Anda di halaman 1dari 81

ANALISIS JURIDIS TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH DI

KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS 315/Pid.B/2020/PN.Mks)

RAHMA
4517060033

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bosowa

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA
TAHUN 2022

i
HALAMAN JUDUL

ANALISIS JURIDIS TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH DI


KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS 315/Pid.B/2020/PN.Mks)

Oleh :

RAHMA
4517060033

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bosowa

Pada

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR

ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat dan Rahmat Allah SWT yang

telah memberikan kenikmatan dan keberkahan yang luar biasa. Shalawat dan

salam tercurah kepada junjungan kami Baginda Rasulullah SAW, suri tauladan

umat muslim sepanjang masa. Alhamdulillahirobbil’alamiin, berkat rahmat,

karunia dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

judul: “Analisis Juridis Tindak Pidana Penyerobotan Tanah Di Kota

Makassar (Studi Kasus 315/Pid.B/2020/PN.Mks )”. Untuk memenuhi salah

satu syarat menyelesaikan studi strata 1 (satu) serta dalam memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Bosowa Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini terdapat banyak

hambatan dan rintangan yang dihadapi terutama karena keterbatasan dan

kekurangan yang penulis miliki, namun kesemuanya itu dapat diatasi berkat

bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu dalam bagian ini penulis

ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak yang sudah memberikan

kontribusi baik dukungan, semangat, bimbingan serta saran dan masukan,

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis menghaturkan

ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya. Rasa terima kasih penulis haturkan

kepada yang terhormat:

vii
1. Kedua orang tua yang tercinta, H. Bada dan Hj.Napia yang telah

memberikan semangat, dukungan dan doa serta nasehat untuk

menyelesaikan skripsi ini

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Bosowa Makassar

3. Bapak Dr. Zulkifli Makkawaru, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan

Ibu Hj. Siti Zubaidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan masukan,

petunjuk dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

4. Bapak Dr. Almusawir, S.H., M.H selaku ketua Prodi Ilmu

Hukum Universitas Bosowa Makassar

5. Bapak Muhammad Rusli, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik

Universitas Bosowa Makassar

6. Seluruh Dosen dan Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas

Bosowa Makassar yang telah memberikan penulis ilmu pengetahuan

7. Seluruh Saudara/i angkatan 2017 Fakultas Hukum yang selama ini

telah membantu dan selalu memberikan semangat apabila penulis

dilanda kesulitan, semoga dengan bantuan dan kontribusinya dapat

bernilai ibadah di sisi Allah SWT

8. Saudari Siti Fatima Azizah, Dita, Yolanda dan Mawar atas dukungan

dan kontribusinya kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan

skripsi ini

viii
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis memohon saran dan kritik yang

sifatnya membangun demi kesempurnaannya dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Makassar, 4 Januari 2022

Rahma

ix
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana


penyerobotan tanah terbukti dalam putusan Nomor 315/Pid.B/2020/Pn.Mks dan
untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan
Nomor 315/Pid.B/2020/Pn.Mks.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum kualitatif.
Jenis dan sumber data terdiri atas data primer berupa peraturan perundang-
undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung dan dan Putusan Pengadilan serta
bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, artikel serta jurnal yang
berkaitan dengan penelitian ini. Keseluruhan bahan hukum tersebut dikumpulkan
secara terstruktur sistematis dengan menggunakan ukuran kualitatif dan disajikan
secara deskriptif analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur tindak pidana
penyerobotan tanah telah terpenuhi dalam pasal 167 Ayat (1) akan tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan lepas adalah berlandaskan perkara ini bukan termasuk
tindak pidana melainkan hukum perdata, namun setiap putusan hakim yang
menjatuhkan putusan harus di ikuti oleh pertimbangan yang cukup baik itu
pertimbangan yuridis maupun pertimbangan sosiologis.
Kata Kunci: Pidana; Penyerobotan Tanah; Pertimbangan Hakim.

x
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL ................................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii

PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI .................................................................... iv

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

ABSTRAK .............................................................................................................. x

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................6
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................7


