Anda di halaman 1dari 59

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.ginandjar.com/public/01MembangunSDM.pdf.

G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.

Page 1
www.ginandjar.com
1
MEMBANGUN SDM MENGHADAPI PERSAINGAN ANTARBANGSA
MEMASUKI ABAD KE-21: Harapan Pada HMI
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada HUT Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-50
Jakarta, 1997
Pendahuluan
Ulang tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ke-50 merupakan momentum yang
penting bukan hanya bagi HMI tetapi juga bagi generasi muda bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Kita sadar betul bahwa hari depan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat
tergantung dari semangat, daya juang dan kualitas pemuda Indonesia. Para pemuda yang pada
waktu ini berstatus mahasiswa merupakan generasi yang menjadi harapan dan tumpuan seluruh
bangsa Indonesia dalam mengarungi samudra kehidupan di abad ke-21 nanti. Oleh karena itulah,
peringatan ulang tahun yang ke-50 ini saya kira bagi HMI memiliki arti yang strategis untuk
menemu-kenali kembali jati diri serta peran sosial-politik yang selama ini telah menjadi bukti
sejarah, dan mencari wujud serta semangat baru yang sesuai dengan tantangan dan situasi
kehidupan di era mendatang.
Saya diminta untuk membahas topik yang menekankan pada aspek kualitas sumber daya
manusia Indonesia dan persaingan antarbangsa dalam abad ke-21. Topik ini jelas sangat penting
mengingat zaman sudah berubah ke arah dunia yang menyatu dan bersamaan dengan itu
menciptakan situasi yang makin sarat dengan persaingan. Oleh karena itu, pertanyaannya bagi
kita adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan sebesar-besarnya situasi itu. Tidak ada cara lain
untuk dapat memperoleh manfaat dari situasi tersebut, kecuali melalui peningkatan kemampuan
dan daya saing nasional dari seluruh pelaku pembangunan kita. Untuk membangun kemampuan
dan daya saing nasional ini bukan pekerjaan yang ringan. Tetapi dengan kerja keras dan dengan
bersatu bahu-membahu tidak mustahil bagi kita untuk mewujudkannya. Untuk itu, peran generasi
muda akan besar sekali, di mana di dalamnya HMI adalah eksponen yang vital, karena memiliki
pegangan moral, militansi, dan dengan demikian dinamika yang tinggi.
Peran HMI dalam Perjalanan Sejarah Bangsa
Saya bukan anggota HMI, jadi pengetahuan saya mengenai HMI adalah bukan
pengetahuannya “orang dalam”. Mungkin apa yang saya lihat dari luar itu, tidak seperti yang
sesungguhnya kalau dilihat dari dalam. Tetapi mungkin juga ada baiknya untuk mengetahui
bagaimana seorang yang tidak pernah menjadi anggota HMI melihat organisasi ini.
Sudah banyak ditulis buku mengenai sejarah HMI yang dapat digunakan sebagai
referensi. Karena itu saya hanya akan bicara singkat saja untuk mengantar kepada topik utama
yang akan saya bahas, yaitu apa harapan kita terhadap peran HMI di masa datang, khususnya
dalam pembangunan SDM dan dalam menghadapi persaingan antarbangsa memasuki abad-21.
HMI berdiri pada tahun kedua kemerdekaan, 1947. Masa itu adalah masa yang paling
genting dalam periode awal negara kita, karena bangsa Indonesia sedang mati-matian menghadapi
gempuran kaum kolonial. Pada waktu itu, HMI dan angota-anggotanya terlibat dalam perjuangan
fisik melawan penjajah yang ingin kembali menduduki tanah air ini. Pada saat-saat puncak
perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, bangsa Indonesia dikhianati oleh PKI dengan
peristiwa Madiun di tahun 1948. Warga HMI juga turut serta bersama dengan kekuatan-kekuatan
republik lainnya mengatasi pemberontakan ini.

Page 2
www.ginandjar.com
2
Pada dekade 1950-an dan 1960-an, bangsa Indonesia sepenuhnya berganti “haluan”
dengan meninggalkan UUD 1945, dan menerapkan UUDS 1950 dengan sistem politik liberal dan
sistem pemerintahan parlementer. Masa-masa itu adalah masa di mana bangsa Indonesia
mengalami banyak gejolak; berbagai pemberontakan dan peristiwa mengguncang kehidupan
nasional. Pemerintah jatuh bangun, dan pembangunan hampir tidak berjalan. Dalam masa itu
HMI sebagai organisasi berkembang terus dan tumbuh makin kuat di kampus-kampus.
Keadaan politik yang demikian itu berakhir dengan dekrit 5 Juli 1959, dan dengan
kembali berlakunya UUD 1945. Namun, pada kenyataannya, UUD itu tidak diterapkan seperti
jiwa, semangat, dan bahkan apa yang jelas tertulis di dalamnya. Kehidupan bangsa kita dipenuhi
dengan gagasan-gagasan dan suasana revolusioner, di mana ideologi dan politik sangat
mengedepan. Ekonomi tidak dikelola sesuai dengan kaidah yang seharusnya, dan berangsur-
angsur menjadi ekonomi komando, yang disebut ekonomi terpimpin, seperti juga demokrasi
menjadi tidak demokratis karena telah menjadi demokrasi terpimpin. Kondisi itu dimanfaatkan
dengan sangat lihai oleh PKI, yang pikiran-pikirannya secara bertahap mendominasi pengambilan
keputusan politik pada waktu itu.
Suasana berkembang sedemikian rupa, sepertinya masyarakat dimabukkan (intoxicated)
oleh slogan-slogan revolusioner, yang makin lama makin berbau komunis. Tidak semua rela
menerima keadaan itu, dan tumbuh upaya-upaya untuk mengoreksi dari berbagai kekuatan di
masyarakat. Salah satu yang paling terkemuka, paling vokal di antaranya adalah HMI. Namun,
kekuatan antidemokrasi yang bergabung dengan kaum komunis waktu itu begitu besar, sehingga
organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh yang mencoba meluruskan kembali perjalanan bangsa
banyak yang menjadi korban, atau organisasinya dibubarkan atau tokoh-tokohnya dipenjarakan,
atau kedua-duanya.
Menjelang puncaknya masa kemelut itu, HMI diperintahkan untuk dibubarkan. Tetapi
perintah pembubaran tidak pernah dilaksanakan dan HMI tetap eksis. Bahkan pada puncaknya
situasi, dengan pemberontakan G-30-S/PKI, HMI menjadi salah satu organisasi yang secara
frontal menghadapi gerakan pengkhianatan itu. HMI merupakan unsur utama dari angkatan 66,
yang bersama-sama dengan ABRI dan rakyat pada umumnya membentuk kekuatan Orde Baru
untuk menegakkan kembali Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tokoh-tokoh
HMI mewarnai jajaran Orde Baru, dan banyak alumninya terjun aktif dalam upaya-upaya
pembaharuan yang dilakukan oleh Orde Baru, dan pada saatnya telah siap menjadi kader-kader
pembangunan selanjutnya.
HMI sebagai kekuatan pergerakan mahasiswa terus berperan dalam dekade-dekade
pembangunan selanjutnya. Banyak aktivitas sosial mahasiswa, termasuk dalam menanggapi
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, yang dimotori oleh HMI; bahkan tanpa HMI dapat
dikatakan kegiatan nonkampus mahasiswa seringkali melempem dan tidak menghasilkan
momentum yang diharapkan.
Di lain pihak dengan sejujur-jujurnya, saya harus mengatakan, sebagai seorang bukan
anggota atau alumni HMI, bahwa pengaruh yang begitu besar pada pergerakan mahasiswa --
dan penciptaan opini publik -- telah diemban oleh HMI secara bertanggung jawab. Sehingga
tidak pernah kita dengar suatu keonaran dilatarbelakangi oleh HMI. Tetapi HMI memelopori
secara aktif upaya pemecahan berbagai masalah sosial, terutama yang menyangkut kehidupan
umat.
Jadi kesimpulan saya, sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang besar, besar anggotanya
dan besar pengaruhnya, HMI bersikap sangat matang dan dewasa. Selain dari doktrin-doktrin
yang melahirkannya dan riwayat perjuangannya selama perjalanan sejarah republik ini, juga dari
kualitas sumber daya manusia yang masuk HMI dan alumni-alumninya tercermin jiwa dan makna
organiasi ini. Barangkali tidak ada organisasi mahasiswa ekstra universitas yang melahirkan
tokoh-tokoh dan kader-kader bangsa yang sekarang berkiprah dalam pembangunan, seperti HMI.
Pada Kabinet Pembangunan VI ini saja, kalau tidak salah ada 7 alumni HMI.

Page 3
www.ginandjar.com
3
Bagi saya yang dibesarkan dengan latar belakang kebangsaan, HMI tidak saya anggap
sebagai organisasi yang primordial. Oleh karena dari pandangan-pandangan dan tindak tanduknya
HMI senantiasa menunjukkan sikap kebangsaan. Karena itu saya merasa compatible dengan
HMI dan sudah beberapa kali ini diundang dan selalu hadir dalam kongres-kongresnya. Saya
juga mempunyai kawan-kawan dekat yang mantan aktivis HMI, dan dari karakter serta semangat
kejuangan mereka, saya menangkap karakter dan semangat kejuangan HMI.
Selanjutnya, bagaimana HMI menempatkan diri dan perannya dalam perkembangan
masyarakat Indonesia yang makin maju, cerdas, dan makin kosmopolitan? Bagaimana HMI
melihat perannya dalam melahirkan kader-kader pembangunan untuk menghadapi tantangan-
tantangan masa depan? Masa depan yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih
baik jika bangsa kita mampu menarik dan memelihara keunggulan dalam persaingan. Tetapi masa
depan dapat merisaukan kalau kita tenggelam dalam persaingan. Kalau bicara persaingan, tentu
terutama di bidang ekonomi, tetapi juga bahkan lebih rumit di bidang budaya.
Hal-hal itulah yang saya harapkan dapat direnungi oleh HMI, anggota-anggotanya,
aktivisnya dan para alumninya.
Berbagai Tantangan Memasuki Abad ke-21
Memasuki abad ke-21 semua bangsa akan dihadapkan pada berbagai macam tantangan
yang serius dan amat mendasar, utamanya berkaitan dengan kompetisi yang berdimensi global.
Kompetisi global tersebut mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan
berwawasan keunggulan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan itu
merupakan faktor determinan dalam persaingan antarbangsa pada abad ke-21 nanti.
Memasuki abad ke-21 dapat dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan mendasar di
berbagai segi kehidupan yang gejalanya sudah mulai nampak dan telah dapat kita rasakan
sekarang ini. Perubahan lingkungan strategis yang ditandai oleh kecenderungan globalisasi yang
berlangsung secara intensif, akseleratif, melanda semua bangsa di dunia. Proses globalisasi serupa
itu dipacu oleh kemajuan di bidang teknologi informasi, transportasi, dan perdagangan bebas.
Proses tersebut membawa dampak langsung terhadap berbagai bidang kehidupan, bukan saja
ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik.
Dalam bidang ekonomi, globalisasi ditandai oleh perdagangan bebas yang makin tidak
mengenal sekat-sekat negara dan melibatkan semua bangsa di dunia. Dalam suasana itu niscaya
akan terjadi kompetisi yang amat ketat, tajam, dan cenderung saling mengalahkan antara satu
bangsa terhadap bangsa lainnya. Dari segi kepentingan ekonomi, globalisasi itu menciptakan
peluang pasar yang besar. Karena itu, semua bangsa berkepentingan untuk bisa memanfaatkan
peluang pasar yang terbuka lebar tersebut.
Bagi bangsa Indonesia, permasalahan utamanya justru terletak pada kesiapan kita dalam
memanfaatkan peluang dan memenangkan persaingan. Kunci keberhasilannya terletak pada daya
saing bangsa. Karena globalisasi digerakkan oleh dua kekuatan utama yaitu teknologi dan
perdagangan, maka daya saing itu akan sangat bergantung pada (1) kemampuan kita untuk
menguasai teknologi dengan basis ilmu pengetahuan yang kuat, dan (2) kemampuan kita dalam
membangun kelembagaan ekonomi yang efisien.
Kedua hal tersebut secara imperatif menjadi faktor yang menentukan dalam usaha
memenangkan kompetisi global. Dengan demikian, upaya untuk menguasai dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan agenda pembangunan di masa depan, yang
teramat penting dan mendesak untuk mendapatkan prioritas.
Globalisasi juga akan mengakibatkan perubahan dalam aspek sosial budaya. Pergaulan
antarbangsa dalam era globalisasi ini menyebabkan terjadinya interaksi dan persentuhan nilai-
nilai budaya di antara berbagai bangsa yang beraneka ragam yang tidak bisa dihindari. Melalui
interaksi tersebut akan terbuka peluang untuk saling menyerap nilai-nilai budaya asing antara satu

Page 4
www.ginandjar.com
4
dengan yang lainnya, sehingga terjadi proses adaptasi nilai-nilai budaya yang dibawa oleh
masing-masing bangsa.
Adaptasi budaya asing tersebut bisa bermakna negatif dan positif sekaligus. Ia akan
bermakna negatif bilamana masyarakat Indonesia hanya menyerap nilai-nilai budaya asing yang
tidak selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Kecenderungan sikap materialistik,
konsumeristik, hedonistik, individualistik, atau sekularistik adalah contoh yang negatif. Untuk
menghadapinya, kita perlu memperkuat jati diri sebagai bangsa dan memperkukuh etika dan
landasan moralitas masyarakat.
Di pihak lain, adaptasi juga bisa bermakna positif bila mendorong masyarakat dan
bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan. Misalnya etos kerja, semangat berkompetisi, sikap
kemandirian, disiplin, penghargaan terhadap waktu dan sebagainya.
Dalam era globalisasi juga ada potensi melemahnya keutuhan negara terutama bagi
negara-negara yang dibentuk atas dasar ikatan primordial seperti etnik dan agama. Bahkan John
Naisbitt membuat sinyalemen bahwa masa depan negara-bangsa yang dibentuk atas dasar
kesatuan berbagai macam etnik itu sangat mungkin akan memudar, mengalami disintegrasi, dan
kemudian akan kembali kepada identitas primordial semula. Dalam bahasa Naisbitt, tribalisme itu
akan berkembang ketika nasionalisme (baca: negara-bangsa) dianggap tidak penting lagi.
Dalam konteks Indonesia, sebagai negara-bangsa yang sangat majemuk baik dari segi
etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, tentu saja masalah ini tidak bisa diabaikan. Oleh karena
itu, semua elemen sosial yang ikut membentuk negara kesatuan RI dituntut untuk berupaya
memperkuat dan mengukukuhkan keutuhan bangsa ini. Dalam hal ini, HMI diharapkan akan
senantiasa setia kepada komitmennya yang kuat untuk menjaga integrasi negara kebangsaan
sebagaimana tercermin dalam wawasan organisasinya. Kita mengharapkan identitas keislaman
yang menjadi spirit perjuangan HMI tidak akan menghalanginya untuk tetap setia kepada negara
kesatuan RI, bahkan memperkuat tekad untuk mempertahankannya dan memperkukuhnya.
Wawasan keislaman HMI itu kita harapkan akan tetap merupakan pencerminan dari wawasan
kebangsaannya. Lagi pula, meskipun realitas bangsa Indonesia ini sangat pluralistik, namun ia
mempunyai daya perekat yang amat kuat yaitu ideologi negara Pancasila, di mana keseluruhan
silanya diyakini merupakan nafas keislaman. Kita mengharapkan HMI dapat tetap diandalkan
oleh bangsa ini sebagai kekuatan Pancasilais yang senantiasa dapat diandalkan.
Agenda Utama Pembangunan: Meningkatkan Kualitas SDM
Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan dan
kemajuan suatu bangsa. Pengalaman negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong, dan Singapura membuktikan kebenaran hal tersebut. Kelima negara yang disebut
menandakan “Kebangkitan Ekonomi Asia” itu, telah berhasil mendorong kemajuan ekonomi
mereka secara spektakuler dan mengagumkan. Tumpuan kemajuan mereka bukanlah kekayaan
alam yang melimpah, melainkan pada kualitas sumber daya manusianya.
Akan tetapi bagi Indonesia justru masalah sumber daya manusia ini masih merupakan
problem utama. Kita menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain pada tahapan pembangunan yang setara dengan kita,
bahkan di kawasan ASEAN sekalipun. Menurut laporan UNDP 1996, berdasarkan indikator
Human Development Index, Indonesia menempati peringkat ke-102 dengan angka HDI 0,641.
Sementara negara-negara ASEAN lain seperti Singapura menempati peringkat ke-34 (angka
indeks 0,881), Brunei Darussalam peringkat ke-36 (angka indeks 0,872), Thailand peringkat ke-
52 (angka indeks 0,832), Malaysia peringkat ke-53 (angka indeks 0,826), dan Filipina peringkat
ke-95 (angka indeks 0,666). Rentang peringkat itu lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan
Jepang, Hongkong, atau Korea Selatan, yang masing-masing berada di peringkat ke-3 (angka
indeks 0,938), ke-22 (angka indeks 0,909), dan ke-29 (angka indeks 0,886).

Page 5
www.ginandjar.com
5
Dengan demikian, kita harus berusaha dengan sunguh-sunguh untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, khususnya di
kawasan ASEAN. Meningkatkan kualitas SDM harus diarahkan pada penguasaan iptek untuk
menopang kegiatan ekonomi agar lebih kompetitif.
Memberikan prioritas utama terhadap pembangunan kualitas sumber daya manusia,
terutama harus difokuskan pada upaya memperkuat basis pendidikan. Hal ini penting, sebab
investasi human capital niscaya akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi di masa
mendatang. Faktor keberhasilan dalam membangun basis pendidikan inilah, yang mengantarkan
negara-negara di kawasan Asia Timur muncul menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat itu.
Lompatan ekonomi itu digambarkan oleh Bank Dunia sebagai the East Asian Miracle --
keajaiban negara-negara Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara amat
mengesankan di negara-negara yang disebut “Macan Asia” itu, justru dikarenakan mereka
berhasil dalam investasi human capital-nya.
Memasuki abad ke-21, kemampuan bersaing suatu negara tidak lagi semata-mata
ditentukan oleh keunggulan komparatif yang didasarkan pada pemilikan sumber daya alam dan
ketersediaan tenaga kerja murah, melainkan ditentukan oleh penguasaan teknologi, informasi, dan
keahlian manajerial. Bersamaan dengan itu harus disertai pula dengan kesiapan sumber daya
manusia dan institusi-institusi pembangunan, untuk menyerap dan memanfaatkan iptek yang telah
berkembang baik di dalam negeri sendiri maupun di negara lain.
Dalam GBHN 1993 dinyatakan dengan tegas mengenai pentingnya peran iptek dalam
pembangunan nasional. Bahkan iptek telah ditempatkan sebagai salah satu asas penting dalam
pembangunan. Oleh karena itu, perhatian yang sungguh-sungguh telah diberikan terhadap upaya
pengembangan iptek sebagaimana tercermin pada alokasi anggaran yang disediakan di dalam
pembangunan. Pada akhir Pelita V tahun 1993/1994 total anggaran iptek mencapai 701.20 miliar
rupiah, dan pada tahun ketiga Pelita VI mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi 1,392.86
miliar rupiah. Dari data tersebut kita melihat betapa ada perkembangan yang nyata dalam
mengalokasikan anggaran pengembangan iptek ini, yang dari tahun ke tahun peningkatannya
mencapai 25 persen.
Peran iptek itu menjadi lebih penting lagi bila dikaitkan dengan proses industrialisasi.
Kembali proses industrialisai itu mensyaratkan adanya SDM-SDM unggul yang menguasai iptek.
Dalam hal ini, bangsa kita masih menghadapi masalah yang serius mengingat adanya
ketidakseimbangan komposisi dalam disiplin sains dan teknologi dan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Ketidakseimbangan tersebut cukup mencolok. Pada tahun 1995 hanya 26,3 persen
saja mahasiswa yang menuntut ilmu di bidang sains dan teknologi.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik seperti Taiwan,
Hongkong, Jepang, dan lain-lain persentase sarjana di bidang iptek di Indonesia masih sangat
terbatas. Diukur dari persentase jumlah sarjana di bidang iptek terhadap penduduk usia 22 tahun,
Indonesia baru mencapai 0,5 persen pada tahun 1991; sementara Taiwan 4,2 persen, bahkan
Korea dan Jepang masing-masing sudah mencapai 6 persen pada tahun 1990. Untuk itu, dalam
upaya mengejar kemampuan yang setara dengan negara-negara tetangga dan negara industri di
kawasan Asia Pasifik, jumlah sarjana sains dan teknologi pada strata satu (S-1) akan ditingkatkan
dari 15 ribu per tahunnya pada awal PJP II menjadi 65 ribu pada akhir PJP II nanti.
Pemenuhan SDM yang berkualitas dan unggul karena menguasai iptek, akan berpengaruh
terhadap struktur industri di masa depan. Dan apabila sasaran di atas bisa dipenuhi, akan semakin
kuat basis industri yang sedang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, yang pada gilirannya
akan mendorong transformasi struktur ekonomi secara lebih cepat.
Peran Strategis HMI di Masa Depan
Dalam upaya membangun dan menyiapkan sumber daya manusia berkualitas, terutama
dalam menghadapi abad ke-21 yang sudah di ambang pintu, perguruan tinggi mempunyai peranan

