beberapa tahun terakhir.


iii. Perubahan keadaan terjadi dan diketahui setelah kontrak

disepakati

Perubahan kebijakan DMO agar dapat diklasifikasikan

sebagai suatu keadaan hardship harus terjadi pada saat

kontrak sudah disepakati. Merujuk pada data perubahan

kebijakan DMO, dapat dilihat bahwa kebijakan DMO yang

berubah dalam kurun waktu singkat dapat memberikan dampak

bahwa pada saat kontrak sudah disepakati perubahan

kebijakan mungkin saja timbul karena cepatnya perubahan

kebijakan ini.

Faktor rentang waktu yang begitu cepat dalam mengubah

kebijakan dapat memperkuat klasifikasi DMO menjadi hardship

dalam unsur perubahan keadaan terjadi pada saat kontrak

yang dibentuk oleh para pihak sudah disepakati.

iv. Nilai pelaksanaan menjadi sangat tinggi bagi salah satu

pihak sehingga tidak dapat melaksanakan prestasinya

(impossibility to perform)

Kondisi hardship merujuk pada situasi di mana perubahan

kebijakan atau kondisi ekonomi secara tidak adil merugikan

salah satu pihak secara signifikan dan menghambat

pelaksanaan kontrak bahkan menjadikan pihak tersebut tidak

dapat melakukan prestasinya. Perubahan kebijakan DMO


seperti pelarangan ekspor dapat memberikan keuntungan

dalam pasar domestik atau pihak lain di industri terkait,

sementara merugikan perusahaan batu bara yang bergantung

pada ekspor.

Perubahan kebijakan DMO yang ditentukan sebagai keadaan

sulit atau hardship bergantung pada ketentuannya, namun

perubahan yang cepat menimbulkan ketidakpastian yang dapat

merugikan para pihak dalam kontrak khususnya kontrak jual beli

batu bara internasional mengingat bahwa terdapat preseden

larangan ekspor yang dimuat dalam DMO. Di sisi lain, tidak

menutup kemungkinan pula dalam beberapa kasus, perusahaan

batu bara di Indonesia yang terikat dalam kontrak ekspor batu bara

dengan importir menghadapi kesulitan dalam memenuhi

persyaratan DMO yang lebih tinggi, terutama apabila pihak tersebut

tidak memiliki infrastruktur, teknologi, atau kapasitas produksi yang

memadai untuk memenuhi permintaan domestik yang meningkat.

Hal ini dapat mengakibatkan penurunan pendapatan, penurunan

profitabilitas, atau bahkan kerugian finansial bagi perusahaan

tersebut.

Merujuk pada adanya indikasi pada tahun mendatang bahwa

nilai DMO akan dinaikkan sebanyak 30%-35%, di mana rencana ini

dibahas oleh DPR RI pada Pasal 6 ayat (6) draft Rancangan


Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT). Di mana,

perusahaan tambang batu bara saat ini sudah mengalami kesulitan

untuk memenuhi DMO akibat dari tingginya harga batu bara di

pasar dunia.22

Selama regulasi tersebut belum dikeluarkan secara resmi, tentu

pelaku usaha tambang batu bara masih mengacu pada kebijakan

DMO sebesar 25% yang saat ini masih berlaku dan dapat pula

membentuk kontrak ekspor dengan proyeksi besaran DMO 25%.

Apabila dalam pelaksanaan kontrak nantinya keluar sebuah

kebijakan baru mengenai peningkatan persyaratan DMO, hal ini

tentu menjadi perubahan keadaan yang akan sulit dihadapi oleh

perusahaan tambang untuk beradaptasi dengan perubahan

kebijakan yang memerlukan investasi tambahan atau restrukturisasi

operasional dan di saat yang bersamaan harus melakukan pula

ekspor batu bara kepada importir yang telah terikat dalam kontrak

jual beli sebelumnya.

Apabila melihat kembali pada ketentuan di bawah pengaturan

prinsip-prinsip dalam UPICC, maka harus dilakukan analisis terlebih

dahulu terhadap unsur-unsur prinsip hardship dalam UPICC.

