Permohonan Ilham Ramadhan
Permohonan Ilham Ramadhan
Dengan hormat,
Perkenalkanlah Kami, yang bertanda tangan di bawah ini:
2. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal
24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar...”;
6. Bahwa dalam hal ini, para pemohono memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan
pengujian konstitusionalitas penjelas pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi
Kependudukan yang menyatakan :
2. Bahwa atas ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk
menguji apakah Pemohon memiliki legal standing (dikualifikasi sebagai Pemohon)
dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut. Adapun syarat yang pertama
adalah kualifikasi bertindak sebagai pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK. Syarat kedua adalah adanya kerugian pemohon atas terbitnya undang-
undang tersebut.
3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20
September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendirian
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD NRI 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Bahwa Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia sebagaimanana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, yang memiliki hak konstitusional
dirugikan dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”.
4. Bahwa Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia berdasarkan Kartu
Tanda Penduduk pemohon, yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya
berpotensi sangat dirugikan oleh berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU IKN dan oleh
karenanya Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal
51 ayat (1) huruf a UU MK.
5. Bahwa adapun hak-hak konstitusional Pemohon mewakili seluruh rakyat Indonesia
yang berpotensi sangat dirugikan oleh berlakunya Pasal 39 ayat (3) UU IKN adalah
sangat nyata, yakni sebagai berikut:
Bahwa dapat membahayakan kelestarian lingkungan dan berdampak pada pemenuhan
hak warga negara indonesia atas lingkungan hidup yang baik dan berkualitas. Dengan
mengingat Pulau Kalimantan yang memiliki sejumlah besar lahan gambut yang mudah
terbakar, dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan yang signifikan dan apabila terjadi kebakaraan
hutan dan kerusakan terhadap lingkungan akan berdampak pada kesehatan masyarakat
yang dekat dengan daerah tersebut;
Bahwa akan menimbulkan ancaman wilayah adat atau suku adat asli daerah tersebut
sebagai dampak dari perpindahan Ibu Kota Nusantara akibat pembebasan lahan atau
penggusuran untuk dijadikan bangunan guna menunjang infrastruktur dari Ibu Kota
Nusantara tersebut yang akan merugikan masyarakat di dua kabupaten yaitu Kabupaten
Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara;
Bahwa akan terjadinya diskriminasi terhadap wilayah masyarakat Indonesia karena
kekhususan yang diberikan untuk Ibu Kota Nusantara melalui UU IKN ini sudah
melampaui dan menciderai amanat dari UUD NRI 1945;
Bahwa dengan terjadinya hal tersebut di atas, ditakutkan munculnya pergolakan dari
berbagai pihak sehingga malah membuat Indonesia akan menjadi terpecah belah;
6. Bahwa menurut Pemohon jika permohonan dikabulkan oleh Mahkamah maka hak
dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan.
7 Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo mengingat
Pemohon memenuhi syarat untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK serta Putusan Mahkamah dalam perkara Nomor 006/PUU-III/2005.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka telah nyata menurut hukum bahwa.
C. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa pokok permohonan adalah materi muatan pada Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 3
Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara yang berkaitan dengan kedudukan Otorita Ibu
Kota Nusantara setingkat Menteri dan dikecualikan pemilihan umum terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota
Nusantara.
Adapun Pasal a quo selengkapnya berbunyi:
2. Menurut Pemohon ketentuan Pasal a quo yang mengatur tentang kedudukan Otorita
Ibu Kota Nusantara setingkat Menteri dan dikecualikan pemilihan umum terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kota dan Kabupaten di Ibu Kota
Nusantara bertentangan dengan pasal 18 ayat (1), UUD NRI 1945 dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
Bahwa dalam Otorita Ibu Kota Nusantara ini wilayahnya berada pada 3 (tiga)
wilayah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Penajam Paser Utara. Pada Pasal 39 ayat (3) UU IKN dijelaskan
bahwa “Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam
Paser Utara tetap melaksanakan urusan pemerintahan daerah di wilayah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan dan
perizinan terkait kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota
Negara, sampai dengan penetapan pemindahan Ibu Kota Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945
bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang”. Setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia terbagi atas
provinsi, kota, dan kabupaten yang memiliki pemerintahan daerah masing-
masing. Ibu Kota Nusantara dalam Pasal 1 ayat (2) UU IKN adalah setingkat
provinsi namun daerah cakupan Ibu Kota Nusantara hanya dijelaskan secara
posisi geografis yang menempati daerah pemerintahan Provinsi Kalimantan
Timur yang melibatkan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten
Penajam Paser Utara. Jadi, dalam UU IKN tidak dijelaskan bahwa Ibu Kota
Nusantara merupakan provinsi baru di Indonesia, hanya dijelaskan lokasi
keberadaannya saja. Maka dari itu, Ibu Kota Nusantara ini bukanlah merupakan
provinsi pemekaran yang memiliki wilayah pemerintahan tersendiri, akan tetapi
hanya menguasai dan menempati wilayah-wilayah seperti yang disebutkan dalam
Pasal 6 UU IKN, sehingga menjadikan terganggunya fungsi dan kewenangan dari
pemerintahan daerah yang bersangkutan khususnya pemerintahan daerah Provinsi
Kalimantan Timur. Padahal pemerintah daerah provinsi mengurusi sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi. Maka dengan adanya keberadaan Ibu Kota
Nusantara akan membatasi kewenangan dari daerah yang bersangkutan, dalam
hal ini Provinsi Kalimantan Timur. Jika Ibu Kota Nusantara hanya dinyatakan
sebagai satuan pemerintah daerah khusus setingkat provinsi, akan tetapi bukan
merupakan provinsi baru di Indonesia dan terletak dalam daerah pemerintahan
Provinsi Kalimantan Timur, hal ini akan menjadikan terjadinya keberadaan
Provinsi di dalam Provinsi, yang mana Provinsi tersebut memiliki 2 (dua) kepala
pemerintahan daerah tingkat Provinsi. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD
NRI 1945 dijelaskan bahwa daerah Provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
bukan Provinsi dalam Provinsi. Hal ini akhirnya tentu akan menyebabkan
kerancuan terhadap kedudukan Gubernur Kalimantan Timur.
Bahwa meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang a quo, jika
Undang-Undang itu dibatalkan akan berhubungan dengan pasal-pasal lain, maka
dengan itu penyelesaiannya bagaimana jangan sampai ada kekosongan hukum,
bahwasanya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan mengisi kekosongan
hukum tersebut.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian alasan-alasan hukum di atas, menurut
Pemohon Pasal Pasal 39 ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD NRI 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
D. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Hormat kami,
KUASA HUKUM PEMOHON
b. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut: