Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produ
Pengendalian Organisme Pengganggu Pascapanen Produ
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/265350553
CITATIONS READS
0 4,103
5 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Development of edible coating to be integrated on small-scale value chain system of horticultural crops;
Postharvest regulation of ethylene production to prolong shelf life of horticultural products View project
All content following this page was uploaded by I Made Supartha Utama on 11 March 2015.
PENDAHULUAN
Makalah disajikan pada Pemberdayaan Petugas Dalam Pengelolaan OPT Hortikultura Dalam Rangka
Mendukung Good Agriculture Practices (GAP). Dilaksanakan oleh Dept. Pertanian, Dirjen Hortikultura,
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura di Bali Tanggal 3 – 8 Juli 2006.
2
Saat panen, produk segar telah dilabui oleh beragam macam mikroorganisme di bagian
permukaan produk dan dapat pula berada di dalamnya. Mikroorganisme patogenik
yang berada di dalam produk dapat belum berkembang selama pertumbuhan bagian
yang dipanen masih berada pada tanaman induknya dan melakukan pertumbuhan dan
perkembangan setelah panen (infeksi laten). Mikroorganisme yang melabuhi
permukaan produk beragam mulai dari yang saprofit dan patogenik. Bila terjadi
kerusakan mekanis ataupun kemunduran fisiologis pada produk, maka mikroorganisme
patogenik akan tumbuh dan berkembang menyebabkan pembusukan.
Demikian pula dengan serangga pengganggu seperti lalat buah, peletakan telur lalat
biasanya terjadi saat buah masih berkembang di lapangan. Telur ini baru tumbuh dan
berkembang menjadi larva atau ulat setelah buah mengalami pemasakan selama
periode pascapanennya.
Beragam cara pengendalian telah dikembangkan dan digunakan untuk tujuan komersial
baik dengan menggunakan bahan kimia, perlakuan fisik, musuh alami dan induce
resistance. Keragaman ini juga dibarengi dengan adanya regulasi-regulasi
penggunaannya terkait dengan aspek kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Produk hortikultusa yang telah dipanen dari induk tanamannya masih melakukan
aktivitas metabolisme namun aktivitas metabolismenya tidaklah sama dengan pada
waktu produk tersebut masih melekat pada induknya. Berbagai macam stress atau
gangguan dialaminya mulai dari saat panen, penanganan pascapanen, distribusi dan
pemasaran, ritel dan saat ditangan konsumen seblum siap dikonsumsi atau diolah.
Stress terjadi karena kondisi hidupnya tidak pada kondisi normal saat di lapangan.
Kondisi stress diakibatkan oleh perlakuan-perlakuan pascapanennya seperti kondisi
suhu, atmosfer, sinar serta perlakuan-perlakuan fisik diluar batas kehidupan normalnya.
Stress adalah gangguan, hambatan atau percepatan proses metabolisme normal
sehingga dipandang tidak menyenangkan atau suatu keadaan negatif.
Produk tanaman yang telah dipanen, tidak hanya menjadi subjek stress mekanis saat
dilepaskan dari tanaman induknya tetapi juga subjek dari satu seri stress selama
periode pascapanennya. Sebagai konsekwensinya, periode pascapanen dapat
dipandang sebagai peiode manajemen stress. Pada konteks ini, stress di definisikan
3
relatif terhadap penggunaan akhir produk. Beragam teknologi pascapanen yang telah
dikembangkan pada intinya ditujukan untuk mengelola stress yang terjadi sehingga
dapat bermanfaat bagi manusia. Pengelolaan stress ditujukan untuk memperpanjang
masa kesegaran atau masa simpan produk. Untuk dapat melakukan pengelolaan yang
baik maka penting pemahaman yang baik tentang karakteristik fisiologis, morfologis dan
patologis produk serta adanya pertimbangan ekonomis-komersial yang menguntungkan
terhadap cara pengelolaan yang akan dilibatkan.
Stress primer dapat diakibatkan oleh kondisi fisiologis diluar dari keadaan normalnya
serta adanya kerusakan mekanis yang biasanya diikuti oleh stress sekunder berupa
tumbuh dan berkembangnya agen-agen perusak seperti mikroorganisme pembusuk dan
larva dari serangga perusak.