Page 6
www.ginandjar.com
6
yang amat strategis. Berarti peran dari segenap sivitas akademika, dan berarti pula para
mahasiswanya.
Dengan demikian, peran dan kiprah HMI akan senantiasa relevan di masa depan bila ia
memusatkan perhatian pada upaya membangun sumber daya manusia berkualitas, yang
dibutuhkan dalam pembangunan di abad ke-21. Dalam perspektif demikian, ada beberapa harapan
saya terhadap HMI dan perannya di masa depan.
1. Memperkuat Basis Komunitas Intelektual
Peran strategis HMI yang diharapkan adalah sebagai wahana pembinaan mahasiswa, yang
bertujuan untuk melahirkan sumber daya manusia yang andal dan memiliki keunggulan. HMI
diharapkan akan memberi perhatian lebih besar terhadap upaya membangun basis kelompok
terdidik dan terpelajar, yang menjadi cikal bakal lahirnya sumber daya manusia berkualitas, andal,
dan memiliki keunggulan. Kelompok ini dapat disebut sebagai komunitas intelektual, yang
merupakan soko guru kelompok elite strategis suatu bangsa. Dalam kurun waktu yang relatif
lama, HMI telah berhasil membangun tradisi intelektual yang amat baik. Tradisi ini harus
dilanjutkan dan ditingkatkan lagi di masa depan.
HMI harus merupakan wahana bagi para mahasiswa untuk mengaktualisasikan potensi
intelektual mereka, agar bisa berkembang dengan baik. HMI harus membuat dirinya menjadi
wadah agar potensi tersebut bisa berkembang secara optimal dalam sebuah lingkungan sosial
yang kondusif. Sebagai organisasi kemahasiswaan, HMI diharapkan menjadi wadah dan tempat
pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, yang memungkinkan mahasiswa
mengembangkan aktivitasnya secara kreatif dan inovatif.
Sebagai institusi pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, HMI dapat
memberi kontribusi yang besar terhadap proses pematangan mahasiswa sebagai kelompok
masyarakat terpelajar. Dengan membangun manusia-manusia terdidik melalui proses
pembelajaran, pemupukan potensi intelektual dan kepemimpinan, serta penguatan kapasitas
belajar secara kontinum, diharapkan HMI bisa turut melahirkan manusia-manusia unggul masa
depan. Yaitu manusia-manusia yang cerdas, terampil, memiliki etos kerja tinggi, semangat dan
daya juang (fighting spirit) yang bergelora, sehingga siap menyongsong kehidupan global yang
sangat kompetitif itu.
Kecuali itu, melalui pembinaan watak, HMI diharapkan bisa melahirkan mahasiswa dan
alumni sebagai insan-insan terdidik yang bermoral kuat, berintegritas tinggi, berkepribadian
tangguh, peka dan mempunyai kepedulian sosial, berjiwa kebangsaan, memiliki kualitas
kepemimpinan, serta kuat dalam memegang tradisi dan jati diri sebagai bangsa.
Dalam HMI perlu diperkuat kultur yang memungkinkan tumbuhnya sikap kemandirian di
kalangan para aktivisnya. HMI selama ini telah menjadi medan penempaan para aktivis
mahasiswa, dan ini harus makin diefektifkan. Melalui HMI para mahasiswa hendaknya secara
dini dihadapkan pada berbagai problem sosial dan bergumul dengan realitas kehidupan
kemasyarakatan, yang mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang nyata dikemudian hari.
Dengan proses sosial seperti ini HMI bisa membentuk sikap hidup mandiri dan membina
mentalitas yang tangguh dikalangan mahasiswa dalam menghadapi persoalan-persoalan
kehidupan pada waktu mereka terjun di masyarakat nanti.
2. Mengembangkan dan Menguasai Iptek
HMI sebagai organisasi para kader pembangunan yang Islami dan berwawasan
kebangsaan, diharapkan akan terus berusaha mengapresiasi secara kreatif dan inovatif berbagai
gejala dan kencenderungan yang dilahirkan oleh kemajuan iptek. HMI harus dapat merespons
dengan tepat tuntutan eksternal yang tidak bisa dielakkan, yaitu perkembangan global yang
didominasi oleh peranan iptek secara amat kuat. Sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda, dan

Page 7
www.ginandjar.com
7
sebagai bagian dari komunitas perguruan tinggi, HMI harus memelopori pengembangan budaya
iptek di kalangan masyarakat.
Dengan sendirinya, usaha memperkuat basis ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut,
harus disertai pula dengan pemantapan wawasan spiritualitas yang tercermin pada peningkatan
kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT. Keimanan dan ketakwaan harus menjadi landasan
etik dalam mengembangkan iptek. Dengan kata lain, usaha meraih kemajuan di bidang iptek itu
harus tetap berakar pada tradisi religiositas yang kuat. Hal ini amat penting, mengingat masa
depan dunia sangatlah rumit dan keimanan dan ketakwaan pulalah yang dapat menjadi pegangan
yang kukuh agar kehidupan masyarakat dan individu bangsa Indonesia tidak terombang-ambing.
3. Memperkukuh Wawasan Kebangsaan
HMI juga dituntut untuk senantiasa meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan
di kalangan anggotanya. Identitas Islam di dalam HMI hendaknya merefleksikan semangat dan
kesadaran bahwa HMI merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, HMI dituntut untuk bisa melakukan sintesa harmonis antara wawasan keislaman dan
wawasan kebangsaan. Islam merupakan semangat pergerakan di dalam tubuh HMI, sedangkan
wawasan kebangsaan haruslah menjadi basis HMI dalam melakukan pergerakan itu.
Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan ini bukan hanya berdimensi
internal, melainkan juga berdimensi eksternal yakni untuk mengantisipasi gelombang globalisasi
pada abad ke-21 nanti. Peneguhan dan pemantapan wawasan kebangsaan ini, selain untuk
menghadapi tantangan globalisasi, juga agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terpelihara dan
terjaga dengan baik. Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan dalam era globalisasi
ini sungguh penting, karena ada potensi nilai-nilai kebangsaan terdesak karena menguatnya nilai-
nilai universal. HMI dapat berperan besar dalam usaha kita untuk terus menerus memupuk dan
memperkukuh wawasan kebangsaan dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk itu.
4. Memperkuat Basis Kepemimpinan
Sebagai organisasi mahasiswa, HMI merupakan lembaga strategis wadah pembentukan
kepemimpinan. Bangsa kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tangguh dan memiliki visi
yang jelas tentang pembangunan nasional dan masa depannya. Kepemimpinan yang tangguh dan
bervisi itu tidak bisa lahir secara tiba-tiba, tetapi harus melalui suatu proses; ada masa penempaan,
penggodogan, dan pengujian, baik ketika masih menjadi mahasiswa maupun sesudah terjun ke
masyarakat. HMI yang telah terbukti merupakan wadah kelahiran pemimpin-pemimpin di masa
lalu, diharapkan dapat terus menjadi kancah dan medan penempaan, penggodogan, dan pengujian
bagi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan yang kualitasnya sesuai untuk menghadapi
tantangan masa depan, yang tidak sama dengan masa lampau atau masa kini.
HMI telah memiliki tradisi kepemimpinan yang baik. Tanpa ditopang oleh basis
kepemimpinan yang kuat, akan sulit kiranya bagi HMI untuk mampu bukan saja bertahan dalam
menghadapi tantangan-tantangan, tetapi juga mengembangkan organisasi dalam zaman yang
berganti-ganti. Menghadapi masa depan yang sangat dinamis HMI kita harapkan dapat menjadi
basis bagi para anggota dan aktivis untuk membangun jiwa, semangat, dan kemampuan
kepemimpinan. Oleh karenanya, memperkuat basis kepemimpinan bukan hanya bagi organisasi
HMI sendiri, tetapi untuk bangsa secara keseluruhan merupakan hal yang penting untuk menjadi
agenda HMI.
Penutup
Pada bagian akhir tulisan ini saya ingin kembali menegaskan, bahwa memasuki abad ke-
21 sebagai bangsa kita akan menghadapi berbagai macam tantangan yang berat. Terutama
tantangan karena persaingan global di antara bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam kehidupan

Page 8
www.ginandjar.com
8
ekonomi, tetapi juga di bidang budaya. Setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia dituntut untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya ke arah itu.
Tantangan yang paling utama adalah membangun sumber daya manusia yang berkualitas
dan memiliki keunggulan kompetitif. Tantangan ini harus dapat dijawab oleh kita semua,
pemerintah, dan juga lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, termasuk organisasi
kemahasiswaan seperti HMI. Tantangan bagi HMI, seperti juga dalam kancah yang lebih besar
bagi seluruh masyarakat Indonesia, adalah bagaimana mencari cara atau format yang tepat untuk
secara cepat dan efektif membangun sumber daya manusia yang akan menjadi andalan bangsa
Indonesia pada abad ke-21.
Demikianlah sumbangan pikiran saya. Semoga bermanfaat. Selamat berulang tahun
dalam Tahun Emas. Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rachmat dan hidayahNya
kepada kita semua.
Dirgahayu HMI.
Polnep Expo 2008
SEMINAR NASIONAL
“Membangun SDM Yang Kompetitif Di
Wilayah Perbatasan”
 

Salah satu rangkaian kegiatan dari Polnep Expo 2008, kali ini Politeknik Negeri Pontianak akan
menggelar Seminar Nasional “Membangun SDM Yang Kompetitif di Wilayah Perbatasan” pada
tanggal 21 April 2008. Ir. H. Muhammad Abduh, Direktur Politeknik Negeri Pontianak,
menyatakan bahwa tema ini diangkat dalam sebuah seminar nasional berangkat dari kesadaran
bahwa perbatasan merupakan pintu masuk terdepan dari sebuah negara ke negara lain, dan
merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah sebuah negara dan memiliki peranan vital
dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya, kepastian hukum bagi
penyelenggaraan aktivitas masyarakat serta untuk menjaga keamanan dan keutuhan wilayah
Negara K

esatuan Republik Indonesia (NKRI). Seminar ini akan mengangkat sub tema “Pemerataan
Pendidikan Dan Pemanfaatan Teknologi Mutakhir Untuk Meningkatkan Perekonomian Dan
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Perbatasan”, “ini merupakan bagian dari tanggung jawab
besar Politeknik Negeri Pontianak sebagai institusi pendidikan vokasi terbesar di Kalimantan
Barat” ditambahkan oleh pak Abduh, sebagai seorang akademisi sangat sadar dan paham bahwa
rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) di kawasan perbatasan telah menjadi
permasalahan/isu strategis yang perlu mendapat perhatian mendesak dari pemerintah, karena
tingkat kualitas SDM yang tersedia akan menjadi faktor penentu dalam upaya peningkatan
kesejahteraan kehidupannya di masyarakat. Oleh karena itu, menurut pak Abduh bahwa
pemerataan pendidikan dan pemanfaaat teknologi merupakan salah satu solusi besar untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan sosial budaya masyarakat didaerah perbatasan.

Kawasan perbatasan Kalbar - Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850 kilometer,
mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau seluas propinsi Nusa Tenggara Barat, atau propinsi
Sulawesi Utara. Secara integratif, kawasan ini meliputi 5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa,
dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000 orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per
kilometer persegi.

Kawasan perbatasan Kalbar memiliki sejarah perkembangan pembangunan yang kurang


menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh kegiatan
pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat ajang konflik
antara Pemerintah Indonesia - Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya orde lama, kawasan ini
menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK (Paraku/PGRS). Selanjutnya
pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola
hutannya (melalui HPH - sejak tahun 1967). Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih
ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach) tanpa menyentuh pembangunan
Sumber daya Manusia nya. Sehingga potret kawasan perbatasan dapat digambarkan sebagai
terbelakang dan terisolir dan menjadi hinterland Sarawak yang lebih sebagai implikasi dari
belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas (yang bersifat komprehensif dan integrative).

“Tidak berkembangnya daerah perbatasan KALBAR, sangat terkait erat dengan rendahnya
kualitas SDM yang tidak mampu bersaing dengan Negara tetangganya. Pendekatan sektoral yang
sangat eksploitatif dan sangat kurang mempertimbangkan kepentingan daerah - menyebabkan
kawasan ini mengalami proses degradasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam serta
lingkungan, maupun sumber daya manusianya. Oleh karena itu, Pembangunan yang
beorientasikan pada pembangunan SDM didaerah perbatasan, yang antara lain meliputi
pengembangan ketrampilan dan kemampuan individu dan peningkatan askses masyarakat
terhadap pendidikan murah tetapi bermutu, menjadi sebuah keharusan yang selayaknya
diprioritaskan”, ditambahkan lagi oleh Ir. H. Muhammad Abduh.

Dalam kesempatan lain, Pembantu Direktur III, Sutrisno Idris, ST, selaku ketua umum Polnep
Expo 2008 mengungkapkan bahwa “Seminar ini akan membahas kompleksitas permasalahan
diperbatasan KALBAR- Sarawak dalam perspektif peningkatan SDM diwilayah tersebut yang
terintegrasi dalam pemanfaatan dan pengembangan IT untuk meningkatkan daya saing secara
menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan yang pada akhirnya akan berdampak pada perbaikan
kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat perbatasan”. Menurut Pudir III tersebut
bahwa tujuan dari seminar ini adalah untuk membuka wawasan tentang masalah dan kasus-kasus
yang terjadi diperbatasan KALBAR; memberikan dorongan positif kepada pemerintah untuk
dapat memberikan porsi perhatian yang lebih terhadap kondisi daerah perbatasan; menggali
solusi alternatif pembangunan daerah perbatasan; dan menyatukan persepsi tentang pentingnya
pembangunan SDM yang kompetitif di daerah perbatasan.

Ditemui di sekretariat Polnep Expo 2008, Muhammad Ali, Person in Charge kegiatan ini
memberikan keterangan bahwa materi seminar ini rencananya akan disampaikan oleh Menteri
Pendidikan Nasional, Gubernur Kalimantan Barat, Direktur Politeknik Manufaktur Bandung,
Direktur PENS-ITS Surabaya, Direktur Politeknik Bali dan Ir. Ciputra (Pengusaha Nasional
dalam tahap konfirmasi). Ali juga menambahkan bahwa seminar ini akan dihadiri oleh 150
peserta. Adapun target partisipan seminar adalah Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota
beserta jajarannya, Ketua DPRD KALBAR, Direktur Politeknik Seluruh Indonesia, Pimpinan
Perguruan Tinggi se-KALBAR, Badan Pengembangan Wilayah Perbatasan, Kepala Badan
Penanaman Modal, Koperasi dan UKM, Assosiasi, LSM, Industri, dan Akedemisi.

 
POLNEP EXPO 2008
Seminar Peranan Teknologi Selular dan e-
Learning dalam Mendukung Dunia
Pendidikan
Kehadiran teknologi Third Generation (3G) yang merupakan evolusi dari generasi sebelumnya,
Second and Half Generation (2,5G), seolah menjawab tuntutan komunikasi dengan transfer data
yang jauh lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik serta tarif yang semakin murah. Dalam hal
ini, Ir. H. Muhammad Abduh, Direktur Politeknik Negeri Pontianak, menegaskan bahwa
perkembangan teknologi selular yang demikian pesat juga diadopsi oleh dunia pendidikan
walaupun masih pada tahap mendukung administrasi akademik seperti pengecekan nilai
perkuliahan, rekap kehadiran, pengumuman jadwal kuliah dan pengumpulan tugas. Sedangkan
model pembelajaran yang menggunakan teknologi selular sebagai sarana pembelajaran atau yang
lebih dikenal sebagai Mobile Learning (m-learning) baru mulai diteliti dan digunakan dibeberapa
Negara. Seiring dengan berkembangnya Teknologi Informasi, Dunia pendidikan
mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi informasi yang kemudian dikenal
sebagai e-learning (electronic learning).

Untuk sementara ini Polnep baru sudah mencoba penggunaan e-learning dalam membantu proses
belajar dan mengajar di kampus kita. Bukti komitmen kita untuk menyempurnakan aplikasi e-
learning dalam mendukung proses belajar dan mengajar adalah dengan memberikan pelatihan
pengajaran dengan menggunakan e-learning kepada pengajar Polnep, dan menyiapkan domain e-
learning di website kita, tegas pak Abduh.

Pada perkembangan selanjutnya, e-learning menjadi model pembelajaran yang sangat menantang
untuk terus dikembangkan dan diaplikasikan. Pemanfaatan mesin berotak pintar, komputer,
untuk mengakses materi pembelajaran yang sangat besar di internet, berkolaborasi dan bertukar
fikiran dengan banyak orang dari seluruh pelosok dunia, dan pengaplikaisan model lain dalam
belajar yang belum pernah ada pada paradigma pembelajaran sebelumnya, menjadikan e-
learning sebagai sebuah model pembelajaran yang sangat efektif, efisien dan sarat dengan
muatan teknologi modern, tambah Sutrisno Idris, ST, Pudir III (Ketua Umum Polnep Expo
2008).

Pak Tris menegaskan bahwa seminar yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 April 2008
bertempat di Auditorium POLNEP ini akan mengupas tren produk dan layanan teknologi selular
serta model pembelajaran e-learning dalam mendukung dunia pendidikan. Materi dalam seminar
ini akan disampaikan oleh pakar e-learning Romi Satriya Wahono dan pakar teknologi selular
3G dari provider yang beroperasi di Indonesia. Peserta seminar ini adalah guru, dosen,
mahasiswa, akademisi dan umum dengan jumlah yang hanya dibatasi sebanyak 150 orang.

 
Polnep Expo 2008
Bagaimana Kalau QMS da
n Entrepreneurship Menjadi Mata Pelajaran
MULOK di SMA/SMK?
(seminar untuk Kepala Sekolah)

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa lapangan pekerjaan semakin hari semakin sulit untuk
didapatkan, selain karena sempitnya lowongan yang tersedia juga persaingan yang sangat ketat
bagi para pencari kerja. Kalau hal ini terus menerus dibiarkan maka penumpukan jumlah
pengangguran akan semakin meningkat yang pada akhirnya akan menimbulkan sebuah masalah
sosial yang lebih rumit lagi. Salah satu cara tepat untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah
dengan menumbuhkan dan membangun jiwa entrepreneurship atau semangat berwirausaha sejak
dini. Semangat berwirausaha ini harus ditumbuhkan dikalangan generasi muda saat ini agar
generasi muda sekarang siap dengan kenyataan bahwa lapangan pekerjaan dimasa mendatang
akan sangat sulit dan mereka sudah memiliki sikap dan jiwa untuk permasalah tersebut dengan
tertanamnya dalam diri mereka jiwa untuk berwirausaha. Berangkat dari pemikiran diatas
Politeknik Negeri Pontianak sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi yang ditunjuk sebagai
PILOT PROJECT untuk program Quality Management System dan Entrepreneurships
mengundang Kepala Sekolah SMA/SMK se-Kalimantan Barat untuk dapat berpartisipasi dalam
Seminar Daerah “Penerapan Quality Management System (QMS) & Entrepreneurship sebagai
Mata Pelajaran MULOK di sekolah”. Seminar ini akan dijadwalkan pada tanggal 7 April 2008.
Seminar ini akan membahas sebuah wacana Penerapan QMS & Entrepreneurship dalam rangka
memberikan bekal kepada guru-guru dalam menyiapkan siswa-siswinya untuk terjun kedalam
dunia wirausaha jika mereka tidak dapat melanjutkan studi. Materi ini disampaikan oleh TIM
Entrepreneurship Skill Development Program (ESDP) Politeknik Negeri Pontianak yang telah
terlatih oleh Nuffic dan Facet (dua lembaga dari Belanda).

Menurut Ketua Umum Polnep Expo 2008, Sutrisno Idris, ST (Pudir III) seminar ini memang
dikhususkan untuk Kepala Sekolah SMA/SMK se-Kalimantan Barat, tidak dipungut biaya
dan panitia akan menyediakan akomodasi bagi Kepala Sekolah SMA/SMK di luar kota
Pontianak. Seminar ini adalah salah bentuk kepedulian Polnep atas permasalahan lapangan
pekerjaan yang semakin sulit dewasa ini, tegas Pudir III.
Untuk mempermudah koordinasi antara peserta seminar (Kepala Sekolah) dengan panitia, dan
untuk mempermudah pengurusan penyiapan akomodasi bagi peserta yang berada diluar kota
Pontianak, diharapkan kepada Kepala Sekolah akan berparitisipasi untuk dapat segera
mengembalikan formulir yang sudah diberikan kepada panitia atau lansung menghubungi
koordinator seminar M. Ali, S.Pd (08125789737) untuk mengkonfirmasi kesediaan untuk
mengikuti seminar ini.

