Tugas Mandiri Ilmu Kalam (Bela Astria)
Tugas Mandiri Ilmu Kalam (Bela Astria)
Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Dr. H. M. Ali Hasan M.Pd
Disusun Oleh
Bella Astria (210810905053)
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang................................................................................................1
B. Rumusan masalah...........................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Antropomofisme..........................................................................3
BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................14
Daftar pustaka............................................................................................................15
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala sanjung madah hanyalah milik Allah semata, Tuhan pencipta alam
semesta beserta isinya, Pengatur hidup makhluk, Pengasih dan Penyayang setiap makhluknya,
Maha adil, Maha bijaksana, Maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya, Pengatur
pergantian siang dan malam, Pemberi rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan sesuatu
yang dikehendaki, Yang berhak disembah oleh jin dan manusia yang tercipta.
Shalawat dan salam sejahtera semoga abadi tercurah tanpa henti-hentinya kepada
makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, penghulu alam Nabi
Muhammad SAW dan sanak famili serta para sahabatnya nan setia.
Penulis tiada henti bersyukur dan memuji kepada Allah SWT atas curahan rahmat
dan maunah-Nya dalam menyusun paper ini. Maksud penyusunan paper ini adalah sebagai
penunjang pencapaian akumulasi Nilai Akhir Semester yang lebih sempurna.
Sebagaimana dikatakan oleh Yohanes 4:24, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah
Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran." Karena Tuhan adalah makhluk rohani,
Tuhan tidak memiliki karakteristik fisik secara manusia. Namun demikian, kadang-kadang
bahasa kiasan dalam Alkitab menggunakan karakteristik manusia kepada Tuhan untuk
memungkinkan manusia memahami Tuhan. Penggunaan karakteristik manusia untuk
menggambarkan Tuhan disebut “antropomorphisme.” Antropomorphisme adalah sekedar
wahana Tuhan (makhluk rohani) untuk mengkomunikasikan kebenaran mengenai natur diri-Nya
kepada manusia, makhluk jasmaniah. Karena manusia adalah makhluk jasmaniah, manusia
terbatas dalam perngertiannya akan hal-hal yang melampaui dunia fisik, dan di dalam Kitab Suci
antropomorfisme digunakan untuk menolong manusia memahami siapakah Tuhan itu. Yang
akan dijadikan objek pembahasan dalam paper ini adalah di sekitar perbincangan atau perdebatan
persoalan “Anthropomorphisme“ atau faham tentang sifat-sifat jasmani yang ada pada Tuhan.
Penulis menyadari dengan kesadaran yang sangat dalam akan ketidakmampuan dan
bukan ahlinya dalam soal menyusun paper, namun karena adanya sebuah tuntutan dan tugas
yang harus dituntaskan demi pencapaian target yang telah ditentukan tersendiri oleh dosen yang
bersangkutan. Sehingga penulis dapat mendalami dan memahami lebih dalam terhadap tema ini,
maka penulis memenuhi tuntutan di atas menurut kemampuan dan pengetahuan yang ada.
iii
Paper yang hanya beberapa lembar ini, sedikit banyak akan memberikan kemudahan
untuk memahami apa sebenarnya “Anthropomorphisme“ atau faham tentang sifat-sifat jasmani
yang ada pada Tuhan itu dan bagaimana pandangan beberapa mazdhab terhadap pemahaman
tersebut.
Harapan penulis dalam penyusunan paper ini adalah peningkatan dedikasi serta dapat
bermanfaat atau berguna bagi khalayak ramai pada umumnya. Dengan kerendahan dan segala
kekurangan yang menyelimuti diri penulis, demi kesempurnaan paper ini bila pembaca
menemukan kejanggalan atau kesalahan, sudilah kiranya memberikan teguran atau kritik
konsruktif. Dan akhirnya mudah-mudahan kita semua senantiasa dalam lindungan taufiq dan
hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amien.
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anthropomorf yang menjadikan manusia mengenal tuhan secara pribadi, di mana pribadi
Allah sebenarnya secara tepat tidak akan kita mengerti. Jika Tuhan tidak nyata, sebagai suatu
pribadi, maka konsep kerohanian akan sulit untuk dijelaskan. Jika Tuhan sungguh mulia tapi
tidak berbentuk, maka sulit bagi Manusia untuk memanifestasikan dalam kehidupan Manusia.
Al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya walau diberi arti
majazi atau kiasan, seperti tangan Tuhan, harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan. Imam
1
Abu Manshur Al-Maturidi dalam keyakinannya, untuk mengenal Tuhan perlu menggunakan
takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis, terutama yang
berkaitan dengan sifat-sifat jasmaniyah pada Tuhan. Namun, mereka lebih berhati-hati dalam
pendapatnya untuk mengenali Tuhan.