Prinsip hardship dalam UPICC bukan sebuah hukum yang

mengikat secara langsung dalam kontrak, oleh karenanya

karakteristik tersebut biasanya melihat pada kondisi faktual dan


22
Muhammad Fajar Riyandanu, “Terungkap, DMO Batu Bara Dinaikkan Menjadi 30%
dalam RUU EBT”, https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/623458e2778ce/terungkap-
dmo-batu-bara-dinaikkan-menjadi-30-dalam-ruu-ebt, diakses pada 15 Mei 2023.
pengujian pada pengadilan, sehingga akan lebih sulit untuk

menentukannya. Terdapat 4 (empat) karakteristik utama mengenai

prinsip hardship dalam UPICC, seperti unforseeability, fundamental

change of circumstances, execessive onerousness, dan good faith.

Apabila membahas kembali mengenai unforseeability, fundamental

change of circumstances, dan execessive onerousness maka

argumen DMO sebagai hardship sudah dikuatkan pada penjelasan

sebelumnya, akan tetapi mengenai good faith sendiri menekankan

pada upaya renegosiasi yang dilakukan oleh para pihak, apakah

sudah ada upaya tersebut atau belum.

Alasan-alasan internal yang berkorelasi dengan kesulitan

operasional, manajemen perusahaan, restrukturisasi finansial,

manajemen kegiatan sosial mungkin tidak akan pernah diterima

sebagai alasan hardship sebagai perostiwa di luar kendali.

Demikian pula dengan alasan kebijakan publik, pengadilan

arbitrase internasional kerap kali cenderung mengabaikan

pemisahan hukum dan kepentingan antara perusahaan dan

kebijakan negara.23

Meskipun sulit untuk mengukur apakah perubahan kebijakan

DMO dapat diklasifikasikan sebagai keadaan sulit atau tidak karena

pada dasarnya prinsip mengenai hardship ini juga memiliki

ketentuan yang berbeda-beda. Secara umum, melihat perubahan

23
R. Costa, “Adaptation of The International Investment Contract: The Hardship Clause”,
(dissertation), 2014, hlm. 40
kebijakan DMO yang berubah dalam waktu yang cukup singkat,

adanya indikasi perubahan kebijakan DMO dalam hal besaran atau

nilai kewajiban DMO, ketentuan kebijakan yang memberatkan

pelaku usaha untuk melakukan ekspor atau melaksanakan

prestasinya dalam kontrak jual beli batu bara internasional, hingga

perubahan kebijakan yang dapat terjadi saat kontrak sudah

disepakati menunjukkan bahwa meskipun ketentuan dalam

kebijakan DMO belum tentu berdampak menjadi keadaan sulit

namun perubahan kebijakan DMO yang memberikan

ketidakpastian bagi para pihak dan berdampak pada kewajiban

kontraktual dapat menjadi suatu keadaan sulit yang menyulitkan

penjual batu bara atau eksportir dan merugikan pihak lainnya dalam

hal ini pembeli atau importir batu bara dari Indonesia.

E. Pemberlakuan Klausula Hardship dalam Suatu Kontrak Jual

Beli Batu Bara Internasional di Indonesia akibat Perubahan

Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) berdasarkan

Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Hukum kontrak di Indonesia yang tidak mengakui prinsip

mengenai hardship membuat pencantuman klausul hardship

sangat lazim ditemukan pada kontrak-kontrak bisnis di Indonesia.

Faktanya, hukum kontrak yang berlaku di Indonesia pada saat ini

merupakan warisan hukum kolonial yang sudah tidak dapat lagi


mengakomodasi perkembangan bisnis dan perkembangan

perdagangan internasional yang berkembang pesat dan juga

memiliki pengaruh besar bagi para pelaku usaha di Indonesia.

Sejarah pembentukan kontrak internasional berawal dari adanya

resolusi yang dibentuk oleh Institute of International Law (IDI)

melalui sidang di Swiss pada tahun 1991 yang memperkenalkan

The Autonomy of the Parties in International Contract Between

Private Persons or Entities.24 Bersumber dari resolusi tersebut

mulai dikenal pula 2 (dua) prinsip utama dalam membentuk kontrak

internasional antara para lembaga privat: 1. Prinsip Otonomi Para

Pihak (autonomy of the parties) dan 2. Prinsip Kebebasan

Berkontrak (freedom of contract).25

Dalam hukum kontrak internasional, otonomi para pihak

memberikan kebebasan bagi mereka yang ingin mengikatkan diri

dalam kontrak internasional untuk membuat klausula dan anatomi

kontrak berdasarkan kesepakatan para pihak. Kedua prinsip ini

lebih banyak menekankan mengenai kebebasan bagi para pihak

untuk memilih pilihan hukum yang akan berlaku terhadap kontrak

tersebut dan juga hukum yang dipilih berupa hukum nasional yang

disepakati dan harus dituangkan dalam bentuk tertulis. 26 Di

samping itu, para pihak juga bisa memilih perjanjian internasional

24
Huala Adolf, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, Op.Cit., hlm.
3.
25
Ibid., hlm. 4.
26
Ibid.,
seperti CISG menjadi pilihan hukum yang berlaku dalam kontrak