 
Polnep Expo 2008: TEFL Workshop

POLNEP, SMA MUHAMMADIYAH I PONTIANAK &


RELO in Sharing, Collaborating, and Partnership
Polnep Expo 2008 sudah dimulai dihelat hari ini (Sabtu 29 Maret 2008) dengan dibuka secara
resmi rangkaian kegiatan pertama Polnep Expo 2008 yaitu TEFL Workshop (diselenggarakan
dari tanggal 29 s/d 30 Maret 2008). TEFL Workshop, dengan tema “Teaching English outside of
the Box” adalah sebuah workshop pengajaran bahasa Inggris yang diharapkan dapat memberikan
pemahaman kepada guru-guru Bahasa Inggris mengenai metodologi pengajaran bahasa Inggris
yang mudah dan aplikatif. TEFL Workshop ini diikuti oleh 80 guru bahasa Inggris dari
perwakilan SMP dan SMA/SMK kota Pontianak. Workshop ini merupakan kerjasama antara
Politeknik Negeri Pontianak dan SMA Muhammadiyah I Pontianak dengan RELO (Regional
English Language Office/Lembaga Public Affair of US Embassy) dan AMINEF (American
Indonesian Exchange Foundation).
TEFL workshop ini dibuka secara resmi oleh Sutrisno Idris, ST, Pembantu Direktur III, mewakili
Direktur Polnep, yang dihadiri oleh Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah I Pontianak, Kasi
Pembina SMA Bidang Dikmen Dinas Pendidikan Kota Pontianak, dan perwakilan dari Dinas
Pendidikan Kalbar. Pudir III Polnep menegaskan dalam kata sambutannya bahwa pengajaran
bahasa Inggris yang mudah dan aplikatif akan membantu baik para pengajar dan siswa dalam
peningkatan mutu bahasa Inggris mereka, yang pada akhirnya, kata Pudir III, akan berdampak
pada peningkatan kualitas SDM kita dalam menghadapi era globalisasi ini. Ahmad Zaini, S.Pi
Kepala SMA Muhammadiyah I Pontianak, menjelaskan dalam kata sambutannya bahwa TEFL
Workshop ini merupakan wujud partisipasi dan dukungan serta komitmen SMA Muhammadiyah
I Pontianak dalam menghadapi era persaingan yang sangat ketat dewasa ini. Kita di SMA
Muhammdiyah I Pontianak terus berupaya untuk meningkatkan atmospir pembelajaran bahasa
Inggris dengan menghadirkan satu guru bahasa Inggris dari Amerika, Mr. John Zanetti, salah
seorang perwakilan AMINEF. Dan ini sudah berlansung selama lebih dari satu semester, jelas
Ahmad Zaini, S.Pi. Keberhasilan yang dicapai oleh SMA Muhammadiyah I Pontianak ini
merupakan hasil dari tindak lanjut dari kerjasama SMA Muhammadiyah I Pontianak dengan
AMINEF, yang kemudian lembaga tersebut menempatkan salah satu pengajar bahasa Inggris di
SMA kita yaitu Mr. John Zanetti, dan kemudian lewat Mr. John Zanetti dan bekerjasama dengan
Politeknik Negeri Pontianak, kita menghadirkan enam pengajar bahasa Inggris dari RELO untuk
menjadi nara sumber dalam TEFL Workshop pada Polnep Expo 2008 ini. Mereka adalah Mr.
Jeffrey Kealing, Ms. Ellen Barret, Ms. Kendra Staley, Ms. Susannah Schoff, Mr. Alexander
Anania, Mr. Anthony Robert Zak, dan Mr. John Zanetti, tegas Ahmad Zaini, S.Pi. Kepala
Sekolah SMA Muhammadiyah I Pontianak berharap agar kerjasama antar lembaga pendidikan
ini yaitu SMA Muhammadiyah I Pontianak dan Politeknik Negeri Pontianak tetap berlanjut
dimasa mendatang dan dalam bidang yang lain juga.
Ketika di konfirmasi di tempat lain, Ir. H. Muhammad Abduh, Direktur Polnep, menjelaskan
bahwa TEFL Workshop ini adalah merupakan salah satu bentuk kepedulian dan peran aktif
Politeknik Negeri Pontianak dalam peningkatan kualitas penguasaan bahasa Inggris di
Kalimantan Barat agar SDM Kalimantan Barat nantinya dapat bersaing di tingkat lokal, nasional,
dan internasional, seiring dengan visi Polnep untuk menjadi lembaga pendidikan yang terbaik
dan terpercaya baik ditingkat nasional dan internasional. Workshop pengajaran bahasa Inggris ini
adalah kali kedua bagi Polnep, dimana pada penyelenggaraan workshop pengajaran bahasa
Inggris yang pertama, dua tahun lalu, dimana UPT Bahasa Polnep juga bekerjasama dengan
RELO. Bedanya kali ini, dengan sharing, collaborating, and partnership dengan SMA
Muhammadiyah I Pontianak, TEFL Workshop ini dapat menghadirkan 7 penutur asli bahasa
Inggris dari RELO, terima kasih buat SMA Muhammadiyah I Pontianak dan kita berharap
kerjasama ini dapat kita jadikan agenda tahunan, dan di follow up dengan kerja sama yang lain,
tegas Abduh.
Seusai acara pembukaan, Drs. Jasrizal, Kasi Pembina SMA Bidang Dikmen Dinas Pendidikan
Kota Pontianak, menyatakan sangat mendukung program Polnep Expo 2008 terutama kegiatan
TEFL Workshop ini, Jasrizal menjelaskan bahwa TEFL Workshop ini sangat mendukung
peningkatan pembelajaran bahasa Inggris di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat, karena
katanya, masalah pendidikan bukan hanya tanggungjawab dinas pendidikan semata, namun
tanggung jawab kita bersama termasuk juga Politeknik Negeri Pontianak.

Investor Tidak Butuh Insentif


    0 Tanggapan   
Kamis, 22 Mei 2008 11:51 WIB - warta ekonomi.com

Arif Soeleman Siregar


Presiden Direktur PT International Nickel Indonesia (INCO)
Tbk.

Setelah masa jabatannya sebagai presdir PT Kelian Equatorial


Mining berakhir pada 2006, Arif S. Siregar sebenarnya ingin pensiun.
Namun, INCO—yang baru melepas presdirnya, Bing Tobing—
meminangnya. Arif tak kuasa menolak. Alasannya, ”INCO adalah aset nasional.” Selama
memimpin INCO, Arif mengusung ambisi menjadikannya sebagai perusahaan nikel yang
paling menguntungkan. Berhasilkah? Selama 2007, kinerja INCO memang mengesankan.
Laba bersihnya naik dua kali lipat menjadi US$1,173 miliar. Penjualannya juga tumbuh 74%
menjadi US$2,325 miliar. Produksi INCO selama 2007 mencapai 76.748 metrik ton nikel
dalam matte, atau naik 7% dibandingkan 2006. ”Secara keseluruhan, hasil ini yang tertinggi
dalam sejarah perseroan, sekaligus melebihi rencana produksi 2007 yang 74.843 metrik ton,”
tutur Arif. Jumat (11/4) pagi, di kantornya, selama hampir tiga jam Arif menerima J.B.
Soesetiyo, Ari Windyaningrum, dan Sugeng Kurniawan dari Warta Ekonomi untuk berbincang
tentang banyak hal seputar bisnis pertambangan. Petikannya:

Kinerja INCO selama 2007 meningkat luar biasa?

Iya. Penyebabnya, pertama, harga nikel yang lebih tinggi dari 2006. Kedua, INCO
selama 2007 memecahkan rekor produksi sepanjang sejarah—walau ada 11 hari pemogokan
pegawai di Soroako. Ketiga, kami melakukan efisiensi di segala bidang. Keempat, kami fokus
mengantisipasi perubahan di lapangan. Ini membuat kami selalu siap dengan perubahan
kondisi di lapangan. Namun, di antara empat faktor tadi, yang paling krusial adalah
optimalisasi proses produksi dan harga nikel yang lebih tinggi dari biasanya.

Bagaimana dengan target produksi 2008?

Volumenya 77.000 sampai 79.000 metrik ton.

Rentangnya bisa sampai 2.000 metrik ton?

Sebab, proses produksi kami sangat tergantung pada cuaca, yang tak bisa sepenuhnya
diprediksi. Kalau tingkat air di danau itu bisa kami kendalikan, tentu produksi akan stabil dan
bisa ditingkatkan. Maka, saya tidak bisa memberikan target satu angka. Selain cuaca, kami
juga tergantung pada energi, yang menghabiskan 40% biaya produksi.

Soal pemogokan tadi, berapa besar pengaruhnya bagi INCO?

Pemogokan itu menyebabkan kami kehilangan produksi sekitar 2.300 ton.


Seluruh produksi INCO diekspor ke Jepang. Dengan kinerja ekonomi Jepang
yang tidak begitu menggembirakan, adakah pengaruhnya ke INCO?

Ekspor kami 80% ke Sumitomo dan 20% ke Vale. Kinerja ekonomi Jepang tak ada
pengaruhnya bagi kami, sebab penjualannya terikat kontrak. Jadi, mereka akan tetap membeli
nikel kami, apa pun kondisinya, dengan tingkat harga yang ditentukan sebulan ke belakang.

Jadi, kalau ada lonjakan harga, INCO tak bisa negosiasi ulang harga?

Tidak bisa, karena perjanjiannya telah disepakati.

Bagaimana rencana ekspansi INCO ke depan?

Kami sedang membangun PLTA Karebbe 90 MW yang diharapkan selesai pada 2011.
Dengan energi yang cukup, insya Allah kami mampu memproduksi 90.000 ton nikel matte.
Selain itu, Februari lalu kami sudah mengajukan surat ke Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) untuk membangun satu lagi unit pengolahan di Soroako. Jika selesai
dibangun, target produksi kami akan bertambah lagi.

Sudah ada jawaban dari Departemen ESDM?

Menurut teori, 60 hari harus sudah dijawab. Namun, nyatanya hingga kini kami belum
menerima jawaban.

Akan ada penambahan luas lahan lagi?

Tidak. Cuma ada peningkatan produksi lewat penambahan pabrik. Saat ini luas total
lahan kami 218.529 hektar, yang terdiri dari 118.000 di Sulawesi Selatan, 37.000 di Sulawesi
Tengah, dan sekitar 64.000 di Sulawesi Tenggara.

Bagaimana dengan cadangan bijih nikel?

Sesuai studi kami, cadangan bijih nikelnya akan bertahan kira-kira 38 tahun lagi.
Namun, dengan teknologi baru, saya harap cadangan tersebut akan bertahan hingga 50 tahun
lagi.

Bukankah teknologi baru justru akan mempercepat proses produksi, sekaligus


mengurangi cadangan bijih nikel yang ada saat ini?

Saat ini proses produksi kami masih menggunakan teknologi pyromet (pyrometallurgy)
yang membutuhkan suhu hingga 2.400 derajat Celsius. Dengan teknologi ini, bijih nikel yang
bisa diolah hanya jenis saprolite. Sekadar informasi, di Indonesia ada dua jenis nikel, yakni
saprolite dan lemonite. Nah, saprolite yang bisa diolah lagi adalah yang kadar bijih nikelnya di
atas 2%. Kalau dengan teknologi baru yang disebut hydromet (hydrometallurgy), atau High
Pressure Acid Leaching (HPAL), kami tak lagi menggunakan temperatur tinggi, tetapi
memakai proses pelarutan. Keuntungan HPAL adalah, pertama, tidak membutuhkan banyak
energi. Kedua, dia bisa mengolah bijih nikel jenis lemonite. Ketiga, dia bisa mengolah bijih
dengan kadar nikel 1,3% ke atas.

Jadi, pyromet bisa mengolah bijih dengan kadar nikel sekitar 2%, dan selebihnya
dibuang. Lalu, membutuhkan banyak energi—itu sebabnya menghabiskan hampir 40% biaya
produksi. Padahal, harga energi makin mahal. Cuma, keuntungannya, proses produksinya
relatif simpel. Kalau hydromet, teknologi ini bisa mengolah lemonite yang kadarnya 1,3%.
Artinya, kalau (dengan teknologi) pyromet treshold-nya 2%, kini (dengan hydromet) bisa
1,3%. Ini berarti ada sisa untuk cadangan sebesar 0,7%. Itu yang menyebabkan cadangan bisa
di-upgrade menjadi 50 tahun lagi. Kelemahannya, teknologi baru ini sangat mahal. Untuk
target produksi 20.000 –22.000 ton, investasinya bisa US$1,1 miliar.

Bagaimana kesiapan SDM lokal dengan teknologi hydromet?

Not very good! Ini PR besar kami. Itu sebabnya kami mulai menyiapkan SDM-SDM
yang bagus untuk menanganinya. Pembangunan pabrik baru memakan waktu 3 –4 tahun.
Jadi, masih ada waktu untuk mendidik SDM-nya.

***

Memperingati Hari Bumi 22 April lalu, INCO dan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur
menggelar penanaman 15.000 bibit pohon di sana. Selain tanaman endemik Sulawesi, seperti
betao dan kayu hitam, ribuan tanaman produktif seperti durian dan rambutan juga ditanam
pada aksi penghijauan yang melibatkan pemerintah, masyarakat, LSM, dan para pelajar. Aksi
INCO itu adalah salah satu dari program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka.
”Dalam bisnis pertambangan, CSR itu ibarat agama,” ucap penggemar motor gede ini.

Ekspansi di sektor pertambangan sangat erat dengan isu-isu lingkungan.


Komentar Anda?

Itu pasti, dan ini menjadi yang pertama kali muncul di kepala saya. Sejauh ini, kami
selalu mempelajari dampak penggunaan teknologi terhadap lingkungan. Kami juga selalu
menyosialisasikannya kepada masyarakat, LSM, serta pemerintah setempat maupun pusat.

Isu sosial lainnya kerap dipicu oleh kesenjangan kesejahteraan antara pekerja
tambang dan penduduk sekitar?

Memang ada pandangan seperti itu. Oleh karena itu, kami mengembangkan program
CSR bagi masyarakat sekitar tambang. Kami berusaha mengedukasi guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Jadi, dalam bisnis pertambangan, CSR adalah ”agama”-
nya. Perusahaan tambang yang legal pasti menerapkan program CSR. Hanya, kalau CSR
diatur-atur seperti sekarang, gerakan kami malah jadi terbatas.

Sejauh mana CSR yang dilakukan INCO?


Saya tak perlu bicara mengenai hal ini. Nanti kalau saya ceritakan, Anda malah tidak
percaya. Jadi, lebih baik lihat saja ke lokasi kami untuk membuktikan sendiri.

Berapa banyak SDM lokal di INCO?

Lebih dari 89% SDM kami adalah karyawan lokal. Sampai saat ini, level paling tinggi
SDM lokal adalah manajer. Kami punya sekolah mulai dari tingkat dasar sampai akademi,
seperti Akademi Teknik Soroako (ATS), guna memberdayakan masyarakat setempat yang jika
mereka memang kompeten akhirnya dapat bekerja di INCO.

Itu lebih karena kompromi INCO atau karena mereka memang kompeten?

Lebih kepada kompetensi dan keterikatan mereka untuk membangun daerahnya.


Bukan karena faktor SDM lokal lebih murah, melainkan karena mereka ingin melihat daerah
asalnya maju. Jadi, kami berikan kesempatan. Memang, saat ini masih ada beberapa posisi
internal yang diisi orang asing. Di posisi eksternal, begitu proyek selesai, mereka berhenti.

Dengan otonomi, pemerintah daerah (pemda) lebih punya power untuk mengatur
setiap langkah bisnis di wilayahnya. Ini menjadi ganjalan buat INCO?

Anda betul. Namun, yang perlu diingat adalah INCO berhubungan langsung dengan
pemerintah pusat. Kontrak kami dengan pusat, dan kontrol dilakukan oleh pemerintah pusat.
Hanya, bukan berarti kami mengesampingkan pemda. Kami selalu berkoordinasi dengan
provinsi maupun kabupaten. Mereka selalu kami libatkan dalam setiap langkah yang kami
ambil.

Kapan perpanjangan kontrak INCO berakhir?

Semula kontrak habis per 31 Maret 2008. Kemudian, diperpanjang 1 April 2008 sampai
2025.

Apakah dalam perpanjangan kontrak itu INCO melakukan negosiasi ulang


dengan pemerintah, dan dalam hal apa?

Waktu perpanjangan kontrak tahun 1996, kami sudah melakukan negosiasi ulang.
Perpanjangan kontrak tersebut sudah mengubah kontrak yang sebelumnya, yakni dalam hal
royalti. Hanya, belakangan, karena harga nikel naik, pemerintah ingin memperoleh bagian
yang lebih. Masalah ini kami kembalikan ke pemegang saham: Ini lho, ada permintaan dari
pemerintah Indonesia. Pada 2007 lalu, total kewajiban INCO yang masuk ke pemerintah
hampir US$500 juta, baik untuk pusat maupun daerah. Namun, memang mayoritas untuk
pusat.

***

Salah satu isu utama dalam bisnis pertambangan adalah illegal mining. Sebagai ketua
Indonesia Mining Association (IMA), dengan nada geram Arif berujar, ”Saya sudah sering
berteriak mengenai hal ini. Namun, sampai saat ini, tak ada aksi baik dari sisi pemerintah
pusat maupun daerah.” Isu lainnya adalah soal pertambangan di hutan lindung, yang menjadi
pembicaraan luas belakangan ini. Bagaimana INCO menyikapi masalah ini?

Bagaimana tanggapan Anda terkait illegal mining?

Illegal mining sangat merusak citra legal mining. Sebab, kesalahan yang dilakukan
illegal mining akan cenderung digeneralisasi sebagai dosa seluruh perusahaan tambang,
termasuk yang legal. Bagi INCO, illegal mining masalah kecil. Ancaman paling besar justru
bagi Indonesia, karena kehilangan banyak peluang. Namanya juga ilegal, mereka pasti
sembunyi-sembunyi, tidak membayar pajak, royalti, dan sebagainya. Efisiensinya juga sangat
rendah. Mereka biasanya menanamkan modal hari ini, besok sudah minta kembali modalnya.
Jadi, datang 1, 2, atau 3 tahun, setelah itu mereka lari.

Cara ini tidak efisien. Sebab, jika di suatu lokasi pertambangan ada kandungan mineral
100 ton, tetapi karena tidak punya teknologi, tak memiliki izin, ketakutan, dan sebagainya,
mereka hanya mampu mengambil 40 ton. Sisanya, kalaupun bisa ditambang, skalanya sudah
tidak ekonomis lagi. Akibatnya, 60 ton kandungan mineral sisanya, yang merupakan harta
rakyat Indonesia, terbuang sia-sia.

Kalau dilihat dari seluruh luas tambang di Indonesia, berapa persen yang legal
dan ilegal?

Kita tak bisa membandingkannya begitu saja. Perusahaan seperti INCO itu ukurannya
besar, sedangkan yang illegal mining umumnya perusahaan skala kecil. Namun, untuk batu
bara, saya yakin 20% –30% itu datangnya dari illegal mining.

Apa dasarnya Anda mengatakan itu?

Saya mendapat informasi dari Toronto, Kanada (kantor pusat INCO—Red.), bahwa
selama Januari-Maret 2008 saja Indonesia sudah mengekspor 2 juta ton batu bara ke Cina.
Padahal, setahu saya, hanya PT Aneka Tambang Tbk. yang punya izin untuk mengekspor batu
bara, dan produksi mereka paling banyak hanya 300.000 ton. Sisanya yang 1.700 ton itu dari
mana? Saya yakin dari illegal mining. Di Bangka Belitung itu ada illegal mining yang gali,
gali, dan gali, lalu ditinggalkan begitu saja. Dampak negatif dari segi lingkungan saya tidak
singgung lagi. Saya concern pada kerugian dari segi pendapatan pemerintah dan hilangnya
peluang.

Dampaknya terhadap harga batu bara di pasaran?

Memang ada, tetapi tidak banyak. Jadi, untuk sementara kita hanya bisa diam, tak
melakukan apa-apa. Saya tidak melarang orang menambang. Silakan menambang, tetapi do it
right! Lakukan dengan benar dan efisien.

Sebagai ketua IMA, apa yang sudah Anda lakukan?


Saya sudah sering berteriak, tetapi sampai saat ini baik dari pemerintah pusat maupun
daerah tidak ada aksinya. Nah, kalau saya sudah ingatkan, tetapi tidak ada tindak lanjut dari
pemerintah, saya mesti bagaimana lagi? Atau, karena bukan orang pemerintah, maka suara
saya tidak didengar.

Jadi, pemerintah tidak berbuat apa-apa, juga IMA?

IMA tidak punya kekuasaan untuk mengatasi hal itu.

Kondisi ini buah dari otonomi daerah?

Sebagian mungkin iya. Namun, walau sudah otonomi, seharusnya tetap ada kontrol dari
pusat. Sebab, barang tambang itu harta bersama. Bukan hanya orang Sulawesi yang punya
nikel, atau orang Kalimantan yang punya batu bara.

Kalau illegal mining untuk nikel?

Illegal mining untuk nikel saat ini marak, kalau emas sudah terjadi sejak lama. Jadi,
perusahaan tambang yang terdaftar lebih rendah jumlahnya daripada yang tidak terdaftar.
Padahal, dilihat dari hasil migas dan bahan tambang lainnya, negara kita ini terkaya ke-4
sedunia. Namun, kita peringkat ke-62 dari sisi kebijakan alias yang paling rendah. Bahkan,
ironisnya, negara selevel Nigeria pun peringkat kebijakannya masih di atas kita.

Jadi, negara ini sebenarnya kaya, tetapi masyarakatnya miskin?

Negara ini kaya hasil alam, tetapi masyarakatnya masih ada yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Ini tidak fair! Mengapa negara ini utang ke sana-sini untuk membangun, padahal
mineralnya berlimpah? Mengapa tidak kita gali saja sendiri? Do something! Tak ada kata
terlambat untuk itu. Manfaatkan posisi kita sebagai negara terkaya mineral ke-4 di dunia
dengan baik. Perbaikilah kebijakannya, pasti investor datang. Saya tidak melihat perlunya
insentif ini itu buat investor.

Oya?

