Anda di halaman 1dari 5

Tentang Ikhlas

Posted on May 5, 2010 by Ari Wahyudi

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, yang berkuasa membolak-
balikkan hati anak Adam bagaimanapun Dia inginkan. Salawat dan salam semoga tercurah
kepada Nabi akhir zaman dan pembawa lentera bimbingan untuk membangkitkan kesadaran
hati manusia yang telah lalai dan lupa akan hakekat kehidupan. Amma ba’du.

Saudara-saudara sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita bimbingan dan


pertolongan… sesungguhnya pada masa-masa seperti sekarang ini; masa yang penuh dengan
ujian dan godaan serta kekacauan yang meluas di berbagai sudut kehidupan… kita sangat
memerlukan hadirnya hati yang diwarnai dengan keikhlasan. Hati yang selamat, sebagaimana
yang disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Pada hari itu -hari
kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah
dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88-89)

Hati yang ikhlas itulah yang selamat

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Ia adalah hati yang selamat dari segala
syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari
segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Hati yang selamat itu adalah hati yang selamat dari
syirik dan keragu-raguan serta terbebas dari kecintaan kepada keburukan/dosa atau perilaku
terus menerus berkubang dalam kebid’ahan dan dosa-dosa. Karena hati itu bersih dari apa-
apa yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan
lawan-lawannya yaitu; keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya -
tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga keinginan dan rasa cintanya akan
senantiasa mengikuti kecintaan Allah, dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa
yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/812])

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mensifatkan pemilik hati yang selamat itu dengan
ucapannya, “…Ia akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi
apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam
cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia
mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena
Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga
karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)

Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-
Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya.
Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni itu merupakan hak Allah.” (QS. az-Zumar: 2-
3)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal, mereka tidaklah disuruh melainkan supaya
beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran
yang lurus, mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. al-Bayyinah: 5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan
agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir: 14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah Yang Maha Hidup, tiada sesembahan -yang
benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS.
Ghafir: 65)

Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan


menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR.
Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-
Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan
syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan
ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Gara-Gara Tidak Ikhlas

Dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar
meninggalkan majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang
penduduk Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent) berkata
kepadanya, “Wahai Syaikh, tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Abu Hurairah menjawab, “Baiklah. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat
adalah: [Yang pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu
dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya,
sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu
lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu
sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya
kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu
peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam
keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.

[Yang kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai
membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-
nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia
menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-
Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu
menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar
disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-
nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia
menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak
padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan
sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.”
Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di
atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”

(HR. Muslim [1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])

Hadits yang agung ini memberikan faedah bagi kita, di antaranya:

[1] Dosa riya’ -yaitu beramal karena dilihat orang dan demi mendapatkan sanjungan- adalah
dosa yang sangat diharamkan dan sangat berat hukumannya (lihat Syarh Muslim [6/531]).
Riya’ merupakan bahaya yang lebih dikhawatirkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menimpa orang-orang salih sekelas para sahabat. Beliau bersabda, “Maukah kukabarkan
kepada kalian mengenai sesuatu yang lebih aku takutkan menyerang kalian daripada al-
Masih ad-Dajjal?”. Para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Yaitu
syirik yang samar. Tatkala seorang berdiri menunaikan sholat lantas membagus-baguskan
sholatnya karena merasa dirinya diperhatikan oleh orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah, al-Bushiri berkata sanadnya hasan) (lihat at-Tam-hid, hal. 397, al-Qaul al-Mufid
[2/55]). Kalau para sahabat saja demikian, maka bagaimana lagi dengan orang seperti kita?
Allahul musta’aan…

[2] Dorongan agar menunaikan kewajiban ikhlas dalam beramal. Hal ini sebagaimana yang
telah Allah perintahkan dalam ayat (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan
melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan amal untuk-Nya dalam
menjalankan agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5) (lihat Syarh Muslim [6/531])