dengan cara yang sama seperti memilih hukum nasional tertentu,

namun CISG hanya bisa diaplikasikan dan berlaku jika kedua pihak

atau lebih yang terlibat dalam kontrak berlokasi di negara-negara

yang menjadi anggotanya atau telah meratifikasinya.

Indonesia tentu tidak dapat mengaplikasikan model hukum

CISG dalam kontrak yang dibentuk karena Indonesia belum

meratifikasi CISG, akan tetapi model hardship tidak hanya dimuat

dalam CISG, UPICC memiliki prinsip hardship dan mengingat

Indonesia telah meratifikasi UPICC maka prinsip hardship dapat

berlaku bagi kontrak di Indonesia. Tanpa memasukkannya sebagai

klausul, prinsip hardship seperti yang ada di UPICC sudah dapat

diberlakukan mengingat pula dalam pembentukkan kontrak

internasional di samping memerhatikan hukum yang menagtur

kontrak diikuti pula dengan prinsip hukum atau kebiasaan dagang

internasional. Akan tetapi, apabila tidak dimasukkan sebagai

klausula dalam kontrak, prinsip hardship baru akan berlaku pada

saat terjadi sengketa, di mana pihak dalam berkontrak dapat

menguji apakah kondisi yang sedang dihadapi olehnya merupakan

suatu hardship yang akan ditentukan oleh hakim atau arbiter

sehingga proses renegosiasi akibat hardship baru akan terjadi pada

saat putusan keluar.


Untuk mengantisipasi panjangnya proses dalam melakukan

klaim hardship dalam menghadapi perubahan kebijakan DMO yang

berindikasi menganggu keseimbangan kontrak, para pihak dapat

lebih dulu mengatur mengenai hal ini dengan memuat klausula

hardship yang mencantumkan beberapa kondisi yang dapat

menyebabkan hardship bagi para pihak yang berkontrak khususnya

mengenai perubahan kebijakan DMO terkait. Pencantuman

klausula hardship tentu dapat berfungsi sebagai alternatif sebagai

metode penyelesaian sengketa para pihak dalam menghadapi

perubahan kebijakan DMO yang secara fundamental dapat

menganggu atau mempengaruhi keseimbangan kontrak sehingga

menghambat pelaksanaan kontrak yang juga dapat merugikan para

pihak.