Saat ini tidak ada insentif dari pemerintah untuk bisnis pertambangan, dan saya juga
tidak melihat perlunya memberikan insentif. Investor itu pokoknya menanamkan modal Rp10,
uangnya bisa kembali sebesar itu. Itu saja kok!

Kini ramai dibahas isu pertambangan di hutan lindung?

Saya tahu pentingnya hutan lindung. Dalam kasus ini, kebijakan pemerintah sudah
benar, yakni kalau di suatu daerah hutan lindungnya lebih dari 30%, sebagian bisa
dialihfungsikan menjadi lahan penambangan. Namun, perlakuannya juga harus fair! Mengapa
sih kita tidak waras sedikit? Artinya, kalau ada mineral di suatu lahan hutan, maka penetapan
hutan lindungnya jangan di situ, tetapi dialihkan ke lahan yang lain. Tujuannya, agar
masyarakat setempat bisa mengambil manfaat dari situ.
Bagaimana Anda melihat keterkaitan hutan lindung dari sisi kebijakan dan
Kontrak Karya (KK)?

Sangat aneh. Sebab, perusahaan tambang menandatangani kontrak dengan pemerintah


tahun 1968, dan diperbarui tahun 1992. Nah, kebijakan tentang hutan lindung itu baru muncul
tahun 1999.

Anda keberatan?

Keberatan tentu, tetapi bukan soal jumlah yang harus kami bayar. Bedakan antara
jumlah dan aturan. Kalau saya teguh pada aturan, saya tidak akan bayar satu sen pun. Sebab,
berdasarkan KK yang ditandatangani dengan pemerintah, kami punya akses ke situ, dan
ditandatangani jauh sebelum definisi hutan lindung itu muncul. Kalau saya ngotot, tentu
pengadilan akan memenangkan saya. Namun, yang harus diingat adalah kita juga wajib
membantu pemerintah. Jadi, anggota IMA sepakat menjalankan dan membayar sesuai
kebijakan pemerintah.
 
Prolog
 
Barangkali diantara kita sudah pernah melihat iklan layanan masyarakat yang
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional RI di media Televisi. Dalam
tayangan tersebut ditampilkan bagaimana sekelompok orang, sedang diwisuda oleh
seorang Rektor (Kepala Perguruan Tinggi). Setelah dilantik - seketika kemudian wajah
para wisudawan berubah menjadi monyet. Apa kira-kira maksud intepretasi dari iklan
tersebut ?. Barangkali jika kita mengambil makna arti iklan tersebut, maka ada satu hal
yang harus menjadi perhatian kita semua, baik masyarakat sebagai pihak yang
membutuhkan pendidikan-juga kepada pihak pengelola perguruan tinggi. Pelajaran
yang dapat diambil buat masyarakat adalah hati-hati dalam mengikuti pendidikan di
suatu lembaga pendidikan. Pilihlah lembaga pendidikan yang memang kredibel baik
secara institusional maupun dari segi eksistensi. Bagi lembaga pendidikan, pelajaran
yang dapat diambil adalah bahwa masyarakat mulai semakin kritis dan  atensi tersebut
meliputi berbagai persoalan yang menyangkut masalah legitimasi, status, strata
(jenjang pendidikan) dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kejujuran akademik di
perguruan tinggi. Problemnya adalah semua perguruan tinggi menjustifikasi bahwa
institusinya memiliki idealisme pengelolaan lembaga pendidikan, dan mereka pasti
menegasikan yang namanya “imitasi” pendidikan. Yakni pendidikan yang tidak
mengejar kualitas, tidak memiliki standard, dan tidak jujur secara akademik, terlebih-
lebih “bandel” terhadap ketentuan yuridis pengelolaan perguruan tinggi yang ditetapkan
oleh pemerintah. Dalam konteks yang demikian itulah sebenarnya concern masyarakat
perlu dicermati sebagai suatu catatan logis bagi stakeholders untuk menyikapi
fenomena pendidikan di Indonesia.
 
Idealisme Pengelolaan Lembaga Pendidikan Di Perguruan Tinggi
 
Idealisme pendidikan kita mengacu kepada tujuan umum bangsa Indonesia yang
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni “….. mencerdaskan kehidupan
bangsa….”  menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam Bab III pasal 4 dikemukakan bahwa Lembaga Pendidikan haruslah memiliki
prinsip penyelenggaraan pendidikan, yaitu : Pertama Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kedua,
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna., ketiga,Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Keempat, Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Kelima, Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Keenam Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
 
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa lembaga pendidikan haruslah memiliki standard
dalam pengelolaannya. Hal tersebut diperuntukkan untuk mencapai harapan bahwa
pendidikan dilakukan demi pencapaian tujuan umum pembangunan nasional. Secara
detail menurut UU No. 20 tahun 2003 Pasal 35 dikatakan bahwa pertama, Standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Kedua, Standar
nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Ketiga,
Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
 
Koridor implementasi Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tersebut inheren dengan peraturan pemerintah No. 60 tahun 1999 tentang
pendidikan tinggi sebagai pengganti peraturan pemerintah No. 30 tahun 1989.
Peraturan pemerintah No. 60 tahun 1999 tersebut mengandung orientasi bahwa
perguruan tinggi diharapkan menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan
pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan/ atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah yang
penuh cita-cita luhur, masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi
kepada masyarakat serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat yang
meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai
suatu sistem tersendiri, meskipun merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
yang cakupannya jauh lebih luas, pendidikan tinggi di Indonesia harus merupakan
sistem yang dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, bangsa dan negara yang senantiasa mengalami perkembangan, terlebih
lagi sebagai perwujudan pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi juga
diharapkan merupakan suatu sistem yang memudahkan seseorang menuntut
pendidikan tinggi sesuai dengan bakat, minat dan tujuannya, meskipun dengan tetap
mempertahankan persyaratan-persyaratan program studi yang bersangkutan.
 
Idealisme dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi yang dijawantahkan secara
yuridis tersebut diharapkan mampu mencapai sasaran atau tujuan dalam
implementasinya melalui upaya kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan
dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tujuan tersebut
dicapai tentu dengan upaya memahami substansi tujuan pendidikan tinggi, yaitu
pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/
atau kesenian; Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi dan/ atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Kedua hal tersebut diatas dapat dimplementasikan dengan memahami bagaimana
konstruksi pendidikan tinggi dibangun diatas landasan pijak secara hukum, yaitu
pendidikan tinggi itu berpedoman kepada  tujuan pendidikan nasional, kaidah, moral
dan etika ilmu pengetahuan, kepentingan masyarakat serta memperhatikan minat,
kemampuan dan prakarsa pribadi.
 
 
Realitas Eksistensi Perguruan Tinggi

Ketika kebijakan otonomi pendidikan dan otonomi mulai digulirkan oleh pemerintah,
peran dan eksistensi perguruan tinggi di Indonesia mulai mengalami proposisi dan
redefinisi. Hal ini dapat terefleksikan dalam ketentuan SK Dirjen DIKTI No. 28 tahun
2002 tentang penyelenggaraan pendidikan Reguler dan non reguler. Sebelum adanya
ketentuan ini, proses pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi tetap mengacu
kepada proses selektif dan regulasi yang jelas yang berhubungan dengan kegiatan
belajar mengajar, waktu kuliah dan sebagainya yang diperuntukkan kepada peserta
didik (baca : mahasiswa), namun dengan justifikasi seiring dengan tingkat percepatan
dan artikulasi aktivitas dan mobilitas sumber daya manusia, maka kebutuhan untuk
memberikan sedikit kemudahan bagi mereka yang ingin belajar dan menimba ilmu
diperguruan tinggi, mulai dilonggarkan dengan asumsi bahwa proses kredibilitas dan
kompetensi tetap berdiri di atas paradigma pengelolaan perguruan tinggi. Secara
ekslisit pemerintah melalui keputusan Dirjen Dikti mendefinisikan program reguler
adalah program pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri yang
diikuti oleh peserta didik secara penuh waktu pada program studi yang telah
memperoleh ijin penyelenggaraan dari pemerintah. Adapun program non reguler adalah
program pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri yang diikuti
oleh peserta didik secara   paruh waktu pada program studi yang telah memperoleh ijin
penyelenggaraan dari pemerintah.  Peserta didik program reguler menempuh
pendidikan secara penuh waktu sesuai dengan beban studi nominal sebesar 18
(delapan belas) sks per semester untuk program diploma dan program sarjana, dan
sebesar 12 (dua belas) sks per semester untuk program pasca sarjana. Peserta didik
program non reguler menempuh pendidikan secara paruh waktu dengan beban studi
maksimal 9 (sembilan) sks per semester untuk program diploma dan program sarjana,
dan maksimal 6 (enam) sks per semester untuk program pasca sarjana. Lebih lanjut
dikemukakan pula bahwa penyelenggaraan program non reguler hanya dapat dilakukan
pada program studi yang mempunyai program reguler. Penyelenggaraan program
reguler dan non reguler harus sesuai dengan kaidah, norma dan kepatutan akademik
tanpa ada pemampatan, penyederhanaan dan berbagai tindakan lain yang cenderung
mempermudah.

Deregulasi tentang penyelenggaraan program reguler dan non reguler ini telah
mendorong semakin menjamurnya perguruan tinggi baik di kota-kota besar maupun
hingga kepelosok daerah. Tentu saja bagi komunitas dunia pendidikan hal ini menjadi
suatu tantangan tersendiri dalam melakukan koordinasi dan penanganan khususnya
mengenai mutu eksistensi dan stándar mutu pendidikan. Hal ini amat disadari
mengingat jenjang pendidikan tinggi sekali lagi memiliki kaidah, norma dan kapatutan
akademik-tidak ada prosedur dan standard yang disimplikasikan dengan justifikasi
otonomi kampus. Dalam konteks inilah maka pemerintah melalui Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, memberikan demarkasi yang jelas secara yuridis bahwa proses
pendirian suatu perguruan tinggi haruslah memenuhi pertimbangan, yakni pertama,
pertimbangan normatif, yaitu pertimbangan yang berisi alasan kuat yang mendasari
mengapa suatu institusi baik perorangan maupun kelompok mendirikan perguruan
tinggi, bagaimana prospek yang dapat dilihat baik dalam hal output kompetensi untuk
kepentingan dunia usaha, maupun prospek yang dapat menjamin keberlangsungan
perguruan tinggi. Kedua, pertimbangan mengenai studi kelayakan. Studi kelayakan ini
menyangkut kualifikasi yang dibutuhkan, gambaran jumlah kebutuhan, sumber
masukan program dan keberlanjutan program, kurikulum program studi yang diusulkan,
yaitu gambaran mengenai bentuk program studi yang ditawarkan yang meliputi
kualifikasi kompetensi kelulusan yang diharapkan, kurikulum dan rujukan program yang
digunakan, sumber daya yang meliputi dosen, sarana dan prasarana, tenaga
administrasi dan penunjang akademi, pendanaan yang meliputi kebutuhan dana
investasi, kebutuhan dana operasional dan pemeliharaan serta penerimaan internal dan
eksternal. Dan yang paling penting dari itu adalah manajemen akademis, yang berisi
gambaran mengenai bagaimana program studi dan atau jurusan tersebut akan
dikelola.
 
Prosedur dan mekanisme proses pengelolaan perguruan tinggi yang dikemukakan
tersebut kemudian dikontrol oleh pemerintah melalui suatu keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 184 tahun 2001 tentang pedoman pengawasan pengendalian
dan pembinaan program diploma, sarjana dan pasca sarjana. Keputusan tersebut
dibuat dengan mempertimbangkan pertama, bahwa perkembangan pendidikan tinggi
menuntut adanya otonomi yang lebih luas sehingga proses pendidikan dapat
dilaksanakan lebih efektif dan efisien. Kedua, pengelolaan perguruan tinggi dituntut
memenuhi akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Dengan
keputusan tersebut berarti peran yang diemban oleh perguruan tinggi bukan saja
dilegitimasi untuk terus menjadi otonom dari segi eksistensi, namun juga legalitas dari
sudut akuntabilitas dengan suatu keharusan bagi perguruan tinggi untuk
mempertanggungjawabkan kegiatan pengelolaan pendidikannya baik yang
berhubungan dengan infrastruktur maupun suprastruktur akademik kepada
pemerintah. Secara teknis proses tersebut meliputi : Rencana Induk Pengembangan
(RIP); Rencana strategi (Renstra); Kurikulum; Tenaga Kependidikan; Calon Mahasiswa;
Sarana dan prasarana (ruang kuliah, ruang dosen, ruang seminar; Laboratorium,
perpustakaan, fasilitas komputasi, fasilitas teknologi informasi, perlengkapan
pendukung pembelajaran, perlengkapan pendukung kegiatan kemahasiswaan
peralatan laboratorium, dan buku-buku/ dokumen yang mendukung); Penyelenggaraan
pendidikan (kuliah, praktikum, kegiatan terencana, pembimbingan, penilaian hasil
belajar); Penyelenggaraan penelitian; Penyelenggaraan pengabdian kepada
masyarakat; Kerjasama (tukar menukar sumberdaya, kemahasiswaan, penelitian,
pengembangan); Administrasi dan pendanaan program (ketertiban administrasi dan
pendanaan); dan Pelaporan kegiatan proses belajar mengajar. Aktivitas kegiatan dalam
tridharma perguran tinggi juga menjadi suatu prioritas yang harus didokumentasikan
dan diproposisikan kepada pemerintah. Hal ini penting agar tingkat akreditasi yang
menjadi salah satu ukuran stándar kredibilitas pengelolaan perguruan tinggi tetap
terjaga konsistensinya. Kegiatan yang berhubungan dengan tridharma perguruan tinggi
tersebut meliputi pertama, kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan yang berhubungan
atau menyangkut dengan jumlah mahasiswa, jumlah dosen tetap dan tidak tetap yang
aktif mengajar, jadwal perkuliahan dan praktikum, garis-garis besar program pengajaran
(GBPP), Satuan Administrasi Pelajaran (SAP), kehadiran dosen, kehadiran mahasiswa
dalam kuliah, praktikum dan ujian, nilai ujian, salinan/ fotocopy ijazah dan transkrip
akademik yang dihasilkan untuk keperluan penilaian. Kedua, Kegiatan penelitian yang
dilaksanakan oleh dosen dan mahasiswa di Lembaga/ Perguruan Tinggi yang
bersangkutan berupa karya-karya ilmiah, makalah, hasil seminar dan sejenisnya. Dan
ketiga, Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang terencana dan terstruktur,
meliputi kegiatan penyuluhan, pelatihan, konsultasi dan sejenisnya. Ketiga hal
tersebutlah yang menjadi salah satu tolok ukur apakah suatu perguruan tinggi dianggap
kooperatif atau tidak terhadap kebijakan pemerintah sebagai salah satu institusi formal
yang menjamin eksistensi dan kredibilitas perguruan tinggi dimata publik.
 
Epilog : Menyikapi Persaingan Antar Perguruan Tinggi
 
Ketika era reformasi menggelinding begitu cepat, yang berimplikasi kepada eksistensi
dunia pendidikan, maka imbas mengenai posisi perguruan tinggi ditengah publik-pun
semakin menjadi lebih otonom. Berbagai perubahan piranti peraturan tentang
pendidikan telah melahirkan bukan hanya semangat mengelola perguruan tinggi
menjadi semakin profesional, namun lebih dari itu, deregulasi dunia pendidikan telah
mendorong terjadinya era kompetitif eksistensi perguruan tinggi untuk
mengelaborasikan kepentingan soliditasnya ditengah publik. Tingginya tingkat
persaingan menyebabkan regulasi percepatan pencapaian tujuan pengelolaan
perguruan tinggi cenderung menjadi agak lebih instan. Ukuran kuantitas seolah-olah
menjadi salah satu indikator dan prioritas penting yang harus dikejar agar perguruan
tinggi tetap survive pada tataran riel pengelolaan eksistensinya. Secara krusial
barangkali kondisi yang demikian itulah yang akhirnya banyak memunculkan
radikalisasi dalam pengelolaan perguruan tinggi secara previladge. Ketentuan
keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 184 tahun 2001 tentang pedoman
pengawasan pengendalian dan pembinaan program diploma, sarjana dan pasca
sarjana seolah-olah hanya menjadi paradigma konseptual belaka. Tidak kongkrit
menembus regulasi implementasinya dilapangan. Dengan istilah lain kompetisi antar
perguruan tinggi disamping memberikan konsekwensi logis secara positif juga
memberikan dampak yang sarkastis juga bagi dunia pendidikan. Sarkastisme
perguruan tinggi ini banyak melahirkan kekhawatiran bagi sebagian besar kalangan
yang concern dalam menyoal dunia pendidikan. Berbagai kasus yang bersinggungan
dengan peran dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi belakangan ini menjadi
catatan tersendiri bahwa kompetisi atau persaingan memang telah membidani
kekhawatiran akan munculnya suatu kenjangan antara idealisme dan realitas yang
dihadapi oleh dunia pendidikan. Kesenjangan tersebut berkaitan dengan makin
banyaknya perguruan tinggi yang menegasikan substansi yuridis pengelolaan
perguruan tinggi, sehingga standard dan kompetensi menjadi absurb. Kasus pro dan
kontra dibukanya kelas jauh dan jalur khusus oleh perguruan tinggi negeri, kemudahan
regulasi belajar mengajar bagi kuliah reguler dan non reguler diperguruan tinggi swasta,
dan jual beli gelar oleh perguruan tinggi yang “nakal” kepada masyarakat adalah salah
satu bukti eksistensi dan kredibilitas perguruan tinggi mulai dicederai oleh semangat
mempertahankan eksistensi dengan cara-cara instan dan tidak profesional.
 
Untuk menelaah kondisi obyektif yang demikian itu, maka perguruan tinggi  paling tidak
harus berdiri pada nilai idealisme yang tidak sempit. Priviladge dalam dunia pendidikan
tentu hanya diperuntukkan bagi perguruan tinggi yang mengedepankan substansi
pendidikan nilai dan kompetensi. Jika pilihan ganda tersebut diimplementasikan dengan
sebaik-baiknya, dalam artian di jalankan dengan medium semangat mengedepankan
kualitas sumber daya mahasiswa, maka sejatinya pengelolaan pendidikan di perguruan
tinggi akan menemukan demarkasinya sendiri. Tidak akan terkontaminasi oleh ekses
negatif kapitalisme dunia pendidikan yang hanya mengejar target ekonomis semata. 
Pendidikan nilai yang dimaksudkan tersebut adalah pendidikan yang bertendensi pada
kultur (budaya) akademik yang kental dengan regulasi dan standard akademik sesuai
dengan kaidah dan norma kepatutan dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan nilai didalamnya juga termasuk tetap mengakomodasikan konsepsi yuridis
kepentingan Undang-undang apapun yang berbicara tentang pendidikan, baik secara
konseptual maupun teknis. Jika paradigma ini di bangun sebagai bagian dari proses
yang substansial, maka perguruan tinggi niscaya akan “selamat” dan survive
mempertahankan nilai eksistensi dan kredibilitasnya dimata negara terlebih-lebih
dimata publik.
 
Pendidikan berbasis kompetensi yang dimaksud adalah bukan hanya pendidikan yang
mengedepankan konsepsi kurikulum yang upto date yang harus dikuasai mahasiswa
saja-melainkan kurikulum yang mampu menjembatani hubungan simbiosis mutualisme
dengan tuntutan dan kebutuhan permintaan sumber daya manusia pada dunia industri.
Konsepsi ini mutlak dibangun dan dikembangkan oleh lembaga pendidikan tinggi jika
menginginkan eksistensinya di apresiasi oleh masyarakat sebagai suatu wadah yang
mampu memberikan alternatif pilihan solusi dan kesulitan masyarakat di lapangan
pekerjaan.
 
Dua hal tersebut diatas merupakan pilihan mutlak sebagai salah satu strategi
mengkonstruksi lembaga pendidikan untuk tampil kompetitif di tengah pasar pendidikan
yang begitu ketat. Pendidikan dengan biaya mahal, fasilitas yang kondusif dan dosen
yang berkualitas saja tidak cukup jika tidak diimbangi oleh paradigma stakeholders
untuk menentukan format pendidikan yang berdiri pada satu corak sistem pembelajaran
yang mengedepankan pendekatan kontekstualisasi materi pendidikan dengan
kebutuhan dan permintaan riel dari dunia usaha (industri).

Ditulis dalam education wisdom | Tag: Add new tag


3.1. Pendahuluan
Pendahuluan

Dalam kata sambutan Rektor, yang tertuang dalam Buku Profil UIN Sunan Kalijaga, secara
implisit dinyatakan keinginan kuat untuk melakukan perubahan di masa datang dan merancang
perubahan-perubahan di masa datang, maka pemahaman tentang jejak langkah prestasi yang
telah dilalui, perlu digali sebagai modal dasar untuk merajut masa depan yang diinginkan.
Sejarah bagai “kaca spion” yang sangat membantu untuk memilih haluan ke masa depan. Masa
depan harus dibangun dengan landasan apa yang telah dimiliki saat ini. Dan dalam rangka
merajut perubahan di masa datang, tidak hanya “hardware” – fisik yang akan dibangun tetapi
harus diiringi dengan pembangunan “software” – jiwa dari UIN Sunan Kalijaga.

