299 578 1 SM
299 578 1 SM
Khulinah
SMP Negeri 1 Comal Kab. Pemalang
Abstrak
Kemampuan kognitif peserta didik sangat beragam, ada yang cepat memahami materi ada pula
yang masih memerlukan penjelasan ulang baik oleh guru atau oleh teman sejawat. Untuk itu perlu
dipilih model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk saling
berdiskusi, sehingga peserta didik yang sudah menguasai materi dapat membimbing peserta didik
yang belum memahaminya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
peserta didik dalam menentukan jumlah n suku pertama deret aritmetika dan deret geometri
melalui model pembelajaran Jigsaw pada peserta didik kelas IX B SMP Negeri 1 Comal berjumlah
36 orang dengan perincian 14 putra dan 22 putri. Penelitian dilaksanakan dalam beberapa siklus;
yaitu pra siklus, siklus 1, dan siklus 2. Pembelajaran pada pra siklus masih dengan model
konvensional, sedang pembelajaran mulai siklus 1 menerapkan model jigsaw. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan selama proses pembelajaran dan tes
formatif pada setiap akhir siklus. Apabila pembelajaran matematika materi menentukan jumlah n
suku pertama pada deret aritmetika dan deret geometri apabila peserta didik yang memperoleh
nilai KKM = 77 atau lebih sudah mencapai 75% maka penelitian ini dapat dikatakan berhasil.
Kata Kunci: Jumlah n Suku Pertama; Deret Aritmetika; Deret Geometri; Jigsaw
PENDAHULUAN
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari SD untuk
membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta
kemampuan bekerja sama. Namun yang terjadi di SMP Negeri 1 Comal secara umum peserta didik
masih mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Hal ini terlihat dari hasil pra siklus
dimana pembelajaran masih konvensional hasil belajar peserta didik pada materi barisan dan deret
bilangan juga masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan pelajaran matematika terasa sulit
dipahami antara lain: (1) Proses pembelajaran yang berlangsung masih konvensional. Dalam
pembelajaran matematika, guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama (tradisional)
dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya
dari guru kepeserta didik dan metode ceramah menjadi pilihan utama. Guru lebih mendominasi
pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik
merasa jenuh dan tersiksa; dan (2) Peserta didik kurang minat terhadap pelajaran matematika. Hal
ini dapat dilihat dari hasil angket terhadap 36 peserta didik kelas IXB tahun pelajaran 2014/2015
hanya ada satu peserta didik yang menempatkan matematika sebagai pelajaran yang paling disukai
dari 12 mata pelajaran yang dipelajari.
Didaktikum: Jurnal Penelitian Tindakan Kelas
6
Vol. 16. No. 4. Agustus 2015 (Edisi Khusus)
Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya dapat memilih berbagai
variasi pendekatan, strategi, metode dan model pembelajaran yang dapat mengoptimalkan
kemampuan peserta didik sehingga peserta didik akan lebih aktif, kreatif, bersemangat, dan enjoy
dalam mengikuti pembelajaran.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan hasil pra siklus pada materi barisan dan deret
bilangan masih rendah antara lain: (1) Pembelajaran belum bermakna. Peserta didik tidak
memahami materi yang disampaikan guru karena contoh-contoh yang disampaikan guru tidak
dialami langsung oleh peserta didik sehingga fikiran dan emosi peserta didik tidak terlibat dalam
pembelajaran; dan (2) Belum memaksimalkan potensi peserta didik. Kemampuan kognitif peserta
didik sangat beragam, ada yang cepat memahami materi ada pula yang masih memerlukan
penjelasan ulang baik oleh guru atau oleh teman sejawat. Secara umum peserta didik akan lebih
mudah memahami materi yang disampaikan oleh teman sejawat dari pada oleh gurunya. Untuk itu
perlu dipilih model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk saling
berdiskusi, sehingga peserta didik yang sudah menguasai materi dapat membimbing peserta didik
yang belum memahaminya.