A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ....................................................7
B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana Penyerobotan Tanah ...16
1. Pengertian Penyerobotan Tanah................................................................16
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana Penyerobotan Tanah.......................22
C. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ...........................31
1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis .........................................................36
2. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis .................................................37
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................39
A. Lokasi Penelitian ..........................................................................................39
B. Tipe Penelitian ...............................................................................................39

xi
C. Jenis dan Sumber Data ..................................................................................40
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................41
E. Teknik Analisis Data .....................................................................................41
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................45
A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penyerobotan Tanah dalam Putusan
Nomor 315/Pid.B/2020/PN.Mks. .................................................................45
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Nomor
315/Pid.B/2020/PN. Mks. .............................................................................59
BAB V PENUTUP ..............................................................................................62
A. Kesimpulan ...................................................................................................62
B. Saran .............................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................64

LAMPIRAN .......................................................................................................66

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota Makassar merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kota

Makassar merupakan kota metropolitan terbesar di kawasan Indonesia Timur.

Kota Makassar terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi dan berbatasan

langsung dengan Selat Makassar di sebelah barat, Kabupaten Kepulauan

Pangkajene di sebelah utara, Kabupaten Maros di sebelah timur dan Kabupaten

Gowa di sebelah Selatan. Kota Makassar merupakan ibu kota provinsi dengan

luas wilayah 157,77 km2 dan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa dan berada

di urutan kota kelima terbesar Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. 1

Degan luas wilayah dan jumlah penduduk yang cukup banyak Kota

Makassar menjadi salah satu kota yang rentan terhadap kasus-kasus tindak pidana

yang terjadi karena unsur kesengajaan dan unsur menguntungkan diri sendiri

dengan merampas hak milik orang lain. Kasus-kasus tersebut telah banyak terjadi

baik di kota besar maupun di kota kecil. Makassar merupakan salah satu kota

yang tudak luput dari jeratan kasus-kasus penyerobotan tanah.

Berbicara tentang perilaku masyarakat sudah pasti ada beberapa perilaku

yang menyimpang dari berbagai macam lapisan masyarakat yang ada, dari

penyimpangan perilaku tersebutlah ada juga masyarakat lainnya yang akan

menjadi korban dan mengalami kerugian dari perilaku menyimpang tersebut.

Salah satu contoh objek yang sering menjadi objek permasalahan yaitu tanah,

1
Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Makassar, pada 7
Juni 2020, Pukul 13.00 WITA.

1
tanah sering dijumpai menjadi objek dalam Hukum Perdata dan Pidana di

Indoneisa, mulai dari pemalsuan akta tanah, sengketa tanah, penyerobotan tanah,

dan lain-lain.

Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia.

Kata penyerobotan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau

harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan

aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan

haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang

melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana.

Hal diatas dapat terjadi karena tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang

Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Oleh sebab itu tanah menjadi

kebutuhan dasar manusia, sejak lahir sampai meninggal dunia. Bahwa manusia

membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Secara

kosmologis, tanah adalah tempat manusia berasal, tempat manusia tinggal, tempat

manusia untuk bekerja, tempat manusia hidup, dan tempat manusia akan pergi.

Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik, dan

ekologis.2

Sebagaimana diketahui hukum memiliki sifat mengikat dan memaksa telah

menjadi instrument dasar masyakat untuk dipatuhi, salah satu contoh sifat

memaksa yang ada pada sistem hukum di Indonesia terdapat pada Undang-undang

No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang Kemudian disebut

dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2
Ibid.,

2
Dari uraian di atas, menunjukkan cukup banyak alternatif penerapan

sanksi pidana terhadap perbuatan penyerobotan tanah secara melawan hukum.

Pasal-pasal hukum pidana tersebut dapat digunakan oleh penyidik tergantung pada

perbuatan mana yang secara tepat memenuhi unsur- unsur pasal hukum pidana

yang dilanggar.