Untuk melakukan perubahan di masa datang, maka kita memerlukan suatu takhtith (perencanaan
strategi) yaitu prediksi yang akan terjadi pada masa yang akan datang disertai dengan persiapan
untuk menghadapinya. Pada hakikatnya, perencanaan bukanlah prediksi atau pengenalan kepada
sesuatu yang akan datang, karena mahluk yang bernama manusia – selamanya – tidak akan
mampu mengetahui perkara yang akan datang. Yang mungkin dilakukan hanyalah meramal.
Ramalan kadang benar tetapi mungkin juga salah. Tetapi proses ramalan merupakan usaha
penting yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, agar dapat membimbing rute perjalanan
kita menebak kegelapan masa datang.
Jadi perencanaan strategi adalah pengerahan akal untuk memikirkan realita, mempelajari dan
menelitinya untuk meraih rancangan berpikir masa depan sebagai ikhtiar dan usaha sungguh-
sungguh.

Trendwatching

emampuan untuk weruh sakdurunging winarah (jawa) atau trendwatching sangat menentukan
kesuksesan perencanaan. Walau kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan
terjadi di masa datang, tetapi kemampuan untuk melihat kecenderungan, berdasarkan
pengalaman masa lampau, wajib dimiliki oleh sang perencana. Ketajaman dalam meramalkan
dampak dan perkembangan TI serta dampaknya terhadap perguruan tinggi secara umum dan
UIN Sunan Kalijaga pada khususnya, akan menentukan berhasil tidaknya rencana strategis yang
akan diimplementasi.

Trend Teknologi Global


Berikut kecenderungan yang mungkin telah tampak embrionya dan akan makin tampak 5 tahun
mendatang :

1. Akses Internet. Dalam beberapa tahun mendatang, seperti halnya Handphone, akses internet akan dapat
dinikmati secara luas di masyarakat.
2. Koneksi Kecepatan Tinggi. Berbagai embrio infrastruktur akses internet berkecepatan tinggi telah mulai tersedia.
3. Akses dengan peralatan mobile. Dengan teknologi wireless dan tersedianya peralatan yang bersifat mobile (laptop
yang dilengkapi WiFi atau Personal Digital Assistance) maka seseorang dapat terhubung dari mana saja kapan
saja.
4. Kebutuhan layanan 24/7. Infrastruktur internet sudah digunakan sebagai tulang punggung pengoperasian institusi.
Karena itu kebutuhan akan layanan prima 24 jam sehari dan 7 hari seminggu menjadi suatu kebutuhan utama di
masa datang.
Perubahan masyarakat akibat teknologi Internet

1. Cara berkomunikasi. Elektronik Mail atau email merubah pola pengiriman informasi
dengan sangat radikal. Dengan hanya beberapa detik, informasi terkirim dari mana saja
di pelosok dunia.
2. Cara mencari informasi. Terdapat mesin-mesin pencarian (search engine) seperti google,
microsoft network, altavista dan sejenisnya  yang dapat digunakan untuk mencari
informasi yang dibutuhkan dari seluruh dunia.
3. Cara belajar. Distance learning atau belajar jarak jauh akan menjadi kecenderungan di
masa datang. Seseorang bisa merancang sendiri bahan yang ingin dipelajari dan bisa
dilakukan evaluasi secara online. Teknologi Video Streaming akan memungkinkan
seorang pakar Islam dari Universtas Al Azhar di mesir untuk memberikan perkuliahan
secara online di UIN Sunan Kalijaga.
4. Cara bertransaksi. Perbankan di Indonesia sudah memulai pelayanan transaksi online
melalui internet. Perusahaan penerbangan sudah menyediakan fasilitas pemesanan tiket
secara online. Di masa datang transaksi elektronis akan makin meningkat penggunaannya
dan akan sangat berpengaruh terhadap pola transaksi bahkan pola-pola perdagangan
konvensional.
5. Cara bekerja. Konsep Small Office Home Office sudah mulai diperkenalkan di
Indonesia. Seorang Programmer di Bandung, dari kamar kosnya, dapat memperbaiki
sistem intranet yang dibangunnya untuk pemerintah daerah di Prabumulih. Begitu juga
dengan keterhubungan via internet, perusahaan besar telah mengembangkan sistem
komunikasi yang memungkinkan berbagai pekerjaan dikendalikan dari jarak jauh
(remote office).
6. Cara merancang produk. Produk otomotif berganti rupa setiap waktu. Hal ini dapat
diwujudkan karena telah dikembangkannya Computer Aided Design yang dapat mem-
visualisasi secara akurat mobil yang akan diproduksi, sehingga mempercepat time to
market.
7. Cara penanganan kesehatan. Teknologi Ultrasonografi telah begitu maju sehingga dapat
menggambarkan posisi bayi dalam kandungan secara 4 dimensi dan begitu banyak
peralatan kesehatan lain yang berteknologi canggih.
8. Cara melakukan penelitian. Kolaborasi antar ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dari
berbagai belahan dunia, saat ini dapat dilakukan secara online. Software komputasi untuk
menghitung jutaan item data sudah tersedia, sehingga hasil perhitungan dapat dengan
cepat dihasilkan. Penelitian tentang Peta Genetika tidak mencapai hasil seperti sekarang
kalau tidak ada kemajuan dibidang TI.
9. Cara menangani lingkungan. Penginderaan jarak jauh melalui satelit dapat memantau
pergerakan awan dan secara akurat dapat memprediksi adanya hujan lebat atau badai di
suatu daerah. Pemahaman mengenai cuaca sangat berguna bagi perusahaan penerbangan
dan kegiatan transportasi baik darat, laut dan udara.
10. Cara mengelola pemerintahan. E-Government sudah menjadi kebijakan pemerintah
Indonesia yang akan terus ditindak lanjuti. Kementerian informasi telah dibentuk
sehingga tata kelola pemerintahan akan lebih baik di masa datang dengan bantuan TI.

Pengelolaan TI di Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi sebagai lembaga yang mempunyai misi pendidikan dan pengajaran, penelitian
dan pengabdian masyarakat, tentunya harus mampu mensikapi kecenderungan masa datang di
bidang TI. Pertimbangan yang matang, sangat berguna untuk memprediksi peluang-peluang
yang muncul di masa datang, sehingga rencana masa depan bukan hanya dilihat dari sejarah
masa lalu, akan tetapi sangat ditentukan oleh kemampuan meramalkan apa yang kita hadapi di
masa datang (creating the future from the future). Dalam manajemen modern, fokus utama
manajemen strategi adalah kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Untuk itu, perguruan
tinggi saat membuat suatu perencanaan, perlu juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Pengembangan kapabilitas dosen, mahasiswa dan staff melalui pelatihan.


Layanan Online untuk Mahasiswa
Sistem Administrasi Terpadu
Manajemen Keamanan (security management)
Pemeliharaan infrastruktur jaringan
Pembelajaran Jarak Jauh
Strategi Pendanaan Teknologi Informasi

Kecenderungan di UIN Sunan Kalijaga

UIN Sunan Kalijaga diberi kepercayaan untuk mengelola dana yang cukup besar untuk
membangun kembali kampus baik “raga” maupun “jiwa”-nya.
Jumlah mahasiswa yang cukup besar dan belum ada suatu program terintegrasi agar mahasiswa
melek dan lancar menggunakan Teknologi Informasi
Jumlah mahasiswa yang memiliki komputer pribadi makin meningkat
Beberapa fakultas telah memulai kegiatan memperkenalkan teknologi informasi
Perpustakaan telah menggunakan teknologi informasi untuk mendukung operasionalnya

Manajemen Strategi

Menghadapi lingkungan TI yang cepat berubah dan persaingan yang sangat ketat, layaknya
entitas hidup,  sebuah perguruan tinggi harus senantiasa waspada terhadap perubahan yang
terjadi, dan cepat dalam melakukan respon terhadap keadaan tersebut. Untuk dapat tetap
bersaing, maka dalam proses perencanaan, kemampuan untuk melihat kecenderungan masa
depan -trendwatching sangat diperlukan. Selain trendwatching bidang Teknologi Informasi
seperti yang telah diuraikan di atas, sistem manajemen strategi yang tepat untuk menangani
gambaran keadaan diatas juga sangat diperlukan. Terdapat tiga hal penting yang merupakan
prasyarat berhasilnya suatu strategi, yaitu :

1. 1.Sistem manajemen strategis yang tepat yang memungkinkan personil mencurahkan


pemikiran strategis dan menerjemahkannya secara cepat ke dalam langkah-langkah
operasional.
2. 2.Mindset personil – perumusan strategi hanya efektif jika personil yang mengoperasikan
sistem memiliki opportunity mindset.
3. 3.Skillset personil – kandungan, kemampuan untuk memutahirkan pengetahuan serta
kematangan dalam menerapkan pengetahuan ke dalam pekerjaan.

Keberhasilan dan kesinambungan sebuah organisasi modern sangat terkait dengan


bagaimana organisasi tersebut menyediakan value untuk customer-nya. Bila kita setuju
dengan hal tersebut, maka langkah awal perencaanan strategis harus diawali oleh
rangkaian pertanyaan sebagai berikut ?

1. Apa peran UIN Sunan Kalijaga dalam mewujudkan harapan mahasiswa ?


2. Bagaimana kita dapat menyediakan value terbaik untuk membantu
mewujudkan harapan mahasiswa tersebut ?
3. Apa yang akan kita peroleh dari usaha penyediaan value tersebut ?

Dari pertanyaan di atas, maka diperlukan suatu methodology untuk dapat menterjemahkan
strategi yang ditetapkan oleh manajemen UIN Sunan Kalijaga, menjadi aksi-aksi nyata di bidang
Teknologi Informasi untuk mewujudkan misi dan visi yang ditetapkan. Salah satu methodology
manajemen strategik yang cukup populer, yang sering digunakan dalam situasi bisnis yang
penuh persaingan, dimana kecepatan respon terhadap lingkungan menjadi syarat untuk bisa
bertahan, adalah Balanced Scorecard (BSC). Methode ini pertama kali diperkenalkan oleh
Kaplan dan Norton. BSC menjadi menarik karena :

1. Mendorong motivasi personil untuk berfikir dan bertindak strategis.


2. Dapat menghasilkan rencana yang komprehensif
3. Mampu menghasilkan rencana yang koheren – mudah dijelaskan
4. Bisa menghasilkan sasaran-sasaran strategis yang terukur

Dengan mengacu pada arahan Rektor tentang keinginan untuk melakukan perubahan
fundamental dan dengan memperhatikan kecenderungan perkembangan TI, methode
perencanaan strategis yang sesuai serta keyakinan yang dilandasi oleh nilai-nilai Islami, maka
disusunlah Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi untuk Kampus Universitas Islam
Negeri UIN Sunan Kalijaga yang disingkat menjadi RiptiKusuka™.
RiptiKusuka™ dirangkai dengan menggunakan BSC sebagai kerangka berfikir strategisnya,
pemahaman yang mendalam mengenai TI untuk melengkapi isinya dan menggunakan nilai-nilai
Islami untuk memberikan “arah” serta “ruh” untuk mulai mengayunkan langkah, menuju cita-
cita besar, yang pencapaiannya memerlukan kerja keras, serta kemampuan untuk ikhlas dalam
beramal.
Kerangka berfikir manajemen strategik membawa kita kepada langkah-langkah sebagai berikut :

1. Strategy formulation – bagaimana merumuskan dampak trend perubahan lingkungan


makro dan industri. Outputnya adalah hasil analisis lingkungan makro dan industri, misi,
visi, keyakinan dasar, nilai dasar, tujuan dan strategi.
2. Strategic planning – menyusun sasaran dan inisiatif strategis yang komprehensif dan
koheren. Outputnya adalah sasaran strategis, target dan inisiatif strategic yang dirangkai
dalam peta strategi – strategy map.
3. Programming – penyusunan program kerja yang merupakan rencana laba jangka panjang
untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan beserta taksiran sumber daya
yang akan diperoleh dari dan / atau yang akan diperlukan oleh program tersebut.
4. Budgeting – anggaran tahunan – merupakan perencanaan jangka pendek yang berisi
rencana implementasi program yang akan dilksanakan dalam tahun anggaran tertentu.
5. Implementation & Monitoring – penerapan manajemen proyek (project management)
dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penyelesaian setiap
inisiatif/program/proyek yang dipilih.

Dokumen final RiptiKusuka ini, akan digunakan sebagai penuntun dalam kerangkai
berbagai inisiatif, program kerja  atau proyek-proyek untuk mewujudkan visi-misi yang
telah ditetapkan. Setiap sasaran strategis akan diperjelas dengan rekomendasi dan alasan,
lingkup yang akan dikerjakan, langkah-langkah untuk mewujudkannya serta perkiraan
anggaran untuk proyek yang akan dikerjakan. Daftar anggaran ini akan dicantumkan
pada Lampiran terpisah.

RiptiKusuka™

Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi Kampus UIN Sunan Kalijaga


(RiptiKusuka™) disusun mengacu pada pemikiran-pemikiran di atas, yakni dengan pengerahan
akal untuk memikirkan realita, mempelajari dan menelitinya untuk meraih rancangan berpikir
masa depan. Kita harus melihat realita kemajuan Teknologi Informasi (TI) dan pengaruhnya
terhadap perguruan tinggi serta bagaimana merajut bidang ilmu agama, ilmu manajemen dan
teknologi agar dapat diterapkan untuk menghasilkan “wajah baru” UIN Sunan Kalijaga di masa
datang.
Semangat “creating the future from the future” dijadikan landasan dalam menyusun
RiptiKusuka™ ini. Perubahan dapat terjadi dengan cepat sehingga lingkungan persaingan
menjadi sangat kompleks dan dinamis. BSC dipergunakan sebagai kerangka berfikir, dalam
usaha merajut jalan untuk menstrukturkan realitas masa depan (ways of structuring future
realities). Selain itu, diperlukan juga konsensus dari para pelaksana, dalam memilih jalan untuk
mencapai tujuan, karena pada dasarnya banyak jalan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan
bersama (there is no the one and only one truth about future realities).

Dalam memulai langkah awal merajut visi masa depan, maka jejak langkah prestasi masa lalu
perlu diperhitungkan. Sejarah, layaknya “kaca spion”, tak boleh dilupakan, tetapi kita tidak
boleh terjebak di dalamnya. Sejarah dapat membantu pengkajian diri – mulat sarira, sehingga
kita memahami Strength–Kekuatan, Weaknesses–Kelemahan, Oportunity–Kesempatan serta
Threat–Ancaman yang dimiliki oleh UIN Sunan Kalijaga. Melalui analisis SWOT ini, maka kita
dapat memilih “haluan yang benar“ untuk bergerak maju menuju visi yang ditetapkan. Hasil
analisis SWOT itu, dijadikan landasan untuk melakukan formulasi strategi (strategy formulation)
untuk menetapkan misi dan visi UIN Sunan Kalijaga. Setelah ditetapkan misi dan visi melalui
formulasi strategi, maka diperlukan peta strategi (strategic map) untuk merajut langkah-langkah
dalam rangka mencapai misi dan visi yang ditetapkan.

Dalam membangun peta strategi, maka perhatian tidak hanya bertumpu pada hal-hal yang
bersifat nyata - tangible – hardware, tetapi juga harus memperhatikan berbagai hal yang tidak
kelihatan – intangible – software. Karena keberhasilan sebuah perguruan tinggi dalam
membangun sumber daya manusia, tidak hanya ditentukan oleh seberapa megah gedung yang
dibangun atau selengkap apa sarana dan prasarana yang tersedia, akan tetapi juga ditentukan
oleh seberapa besar usaha yang dilakukan untuk mewujudkan harapan mahasiswa (customer
satisfaction), kesempurnaan pengelolaan proses internal (internal process) dan kemampuan
organisasi dalam belajar dan mengembangkan diri (learning and growth).

Setelah dipahami, sasaran strategis yang diperlukan untuk mencapai tujuan, maka dibuat
program kerja. Program kerja lalu di lengkapi dengan rekomendasi tertentu, langkah-langkah
implementasi serta rentang waktu pelaksanaan. Rangkaian yang dimulai dari misi, visi
perguruan tinggi, tema strategis, sasaran strategis, ukuran dan target untuk tiap sasaran sampai
dengan jadwal pelaksanaan dan anggaran yang dibutuhkan, mudah-mudahan dapat menjadi
penuntun dalam meniti langkah mencapai cita-cita bersama yang diharapkan.
Struktur Organisasi Penyusun RiptiKusuka™

Proses perencanaan strategis untuk teknologi informasi mulai diinisiasi Oktober 2004 oleh
Bapak Jarot Wahyudi dari Project Management Unit (PMU) UIN Sunan Kalijaga. Dari arahan
yang diberikan, lalu dipilih methodologi untuk menyusun perencanaan strategis, dilanjutkan
pembentukan core team dan leadership team. Core team dibantu oleh konsultan, memiliki tugas
dan tanggung jawab untuk menyusun perencanaan, pengorganisasian rencana yang telah
dihasilkan dan melaksanakan serta memantau hasil implementasi. Leadership team adalah wakil-
wakil dari fakultas, unit kerja struktural, non struktural, perwakilan dari dosen dan bahkan
mahasiswa. Tugas dari Leadership ini adalah memberi masukan kepada Core Team, tentang
berbagai kebutuhan dan peluang pemanfaatan TI di unit kerjanya masing-masing.  Hasil kerja
olah pikir Core dan Leadership Team di tuangkan ke dalam bentuk dokumen Rencana Induk
Pengembangan Teknologi Informasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (RiptiKusuka™).

Core Team untuk RIPTI ini terdiri dari :

Oman Fathurrahman
Sri Rohyanti Zulaikha
Edy Yusuf Setiabudi
Ali Shodiq

Sedangkan Leadership Team untuk RIPTI ini adalah :

Anis Masruri
Slamet Khilmi
Khanif Anwari
Arief Wibisono
Saptoni
Lusiana
Ridwan
Siantari
Muchamad Abrori
Ngatmin
Agus Mulyanto
Achadi Budi Santosa
M. Muhyidin
Ainur Rofiq
Ratna Eryani
Khairul Anwar

Penyusunan RiptiKusuka™ dipandu oleh fasilitator Jaya Martha, Ir.,MM.,MPM.


Langkah-langkah Penyusunan RiptiKusuka™
Menyusun rencana induk pengembangan suatu perguruan tinggi memerlukan kerja keras dan
pengalaman yang memadai. Pembangunan sumber daya manusia sangat diperlukan untuk
mewujudkan hal yang tertuang dalam RiptiKusuka. Berikut diuraikan langkah-langkah yang
telah diambil dalam mengembangkan RiptiKusuka™ :

1. Langkah awal penyusunan RiptiKusuka dimulai dari diadakannya workshop mengenai


methodology Balanced Scorecard (BSC) yang dihadiri oleh Core Team dan Leadership
Team
2. Workshop juga membahas studi kasus penerapan BSC di perguruan tinggi.
3. Dari hasil diskusi disepakati tema-tema strategis serta strategic map yang
menterjemahkan strategi menjadi langkah-langkah operasional. Ringkasan peta strategis
tersebut ditetapkan menjadi Executive Summary yang telah ditanda tangani oleh Core
dan Leadership Team.
4. Berdasarkan peta strategi yang telah disepakati, maka dilakukan proses pengumpulan
data selama 1 bulan, dan dari data yang terkumpul, maka sasaran-sasaran strategis dapat
lebih diperinci.
5. Dokumentasi RiptiKusuka, lalu didiskusikan melalui Workshop kedua bersama Core dan
Leadership Team untuk mendapatkan Laporan Akhir RiptiKusuka. Laporan akhir
dievaluasi oleh pihak manajemen untuk diadakan penyesuaian dengan hasil kelompok
kerja bidang yang lain.
6. Masukan-masukan saat komunikasi dengan Kelompok Kerja lain, diakomodasi ke dalam
RiptiKusuka sehingga lebih sempurna dan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
pokja manajemen.
7. Setelah RiptiKusuka di sepakati secara luas, maka langkah berikutnya adalah
mengeksekusi berbagai inisiatif atau proyek-proyek yang ditetapkan oleh RiptiKusuka
sesuai skala prioritasnya.
8. Sesuai dengan prinsip “hanya perubahanlah yang abadi di dunia ini” maka jika ada
perubahan yang memang benar diperlukan, RiptiKusuka dapat disesuaikan kembali
melalui mekanisme yang ditetapkan.
9. Dari diskusi selama workshop, dapat dilihat bahwa TI memiliki peran penting dan
strategis dalam mewujudkan visi dan misi UIN Sunan Kalijaga secara keseluruhan.
Untuk itu perlu ada badan yang bertugas untuk merencanakan, mengorganisasikan,
mengimplementasi dan mengawasi berbagai inisiatif yang ditetapkan di RiptiKusuka.
Usulan nama Tim RIPTI UIN Sunan Kalijaga, selanjutnya disebut TIM RIPTI. TIM
RIPTI disarankan diposisikan dibawah koordinasi Pembantu Rektor Bidang Akademik
atau langsung dibawah Rektor.

Garis Besar RiptiKusuka™


Rencana strategis di RiptiKusuka™ dimulai dengan mengacu pada Visi UIN Sunan Kalijaga
yaitu Unggul dan terkemuka dalam memadukan serta mengembangkan keIslaman dan keilmuan
bagi peradaban.

