Anda di halaman 1dari 12

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
di-
Jakarta

Hal : Permohonan Pengujian Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Juncto. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan, terhadap Pasal 29 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dengan hormat,
Perkenalkanlah Kami, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ilham Ramadhan SH,M.H


Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 26 Januari. 1990
Umur : 33 Tahun
Pekerjaan  : Pengacara
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jln Patimura Gang damai 1 No 81
Sebagai----------------------------------------------------------------------Pemohon

Para pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materil terhadap


penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
juncto. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang
Administrasi Kependudukan ( Selanjutnya disebut UU Administarasi Kependudukan),
terhadapa pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945).
I KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;

2. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal
24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar...”;

3. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang terhadap


Undang-Undang Dasar juga diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”;

4. Bahwa selanjutnya, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ....”;
5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa:
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”;

6. Bahwa dalam hal ini, para pemohono memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusionalitas penjelas pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi
Kependudukan yang menyatakan :

“yang dimaksud dengan”perkawinan yang ditetapkan oleh


pengadilan”adalah perkawinan yang di lakukan antar umat yang
berbeda agama

7. Bahwa Pemohon menyatakan bahwa penjelasan pasal 35 huruf a Undang-Undang


Administrasi Kependudukan bertentangan dengan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945
yang berbunyi:

(1)”negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa

(2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu

8. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka para pemohon berpendapat


bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal

A. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON


1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan,
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan WNI;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik dan privat; atau;
d. lembaga negara”;
Selanjutnya, penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan:
”Yang dimaksud dengan ‘hak konstitusional’ adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”;

2. Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk
menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai Pemohon)
dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut. Adapun syarat yang pertama
adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK. Syarat kedua adalah adanya kerugian pemohon atas terbitnya undang-
undang tersebut.
3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendirian
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Bahwa Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia sebagaimanana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, yang memiliki hak konstitusional
dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”.
4. Bahwa Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia berdasarkan Kartu
Tanda Penduduk pemohon, yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya
berpotensi sangat dirugikan oleh berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU IKN dan oleh
karenanya Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal
51 ayat (1) huruf a UU MK.
5. Bahwa adapun hak-hak konstitusional Pemohon mewakili seluruh rakyat Indonesia
yang berpotensi sangat dirugikan oleh berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU IKN adalah
sangat nyata, yakni sebagai berikut:
 Bahwa dapat membahayakan kelestarian lingkungan dan berdampak pada pemenuhan
hak warga negara indonesia atas lingkungan hidup yang baik dan berkualitas. Dengan
mengingat Pulau Kalimantan yang memiliki sejumlah besar lahan gambut yang mudah
terbakar, dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan yang signifikan dan apabila terjadi kebakaraan
hutan dan kerusakan terhadap lingkungan akan berdampak pada kesehatan masyarakat
yang dekat dengan daerah tersebut;
 Bahwa akan menimbulkan ancaman wilayah adat atau suku adat asli daerah tersebut
sebagai dampak dari perpindahan Ibu Kota Nusantara akibat pembebasan lahan atau
penggusuran untuk dijadikan bangunan guna menunjang infrastruktur dari Ibu Kota
Nusantara tersebut yang akan merugikan masyarakat di dua kabupaten yaitu Kabupaten
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara;
 Bahwa akan terjadinya diskriminasi terhadap wilayah masyarakat Indonesia karena
kekhususan yang diberikan untuk Ibu Kota Nusantara melalui UU IKN ini sudah
melampaui dan menciderai amanat dari UUD NRI 1945;
 Bahwa dengan terjadinya hal tersebut di atas, ditakutkan munculnya pergolakan dari
berbagai pihak sehingga malah membuat Indonesia akan menjadi terpecah belah;
6. Bahwa menurut Pemohon jika permohonan dikabulkan oleh Mahkamah maka hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan.
7 Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo mengingat
Pemohon memenuhi syarat untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK serta Putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 006/PUU-III/2005.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka telah nyata menurut hukum bahwa.

C. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa pokok permohonan adalah materi muatan pada Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 3
Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara yang berkaitan dengan kedudukan Otorita Ibu
Kota Nusantara setingkat Menteri dan dikecualikan pemilihan umum terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota
Nusantara.
Adapun Pasal a quo selengkapnya berbunyi:

 Pasal 39 ayat (3):


“Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten
Penajam Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah
di wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali kewenangan dan perizinan terkait kegiatan persiapan,
pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, sampai dengan
penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)”

Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 18


ayat (1), UUD NRI Tahun 1945, yang masing-masing menyatakan
sebagai berikut:

 Pasal 18 ayat (1)