Stephen P. Robbins & Timonthy A Judge (2015: 57) menyatakan bahwa kemampuan
keseluruhan seseorang individu pada dasarnya terdiri dari dua kemampuan faktor yaitu: (1)
Kemampuan Intelektual (Intelectual Ability), merupakan kemampuan yang dibutuhkan untuk
melakukan berbagai macam aktivitas mental (berfikir, menalar, dan memecahkan masalah); dan (2)
Kemampuan Fisik (physical Ability), merupakan kemampuan melakukan tugas-tugas yang
memerlukan stamina, keterampilan, dan karakteristik yang serupa.
Beberapa ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang belajar. Menurut
Nasution (1982: 39) “belajar adalah perubahan tingkah laku akibat pengalaman sendiri”. Dengan
belajar maka seseorang mengalami perubahan tingkah laku, baik perubahan pengetahuan, sikap,
keterampilan, maupun kecakapannya. Dengan kata lain ada perubahan tingkah laku antara sebelum
dan sesudah belajar.
Oemar Hamalik (1986: 40) mengatakan “belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat
interaksi dengan lingkungan”. Seseorang dikatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia
memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya.
Untuk dapat disebut hasil belajar, maka perolehan sesuatu yang baru pada tingkah laku itu
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Hasil belajar sebagai pencapaian tujuan belajar;
(2) Hasil belajar harus sebagai buah dari proses kegiatan yang disadari; (3) Hasil belajar harus
sebagai produk dari proses latihan; (4) Hasil belajar harus merupakan tindak tanduk yang berfungsi
efektif dalam kurun waktu tertentu; dan (5) Hasil belajar harus berfungsi operasional dan potensial
(Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1989: 30)
Berdasarkan berbagai definisi belajar tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah hasil yang dicapai melalui suatu proses yang dilakukan individu dalam memperoleh
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan latihan untuk memperoleh pengetahuan
dan kecakapan atau keterampilan baru (tingkah laku sebelum dan sesudah proses akan belainan)
(Mucikno, 2009: 7).
Yani Puji Lestari (2009: 28) menjelaskan bahwa matematika berasal dari bahasa Yunani
mathematika yang artinya penelitian pola, struktur, perubahan, ruang, penelitian bilangan dan angka.
Sedangkan dalam Kurikulum 2004 dijelaskan bahwa matematika berasal dari bahasa latin
manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Ciri utama matematika
adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika
METODE PENELITIAN
Alur penelitian tindakan kelas terdiri atas 4 tahap yang dilakukan dalam siklus berulang, yaitu
pra siklus, siklus 1, dan siklus 2. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, tindakan,
pengamatan, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan secara kolaboratif dengan guru mitra/pengamat
untuk mendukung kelancaran penelitian dan pengambilan data secara objektif. Penelitian dikatakan
berhasil apabila dalam pembelajaran matematika materi menentukan jumlah n suku pertama pada
deret aritmetika dan deret geometri apabila peserta didik yang memperoleh nilai KKM = 77 atau
lebih sudah mencapai 75%.
Pada pra siklus masih bersifat konvensional, dengan kegiatan: (1) pembelajaran dengan
metode cermah; (2) mengadakan tes formatif; (3) analisis hasil tes formatif; dan (4) mengamati
aktifitas peserta didik selama proses pembelajaran.
Hasil masukan pra siklus dianalisis dan solusinya diterapkan pada siklus 1. Pada siklus 1,
perencanaan disusun bersama dengan guru mitra secara cermat. Pada tahap pelaksanaan, guru
mitra mengamati secara detail segala sesuatu yang dilakukan guru dan peserta didik. Pengamatan
dimaksudkan untuk mengetahui hal-hal yang masih dirasa kurang dan digunakan sebagai bahan
perbaikan pada tahap refleksi. Akhir dari pembelajaran dilakukan tes formatif untuk mengetahui
hasil belajar peserta didik materi menentukan jumlah n suku pertama deret aritmetika dan deret
geometri melalui model pembelajaran Jigsaw. Semua data yang diperoleh pada siklus 1,
Hasil Penelitian
Materi pembelajaran pra siklus adalah barisan aritmetika dan geometri. Hasil tes formatif pra
siklus menunjukkan bahwa peserta didik yang memperoleh nilai sama atau lebih tinggi dari KKM
baru mencapai 50 % atau 18 peserta didik dari 36 sejumlah peserta didik. Perolehan tersebut belum
menggembirakan dan masih jauh di bawah indikator keberhasilan yang ditetapkan.