Produk segar pascapanen dilabuhi oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu 1) mikroorganisme penyebab penyakit pada jaringan
produk tanaman (plant pathogenic microorganisms), 2) mikroorganisme penyebab
penyakit pada manusia atau binatang (human or animal-pathogenic microorganisms),
dan 3) mikroorganisme non-patogenik. Tabel 1 menunjukkan populasi mikroorganisme
pada beberapa produk pascapanen sayuran.
Secara umum mikroorganisme patogenik pada sayuran dan buah-buahan pada awal
infeksinya berbeda jenisnya. Perbedaan jenis mikroorganisme yang tumbuh ini
disebabkan oleh kondisi keasaman produk berbeda. Pada produk sayur-sayuran
dimana keasaman umumnya rendah (pH>4.5) maka mikroorganisme yang tumbuh
umumnya bakteri. Sedangkan pada produk buah-buahan dengan keasaman tinggi
4
Cara infeksi dari mikroorganisme penyebab pembusukan dapat berbeda yang dat dibagi
manjadi tiga, yaitu; 1) infeksi laten, 2) infeksi melalui luka setelah panen, 3) infeksi
langsung pada produk utuh. Infeksi laten adalah cara infeksi yang dilakukan saat
produk masih di kebun tumbuh bersama tanaman induknya. Pada kondisi dimana
produk masih di kebun umumnya masa mikroorganisme pembusuk tidak dapat tumbuh
dan berkembang tetapi dalam keadaan dorman. Mikroorganisme baru tumbuh dan
berkembang setelah rpoduk tersebut dipanen dan mengalami periode pemasakan atau
pelayuan. Contoh dari mikroorganisme ini adalah Colletotrichum sp. yang
menyebabkan penyakit anthracnose pada buah mangga, papaya, pisang, alpukat dan
sebagainya. Botrytis sp. penyebab penyakit busuk lunan umumnya terjadi pada buah-
buahan seperti anggur, apel dan sebagainya dapat memulai infeksinya saat produk
masih di kebun. Contoh pathogen yang melakukan infeksi laten dapat dilihat pada
Tabel 2.
Infeksi langsung pada produk pascapanen utuh dapat dilakukan dengan adanya enzim
pektolitik yang dihasilkan oleh mikroorganisme itu sendiri yang dapat melunakkan
jaringan produk terutama dinding sel yang tersusun oleh polisakarida pektat. Enzim
pektinase yang berperan untuk melunakkan jaringan tersebut meliputi pectin metal
esterase (PME), pectin lyase (PE) endopolygakturonase (Endo-PG) dan
exopoligalakturonase (Exo-PG).
Pengelolaan suhu yang baik sangat kritis untuk pengendalian penyakit pascapanen dan
perlakuan lainnya dipandang sebagai suplemen terhadap pendinginan (Sommer, 1989).
Jamur pembusuk buah umumnya tumbuh optimal pada suhu 20 sampai 25 ºC dan
dapat dibagi menjadi suhu pertumbuhan minimum 5 sampai 10 ºC atau -6 sampai 0 ºC.
jamur dengan pertumbuhan minimum di bawah -2 ºC tidak dapat dihentikan secara
sempurna dengan pendinginan tanpa mengakibatkan pembekuan buah. Namun suhu
serendah memungkinkan diinginkan karena memperlambat pertumbuhan secara berarti
dan mengurangi pembusukan.
Perubahan konsentrasi gas O2 dan CO2 sering terjadi disekitar buah dan sayuran
(Spotts, 1984). Dengan mengendalikan gas tersebut yang sering disebut sebagai
controlled atmosphere dapat berpengaruh terhadap perlambatan proses kemunduran
fisiologis produk serta terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme
9
Secara umum serangga pengganggu yang terjadi pada produk pascapanen adalah
merup[akan investasi laten atau bagian stadia pertumbuhannya telah ada dalam buah
sebelum dipanen. Seperti contohnya lalat buah meletakkan telurnya di dalam buah saat
masih di kebun dan produk tersebut masih relative muda. Telur tidak dapat tumbuh dan
berkembang karena kondisi lingkungan belum memungkinkan seperti keasaman yang
tinggi. Namun setelah dipanen dimana produk masuk pada periode pemasakan maka
telur akan menetas dan berkembang menjadi larva atau ulat yang sangat tidak dapat
diterima oleh konsumen apabila dijual terlebih lagi di ekspor. Walau terjadi
perkembangan pasar bebas secara global sekarang ini namun Phytosanitary Restriction
(PR) berlanjut membatasi perdagangan.