MISI

1. Memadukan dan mengembangkan ke Islaman, keilmuan dan ke Indonesiaan dalam


pendidikan dan pengajaran
2. Mengembangkan budaya ijtihad dalam penelitian multidisipliner yang bermaslahat bagi
kepentingan akademik dan masyarakat
3. Meningkatkan peran serta dalam menyelesaikan persoalan bangsa berdasarkan pada ke
Islaman dan keilmuan bagi terwujudnya masyarakat madani
4. Membangun kepercayaan dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk
meningkatkan kualitas pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi

Mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan maka RiptiKusuka dilandasi hal-hal penting
di bawah ini :

Memberikan pemahaman dan ketrampilan TI untuk seluruh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
Mendorong digunakannya TI untuk menghasilkan produk-produk inovatif seperti perangkat
lunak bantu belajar.
Tersedianya fasilitas pendidikan yang ditunjang Teknologi Informasi dan dukungan pemakaian
untuk mempermudah end user.
Meningkatkan koordinasi dari elemen-elemen penting dari lingkungan TI
Meningkatkan sosialisasi tentang sumber daya TI kepada komunitas kampus.

Dengan melihat kerangka perspektif di atas, maka tema strategisnya yaitu :

Keberhasilan Mahasiswa. RiptiKusuka™ harus mengandung strategi untuk membantu


mahasiswa  sehingga dapat unggul dalam bersaing di pasar tenaga kerja.
 Ciri Khusus (Differentiation). TI harus mampu membangun ciri khusus dari UIN Sunan
Kalijaga sehingga institusi ini memiliki posisi unik di masyarakat., sehingga menjadi perguruan
tinggi pilihan.

Penelitian. TI harus dapat membantu kegiatan penelitian, seperti penyediaan sarana komputasi,
menyediakan sarana untuk mempublikasi hasil penelitian serta kekayaan intelektual lainnya,
ataupun dengan cara pemanfaatan teknologi untuk menghasilkan karya-karya inovatif yang
dapat disumbangkan ke masyarakat.

Teknologi Informasi. UIN Sunan Kalijaga harus dapat membangun infrastruktur TI untuk
menunjang kegiatan operasional dan pelayanan kepada stakeholder.
Komunikasi. Teknologi Informasi harus dapat membantu UIN Sunan Kalijaga untuk dalam
membangun komunikasi yang efektif kepada publik, tentang apa yang telah dikerjakan “telling
the story” serta mampu melakukan komunikasi ke seluruh civitas academia secara terbuka, tepat
waktu dan akurat.
Standar. Teknologi Informasi harus dapat membantu UIN Sunan Kalijaga untuk menetapkan
standard mutu yang tinggi dalam kegiatan proses belajar mengajar.

Setelah menetapkan tema strategis,  lalu dikumpulkan data akademik dan administratif yang
diperlukan untuk menyusun sebuah peta strategi. Sasaran-sasaran di peta strategi dilengkapi
dengan ukuran dan target. Untuk mencapai target yang ditetapkan, maka diusulkan program
kerja yang disertai langkah implementasi dan anggaran yang diperlukan.

Peta strategi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Perspektif Publik

Tersedia sarana bagi UIN Sunan Kalijaga untuk mempublikasi kegiatan yang telah dilakukan
kepada publik - “telling the story”
Publik merasakan manfaat dari produk-produk berteknologi yang dikembangkan oleh UIN
Sunan Kalijaga
Publik dan civitas akademika dapat mengakses kekayaan intelektual dalam bentuk digital yang
dimiliki UIN Sunan Kalijaga

Perspektif Mahasiswa

Mahasiswa melek dan lancar menggunakan teknologi informasi.


Tersedia sarana untuk menyimpan kekayaan intelektual dalam bentuk digital
Dosen dapat menghasilkan produk-produk inovasi berteknologi

Perspektif Proses Internal

Tersedia sarana uptodate yang dapat digunakan untuk membangun ketrampilan dalam
memanfaatkan TI.]
Tersedia sistem berbasis internet bagi mahasiswa untuk mengakses informasi akademik dan
administratif, dari mana saja dan kapan saja
Terbentuk sistem jaringan aplikasi berbasis internet yang menghubungkan antar unit kerja
Tersedianya jaringan komputer dan komunikasi data yang terintegrasi baik yang terhubungkan
dengan Local Area Network ataupun dengan Wireless Local Area Network
Dibangunnya sistem telephony dengan Voice over Internet Protocol (VoIP)  dengan
memanfaatkan jaringan terpadu di atas, yang bertujuan untuk melakukan penghematan terhadap
biaya telepon antar gedung yang selama ini melalui PT Telekom.
Tersedianya sistem terpusat untuk menangani masalah-masalah keamanan jaringan (information
risk management), email, basis data dan infrastruktur server internet.

Perspektif Belajar dan Berkembang

Training for Trainer bagi Dosen yang akan menjadi instruktur di program melek dan lancar
teknologi informasi untuk mahasiswa
Workshop pemanfaatan teknologi di bidang pendidikan – course content preparation
Workshop untuk dosen tentang pemanfaatan teknologi internet untuk menunjang perkuliahan
Pelatihan Team Sosialisasi kepada dosen, mahasiswa dan staff, untuk program
GalileoKusuka™, GodamKusuka™ dan JanurKusuka™
Seri Pelatihan untuk Network Administrator
Seri Pelatihan untuk Programmer
Workshop Project Management bagi penanggung jawab program.
Peninjauan kembali organisasi dan tata laksana di bidang Teknologi Informasi

Perspektif Finansial

Mengembangkan peluang untuk mendapatkan sumber pendapatan baru dari penerapan TI

Berbagai sasaran dan inisiatif strategis yang diuraikan di atas, disusun kembali menurut urutan
sebagai berikut :

1. Bidang #1 Teknologi untuk Pendidikan terdiri dari program-program melek dan lancar
TI, pengelolaan kekayaan digital, produk inovatif – program bantu belajar dan sistem
pengelolaan perkuliahan.
2. Bidang #2 Layanan Terintegrasi Berbasis Internet terdiri dari layanan online untuk
mahasiswa, layanan online untuk dosen/staff serta layanan publikasi informasi UIN
Sunan Kalijaga.
3. Bidang #3 Jaringan dan Komunikasi Data terdiri pembangunan Local Area Network,
Wireless Local Area Network, Voice Over IP, Email, Security, File Akses dan
pengelolaan Webserver.
4. Bidang #4 Organisasi dan Tata Laksana yang mencakup program (1) memperjelas peran
berbagai unit pusat pengelolaan TI dengan Fakultas  dalan kegiatan layanan dan
dukungan (2) Mengkaji aspek tertentu dari TI yang harus dikoordinasi secara terpusat
agar tercapai efisiensi dan mengurangi duplikasi

Uraian RiptiKusuka™ selanjutnya mengikuti bidang-bidang tersebut di atas.


Adapun rentang strategi pelaksanaan RiptiKusuka adalah dirangcang mulai 2005 s/d 2009.
Berbagai inisiatif yang ada di RiptiKusuka dilaksanakan berdasarkan skala prioritas yang
ditetapkan mulai dari awal 2005 dan seluruhnya dapat dilaksanakan di akhir tahun 2009.

 
PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI

ANTARA MITOS DAN REALITAS

Oleh : Hujair Sanaky1 

Abstrak : Ada berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi.
Beberapa masalah tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum
pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai atau tidak sesuai
dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang
setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka, dll.  Dalam situasi seperti itu
telah bergulir pula gelombang reformasi yang menghendaki adanya perubahan.
Dengan kata lain, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada
alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari
filsafat/tujuan pendidikan sampai ke manajemen pendidikan, kurikulum, metode
pembelajaran, substansi pengajaran, pendanaan pendidikan.

A. Pendahuluan 

    Kebiasaan pemerintah kita dalam melakukan justifikasi kepentingan program-progran


dibidang pendidikan adalah berdasar pada pemikiran jangka menengah  yang
mengaitkannya dengan legalitas kemapanan yang bersifat normative. Akibatnya tujuan
pendidikan selalu dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat utopis dan kurang
menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai
dalam jangka waktu tertentu.

     Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat  dengan
tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-
permasalahan pendidikan yang berkembang.  Kebijakan dan perubahan-perubahan
pendidikan kita, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Katakan saja, persoalan
dana pendidikan, persoalan manajemen pendidikan dengan konsep manajemen
berbasisi sekolah [MBS] dan akreditasi, kebijakan perubahan kurikulum dari KBK
menjadi KTSP, persoalan kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen, ujian nasional
yang menuai protes dari siswa, yang berdampak penyelesaian sekolah di Paket C. Hal
yang sangat menyedihkan dalam kebijakan pendidikan di negara yang kita cintai ini.
Indikator ini menunjukan kurang terarahnya kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa
“pakar” dan “pemerhati” pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu
dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” dan kurang menggambarkan
rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas persoalan pendidikan yang ingin dicapai
dalam jangka waktu tertentu.

    Dari persoalan-persoalan di atas, paling tidak ada dua hal pokok yang menyebabkan
program-program  pendidikan dirasakan “tumpul” dan “tidak membumi” untuk menjawab
persoalan pendidikan di Indonesia : Pertama, tidak adanya "national assessment" untuk
menggambarkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang didasarkan pada suatu
ukuran kemajuan tertentu [benchmark] secara terbuka [accountable], sehingga publik
dengan mudah mengikuti dan “mengevalusi”  kemajuan pendidikan yang ada. Kedua,
program-program pendidikan yang dilaksanakan tidak diturunkan dari tujuan-tujuan
yang mengacu pada hasil-hasil yang memiliki kriteria pencapaian yang jelas dan dapat
terukur realisasinya [Ade Cahyana, From: http://www. depdiknas. go. id/Jurnal/., akses,
Sabtu, 16/9/2006, jam.13.10].

    Akibatnya, upaya-upaya perbaikan pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di
antara “mitos” dan “realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem
pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain program-
programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang
berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang
dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana, Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.] Untuk itu,  arah
kebijakan pendidikan kedepan, seharusnya  ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” 
perubahan pendidikan di Indonesia.

    Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang


begitu dilematis. Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol setinggi-
tingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan negara-negara lain.
Sementara disi lain, dana operasional yang tersedia untuk bidang pendidikan begitu
terbatas.  Perlu diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasi sejumlah jenis
bantuan untuk dana operasional pendidikan [sekolah]. Tetapi bantuan tersebut hanya
cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Sementara
kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum optimal dan
hal ini berakibat pada upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. 
 
 
 

B.  Kebijakan  Pendidikan di Indonesia

    Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya.
Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban dan budaya [Suyanto, 2006:11] manusia.  Dengan
ilustrasi ini, maka  baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan
pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia.
“Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar
pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman
[Suyanto, 2006:11].

    Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU
No. 20 tahun 2003.  Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya
menggunakan empat strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualiutas
pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan.  Sacara umum strategi itu dapat dibagi
menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas
dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan
dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua
usia sekolah [Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH. Sanaky, 2003:146]. Dari sini,
pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain. 
Artinya, pendidikan  sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM]
menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.

    Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan  yang merata disemua


kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a]
menyelenggarakan pendidikan  yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan
pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat
sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c]
menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga
tidak mengorbankan mutu pendidikan,  [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan
meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program
pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap
mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem
pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel]
untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam
lingkungan global [Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair AH. Sanaky, 2003:146].

    Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal.
Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia,  menilai bahwa kebijakan
pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang
elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”,
sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan
demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi
pendidikan, dan  pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum
terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan
pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.

    Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala


serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari
pergumulan ideologi dan politik penguasa.  Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis.  Maka, dalam
konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi
pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk
membenahi sistem pendidikan nasional” [Suyanto,2006:x-xi]. Artinya, kebijakan-
kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan
dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini,  “terutama
berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal
20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. 
Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya,
pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak
mampu mengecap pendidikan di sekolah” [Suyanto, 2006:xi].

    Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan
sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal
dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem
pendidikan kita [Suyanto, 2006:xi]. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan
model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian
banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut
masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum
terselesaikan. 

    Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan
desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam
suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-
insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung
jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas
manusia Indonesia [Soedjiarto,1999].

    Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut,
yaitu :  [1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan
akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan
pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4]
memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi
pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam
pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-
aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa [Soedjiarto, 1999].

    Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi


pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi
dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut
Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP]
yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang
mengarah pada “liberalisasi pendidikan” [Suyanto, 2006:xi].

    Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk
mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya
saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut
Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya
siap benar menghadapi tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu
sisi,   “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih
melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun
regional [Suyanto, 2006:21].

    Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang
tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran
pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita
yang masih sangat rendah kualitasnya.  Problem-problem pendidikan yang bersifat
metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output,
pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output
pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis
dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi
“pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita
memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari
ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah.
Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan
berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan [Baca:
Suyanto, 2006:viii] di Indonesia. 

C. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi

      Pada saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan


dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan [H.A.R. Tilaar,
1998:25]. Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam
upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia
selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya
dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia
Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur
kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia
[Tilaar, 1998:4. Baca Hujair AH. Sanaky, 2003:3].

      Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman.  Dapat dikatakan


bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di
pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan
diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan
dari pusat.  Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat
berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal,
masyarakat  memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia ,
walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan
tanggungjawab.  Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai
kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan
“administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik”
dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
    Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang
diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk
belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya
pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah atau
perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan swasta yang dikelola oleh masyarakat dan dibiayai oleh
masyarakat sendiri.  Perlakuan diskriminatif tersebut, secara psikologis terkesan bahwa
“pendidikan” adalah milik pemerintah, dan bukan milik masyarakat.  Maka “semangat
kebatinan” atau “jiwa” pendidikan telah lepas dari “jiwa masyarakat”. Banyak lembaga
pendidikan formal - dari dasar sampai perguruan tinggi - yang menjadi komunitas atau
kelompok tersendiri yang lepas dari masyarakatnya; mereka hanya mementingkan
status formal, ijazah dan gelas, bahkan dewasa ini banyak terjadi perdagangan gelas,
jenjang dan ijazah [Mastuhu, 2003:32-33].

    Tanpaknya, kebijakan pendidikan nasional kita lebih berorientasi pada kepentingan


pemerintah dan  bukan kepentingan pembelajar, pasar, dan pengguna jasa pendidikan
atau masyarakat. Hal ini didasarkan pada dalih bahwa strategi pendidikan nasional
adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negara ini
cepat sejajar dengan bangsa dan negara lain yang lebih maju. Namun, dalam implikasi
perkembangannya tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan [Mastuhu, 2003:33]. 
Pendidikan yang seyogyanya dapat membebaskan “pembelajar” menjadi manusia
untuh bermartabat, justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan sungguh-sungguh sangat
memprihatinkan.  Pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh kekuatan-
kekuatan atau sistem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah
perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional, apalagi ketercapaian dari
tujuan pendidikan nasional itu [Diana Nomida Musnir, 2000:71]. 

     Dari gambaran di atas, mungkin saja, kita perlu berkaca pada pengalaman reformasi
pendidikan di Amerika. Paling tidak ada dua aspek penting yang perlu menjadi titik
perhatian di sini. Pertama; perencanaan pembangunan pendidikan harus bertitiktolak
dari suatu penelitian dan penilaian nasional [national assessment] tentang status dan
kondisi pendidikan yang didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan
[benchmark] yang terbuka [accountable], sehingga publik dengan mudah mengikuti
kemajuan pendidikan yang ada.  Kedua; perencanaan pembangunan pendidikan harus
memiliki ajang pembahasan [ground] yang mampu meliput seluruh aspek dan
permasalahan pendidikan secara tuntas [exhaustively], dengan ekspektasi yang
terukur, baik secara normatif maupun kuantitatif. Perbandingan ukuran dapat secara
internal ditentukan dengan kriteria tertentu, atau secara eksternal dibandingkan dengan
kemajuan pendidikan negara-negara lain. [Ade Cahyana, Ibid. http: //www. depdiknas.
go. id/Jurnal/.]

    Sementara untuk Indonesia, menurut beberapa pakar dan praktisi pendidikan,


reformasi pendidikan dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” yang
kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas pendidikan
yang akan dicapai.  Akibatnya,  muncul berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita
yang belum teratasi. Permasalahan tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan
tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai, atau tidak
sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia
yang setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka. Dengan negara jiran
Malaysia saja, kita sudah jauh ketinggalan. Dengan kata lain, dalam menyongsong
berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan
kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan,
manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi pengajaran
secara nasional, regional dan local  [Baca: Muhammad Yacub, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opini_ mengenaireformasi_s.htm,].

    Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan
kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas
dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara  secara
umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang
harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya. 
Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu
dan memberdayakan, artinya pendidikan  mampu membuat “pembelajar” berhasil
dalam kehidupan.  Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas
kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi
tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar
dengan bangsa lain.  

      Secara ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus mampu berjalan beriringan
dengan dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang dihadapi adalah komitmen
pemerintah yang tidak terfokus pada preriotas dalam hal dana pendidikan baik pada
masa lalu dan masa kini. Akibatnya idealisme tersebut masih jauh dari impian, jauh dari
kenyataan dan hanya menjadi “mitos”.   Maka yang menjadi  persoalan sekarang
apakah pemerintah atau bangsa Indonesia ini sadar bahwa pendidikan merupakan
kunci utama untuk menghadapi persaingan dengan dunia luar.  Apakah pemerintah
baik pusat maupun daerah memiliki komitmen untuk menentukan sektor pendidikan
adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan negara ini. Apabila dilihat dari
komitmen pemerintah Indonesia  menempatkan anggaran pendidikan dibawah standar
yaitu 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya
sebesar minimal 20% [baca: Suyanto, 2006:xi], bahkan semua komponen
menghendaki, termasuk usulan dari pengurus besar PGRI agar anggaran pendidikan
mendapat alokasi 25% dari APBN [Ibrahim Musa, Ibid, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm]. Sebab, anggaran pendidikan yang memadai
untuk dapat menjadikan SDM bangsa Indonesia berkualitas setarap dengan tingkat
pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah Indonesia atas masalah
pendidikan sangat rendah dibandingkan perhatian pada sector lain.

      Dengan  rendahnya subsidi anggaran di bidang pendidikan menjadi indikator betapa


bidang ini masih jauh dari “ruh” dan harapan reformasi.  Oleh karena itu, formula
pembiayaan dan subsidi pendidikan yang “berkeadilan” berdasarkan kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan yang nyata, yaitu dengan memperhatikan jumlah
“pembelajar”, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan tingkat
partisipasi pendidikan. Katakan saja, semakin sulit komunikasi, semakin rendah tingkat
kesejahteraan dan sumber pemasukan dana, maka semakin besar subsidi yang
dibutuhkan.  Tingkat subsidi untuk sekolah di ibukota propinsi, kabupaten, dan desa
adalah sebesar 25%, 50%, dan 75% hingga 100% untuk desa terpencil. Selanjutnya
subsidi pendidikan untuk satu lembaga pendidikan diberikan sebagai satu paket block
grant yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan sesuai kebutuhan, tidak dipilah-
pilah menjadi anggaran rutin untuk gaji, sarana pendidikan, dan BOP/DBO yang
pengunaannya diatur secara kaku berdasarkan Juklak dan Juknis dari Departemen
[Ibrahim Musa:From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,].

      Semua komponen bangsa mengakui bahwa pendidikan merupakan prioritas utama


dalam pengembangan sumber daya manusia.  Tapi anggaran pendidikan hanya
memperoleh alokasi sebesar 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara
[APBN]. Semuanya menghendaki agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25%
dari APBN. Anggaran pendidikan yang memadai untuk menjadikan SDM bangsa
Indonesia setara dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal
impian, hanya mitos. Dapat diperhatikan bahwa alokasi “anggaran pendidikan”
seharusnya menjadi urutan utama untuk pengembangan sumber daya manusia
Indonesia, tetapi kenyataan anggaran pendidikan selalu terkalahkan unutuk
kepentingan pembangunan sektor lain terutama untuk sektor ekonomi.

D.  Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi

    Pada era reformasi, masyarakat Indonesia  menginginkan perubahan dalam


semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam
penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan
paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat
tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki
peran strategis dan fungsional [Hujair AH. Sanaky, 2003:3], juga memerlukan
paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam
pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.

     Pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional tidak dapat


berperan sebagai penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat
tulisannya berjudul education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah
menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya
berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional
dalam bentuk melimpahnya pengangguran terddidik. Berbagai problem
pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan
nasional yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya
lewat pembaharuan yang bersifat “tambal sulam” [Erratic]. Pembaharuan
pendidikan nasional yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari
penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan [Zamroni,
2000:5-6].

    Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam


pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan
sebagai sector pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi
produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang
kehidupan.  Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya
[Baca: Ace Suryadi, From:http://www.kompas.com]. Mungkin saja, kita perlu menyimak
kembali kata Prof.Proopert Lodge, yang dikutip Suyanto, mengatakan bahwa life is
education, and education is life. Dari pernyataan Lodge itu mengisyaratkan bahwa,
antara pendidikan dengan kehidupan hampir-hampir tidak dapat dibedakan sama sekali
[Suyanto, 2006: ix]. Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering disinyalir bahwa
pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi
dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari
berbagai perubahan yang terjadi.

    Melalui paradigma baru tersebut, paling tidak pendidikan harus mempu


mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan
kehidupan. Bahkan, kalau memungkinkan, pendidikan dapat mengubahnya menjadi
faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan
tersebut [Baca:Ace Suryadi,From:http://www.kompas.com]. Sebab, pendidikan dan
kehidupan telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan
tidak lain adalah proses memanusiakan manusia.  Dengan dasar ini, maka pendidikan
dipandang sebagai “katalisator” dan “loko”  yang dapat menyebabkan faktor-faktor
lainnya berkembang. Hal ini memberikan aksentuasi betapa pembangunan pendidikan
sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting
dalam pembangunan suatu bangsa.

    Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan


[pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. 
Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses
pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.  Hal ini, memang
secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja
yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab
tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan [kompetensi] yang diterima
dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada [Baca:
Zamroni, 2000:6].

    Dari pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan


berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, perlu
ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada
praksis pendidikan ditingkat mikro.  Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi
pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional
pasca reformasi, meliputi : 
    Pertama, pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada
demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan
seluruh komponen masyarakat secara demokratis.

    Kedua, pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi


masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, secara mayoritas seluruh komponen
bangsa ada dalam masyarakat menjadi terdidik.  Pendidikan, tidak hanya terfokus untuk
penyiapan tenaga kerja, tapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar
“pembelajar” sehingga memungkinkan baginya untuk berkembang lebih jauh sebagai
individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan
global.

      Ketiga, substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan


potensi dan kreativitas “pembelajar” dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi..
Pendidikan menengah dan  tinggi hendaknya diarahkan pada membuka kemungkinan
pengembangan individu [kepribadian] secara vertical dan horizontal. Pengembangan
vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal
mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan. 

    Keempat, pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem


pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan kelas
atas dasar kemampuan akademik. Pengelompokan mengakibatkan eksklusivisme bagi
yang siperior dan perasaan terisolasi bagi bagi mereka yang berada pada kelas dua. 

    Kelima, pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja.
Pendidikan tinggi, harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar
mahasiswa untuk memungkinkan mereka berkembang baik secara individu, anggota
masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global.
Pendidikan tinggi, diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen
yang fleksibel dan dinamik, agar memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang
sesuai dengan potensi masing-masing serta tuntutan eksternal yang dihadapinya
[Suyanto, 2006: 18]. 

    Keenam, kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus


memperhatikan tahap perkembangan “pembelajar” dan kesesuaian dengan lingkungan,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan jenjang
masing-masing satuan pendidikan [Hujair AH. Sanaky, 2003:158], dengan
mengembangkan proses pembelajaran kreatif. Jangan menjadikan pendidikan sebagai
bentuk model yang dikatakan  Paulo Freire, “pendidikan gaya bank” [banking concept of
education], arinya pendidik selalu melakukan deposito beberapa macam informasi ke
bank “pembelajar” tanpa harus tahu untuk apa informasi itu bagi kehidupan mereka
[Paulo Freire, 1995:57]. Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi
“pembelajar” kering dan tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas untuk
mengembangkan diri atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta “pembelajar” sendiri
tidak memahami dan tidak tahu untuk apa pengetahuan tersebut [Hujair AH. Sanaky,
2003:164]. Kedaan semacam ini, perlu dikoreksi mulai dari tingkat pendidikan di
sekolah dasar. Proses pembelajaran yang mementingkan kemampuan analisis dan
sistesis, sikap, minat, motivasi, dan kreativitas yang tinggi terhadap pencapaian prestasi
di kalangan “pembelajar” perlu segera direkayasa [Suyanto & Djihad Hisyam, 2000: 64],
sehingga mampu melahirkan manusia yang memiliki kemampuan kreatif, inovatif,
mandiri, dan memiliki kebebasan dalam berpikir[Hujair AH. Sanaky, 2003:164]. 

    Ketujuh, dalam pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi
enam unsur kapasitas belajar yaitu: [1] kepercayaan [confidence], [2]) keingintahuan
[curioucity], [3] sadar tujuan [intensionality], [4] kendali diri [self control], [5] mampu
bekerja sama [work together] dengan pihak mana saja, dan  [6] kemampuan bergaul
secara harmonis  dan saling pengertian [relatedness] [Ibrahim Musa:From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,].

    Kedelapan, untuk menjaga relevansi outcome pendidikan, perlu diimplementasikan


filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praktisi pendidikan.
Berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk
penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat. Maka pendidikan kita,
akan mampu menanamkan sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya kepada
“pembelajar” dalam konteks kehidupan yang plural. 

    Kesembilan, pendidikan nasional hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana


yang cukup memedai [20% - 25% dari APBN dan APBD] agar dapat mengembangkan
program-program pendidikan yang berorientasi pada peningkatan mutu, relevansi,
efesiensi dan pemerataan [Suyanto, 2006: 19-20]. 

    Kesepuluh,  realisasi pendidikan dalam konteks lokal, diperlukan badan-badan


pembantu dalam dunia pendidikan antara lain “Dewan Sekolah” yang di dalamnya
harus ada unsur-unsur Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada
pula di dalamnya tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. “Dewan
Sekolah”, berperan untuk memberi masukan yang tidak hanya pada aspek  material
dan kesejahteraan guru saja, tetapi harus masukan dalam berbagai aspek, termasuk
dalam perumusan, pembinaan, dan evaluasi misi, visi dan substansi [kurikulum lokal dll]
pendidikan yang relevan dengan kebutuhan daerah masing-masing.  Maka, manajemen
pendidikan harus dapat mengarahkan pada berbagai kebijakan dalam proses
pendidikan antara lain dalam proses pembelejaran sebagai alat mencapai tujuan yaitu
mendorong terwujudnya partisipasi, peningkatan kualitas layanan melalui
pemberdayaan lembaga pendididkan [sekolah] dan pendidik [guru] dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks sosial budayanya sendiri [baca:.
Ibrahim Musa:From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm ,].

    Keseblas,   perlu menetapkan model rekrutmen pejabat pendidikan secara


professional, sehingga dapat diperoleh the right person in the right place, bukannya :
the right person in the wrong place, atau kata Suyanto lebih parah lagi : the wrong
person in the wrong place [Suyanto, 2006:20] atau yang lebih suver parah lagi adalah
konsep familier, “kocoisme” dan “kronisme” .  Dalam konteks ini, kompetensi dan
sertifikasi guru dan dosen harus juga dilakukan secara professional pula.  Pemerintah
harus membentuk suatu badan “independen” profesi guru dan dosen yang anggota-
anggotanya terdiri dari tenaga kependikanakan professional, terpercaya, dan
bertanggungjawab, yang akan menilai kompetensi dan profesionalisme guru dan dosen
[Baca: Hujair AH.Sanaky, 2005:43].  Mungkin saja, pengelola pendidikan di Indonesia
sudah memiliki pengalaman dengan Badang Akreditasi Nasional [BAN]. Kinerja badan
ini dinilai oleh “pengguna pendidikan” belum “optimal” atau belum “substansional” dalam
menilai kualitas suatu perguruan tinggi. Sebab, badan ini hanya lebih banyak
mengevaluasi aspek fisik dan administrasi semata yang disiapkan oleh suatu perguruan
tinggi, kemudian  mengambil kesimpulan penilaian dengan memberikan peredikat  A-B
dan C atau tidak terakreditasi.  Maka tidak mengherankan, jika ada suatu perguruan
tinggi yang dapat mempersiapakn dengan mempoles atau merekayasa aspek “fisik”
dan “administrasi” secara baik, dengan “kualitas dosen” dan “mahasiswa” yang kurang
memadai, tetap  mendapatkan predikat penilai  A atau B atau C, sangat ironis sekali. 
Contoh lain, yaitu beberapa Sekolah Dasar [SD] di Indonesia mulai diuji coba untuk
diakreditasi.  Terlihat bebarapa sekolah sibuk mempersiapkan aspek “adimisntrasi”
[dengan fom yang rumit dan sulit] dan “fisik”, bahkan samapai pada “taman sekolah”
pun direkayasa untuk memenuhi tuntutan standar penilai. Kadang-kadang “taman
sekolah” tersebut tidak sesuai, bahkan kurang serasi dengan tata lingkungan sekolah.
Pertanyaan mendasar, sebenarnya aspek apa yang harus dinilai? Apakah program,
proses, dan kualitas hasil prodak [output] yang dinilai, sedangkan administrasi dan fisik
sebagai pelengkap untuk mendukung proses pendidikan, atau memang aspek
adminstrasi dan fisik saja yang dinilai untuk menentukan kualitas suatu lembaga
pendidikan.  Pernyataan terakhir ini, didasarkan pada pengalaman penilaian yang
dilakukan selama ini dengan hanya “menilihat” dan “mencermati” aspek admnistrasi dan
fisik yang disediakan suatu lembaga pendidikan.   Dengan dasar pemikiran di atas, 
maka  badan “independen”  yang akan menilai kompenetsi dan profesionalisme guru
dan dosen, harus bekerja secara professional, jujur dan bertanggungjawab, dengan
menilai aspek yang sangat “substansional” dari profesi guru dan dosen, yaitu
kompetensi professional, keilmuan, personal, dan sosial.  Setelah kompetensi tersebut
dinilai, kemudian diberikan kelayakan dengan memberikan sertifikasi sebagai guru atau
dosen yang professional. 

    Akhir dari tulis ini, paparan yang dikemukakn di atas, dapat dikatakan bahwa
pendidikan nasional kita perlu adanya filosofi, visi, dan misi pendidikan Indonesia yang
dapat menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di
dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab dan
beraklak yang sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk.  Maka
sudah tentu dalam aspek politik pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung jiwa
reformasi tersebut, sehingga pendidikan di Indonesia dapat mewujudkan manusia
Indonesia Baru yang berkepribadian kuat, berkualitas, kritis, inivatif, toleransi dalam
fluralisme dan siap bersaing dengan dunia luar.

E. Penutup

    Sebagai catatan akhir, terlepas dari banyak problem yang dihadapi pendidikan
nasional kita, namun semua itu tidak boleh menyurutkan semangat kita. 
Bagaimanapun,  harus diakui bahwa pendidikan nasional merupakan “investasi” bagi
masa depan bangsa [Suyanto, 2006:xiv].   Melalui pendidikan, masa depan bangsa
dapat dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Dengan dasar ini, kita harus berusaha untuk : Pertama, “mewujudkan
sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh
akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia”.  Kedua,  perlu meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien
terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan
semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa.
Ketiga,  mengembangkan pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang
dapat mengembangkan harkat dan martabat manusia [human dignity], dan
mempersiapkan menusia menjadi khalifah  [manizing human]. Keempat, dalam
menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu
penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan
sampai ke manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, substansi
pengajaran, dan pendanaan pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan kita tidak
hanya berada pada tataran “mitos”, tetapi berada pada kebijakan “kenyataan”  yang
“riel” yang dapat dievaluasi dan dipertanggungjawabkan. 
 

DAFTAR PUSTAKA 

Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas


Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ade_Cahyana.htm , sabtu,
16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo


Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi,


Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta,hlm.3. 

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam


Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah,


From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif


Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.  
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-
paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun


Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

_____, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan,


Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.


Kom pas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/
2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global],


PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan


Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara
bangsa Indonesia", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam


Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini


mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.


1
Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam  Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia.
PERLUKAH PENDIDIKAN KITA BANGUN?
oleh:
Yulhendri Piliang

Pendidikan sebagai salah satu aspek atau sektor pembangunan di Indonesia merupakan suatu hal yang
sangat menarik untuk dikaji dan dipahami secara mendalam, pemikiran ekonomi pembangunan, Sumber
Daya Manusia diyakini sebagai suatu kebijakan yang  memiliki berbagai keuntungan yang paling
menguntungkan dan memiliki besaran nilai externalitas yang cukup tinggi investasi yang dilakukan
terhadap bidang ini,  motivasi utama atas perimintaan pendidikan adalah untuk mempercepat
pembangunan ekonomi yang diinginkan melalui peningkatan potensi Sumber Daya Manusia untuk
kesempatan kerja yang lebih luas, dikarenakan inilah penulis mencoba membahas lebih mendalam
pengembangan sumber daya manusia dalam kaitannya dalam pembangunan nasional dan daerah. Kita
memahami secara emperis bahwa bidang ini belum mendapatkan porsi yang proporsional dari kebijakan
nasional, ini
disenyalir dalam salah satu indikatornya adalah rendahnya porsi perhatian pendanaan dari (negara) 
APBN dan APBD untuk pendidikan yakn bekisar antara 4 % - hingga 7 %, sehingga dari publikasi terakhir
dapat dilihat bahwa salah satu indikator keber- hasilan kualitas SDM itu dengan HDI (Human
Development Index), dalam laporan tahunan peringkat daya saing sejumlah negara utama didunia yang
dikeluarkan oleh word Competitiveness year book, 26 April 2001 Indonesia berada pada posisi terendah
dari 49 negara yang diteliti dan kalau dilihat dari HDI yang dikeluarkan oleh United nation Development
Program (UNDP) tahun 2000 ter- nyata dari 174 negara di dunia Indonesia berada di pada urutan 109
dibawah Myanmar (105) dan Laos, Kamboja, Vietnam dan Papua Naugini (PNG), (kompas, 8 mei 2001).
Tiga faktor utama yang dikembangkan oleh UNDP dalam mengukur indikator HDI
dunia yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tampaknya sektor pendidikan dan sektor kesehatan
selama ini tertinggal di landasan sehingga tidak mengalami kemajuan berarti.

Kondisi ini secara fenomenal kita bisa melihat berapa ribu orang migran (TKI/W) Indonesia pergi ke-luar
negeri sebagai buruh-buruh industri di Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang dan pembantu-
pembantu Rumah tangga dinegara-negara Arab yang diberi- kan insentif yang kecil dibandingkan dengan
pekerja yang sama dari negara lain seperti Fhilipina, Jepang dan lain-lain belum  lagi kondisi
pengangguran ditanah Air yang sangat mencemaskan kita, dari data terakhir kita bisa melihat tingkat
pengangguran ber- dasarkan pencapaian pendidikan tahun 1999 mencapai 6.030.319 jiwa (lihat
Yusuf:2000). Untuk tahun 2001 angka pengangguran telah mencapai 40 juta jiwa dan sekitar 1,95 juta
adalah lulusan perguruan tinggi (Irianto,2001).  Kondisi ini juga diperparah lagi dengan kondisi Lembaga
Perguruan Tinggi tanah Air, posisinya hanya empat (4) perguruan Tinggi yang termasuk dalam kategori
baik di Asia, yakni UGM pada rangking 68, UI rangking 61, Undip rangking 73, dan Univ. Erlangga pada
rangking 75 (asia Week edisi 30 Juni 2000). Namun tentu kalau bicara tentang pendidikan kita tidah
hanya bicara secara kuantitatif dengan angka-angka
namun ada kajian lain yakni prilaku, budi pekerti dan moralitas yang belum bisa tentu diukur secara
kuantitatif dengan perangkingan namun minimal dengan angka-angka diatas memberikan gambaran
kepada kita bahwa secara umum kondisi pendidikan kita masih
cukup memprihatinkan. Pertanyaan mendasarnya tentu kenapa itu bisa terjadi? Secara Emperis dalam
kajian studi kasus yang dilakukan oleh Dr. Elfindri, SE, MA yang disampaikan dalam Seminar Pendidikan
yang diadakan oleh P3SD bekerjasama dengan Padang Ekspress dan DIPTI- Sumbar, diperolah
informasi bahwa ada beberapa kendala yang melatarbelakangi diantaranya adalah : Pertama, belum
jelasnya visi, misi dan tujuan pendidikan. Kedua, belum tercapainya pemerataan (Equity) Pendidikan.
Ketiga, legal issues belum jelas, Keempat, Fasilitas dan Input tidak merata. Kelima, degradasi kualitas.
Keenam, Inffesiensi dan inefektif. Kajian
tentang sebuah pendidikan dan kelembagaan pendidikan kita tidak terlepas dari unsur-unsur pendidikan
dalam bentuk tujuan pendidikan, Isi pendidikan, guru, murid (peserta didik) alat pendidikan (sarana
belajar), lingkungan pendidikan yang selalu mem- pengaruhi keberhasilan pendidikan dalam suatu
jenjang dan proses pendidikan, nah kalau kajian ini dilakukan maka kita akan bisa manarik sebuah
persoalan dimana letak persoalan itu muncul, dan bagaimana melakukan perbaikan-perbaikan
(intervensi) dalam sektor pendidikan.

Menurut Jalal (2001) persoalan ini adalah karena manajemen pendidikan nasioanal secara keseluruhan
masih bersifat senralistis sehingga  kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi
penyelenggaran pendidikan. Manajemen pen- didikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan
kebijakan yang seragam dan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/kepen- tingan
daerah/sekolah/peserta didik, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta
mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan. Kondisi peserta didik
dari uraian Prof. Dr. Sofian Effendi (Kompas, 2001) menyatakan bahwa dari 38,4 juta anak yang terdaftar
di SD sementara yang bisa masuk SLTP hanya 9,4 Juta sisanya 28 juta tidak bisa mengecap bangku
pendidikan di SLTP. Dari 9,4 Juta yang mendaftar di SLTP hanya 5,6 juta yang bisa meneruskan
pendidikan ke jenjang SLTA, dan kemudian dari 5,6 juta yang berpendidikan SLTA hanya 1,6 Juta yang
bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Penulis melihat bahwa kebijakan pendidikan kita masih belum diberikan prioritas yang memadai, ini
ditandai dengan kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, masih belum adanya
penghargaan yang memadai terhadap skill dan pengetahuan (intelektual) SDM Indonesia dalam bentuk
insentif yang rendah, tidak menempatkan orang-orang dalam bidang
studinya, dan belum adanya jaminan terhadap prestasi intelektual generasi muda. Kesenjangan
pendidikan yang cukup mencolok ini terlihat dari distribusi penduduk yang mengecam pendidikan tinggi
dan umum, kita melihat bahwa masih sedikitnya generasi muda tamatan sekolah umum di -desa yang
bisa dan mampu bersaing secara kompetitif melalui UMPT untuk masuk ke-perguruan tinggi negeri di
Indonesia, masih terbatasnya sarana dan prasaran belajar di tingkat desa dan masih terlihatnya
kekurangan guru-guru sekolah dasar dan menengah terutama untuk sekolah yang dikelolah oleh
Departemen Agama RI (hasil investigasi P3SD di Sumatera Barat, 2000). Kemudian kalau kita sedikit
gambaran di di Propinsi. Propinsi Sumatera Barat selama ini dikenal sebagai
pabrik Otak dan Kota Padang dikenal dengan Kota Pelajar, namun ungkapan itu sekarang hanya tinggal
slogan, dari empat tahun terakhir Sumatera Barat belum mampu menjadi propinsi terbaik dalam dunia
pendidikan, menurut data yang diperoleh dari Departe- men Pendidikan nasional diperoleh informasi
bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 1990 dari 8 propinsi di Sumatera, meraih skor
rangking ke-3 dengan skor 65,7 dan terbaik ke-7 ditingkat nasional. Dari Data HDI nasional tahun 1996
peringkat ke-11 naik menjadai peringkat ke-8 pada tahun 1999. Kondisi ini belum mampu menyaingi Riau
(posisi 5) dan Sumatera Utara pada posisi 7. Padahal kalau diperhatikan berbagai indikator pendidikan
yang ada terutama berhubungan dengan akses atau partisipasi sekolah, keadaan pendidikan di
Sumatera Barat cukup memadai. Angka melek huruf 95,5 %, sudah diatas angka nasional. Selain itu
angka partisipasi murni di jenjang SD sudah melebihi rata-rata 95 % . Namun berdasarkan laporan
Balitbang
Depdiknas tahunan untuk tahun 1996/1997 menunjukkan dari 60 SLTP paling baik di Indonesia tidak ada
satupun dari Sumatera Barat, kemudian dari 1.276 SLTP baik di Indonesia, hanya 3 (tiga) dari Sumatera
Barat, sedangkan NAD (Nangroe Aceh Darussa- lam) menyumbang 64 Sekolah, Sumatera Utara 51
sekolah, Riau 11 Sekolah. Sementara Itu ditingkat SMU/MA klasifikasi baik IPA tidak ada satu pun dari
Sumatera Barat, kemudian untuk tahun 1997/1997 Sumatera Barat hanya mendapatkan 9 SMU yang di
kategorikan baik atau 4,5% dari total nasional. Kemudian pertanyaan kita setelah ini kita sadari, pahami
dan kenali secara bersama apakah tidak ada niat dan komitmen bersama dari pengambil kebijakan
negeri ini untuk memperhatikan generasi ke-depan sebagai generasi yang menjadi pelanjut bangsa ini.

Kedaulatan Rakyat, 8 Februari 2002

Tentang McDonaldisasi UGM


oleh: 
Revrisond Baswir
 

Tulisan Bung Heru Nugroho yang berjudul McDonaldisasi UGM (KR, 5 Februari 2002), pada dasarnya
mencoba membenturkan dua fenomena, yang menurut pandangan Bung Heru Nugroho, sangat bertolak
belakang satu sama lain. Sebagaimana dikemukakannya, sebagai lembaga pendidikan tinggi publik
tertua di negeri ini, UGM seharusnya  memiliki prestasi yang menonjol dalam bidang akademik. Tetapi
kenyataan yang ada cenderung berlawanan. Alih-alih memiliki prestasi menonjol dalam bidang
akademik, UGM kini justru memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk mengkomersialkan diri.

Menurut analisis Bung Heru, fenomena komersialisasi yang melanda UGM itu terutama dipicu oleh
terjadinya kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi kampus. Dalam pandangan Bung Heru, otonomi
kampus seharusnya tidak begitu saja diterjemahkan sebagai kewajiban untuk menghidupi diri sendiri.
Walau pun Bung Heru secara jujur mengakui bahwa kemampuan UGM dalam memberi penghidupan
yang layak bagi para dosen dan karyawannya masih jauh dari mencukupi, tetapi hal itu hendaknya tidak
melengahkan UGM dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan tinggi milik publik tertua di negeri ini.