Meskipun prinsip hardship dalam UPICC bersifat sebagai

soft law tapi tidak menutup kemungkinan untuk para pihak

mengadopsi prinsip tersebut untuk dijadikan sebagai klausul dalam

kontrak mereka. UPICC dapat dijadikan sumber rujukan atau

referensi bagi pembaharuan modernisasi hukum kontrak Indonesia

karena prinsip dalam UPICC dianggap sebagai prinsip-prinsip

hukum kontrak modern yang merepresentasikan perkembangan

hukum kontrak internasional yang bersumber baik dari sistem

hukum civil law dan common law, meskipun UPICC adalah soft law

namun UPICC dapat digunakan sebagai referensi untuk


membentuk kontrak dengan adanya penyesuaian-penyesuaian

tertentu berdasarkan kebutuhan para pihak. 27

Pencantuman klausula hardship dalam kontrak jual beli batu

bara internasional dapat pula dilandasi dengan asas kebebasan

berkontrak para pihak, sejalan dengan Doktrin Transaksi atau

Tindakan Hukum (Legal Transaction atau Juristic Act) yang

dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa transaksi hukum

merupakan tindakan di mana individu diberi wewenang oleh hukum

untuk mengatur tindakan tertentu secara sah, transaksi tersebut

yang dinamakan dengan tindakan yang menciptakan hukum atau


28
law-creating act. Asas kebebasan berkontrak yang memberikan

kewenangan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak dapat

menjadi jalan pembuka bagi para pihak untuk dapat memuat

klausula hardship di dalam kontrak mereka khususnya

mencantumkan pula beberapa kondisi yang dapat diklasifikasikan

sebagai keadaan sulit dalam kontrak, contohnya saat terjadi

perubahan kebijakan DMO yang menganggu keseimbangan

kontrak bagi para pihak. Selain itu, dengan dicantumkannya

klausula hardship ini di dalam kontrak, dapat menjadi alternatif bagi

para pihak yang terkena dampak hardship untuk mengajukan

upaya renegosiasi sebagai jalan keluar untuk menghadapi

27
Subianta Mandala, “UPICC Sebagai Model Bagi Pembaruan Hukum Kontrak Indonesia
dalam Rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN”, Jurnal Media Hukum, Vol. 24, No.2, 2017,
hlm. 102.
28
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Op. Cit., hlm. 17.
perubahan kebijakan DMO yang berdampak untuk pihak yang

berkontrak.

Pemberlakuan prinsip hardship berdasarkan asas

kebebasan berkontrak dapat ditemukan contohnya pada kasus

antara PT Adhi Karya dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Pelalawan di mana dalam kontrak perjanjian Pembangunan Mesjid

Agung di Pangkalan Kerinci yang dibentuk terdapat sebuah

ketentuan mengenai penyesuaian harga/eskalasi dalam hal adanya

kebijakan pemerintah dalam bidang moneter yang secara resmi

menetapkan adanya kenaikkan harga di mana dikategorikan

sebagai keadaan force majeure. Penyesuaian harga ini dapat

dianggap sebagai pemberlakuan klausula hardship, karena bentuk

pengajuan penyesuaian harga sama saja dengan upaya untuk

melakukan renegosiasi dalam hal adanya keadaan sulit yang

menimpa pihak berkontrak dalam melaksanakan prestasinya.

Penyesuaian dalam memberlakukan klausula hardship dapat

beragam, karena hardship bukan sebuah klausula baku yang

memiliki bentuk baku dalam pengaturannya, kecuali apabila para

pihak ingin mengadopsi bentuk klausula hardship dalam model

CISG yang bersifat hard law dan wajib dipatuhi. Seperti yang sudah

diuraikan di atas, bahwa prinsip hardship seperti dalam UPICC

hanya bersifat soft law, oleh karena itu pemberlakuan klausula


hardship berdasarkan prinsip dalam UPICC dapat diadopsi sesuai

dengan kebutuhan para pihak.

Dalam membentuk kontrak, para pihak dapat measukkan

klausula hardship yang disesuaikan dengan kebutuhan dan

kepentingan mereka. Pada dasarnya klausula hardship adalah

ketentuan yang dimasukkan ke dalam kontrak untuk mengatur cara

penanganan jika terjadi perubahan keadaan yang sulit atau berat

bagi salah satu pihak yang diikuti dengan adanya upaya

renegosiasi. Dalam klausula hardship, para pihak dapat

menentukan definisi hardship, kriteria atau syarat-syarat yang

harus dipenuhi untuk mengklasifikasikan suatu situasi sebagai

hardship, serta langkah-langkah untuk mengambil upaya

renegosiasi yang akan diambil jika terjadi hardship. Misalnya,

klausula hardship dapat memuat kewajiban bagi pihak-pihak untuk

melakukan renegosiasi dalam rangka mencapai kesepakatan

mengenai perubahan kontrak, penangguhan sementara, ata

pemutusan kontrak dalam terjadinya situasi hardship yang telah

memenuhi kriteria dan syarat-syarat termuat dalam kontrak.

Kriteria atau unsur hardship yang telah diuraikan pada

pembahasan sebelumnya merupakan kriteria umum, akan tetapi

berdasarkan asas kebebasan berkontrak sendiri, para pihak dapat

menentukan lebih spesifik mengenai klausula hardship yang ingin

dibentuk dan diberlakukan dalam kontraknya seperti apa. Klausula


hardship yang disesuaikan harus jelas dan spesifik untuk

menghindari penafsiran atau ambiguitas yang mungkin muncul dan

juga perselisihan di kemudian hari. Para pihak juga dapat

mempertimbangkan faktor-faktor seperti perubahan ekonomi,

perubahan peraturan pemerintah, bencana alam, atau kejadian tak

terduga lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja kontrak dan

diklasifikasikan sebagai kondisi hardship dalam kontrak yang

dibentuk. Perlu menjadi catatan bahwa klausula hardship harus

dibuat dengan itikad baik dan menghormati prinsip-prinsip keadilan

serta kepentingan semua pihak yang terlibat.