Sedangkan Pest-Free Zone adalah daerah pertumbuhan yang telah disertifikasi bebas
dari hama-hama tertentu. Dibutuhkan program pembatasan ketat terhadap perpindahan
produk dari daerah terinfestasi ke daerah PFZ. Produk yang diekspor dari PFZ tidak
perlu memenuhi perlakuan karantina khusus, tetapi inspeksi dan sertifikasi dibutuhkan.
Contohnya daerah Florida ditetapkan atau disertifikasi sebagai daerah bebas Caribbean
fruit fly.
Fumigasi
Cara pengendalian hama pascapanen yang umum, mudah dan murah adalah dengan
cara fumigasi. Namun di masa akan datang, penggunaan kebanyaan fumigant
tampaknya akan menurun karena pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan
manusia. Cara pengendalian kedepan akan lebih mengarah dengan perlakuan fisik dari
pada kimia yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen terhadap bahaya
residu kimia. Contoh fumigant yang sering digunakan untuk pengendalian hama
pascapanen adalah methyl bromide, phosphine dan hydrogen cyanide.
Methyl bromide (CH3Br) adalah biosida paling umum digunakan dan ditoleransi oleh
berbagai komoditi, namun masa depan penggunaannya masih belum menentu. Bahan
kimia ini berupa gas toksik dan penggunaannya membutuhkan prosedur keselamatan
yang ketat. Fumigasi dengan gas ini dilakukan di karantina Jepang untuk beberapa
produk hortikultura seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Phospine biasa digunakan untuk
pengendalian serangga pada buah kering dan kacang-kacangan. Namun untuk
kebanyakan komoditi segar dirusak oleh gas ini, bereaksi lambat dan tidak mempunyai
kemampuan berpenetrasi seperti methyl bromide. Bahan kimia ini merupakan potensial
11
Perlakuan dengan suhu baik tinggi maupun rendah merupakan alternative yang banyak
diteliti karena kelebihan-kelebihan seperti non-chemical, tidak meninggalkan residu dan
aman bagi pekerja. Namun demikian, beberapa kekurangan dari cara ini adalah
berpotensi merusak produk bila tidak dilakukan secara hati-hati, biaya energi tinggi,
waktu perlakuan relative lama dibandingkan dengan fumigasi serta suhu dan waktu
yang tepat harus dieksplorasi untuk mampu efektif dalam mengendalikan serangga
dimana tidak menyebabkan kerusakan pada produk.
PPQ treatment Manual (USDA APHIS website) mengijinkan perlakuan dingin untuk
mengendalikan Mediteranean Fruit Fly (lihat Tabel 5), Oriental Citrus Mite, Mexican Fruit
Fly, Queensland Fruit Fly, Natal Fruit Fly, Lychee Fruit Borer dan Peca Weevil.
Perlakuan ini efektif untukserangga tropika, namun komoditi tropika umumnya tidak
toleran dengan cara dingin ini karena menyebabkan chilling injury. Cara ini baik untuk
12
komoditi yang dapat disimpan pada suhu rendah seperti apel, pear, anggur, buah kiwi,
persimmon dan delima.
Beberapa perlakuan panas umum digunakan seperti perlakuan air panas untuk mangga
dan lychee, perlakuan udara panas seperti high temperature force air (HTFA) untuk
mangga, papaya dan berbagai buah jeruk. HTFA adalah modifikasi perlakuan dari
udara panas dengan kecepatan aliran udara tinggi untuk mempercepat pemanasan
dengan RH rendah untuk mengurangi kerusakan produk. HTFA untuk pengendalian
lalat buah buah papaya adalah pertama dengan suhu 41C kemudian dengan suhu
47.2C selama 6 jam.