Keyakinan mengetahui Tuhan menurut Al-Maturidy, bahwa iman mesti lebih sekedar
Tasdiq, karena baginya akal dapat sebagai kewajiban mengetahui Tuhan. Capaian untuk
mengenal Tuhan di tingkatan Ma’rifah bukan hanya sekedar tahu dan sebutan Tuhan-Nya, tetapi
memahami, mengetahui, Tuhan dengan sifatnya, dan Tauhid adalah mengenal Tuhan dengan
segala Keesaanya.
B. Rumusan Masalah
BAB 2
PEMBAHASAN
2
A. Pengertian Anthropomorphisme
3
yang disebut Tuhan, maka kita dapat menirunya dengan cara melaksanakan firmanNya sebagai
gambaran dari sifat-sifatNya dalam kehidupan kita.
Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa anthropomorphisme ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa Tuhan
mempunyai jisim atau sifat yang sama seperti sifat jasmani yang ada pada manusia. Dari faham
yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran
besar dalam teologi Islam, seperti: Golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Maturidiyah, aliran Salaf dan lain sebagainya.
4
Adapun faham anthropomorphismenya terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan,
aliran Jabariyah berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai
Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian
berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Fahamnya mengenai kalam
Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, “al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai
suatu yang baru (hadis)”. Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa,
Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Sedangkan tentang
keberadaan surga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah
surga dan neraka itu. Dari pandangan ini, nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa,
surga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
5
disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk yang
dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat Tuhan, melainkan berada di luar
diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan sebagai suatu yang qadim, juga
mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala
di akhirat kelak. Alasan Mu’tazilah dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah
rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi.
Sehingga tidaklah mungkin suatu yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.
Dalam masalah melihat Allah, al-Asy’ariy berpendapat bahwa Allah Swt. dapat dilihat
oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak, seperti halnya mereka melihat bulan
purnama. al-Asy’ariy berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan
6
untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud, maka sah untuk dilihat.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Qiyamah ayat 23 yang berbunyi sebagai
berikut:
}23:لى ربِّها َ نا َ ِظ َرةٌ {القيا مة
َ ِا
Artinya: “Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat” (Q.S. Al-Qiyamah, (75):23)
Jadi, mengenai sifat-sifat Tuhan, al-Asy’ariy secara garis besar berpendapat bahwa sifat-
sifat itu adalah qadim sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itu pun dengan
kalam-Nya yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula.
7
Telah dikemukakan di atas, al-Asy’ariy pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah
mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia
menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk. Menurutnya, kalam Allah itu Esa
dan Qadim, adapun mengenai perintah, larangan, dan sebagainya merupakan i’tibar-
i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri.
Dari keterangan ini, al-Asy’ariy melihat bahwa kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu
sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang
menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.
8
Misalnya jika dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka bukanlah dengan Zat-Nya, akan tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
9
jasmani. Al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti diberi
arti majazi atau kiasan, seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan.
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu
mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering
disebut sebagai golongan “Hanabilah“.
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu
Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lahir di Harran (Iraq) tahun 661
H dan wafat sekitar tahun 728 H, di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat
pada abad ke XII H setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat
dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya
aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran Wahabiyah”. Sesungguhnya
aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn
Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam
Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih maupun dalam lapangan teologi.
10
Adapun pendapat aliran salaf tentang persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an,
penyerupaan (tasybih) Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu
persoalan, yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup dua segi, diantaranya :
Aliran Salaf telah memandang sesat terhadap golongan filosof, yakni aliran Mu’tazilah
dan golongan tasawuf. Disebabkan mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan
(Ittihad) atau peleburan diri pada Zat Tuhan (fana’).
Aliran Salaf dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang
termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis, seperti: al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang tidak
membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain), Zul ‘Arsy al-
Majid (yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan
(al-Baqarah: 210), Tuhan bertempat di langit (Q.S. Fushilat: 11), Tuhan mempunyai muka (Q.S.
Al-Baqarah: 115), Tuhan mempunyai tangan (Q.S. Ali Imran: 73) dan seterusnya. Sifat-sifat
tersebut, dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti lahir semata, meskipun dengan
pengertian bahwa sifat-sifat tersebut hakekatnya tidak sama dengan sifat-sifat mahluk. Seperti
mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan, adalah tidak dimaksudkan sebagaimana tangan yang
ada pada manusia, begitu seterusnya.
Aliran Mu’tazilah
Abd. Jabbar mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, maka Tuhan tidak memiliki sifat-sifat
jasmani.