[3] Hadits ini menunjukkan bahwa dalil-dalil lain yang bersifat umum yang menyebutkan
keutamaan jihad itu hanyalah berlaku bagi orang-orang yang berjihad secara ikhlas.
Demikian pula pujian-pujian yang ditujukan kepada ulama dan orang-orang yang gemar
berinfak dalam kebaikan hanyalah dimaksudkan bagi orang-orang yang melakukannya ikhlas
karena Allah (lihat Syarh Muslim [6/531-532])

[4] Sesungguhnya ikhlas tidak akan berkumpul dengan kecintaan kepada pujian dan sifat
rakus terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tidak akan bersatu antara ikhlas di dalam hati dengan kecintaan terhadap pujian dan
sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, kecuali sebagaimana
bersatunya air dengan api atau dhobb/sejenis biawak dengan ikan -musuhnya-.” (al-
Fawa’id, hal. 143)

[5] Keikhlasan merupakan sesuatu yang membutuhkan perjuangan dan kesungguh-sungguhan


dalam menundukkan hawa nafsu. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih
sulit bagi jiwa manusia selain daripada ikhlas. Karena di dalamnya sama sekali tidak
terdapat jatah untuk memuaskan hawa nafsunya.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 26).
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan perjuangan
yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/53])

[6] Tercela dan diharamkannya orang yang menimba ilmu agama tidak ikhlas karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
semestinya dipelajari demi mencari wajah Allah akan tetapi dia tidak menuntutnya
melainkan untuk menggapai kesenangan dunia maka dia pasti tidak akan mendapatkan bau -
harum- surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani) (lihat
Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 22)

[7] Amalan yang tercampuri syirik -contohnya riya’- tidak diterima oleh Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman: Aku adalah Dzat yang
paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang dia
mempersekutukan diri-Ku dengan selain-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama
kesyirikannya.” (HR. Muslim) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 23)

[8] Sebesar apapun amalan, maka yang akan diterima Allah hanyalah amal yang ikhlas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima
amalan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari wajah-Nya.” (HR. Nasa’i
dan dihasankan al-Albani) (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 21)

[9] Amalan yang besar bisa berubah menjadi kecil gara-gara niat, sebagaimana amal yang
kecil bisa menjadi bernilai besar karena niat. Ibnu Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan
yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil
karena niat.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Buah Keikhlasan

Di antara buah paling agung yang diperoleh oleh orang-orang yang ikhlas adalah diharamkan
tersentuh api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah mengharamkan sentuhan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah
dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban
radhiyallahu’anhu)

Orang yang ikhlas/bertauhid maka akan selamat dari hukuman kekal di dalam neraka, yaitu
selama di dalam hatinya masih tersisa iman/tauhid meskipun sekecil biji sawi. Dan apabila
keikhlasan itu sempurna di dalam hatinya maka ia akan selamat dari hukuman neraka dan
tidak masuk ke dalamnya sama sekali (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 17)

Orang yang mendapatkan keutamaan ini hanyalah orang yang ikhlas dalam mengucapkan
kalimat syahadat. Maka terkecualikan dari keutamaan ini orang-orang munafik, dikarenakan
mereka tidak mencari wajah Allah ketika mengucapkannya (lihat at-Tam-hid, hal. 26).

Hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Murji’ah yang menganggap bahwa ucapan la
ilaha illallah itu sudah cukup meskipun tidak disertai dengan harapan untuk mencari wajah
Allah (ikhlas). Demikian pula, hadits ini mengandung bantahan bagi kaum Khawarij dan
Mu’tazilah yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, sementara
hadits ini menunjukkan bahwa para pelaku perbuatan-perbuatan yang diharamkan tersebut -
dan tidak bertaubat sebelum matinya- tidak akan kekal di neraka, hanya saja pelakunya
memang berhak menerima hukuman/siksa (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid
[1/46])

Selain itu, orang yang ikhlas juga akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan -
yang pada umumnya terasa memberatkan-, karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan
harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan
maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya (lihat
al-Qaul as-Sadid, hal. 17)

Orang yang ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit
menjadi banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang
berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19). Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Amal-amal itu sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang
berlipat-lipat tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang
yang melakukannya… ” (Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan kita
orang yang ikhlas.

Anda mungkin juga menyukai