Membentuk klausula hardship berdasarkan asas kebebasan

berkontrak dalam kontrak yang melibatkan pihak di Indonesia dapat

dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:

i. Mengadopsi prinsip hardship

Para pihak dapat terlebih dahulu mengadopsi prinsip

hardship yang berlaku dalam hukum kontrak

internasional seperti dalam UPICC. UPICC merupaka

sekumpulan prinsip kontrak komersial internasional dan

telah digunakan dalam beberapa kasus dan dianggap

oleh para ahli sebagai bagian dari Lex Mercatoria baru

dan bagian dari hukum kontrak yang dapat

diaplikasikan pada kontrak komersial internasional.


Salah satu ketentuan yang termuat dalam UPICC

adalah mengenai hardship, bahwa salah satu pihak

yang terdampak hardship memiliki hak untuk

mengajukan renegosiasi ulang tanpa adanya

penundaan yang tidak semestinya dengan

menunjukkan alasan yang mendasar. Dengan

memerhatikan prinsip dasar yang ada di UPICC, para

pihak dapat mengadopsinya untuk dimasukkan dalam

klausul kontrak.

Untuk menghadapi perubahan kebijakan DMO yang

menganggu keseimbangan kontrak batu bara, para

pihak dapat mengadopsi prinsip hardship yang ada

dalam UPICC untuk dimasukkan ke dalam kontrak

sebagai klausula.

ii. Identifikasi risiko hardship

Para pihak sebelum membentuk klausula hardship

dapat melakukan identifikasi terhadap risiko-risiko yang

mungkin muncul yang dapat menyebabkan keadaan

sulit atau memberatkan bagi salah satu pihak.

Misalnya, perubahan kondisi ekonomi, peraturan


pemerintah, atau kejadian tak terduga lainnya yang

dapat memengaruhi kinerja kontrak.

Dalam bisnis batu bara, pelaku usaha kerap kali

dihadapkan dengan berbagai risiko bisnis, risiko bisnis

dalam dunia batu bara dapat dibagi menjadi dua yakni

risiko bisnis yang normal dan risiko bisnis yang tidak

normal. Risiko bisnis yang normal adalah risiko bisnis

dengan peluang kejadiannya sampai dengan 99%

(sembilan puluh sembilan persen) dan sebagian besar

perusahaan mengetahui dan dapat menanggung risiko

ini, contoh risiko bisnis normal pada industri batu bara

adalah ketika adanya gelombang laut yang tinggi

sehingga tongkang yang mengangkut batu bara tidak

dapat berlabuh dan pengiriman batu bara menjadi

terlambat.

Saat terjadi gelombang laut tinggi hanya terjadi dalam

hitungan hari atau hitungan minggu sehingga hal

tersebut merupakan risiko bisnis normal yang kerap

terjadi dan berkaitan dengan bencana alam, di mana

risiko ini dapat ditanggung oleh perusahaan dan

operasional perusahaan dapat tetap berjalan.

Sedangkan risiko bisnis tidak normal dapat terjadi pada

saat penurunan harga batu bara yang terjadi selama 5


(lima) tahun bertutut-turut, menyebabkan kegiatan

operasional perusahaan tidak dapat berjalan karena

terhambatnya pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan

karena penuruhan harga batu bara tidak dapat

ditanggung oleh perusahaan.29

iii. Mencantumkan definisi hardship

Para pihak perlu untuk menentukan definisi hardship

yang sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam

kontrak, definisi hardship yang dibentuk harus dapat

menggambarkan situasi yang dapat diklasifikasikan

sebagai hardship dan memenuhi kriteria tertentu yang

disepakati oleh para pihak.

Dalam kasus memasukkan perubahan kebijakan

DMO di dalam kontrak, maka para pihak dapat

membentuk definisi yang spesifik seperti apabila

adanya perubahan kebijakan DMO yang memengaruhi

nilai presentase DMO sehingga menyebabkan adanya

peningkatan pengeluaran dalam melaksanakan

prestasi atau kebijakan yang menghalangi pihak untuk

melaksanakan prestasi dapat dijadikan suatu definisi

hardship dalam kontrak tersebut.