Tiap gambaran dalam Al-Qur;an bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat jasmani, harus diberikan
interpretasi yang jelas, seperti:
11
Tahta Kerajaan
Kekuasaan
Mata
Pengetahuan
Muka
Esensi
Tangan
Kekuasaan
Aliran Asy’ariyah
Tidak setuju dengan adanya anthropomorphisme (sifat jasmani semu), karena Tuhan
memiliki sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Tapi, Tuhan tetap
punya mata, muka, tangan, seperti disebut dalam Al-Qur’an. Mata muka, dan sebagainya ini
tidak sama dengan apa yang ada pada manusia. Kata-kata itu tidak bisa diberi interpretasi (tafsir).
Allah hidup dengan hayat, tetapi hayat yang tidak sama dengan hayat manusia. Tuhan memiliki
dua tangan, tetapi tangan yang tidak sama dengan tangan manusia.
Lalu bagaimana sifat-sifat Tuhan sebenarnya? Sifat-sifat itu tidak dapat diberi gambaran atau
definisi, apa alasan mereka?
a) Manusia lemah, akalnya tidak sanggup member interpretasi jauh tentang sifat Tuhan dalam
Al-Qur’an.
b) Tetapi, akal tidak dapat menerima seperti yang dibatalkan kaum anthropomorphisme
c) Tuhan bisa memiliki, bahkan juga menciptakan hal-hal yang tidak bisa dipahami akal
manusia yang lemah.
Aliran Maturidiah Samarkand (Mu’tazilah)
Aliran Maturidiah samarkand sepaham dengan sikap aliran Mu'tazilah. Tangan, muka,
mata, dan kaki Tuhan adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan meski tidak sama
dengan jasmani manusia, karena badan harus tersusun dari substansi dan kejadian (accident).
Manusia membutuhkan badan, karena tanpa badan manusia akan lemah. Tuhan tidak butuh
badan, karena Tuhan Maha Kuasa.
Aliran Maturidiah Bukhara
12
Aliran Maturidiah Bukhara tidak sepaham dengan sikap aliran Asy’ariyah. Tangan Tuhan
adalah sifat bukan anggota badan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat lain seperti:
pengetahuan, daya, dan kemauan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan selesainya pembahasan sebagaimana tersebut di atas, dapat kita simpulkan
beberapa hal penting, diantaranya:
13
“Anthropomorphisme” dalam theologi dikenal dengan istilah: tasybih, Musyabihat, tajsim,
mujasimah atau aliran shifatiyah, adalah suatu aliran atau faham yang mengakui Tuhan
mempunyai jisim atau sifat yang sam dengan sifat jasmani manusia (makhluk-Nya). Dari faham
yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran
besar dalam theologi Islam, seperti golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah,
Maturidiah, aliran salaf, dan lain sebagainya.
Terjadinya corak perbedaan pendapat di kalangan aliran-aliran dalam theologi Islam
tentang “Anthropomorphisme” adalah karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami
nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Terutama yang berhubungan dengan masalah
“Anthropomorphisme”. Dimana dalam satu sisi dengan memegangi arti lahir nash secara literlek
saja, tanpa menggunakan adanya bentuk interpretasi apapun. Sedangkan di sisi lain, tetap
berpegang terhadap dalil-dalil nash yang harus diberi arti majazi dengan takwil dan interpretasi.
Jabariyah Meniadakan sama sekali sifat-sifat yang ada pada Tuhan, karena
bisa menjerumuskan ke dalam faham tajassum atau Tasybih (meyerupakan) Tuhan dengan
makhluk-Nya.
Mu’tazilah Tetap mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang harus ditakwilkan atau diberi
interpretasi, sehingga tidak terjerumus dalam faham tajassum.
Asy’ariyah dan Maturidiah Senada dengan Mu’tazilah juga menggunakan takwil dan
interpretasi dalam memahami nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadist terutama yang berkaitan
dengan sifat-sifat jasmaniyah pada Tuhan. Namun, mereka lebih berhati-hati dan mengambil
jalan tengah dalam menentukan sikap pendapatnya.
Aliran Salaf dan Wahabiyah Dalam menetapkan sifat-sifat tajasum pada Tuhan, yaitu dengan
berpegang teguh pada arti akhir ayat, sehingga mereka mempunyai dua keyakinan, yakni secara
Ta’thil (peniadaan sifat Tuhan) dan Tasybih (menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).
DAFTAR PUSTAKA
14
http://www.carelinks.net/doc/biblebasics-id/2
http://islamagamauniversal.wordpress.com/referensi/bf_lamdc/
http://www.gotquestions.org/indonesia/Allah-laki-laki-perempuan.html
15