******

Sepintas lalu, saya dapat memahami kegelisahan yang sedang melanda Bung Heru. Perkembangan
UGM dalam beberapa tahun belakangan ini memang cukup fenomenal. Walau pun gagasan untuk
menjadi universitas riset (research university) telah terus menerus berkumandang sejak era Prof. Sukanto
Reksohadiprodjo memangku jabatan rektor, tetapi yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan di
UGM adalah gedung-gedung megah dan program-program baru yang secara khusus ditujukan untuk
para calon mahasiswa berkantong tebal.

Para dosen yang dalam konteks universitas riset seharusnya sibuk menghasilkan karya-karya akademik
bermutu tinggi, kini justru sibuk berpindah dari satu kelas ke kelas yang lain untuk mempertebal dompet
masing-masing. Masih lumayan jika sebagian dosen UGM itu hanya berpindah-pindah kelas dalam
lingkungan UGM atau dalam lingkungan kota Jogjakarta. Kini tidak sedikit dosen UGM yang berpindah-
pindah kelas dari satu kota ke kota yang lain. Ibaratnya, pagi hari mengajar di UGM, malam hari
mengajar di Jakarta, dan sehari berikutnya mengajar di Medan. Dengan kesibukan seperti itu, peluang
untuk menghasilkan karya-karya akademik bermutu tinggi tentu sulit diwujudkan.

Tetapi menyederhanakan fenomena tersebut sebagai sebuah fenomena yang dipicu oleh penafsiran
keliru terhadap makna otonomi kampus, saya kira terlalu menyederhanakan masalah. Bahwa
pelaksanaan otonomi kampus telah turut memicu semakin mencuatnya fenomena komersialisasi di UGM,
mungkin dapat dibenarkan. Tetapi pertanyaannya, apakah tanpa otonomi kampus fenomena
komersialisasi UGM itu tidak akan mengalir sederas seperti saat ini?

Jawabannya saya kira sangat jelas. Dengan atau tanpa otonomi kampus sekali pun, fenomena
komersialisasi di UGM akan tetap menonjol. Hemat saya, kecenderungan tersebut lebih banyak dipicu
oleh komersialisasi besar-besaran yang sedang melanda dunia. Artinya, fenomena komersialisasi di
UGM, termasuk pemaknaan otonomi kampus yang salah kaprah tersebut, saya kira sangat erat
kaitannya dengan berakhirnya perang dingin di satu pihak, dan semakin derasnya terjangan arus
globalisasi kapitalisme di pihak yang lain.

Sebab itu, Bung Heru tidak perlu terkejut. Kecenderungan McDonaldisasi, baik dalam pengertian
berdirinya gerai restoran cepat saji di dalam kampus, atau pun dalam pengertian menjamurnya gerai-
gerai 'universitas cepat saji' di sejumlah kota, boleh dikatakan telah menjadi fenomena yang sangat
umum di seluruh penjuru dunia. Jika Bung Heru singgah ke Singapura atau Kuala Lumpur, maka di sana
Bung Heru akan sangat mudah bertemu dengan gerai Universitas Harvard (Amerika Serikat), gerai
Universitas Oxford (Inggris), dan gerai Universitas Monash (Australia). Hal yang sama akan Bung Heru
jumpai pula di Bangkok, Hongkong, dan secara terselubung juga di Jakarta.

*****

Sebab itu Bung Heru, tantangan UGM di masa depan saya kira tidak dapat dibatasi hanya pada soal
berhenti mengkomersialkan diri, atau sebaliknya lebih berkonsentrasi pada menghasilkan karya-karya
akademik bermutu tinggi. Yang sangat dibutuhkan UGM di masa depan adalah kemampuan untuk
kembali ke jati diri dalam arti sepenuhnya. Pertama, sebagai lembaga pendidikan tinggi profesional.
Kedua, sebagai lembaga pendidikan tinggi milik publik. Dan ketiga, sebagai lembaga pendidikan tinggi
yang berada di sebuah negara miskin, yang saat ini bahkan sedang sekarat di bawah himpitan krisis.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi profesional, saya tentu sangat mendukung ditingkatkannya
kapasitas institusional UGM dalam menghasilkan karya-karya akademik bermutu tinggi. Tetapi persoalan
ini saya kira hanya dapat dipecahkan jika UGM memiliki dukungan dana yang memadai untuk membiayai
kegiatan tersebut. Tanpa dukungan dana yang memadai, mimpi untuk menghasilkan karya-karya
akademik bermutu tinggi itu akan sulit diwujudkan. Sebab, karya akademik, sebagaimana proses
pendidikan itu sendiri, bukanlah barang murah.

Selanjutnya, sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi profesional milik publik, UGM memang harus
berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi kecenderungan komersialisasi. Otonomi kampus memang tidak
sepantasnya dimaknai sebagai penggeseran kewajiban mendanai UGM dari pundak negara ke pundak
UGM. Ini tentu tidak berarti bahwa UGM tidak boleh melakukan penggalangan dana. Tetapi hal itu
hendaknya tidak dilakukan dengan cara mengkomersialkan jasa-jasa pendidikan kepada peserta didik.
Banyak cara lain yang dapat ditempuh UGM untuk mendapatkan dana. Syaratnya, berbeda dari praktik
yang berlangsung selama ini, dana-dana tersebut hendaknya benar-benar diperuntukkan bagi
pengembangan UGM. Bukan sekadar untuk mempertebal dompet para pengumpulnya.

Akhirnya, sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi profesional milik publik yang berada di sebuah
negara miskin, UGM sudah sepantasnya berdiri paling depan dalam membela dan memperjuangkan
kepentingan kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Dalam hal ini, semua aktivitas UGM, baik dalam
bidang pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat, harus benar-benar diabdikan untuk
memperbaiki kondisi kehidupan rakyat. Artinya, program pendidikan dan karya-karya akademik yang
dihasilkan UGM, harus dijauhi dari segala kemungkinan untuk sekadar melayani kepentingan penguasa,
kepentingan pemodal, kepentingan kelompok masyarakat berkantong tebal, atau sekadar untuk
kemewahan intelektual.

Bertolak dari ketiga dimensi jati diri UGM tersebut, terus terang saya kurang setuju dengan pendapat
Prof. Selo Sumardjan yang menekankan pentingnya rektor UGM di masa depan memiliki visi akademik
yang kuat. Hemat saya, lebih dari sekadar visi akademik, rektor UGM di masa depan haruslah seorang
figur yang mampu menerjemahkan ketiga dimensi jatidiri UGM itu ke dalam program konkret yang benar-
benar dapat dioperasionalkan, dan langsung dapat dirasakan getaran serta manfaatnya bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Artinya, selain memiliki visi akademik, ia haruslah seorang manajer yang mampu menggalang dana
tanpa mengkomersialkan jasa-jasa pendidikan, serta mampu menjadikan cita-cita dan keprihatinan
bangsa sebagai cita-cita dan keprihatinan UGM. Tanpa seorang rektor yang memiliki karakter sebagai
akademisi, manajer, dan sekaligus pembela kepentingan rakyat itu, saya kira akan sangat sulit bagi UGM
untuk menghindar dari terjangan komersialisasi yang ditumpahkan oleh arus deras kapitalisme global
tersebut. Persoalannya, apakah mereka yang memiliki hak untuk memilih rektor UGM juga memiliki visi
seperti saya impikan. Wallahua'lam?
 
Penulis adalah staf pengajar FE UGM, Yogyakarta

Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah 


oleh:
Adhitya Wardhono dan Asep Mulyana 

Ketika Pemerintah memberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah, banyak daerah menyambut dengan
sangat optimis. Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan potensi
wilayahnya.Akan tetapi menuntut kesiapan daerah dalam penerapannya. Kesiapan daerah tersebut
antara lain sumber daya keuangan, Sumber Daya Manusia, organisasi dan manajemen, peralatan dan
sebagainya. Dalam kesempatan ini kami bermaksud untuk mengangkat kaitan sumber daya padat otak[1]
dengan otonomi daerah dalam kajian sederhana. 
 

Otonomi Daerah dan Prioritas Pembangunan


Sebagian besar diskusi yang berlangsung mengenai prospek keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah,
tertuju pada masalah perimbangan anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sepertinyaada asumsi bahwa dengan memiliki anggaran belanja yang besar maka pemerintah daerah
akan mampu mengelola pelaksanaan otoda. Seiring dengan asumsi ini, maka daerah yang diuntungkan
adalah hanya daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi ini dipertegas dengan
gencarnya pemerintah daerah berpikir keras untuk mendapat penopang pembangunan daerahnya.
Salah satunya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)[2]. Sehingga PAD menjadi akronim yang populer
di tengah maraknya diskusi Otoda. Metode yang paling populer untuk pemasukan PAD adalah dengan
mengekploitasi sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak menjadi problem pelik bagi daerah yang
ketersediaan sumber daya alamnya berlimpah. Tetapi sebaliknya banyak daerah yang merasa
ketersediaan potensi sumber daya alamnya yang sedikit seakan-akan tidak berdaya menghadapi
otoda.Pendekatan yang kedua paling mudah adalah meningkatkan PAD melalui Pajak dan Retribusi
Daerah. Bagiyang pernah belajar Ilmu Ekonomi pasti mengenal ekonom moneteris dari ‚University of
Chicago’ Milton Friedman, yang merekomendasikan untuk dapat menjauhi Pajak. Ia mengatakan
runtuhnya industri barat dan inflasi tinggi yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem perpajakan yang
buruk ini. Penarikan pajak, secara tidak langsung menggunakanuang orang lain untukkebutuhan orang
lain. Dalih atas kepentingan sosial ternyata dalam kenyataan tidaklah termanfaatkan untuk pembiayaan
sosial itu sendiri.Hasil pajak lebih banyak termanfaatkan oleh kepentingan birokrat sendiri alias
terkorupsi, dan yang lainnya untuk mendanai perguruan yang tinggi yang berisikan anak-anak orang
kaya. Sehingga yang terjadi bukan orang kaya mensubdisi orang miskin, malah terjadi sebaliknya. Itulah
rekomendasi ekonom Milton Friedman. Maka bagi pemerintah daerah hati-hatilah dalam memberlakukan
pajak. Hendaknya sistem perpajakan yang dikenakan memang mencerminkan kondisi wajib pajak
dilapangan. 

Intinya bahwa dalam wacana desentralisasi, energi pemerintah daerah hendaknya tidak terfokus pada
prioritas pembangunan jangka pendek namun juga memperhatikan prioritas jangka panjang dengan
lebih seksama. Lebih jauh peryataan diatas tidak hendak untuk menabukan pajak, tapi sistem perpajakan
yang kurang tertata rapi ternyata tidak menghasilkan kontribusi pembangunan daerah yang jelas. 
 

Sumber Daya Padat Otak dan Implikasinya 


Mencermati peryataan diatas, makakira-kira apa yang harus dilakukan oleh daerah dalam menghadapi
otonomi ini. Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk mendapat formula yang tepat. Mungkin kita
perlu untuk menyimak buah pikir ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan
Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa) bukan disebabkan oleh
akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara membangun lebih banyak tenaga yang
produktif.Dengan pendekatan ini akan terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang
kemakmuranekonomi suatu daerah (bangsa) 

Dalam konteks ini, untuk mencapai kemakmuran daerah dalam Otoda, kekayaanberupa sumber daya
alam yang terkalkukasi diatas kertas bukan mutlak adanya.Dan mungkin yang juga harus diperhatikan
dalam rekomendasi Friedrich List ini adalah mengejawantahkanTenaga Produktif sebagai karya kreatif
inovatif,pemahaman kekuasan politik dan hukum, hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas
penyelengaraanpemerintahan, ilmu dan kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia, serta
mentaati norma agama. 

Berangkat dari pendekatan diatas maka pertanyaan yang muncul adalahimplikasi apa yang dapat diambil
dari peryataaan tersebut? Esensi dari pernyataan tersebut kalau kita artikulasikan dalam kenyataan
sekarang adalah mendesaknya mempersiapkan sumberdaya padat otak untuk menunjang proses
pembangunan daerah. Fenomena sumberdaya padat otak mungkin perlu untuk diprioritaskan. Karena
banyak kasus yang menunjukkan dengan mengelola potensi sumberdaya padat otak inilah kesejahteraan
masyarakat daerah ternyata lebih terjamin. Ambil contoh negara Jepang, Singapura, Hongkong mampu
untuk maju secara ekonomi, tanpa didukung SDA yang berlimpah. Mungkin kita tidak perlu
membayangkan yang terlampau tinggi untuk konsep sumber daya padat otak. Dalam tulisan ini kita bisa
mendefinisikan agak lebih lunak menjadi dua dimensi yaitu dimensi pertama dimana sumber daya
manusia yang terdidik cukup baik secara formal maupun non formal yang nantinya memberikan
kontribusi produktif berupa daya nalar pikir berupa karya kreativ inovatif. Dan dimensi kedua adalah
pendidikan budi pekerti dan moral agama, artinya paham sebagai warga masyarakat akan hak dan
kewajibannya sehingga taat atas hukum dan peraturan yang berlaku. Mengingat pendidikan formal bukan
satu-satunya faktor penentu kualitas sumberdaya manusia atau keberhasilan pembangunan daerah.
Pendidikan budi pekerti dan moral agama lebih memberikan arahan bagi terwujudnyaintegritas pribadi
dan etika kerja, serta disiplin kerja yang sulit diukur tetapi hampir dapat dipastikan tidak kalah pentingnya,
sehingga juga harus dipertimbangkan. 

Sumber daya padat otak tentunya berangkat dari ketersediaan sumber daya manusia yang dicoba untuk
mendapat perhatian optimal. Caranya adalah melalui pendidikan rakyat, apapun sistem dan bentuknya.
Namun kendala yang terasa dalam proses menuju sumber daya padat otak adalah kesungguhan dan
rendahnya anggaran untuk mengoptimalkan problem ini. Dari aspek ekonomi telah jelas bahwa dana
untukpendidikan dan peningkatan ketrampilan menyiapkan sumber daya manusia sangatlah rendah.
Sehingga propaganda di sektor investasi sumberdaya manusia sangat tidak optimal. Apalagi sifat dari
investasi sumber daya manusia ini adalah jangka panjang dan memerlukan konsistensi serta hasilnya
tidak segera terlihat. Semoga hal ini sudah terpikirkan oleh jajaran pemerintah daerah dengan instansi
terkait.Karena dengan mempersiapkan sumber daya manusia padat otak dengan pendidikan formal
ataupun non formal, akan jelas efek pengganda yang akan diperoleh. Ada satu keyakinan yang cukup
menarik untuk di cermati yaitu “dengan pendidikan akan membuat orang mudah dipimpin tapi tak bisa
dipaksa. Pendidikan juga akan menghasilkan orang-orang yang mudah diperintah tapi tak bisa
diperbudak”. 

Lebih jauh, sebenarnya dengan penerapan otonomi daerah, terbuka peluang untuk memperluas akses
kesempatan dan ruang berkreativitas, baik secara nasional maupun internasional dalam rangka
pembangunan daerah. Namun demikian sekaligus memberikan konsekuensi tantangan standarisasi
internasional yang berarti perlu didukung oleh SDM yang mempunyai daya saing global, baik yang
menyangkut kinerja, profesionaliatas, manajerial dan sebagainya. Dalam konteks global, mengandalkan
kelebihan hanya pada kekuatan komparatif berupa SDA yang melimpah tidak pada tempatnya lagi
dipertahankan. Negara-negara maju yang menjadi motor penggerak dunia lebih mengandalkan
kekuatannya kepada kelebihan kompetitif yang sifatnya mengandalkan kemampuan SDM yang unggul,
cerdas dan berpendidikan tinggi. Kalau hal ini bisa diterima maka dalam era otoda ini akan
membangkitkan iklim kompetisi yang sehat, sebagai semangat kebangkitan untuk mensejahterakan
masyarakat. Sehingga kita akan merasa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 
Untuk itu perlu dimulai darijajaran Pemerintah daerah yang mencitrakan diri dengan pelayanan
profesional dan humanistis yang memberi tauladan efektifitas sentuhan sumberdaya padat otak. Mungkin
tidak berlebihan memaparkan data statistik ujung tombak suksesnya penerapan otoda ditingkat bawah,
yaitu Kepala Desa. Dari data yang diambil dari Survey Potensi Desa 1999 yang dilakukan oleh BPS.
Secara nasional, 5 persen dari kepala desa tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka, 17 persen
hanya lulusan SD, 28 persen lulusan SMP, 39 persen memegang ijazah SMA, dan 11 persen lulusan
perguruan tinggi. Catatan penting lain adalah ketidak sepadanan antara potensi SDA yang dimiliki
dengan kemampuan SDMa yang tersedia pada suatu daerah. Dua dari empat propinsi kaya SDA di
Indonesia ternyata memegang peringkat terendah ditinjau dari tingkat pendidikan kepala desanya.
Secara nasional propinsi Papua berada di urutan terendah, sementara Aceh di urutan ke 20. Riau yang
juga merupakan propinsi kaya sumber daya alam berada pada urutan ke 9, atau peringkat tertinggi
diantara propinsi-propinsi kaya sumber daya alam[3]. Melihat kondisi ini tentunya sangatlah
memprihatikan kalau tidak segera ada sikap tegas terhadap prioritas pembangunan SDM. Namun
demikian yang cukup pengejutkan adalah begitu otonomi daerah diberlakukan adalah begitu cepat
direspon oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Riau langsung menyuarakan keinginan mendirikan
perusahaan penerbangan sendiri. Hal yang perlu dicermati dari respon reaktif ini adalah sudahkan semua
rencana Pemda Tk. I tersebut sudah sepadan dengan ketersediaan SDM yang ada? 

Dalam penerapan otoda ini yang jelas terlihat adalah adanya perubahan manajemen sumber daya
ekonomi dan perubahan perspektif masyarakat tentang pembangunan dan paradigmanya. Hal ini
memerlukan konsepsi baru untuk mewujudkan pembangunan daerah dengan melihat potensi daerah
secara spesifik, juga keberanian untuk menerapkan konsepsi tersebut. Namun penerapan suatu konsepsi
permasalahan yang muncul pertama adalah, bagaimana caranya mengamati proses perubahan dalam
masyarakat tersebut.Persoalan berikutnya adalah bagaimana cara tepat untuk mengabungkan antara
perubahan ekonomi dan perubahan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan terintegrasi dalam
memanfaatkan potensi sumber daya yang ada. 
 

Penutup 
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat
keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan
penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu untuk
melakukan pembangunannya dengan kebijakan dan rumusan yang jelas. Karena seperti halnya
mekanisme pasar yang tidak kebal terhadap timbulnya kegagalan pasar (market failure), maka juga harus
dicermati intervensi pemerintah (daerah) yang salahbisa mengakibatkan kegagalan pemerintah
(government failure) di tingkat daerah. Hardin (1968) dengan jelas menguraikan hal ini dalam “tragedi of
the commons”. Sifat rakus karena salah kebijakan akan mengakibatkan menguritanya praktek rent
seeking yang akan mengakibatkan missing market sehingga hak atas property right lenyap pula. Akibat
berikutnya adalah munculnya free riders (pembonceng) dan moral hazard. Kalau ini terjadi di era otonomi
daerah, maka kita mengulangi episode Orba lagi, minimal dalam bentuk miniatur. Dan jelasnya semakin
kabur saja menciptakan kebangkitan kelompokekonomi menengah terdidik yang tangguh. 

Kebangkitan kelas menengah ekonomi terdidik melalui peningkatan sumber daya manusia yang padat
otak selaras dengan euforia otonomi daerah akan terciptasepanjang pemerintah daerah bersama rakyat
mampu untuk merumuskan visi-misi dan tujuan yang jelas. Sehingga akan menciptakan komitmen dan
koordinasi yang kuat di masyarakat. Keserasian ini akan membentuk sinergy yang merupakan conditio
sine qua non bagi tercapainya tujuan yang dicita-citakan. Satu ketakutan kita adalah jika problem diatas
tidak ditangani segera jangan-jangan akan banyak muncul iklan tenaga kerja: Dicari! SDM yang
berkualitas. Segera, gaji memuaskan tanpa pelantara.Ironis!! 

Akhirnya, tak lebih harapan kami semoga tulisan ini menjadi wacana tambahan dan sedikit masukan
dalam Semiloka Otonomi Daerah bertajuk “Otonomi daerah dalam negara kesatuan: Mencari format
politik hukum hubungan pusat dan daerah di Indonesia”kali ini. 
Support paper untuk Semiloka Otonomi Daerah - Frankfurt, 10 Nopember 2001
Marburg 26.10.2001
--------------------------------------------------------------------------------
 

[2]Istilah ini sekedar memberi penekanan pada istilahsumber daya manusia yang terdidik dan prefesional.

[3]UU No 25 tahun 1999 mengatur kewenangan Pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber 
penerimaan dan pembiayaan daerah. Sumber penerimaan daerah menurut UU No. 25 tahun 1999
meliputi :  1.Pendapatan asli daerah (PAD); 2. Dana pertimbangan;3. Pinjaman daerah; 4. Penerimaan
syah lainnya. 
[4] lihat Institut SMERU, 2001 dalamAnd The Data Say No. 1/2001
 

Anda mungkin juga menyukai