29
Pendapat Ahli DR. Adrian Teja, SE. MM dalam Putusan Nomor 21/PAILIT/2016/PN-
NIAGA Sby
iv. Menentukan kriteria hardship

Dalam membentuk klausula hardship, para pihak

perlu memerhatikan dan menetapkan kriteria atau

syarat-syarat yang harus dipenuhi agar situasi dapat

diklasifikasikan sebagai hardship. Seperti contoh,

perubahan signifikan dalam kondisi pasar, biaya yang

meningkat tanpa diduga, atau hambatan yang tak dapat

diatasi yang mengakibatkan kinerja kontrak menjadi

terlalu berat atau tidak mungkin dilaksanakan.

Kriteria umum dalam mendeterminasi suatu kondisi

menjadi situasi hardship adalah: 1) adanya suatu

perubahan yang signifikan terjadi pada nilai kontrak

yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, 2)

meningkatknya biaya pelaksanaan kontrak atau

berkurangnya nilai pelaksanaan kontrak yang

seharusnya diterima oleh salah satu pihak, 3)

perubahan keadaan terjadi dan diketahui setelah

kontrak disepakati, 4) perubahan terjadi di luar kendali

para pihak. Kriteria hardship pada umumnya condong

pada adanya peningkatan biaya pelaksanaan kontrak

baik secara langsung ataupun tidak langsung yang

disebabkan dari faktor eksternal.


v. Prosedur penanganan hardship

Selain menentukan kriteria dan definisi hardship,

penting bagi para pihak untuk menentukan prosedur

penanganan hardship, termasuk langkah-langkah yang

harus diambil oleh pihak-pihak untuk menangani situasi

tersebut. Seperti contoh, adanya kewajiban untuk

memulai negosiasi dengan itikad baik pada saat pihak

yang terdampak hardship kesulitan untuk melakukan

pelaksanaan kontrak, mencari solusi yang saling

menguntungkan atau memberikan pemberitahuan

tertulis jika terjadi hardship.

Dalam hal adanya perubahan kebijakan mengenai

DMO yang berdampak bagi pihak dalam berkontrak,

maka pengusaha batu bara Indonesia yang terkena

dampak dapat memasukkan ke dalam kontraknya

untuk dimuat sebuah upaya renegosiasi apabila terjadi

perubahan kebijakan DMO yang memengaruhi

pelaksanaan kontrak secara fundamental, seperti

larangan ekspor batu bara ke luar negeri.

vi. Perubahan kontrak dalam menghadapi hardship


Klausula hardship yang dibentuk oleh para pihak juga

harus mempertimbangkan apakah klausula hardship ini

memberikan peluang untuk adanya modifikasi kontrak

atau amandemen kontrak untuk mengakomodasi

perubahan yang diperlukan dalam situasi hardship

terjadi seperti penundaan, pengurangan kuantitas, atau

perubahan nilai kontrak.

Dalam hal terjadinya perubahan kebijakan DMO

dalam kontrak batu bara, maka para pihak dapat

memilih untuk adanya penundaan ekspor batu bara

atau pengurangan kuantitas batu bara yang hendak

diekspor dalam hal apabila adanya larangan ekspor

atau kenaikkan syarat angka DMO.

vii. Penyelesaian sengketa

Menyertakan ketentuan mengenai penyelesaian

sengketa yang timbul dari penerapan klausula

hardship, seperti adanya mediasi, arbitrase, atau

penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Di mana,

pada saat melakukan upaya renegosiasi tidak

mencapai kesepakatan maka permasalahan akan

situasi hardship dapat dibawa ke pengadilan untuk


meminta pandangan kepada hakim atau arbiter untuk

menyelesaikannya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap

pemberlakuan klausula hardship dalam mengghadapi Domestic

Market Obligation (DMO) dalam kontrak jual beli batu bara

internasional berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggunaan klausula hardship dalam kontrak jual beli