Pada siklus 1, pembelajaran materi menentukan jumlah n suku pertama deret aritmetika
dengan mengikuti langkah-langkah pembelajaran model jigsaw. Hasil tes formatif siklus 1
menunjukkan bahwa peserta yang mendapat nilai sama atau lebih dari KKM mencapai 60% atau
21 peserta didik dari 36 sejumlah peserta didik dikelas IX B. namun perolehan ini juga belum
mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan.
Beberapa hal yang menyebabkan siklus 1 belum mencapai indikator yang ditetapkan antra
lain karena (1) beberapa peserta didik belum memahami langkah-langkah model pembelajaran
jigsaw, dan (2) desain pembelajaran yang disusun tidak berjalan optimal terutama pada alokasi
waktu untuk langkah-langkah model pembelajaran yang diterapkan. Hal ini berdampak adanya
langkah pembelajaran yang tidak dapat dilaksanakan dengan optimal karena waktu yang tersedia
tidak cukup.
Beberapa kendala diatas dianalisis bersama oleh peneliti dan guru mitra (pengamat) serta
dicarikan solusinya. Beberap ahal yang dirasa masih kurang dan perlu perbaikan antara lain adalah:
(1) Peserta didik belum memahami langkah-langkah model pembelajaran. Sebelum pembelajaran
dimulai, dijelaskan lagi langkah-langkah model pembelajaran jigsaw dan mengingatkan kembali
tentang keterampilan yang harus dimiliki dalam berdiskusi; dan (2) Disusun kembali desain
pembelajaran perbaikan. Desain pembelajaran perbaikan disusun berdasarkan analisis kekuatan dan
kelemahan yang muncul terutama dalam penentuan alokasi waktu mengerjakan soal dalam diskusi
kelompok diberi penambahan.
Silkus 2 dilaksanakan dengan berpedoman pada hasil refleksi yang sudah diperbaiki pada
siklus 1. Pembelajaran diawali dengan guru mengadakan apersepsi,menyampaikan standard
kompetensi, kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, menyiapkan kondisi
fisik dan psikis, serta member motivasi agar peserta didik bersemangat dalam mengikuti
pembelajaran.
Hasil tes formatif siklus 2 menunjukkan bahwa peserta didik yang memperoleh nilai sama
dengan atau lebih dari KKM= 77 telah mencapai 80%. Perolehan ini telah melampaui indikator
keberhasilan yang ditetapkan, yaitu sekurang-kurangnya 75% peserta didik mampu mencapai KKM
pada tes formatif.
40%
20%
0%
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs. Jakarta:
Balitbang Depdiknas.
Khulinah. 2015 peningkatan Kemampuan Menentukan Jumlah n Suku Pertama Deret Aritmetika dan Deret Geometri
Melalui Model Pembelajaran Jigsaw Kelas IX B SMP Negeri 1 Comal. Laporan PTK SMP Negeri 1 Comal:
Pemalang (Tidak Dipublikasikan).
Mucikno, 2009. Peningkatan Hasil Belajar Matematika dengan Metode Kerja Kelompok, Latihan Berjenjang, dan Alat
Peraga pada Bilangan Bulat, Laporan Hasil Penelitian, SMP Negeri 1 Karang Dadap: Pekalongan (Tidak
Dipublikasikan).
Nasution, 1982. Didaktik Azas-azas Mengajar. Bandung: Alumni.
Oemar Hamalik, 1986. Media Pendidikan. Bandung: Alumni.
Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII, 2008. Materi PLPG Matematika. Semarang: UNNES.
Stephen P. Robbins & Timonthy A Judge. 2015. Perilaku Organisasi, Edisi 16, dalam Terjemahan Salemba
Empat: Jakarta.
Yani Puji Lestari, 2009.Ensiklopedia Matematika K - Q. Bandung: PT Indah Jaya Adipratama