Perlakuan Kombinasi
Perlakuan kombinasi paling umum dilakukan dengan methyl bromide dan perlakuan
dingin. Perlakuan dingin dapat diberikan sebelum atau sesudan fumigasi. Dengan
kombinasi ini memungkinkan penggunaan dosis methyl bromide yang rendah dan
perlakuan lebih singkat bila dikombinasikan dengan pendinginan.
Perlakuan pencucian dengan detergen dan aplikasi pelilinan dapat mengendalikan false
red mite (Brevipalvus chilensis) dari anggur. Sedangkan penggunaan surfaktan dan
klorin dapat mengendalikan semut hitam pada buah manggis dan rambutan (Utama dkk,
2006).
DAFTAR PUSTAKA
Utama, I M. S., L. P. Nocianitri, and Ananggadipa. 2006. Effort in Controlling Black Ants
on Mangosteen Fruits. Poster presented on the National Seminar on The
Importance of Postharvest Technology in Escalating Competitiveness of
Indonesia’s Horticultural Products. Denpasar 28 August 2006.
13
El-Ghaouth, A. And Wilson, C.L. 1995. Biologically-based technologies for the control
of postharvest diseases. Posth. News Inform 6: 5-11N.
Swinburne, T.R. 1983. Quiescence infections in postharvest diseases. In Postharvest
Pahology of Fruit and Vegetables. Denis C. (ed). Academic Pres., London: 1-67.
Hurst, W.C. 1998. Food Safety Hazards Associated with Fresh Produce. Training
presentation produced by Food Science and Technology, University of Georgia,
Athens, GA 30602.
USDA APHIS PPQ, www..aphis.usda.gov/ppq/manuals/online-manual.htm
(Hardenburg, R.E., A.E. Watada and C.Y. Wang. 1986. The commercial storage of fruits
and vegetables, and florist and nursery stocks. USDA Agric. Handbook No. 66.
(Chichester, D.F. and F.W. Tanner. 1972. Antimicrobial food additives. In: T.E. Furia (ed)
CRC Handbook of Food Additives, Vol. 1, CRC Press, Boca Raton FL, pp. 115-
184.
Luvisi, D.A., H.H. Shorey, J.L. Smilanick, J.F. Thompson, B.H. Gump and J. Knutson.
1992. Sulfur dioxide fumigation of table grapes. Univ. Calif., Div. Agric. Nat. Res.,
Bull. No. 1932.
Pusey, P.L. and C.L. Wilson. 1984. Postharvest biological control of stone fruit brown rot
by Bacillus subtilis. Plant Dis. 68:753-756.
Pusey, P.L. 1989. Use of Bacillus subtilis and related organisms as biofungicides.
Pesticide Sci. 27:133-140.
Janisiewicz, W.J. and Marchi, A. 1992. Control of storage rots on various pear cultivars
with a saprophytic strain of Pseudomonas syringae. Plant Dis. 76:555-560.
Janisiewicz, W.J. and S.N. Jeffers. 1997. Efficacy of commercial formulation of two
biofungicides for control of blue mold and gray mold of apples in cold storage.
Crop Prot. 16:629-633.
Sommer, N.F. 1989. Suppressing postharvest disease with handling practices and
controlled environments. In: J.H. LaRue and R.S. Johnson (ed) Peaches, Plums,
and Nectarines Growing and Handling for Fresh Market. Univ. Calif., DANR Pub.
No. 3331, pp. 179-
Roberts, R. 1994. Integrating biological control into postharvest disease management
strategies. HortScience 29:758-762.
Stevens, C., V.A. Khan, J.Y. Lu, C.L. Wilson, P.L. Pusey, M.K. Kabwe, E.C.K. Igwegbe,
E. Chalutz and S. Droby. 1998. The germicidal and hormetic effects of UV-C light
on reducing brown rot disease and yeast microflora of peaches. Crop Protection
17:75-84.
Spotts, R.A. 1984. Environmental modification for control of postharvest decay. In: H.E.
Moline (ed) Postharvest Pathology of Fruits and Vegetables: Postharvest Losses
in Perishable Crops, Univ. of Calif., Agric. Exp. Station, Bull. No. 1914 (Pub. NE-
87), pp. 67-72.