batu. Bara Internasional dalam menghadapi Domestic

Market Obligation (DMO) di Indonesia dapat digunakan

selama kondisi yang menjadi keadaan sulit atau hardship

merupakan perubahan kebijakan DMO yang dilakukan

oleh pemerintah tanpa adanya pemberitahuan terlebih

dahulu sehingga memberikan pengaruh secara

fundamental terhadap keseimbangan kontrak, perubahan

kebijakan DMO batu bara yang kerap terjadi dalam waktu

yang singkat dengan ketentuan berubah-ubah berpotensi

memberikan perubahan fundamental kepada para pihak

yang terikat dalam kontrak jual beli batu bara


internasional (Larangan Ekspor bagi Perusahaan Batu

Bara dalam Kebijakan DMO yang termuat pada

Keputusan Menteri ESDM 13 K/HK.021/MEM.B./2022)

menyebabkan tidak dapatnya dilaksanakan prestasi oleh

pihak eksportir dalam hal ini perusahaan tambang batu

bara di Indonesia, maka perubahan kebijakan DMO

dapat memenuhi unsur-unsur hardship yang terdiri dari

keadaan yang tidak terduga, risiko di luar kendali para

pihak, perubahaan keadaan yang terjadi setelah kontrak

disepakati, dan nilai pelaksanaan menjadi sangat tinggi

bagi salah satu pihak sehingga tidak dapat

melaksanakan prestasinya.

2. Prinsip mengenai hardship tidak dikenal dalam hukum

kontrak di Indonesia yang biasanya menggunakan

klausula force majeure dalam menghadapi keadaan-

keadaan tidak terduga yang dapat menghambat atau

menghalangi pelaksanaan kontrak, namun seiring

perkembangan dan modernisasi hukum kontrak di dunia

terdapat banyak instrumen hukum kontrak internasional

yang dapat diadopsi salah satunya adalah UPICC.

UPICC sendiri mengenal adanya prinsip hardship yang

dapat digunakan sebagai upaya alternatif dalam

menyelamatkan keberlangsungan kontrak dengan


penyelesaian renegosiasi pada saat terjadi perubahan

keadaan yang memengaruhi pelaksanaan kontrak,

sejalan dengan prinsip kebebasan berkontrak di mana

para pihak diberikan kebebasan untuk membuat klausula

kontrak, memilih pilihan hukum, hingga mengadopsi

prinsip-prinsip hukum internasional yang dapat

diimplementasikan di dalam kontrak, maka para pelaku

usaha di Indonesia dapat membentuk klausula hardship

di dalam kontrak mereka berdasarkan asas kebebasan

berkontrak dengan mengadopsi prinsip hardship yang

dimuat dalam UPICC dengan adanya penyesuaian-

penyesuaian tertentu berdasarkan kebutuhan para pihak.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah

disampaikan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang

diharapkan dpaat mejadi masukan bagi pihak-pihak sebagai

berikut:

1. Diperlukan adanya pembaharuan dalam hukum kontrak

di Indonesia karena pengaturan mengenai hukum

kontrak di Indonesia yang saat ini bergantung pada

KUHPerdata dianggap sudah tidak relevan dalam


menghadapi permasalahan yang dapat timbul dalam

pelaksanaan kontrak khususnya kontrak internasional.

Upaya pembaharuan ini dapat mengadopsi prinsip-

prinsip UPICC yang sebelumnya sudah diratifikasi oleh

Indonesia, di mana pengaturan UPICC yang memiliki

pendekatan atas adopsi kebiasaan yang ada dalam

hukum civil law dan common law sehingga dapat

mengadopsi prinsip-prinsip yang kini juga berlaku dalam

kebiasaan pelaksanaan kontrak internasional di dunia.

2. Untuk mengatasi adanya wanprestasi atau tidak

terlaksananya kinerja prestasi oleh pihak yang terkena

dampak dari perubahan kebijakan DMO di Indonesia,

para pihak yang terdiri dari eksportir dan importir batu

bara di Indonesia dapat melakukan upaya preventif

dengan membentuk klausula hardship di dalam kontrak

yang mencantumkan unsur-unsur seperti: 1) definsi

hardship, 2) unsur-usnur atau karakteristik hardship, 3)

upaya renegosiasi dalam menghadapi hardship, dan 4)

penyelesaian sengketa terhadap hardship. Hal ini

dilakukan agar pelaksanaan kontrak jual beli batu bara

internasional antara eksportir atau pelaku usaha batu

bara di Indonesia tidak semerta-merta berakhir atau tidak

terlaksana pada saat adanya perubahan kebijakan DMO


dan importir batu bara tidak dirugikan dengan adanya

perubahan kebijakan DMO ini.

Anda mungkin juga menyukai