“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

2. Menurut Pemohon ketentuan Pasal a quo yang mengatur tentang kedudukan Otorita
Ibu Kota Nusantara setingkat Menteri dan dikecualikan pemilihan umum terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota
Nusantara bertentangan dengan pasal 18 ayat (1), UUD NRI 1945 dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
 Bahwa dalam Otorita Ibu Kota Nusantara ini wilayahnya berada pada 3 (tiga)
wilayah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada Pasal 39 ayat (3) UU IKN dijelaskan
bahwa “Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam
Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan
perizinan terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota
Negara, sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945
bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang”. Setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia terbagi atas
provinsi, kota, dan kabupaten yang memiliki pemerintahan daerah masing-
masing. Ibu Kota Nusantara dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN adalah setingkat
provinsi namun daerah cakupan Ibu Kota Nusantara hanya dijelaskan secara
posisi geografis yang menempati daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan
Timur yang melibatkan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten
Penajam Paser Utara. Jadi, dalam UU IKN tidak dijelaskan bahwa Ibu Kota
Nusantara merupakan provinsi baru di Indonesia, hanya dijelaskan lokasi
keberadaannya saja. Maka dari itu, Ibu Kota Nusantara ini bukanlah merupakan
provinsi pemekaran yang memiliki wilayah pemerintahan tersendiri, akan tetapi
hanya menguasai dan menempati wilayah-wilayah seperti yang disebutkan dalam
Pasal 6 UU IKN, sehingga menjadikan terganggunya fungsi dan kewenangan dari
pemerintahan daerah yang bersangkutan khususnya pemerintahan daerah Provinsi
Kalimantan Timur. Padahal pemerintah daerah provinsi mengurusi sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi. Maka dengan adanya keberadaan Ibu Kota
Nusantara akan membatasi kewenangan dari daerah yang bersangkutan, dalam
hal ini Provinsi Kalimantan Timur. Jika Ibu Kota Nusantara hanya dinyatakan
sebagai satuan pemerintah daerah khusus setingkat provinsi, akan tetapi bukan
merupakan provinsi baru di Indonesia dan terletak dalam daerah pemerintahan
Provinsi Kalimantan Timur, hal ini akan menjadikan terjadinya keberadaan
Provinsi di dalam Provinsi, yang mana Provinsi tersebut memiliki 2 (dua) kepala
pemerintahan daerah tingkat Provinsi. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD
NRI 1945 dijelaskan bahwa daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
bukan Provinsi dalam Provinsi. Hal ini akhirnya tentu akan menyebabkan
kerancuan terhadap kedudukan Gubernur Kalimantan Timur.
 Bahwa meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang a quo, jika
Undang-Undang itu dibatalkan akan berhubungan dengan pasal-pasal lain, maka
dengan itu penyelesaiannya bagaimana jangan sampai ada kekosongan hukum,
bahwasanya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan mengisi kekosongan
hukum tersebut.
 Bahwa berdasarkan seluruh uraian alasan-alasan hukum di atas, menurut
Pemohon Pasal Pasal 39 ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD NRI 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

D. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;


2. Menyatakan Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).

Hormat kami,
KUASA HUKUM PEMOHON

Kuasa Hukum Pemohon I Kuasa Pemohon II

Budi Subekti S.H. M.H Dimas Dendi S.H, M.H.


a. Bahwa dalam Otorita Ibu Kota Nusantara ini wilayahnya berada pada 3 (tiga)
wilayah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada Pasal 39 ayat (3) UU IKN dijelaskan
bahwa “Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam
Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan
perizinan terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota
Negara, sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945
bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang”. Setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia terbagi atas
provinsi, kota, dan kabupaten yang memiliki pemerintahan daerah masing-masing.
Ibu Kota Nusantara dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN adalah setingkat provinsi
namun daerah cakupan Ibu Kota Nusantara hanya dijelaskan secara posisi
geografis yang menempati daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur yang
melibatkan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Penajam Paser
Utara. Jadi, dalam UU IKN tidak dijelaskan bahwa Ibu Kota Nusantara
merupakan provinsi baru di Indonesia, hanya dijelaskan lokasi keberadaannya
saja. Maka dari itu, Ibu Kota Nusantara ini bukanlah merupakan provinsi
pemekaran yang memiliki wilayah pemerintahan tersendiri, akan tetapi hanya
menguasai dan menempati wilayah-wilayah seperti yang disebutkan dalam Pasal 6
UU IKN, sehingga menjadikan terganggunya fungsi dan kewenangan dari
pemerintahan daerah yang bersangkutan khususnya pemerintahan daerah Provinsi
Kalimantan Timur. Padahal pemerintah daerah provinsi mengurusi sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi. Maka dengan adanya keberadaan Ibu Kota
Nusantara akan membatasi kewenangan dari daerah yang bersangkutan, dalam hal
ini Provinsi Kalimantan Timur. Jika Ibu Kota Nusantara hanya dinyatakan sebagai
satuan pemerintah daerah khusus setingkat provinsi, akan tetapi bukan merupakan
provinsi baru di Indonesia dan terletak dalam daerah pemerintahan Provinsi
Kalimantan Timur, hal ini akan menjadikan terjadinya keberadaan Provinsi di
dalam Provinsi, yang mana Provinsi tersebut memiliki 2 (dua) kepala
pemerintahan daerah tingkat Provinsi. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD
NRI 1945 dijelaskan bahwa daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
bukan Provinsi dalam Provinsi. Hal ini akhirnya tentu akan menyebabkan
kerancuan terhadap kedudukan Gubernur Kalimantan Timur.

b. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;


2. Menyatakan Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Atau
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).

Anda mungkin juga menyukai