Apabila dalam penyelidikan maupun penyidikan oleh penyidik ditemukan

adanya perbuatan disengaja yang dilakukan oleh orang yang melakukan

penyerobotan atas tanah milik orang lain, maka oleh Penyidik langsung

menetapkan orang tersebut sebagai tersangka sebagaimana dimaksud dari Pasal

167 KUHPidana yang selanjutnya dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Apabila ternyata penyerobotan tanah tersebut dilakukan oleh tersangka dengan

maksud menguasai kemudian menjual atau menukarkan, kepada pihak lain, maka

si tersangka (penyerobot) oleh penyidik dikenakan Pasal 385 ayat (1) Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman pidana paling lama

empat tahun, dimana: dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, menjual, menentukan atau membebani dengan

credietcerband suatu hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa

orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atasnya.

Saat ini banyak terjadi permasalahan tindak pidana penyerobotan tanah

sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (1) KUHP dan Pasal 385 KUHP yang

mana kedua pasal tersebut membahas tentang tindak pidana penyerobotan tanah,

masyarakat awam sering kali melakukan kesalahan tanpa berfikir panjang bahwa

mereka lakukan adalah suatu hal yang melanggar hukum, Menurut Penulis,

3
walaupun tanah adalah suatu Investasi yang sangat berharga untuk kehidupan

manusia tetapi mengenai permasalahan terkait tanah juga tidak sedikit dijumpai.

Salah satu identitas dari suatu negara hukum adalah memberikan jaminan

dan perlindungan hukum atas hak-hak warga negaranya. Sebagaimana diketahui

tujuan hukum ialah ketertiban, keadilan dan kepastian hukum termasuk di

dalamnya perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah.3 Dalam kehidupan

manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari sebagal perbuatan manusia,

sebab tanah merupakan tempat untuk manusia untuk beraktifitas.4

Salah satu contoh kasus yang terjadi di kota metropolitan ini ialah kasus

penyerobotan tanah yang dilakukan oleh terdakwa Hj. Heria yang mana

penyerobotan tanah yang dimaksud ialah dimana terdakwa Hj. Heria membangun

Ruko di sebagian luas tanah milik orang lain yaitu milik saksi Irawan Sumarno

yang telah dipasangkan patok kayu dan memiliki sertifikat hak milik No.

21580/Sudiang Surat ukur No. 00135 tanggal 03 Maret 2000 dengan cara

memaksa masuk ke pekarangan tanah milik saksi Irawan Sumarno yang telah

dipasangkan patok kayu dan Irawan Sumarno juga telah memberikan somasi

kepada Terdakwa Hj. Heria untuk segera meninggalkan lokasi tersebut namun

terdakwa Hj. Heria tidak meninggalkan lokasi tanah milik saksi Irawan Sumarno

tersebut.

Tindakan tersebut sebagaimana diuraikan di atas, dianggap mengambil hak

atau harta orang lain dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan

3
Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.131.
4
Bernhard Limbong, 2012, Konflik Pertanahan. Pustaka Margaretha, Jakarta, hlm. 1–2.

4
hukum dan aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan

merupakan haknya. Memaksa masuk ke pekarangan atau tanah milik orang lain

dengan tidak mengindahkan hukum adalah berupa tindak pidana penyerobotan

tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP, yang rumusannya

ialah :

Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke


dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh
orang lain, atau sedang ada di situ dengan tidak ada haknya, tidak dengan
segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas
nama orang yang berhak, dihukum penjara selamalamanya sembilan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.

Sebagaimana rumusan Pasal 167 ayat (1) yang menyatakan kasus tersebut

merupakan tindakan penyerobotan Tanah, akan tetapi terhadap kasus tersebut

terdakwa Hj. Heria dijatuhi Putusan Onslag (Putusan lepas) karena kasus tersebut

dianggap bukan merupakan Tindak Pidana.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dalam bentuk skripsi dengan mengangkat judul “Analisis Juridis Tindak Pidana

Penyerobotan Tanah di Kota Makassar” karena penulis menganggap bahwa

terkait tindak pidana peyerobotan tanah ini perlu untuk diperhatikan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang belaku.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah unsur-unsur tindak pidana Penyerobotan tanah terbukti dalam

Putusan Nomor 315/Pid. B/2020/Pn. Mks?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor

315/Pid. B/2020/Pn. Mks?

5
C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana penyerobotan tanah dalam

hukum pidana.

2. Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana yang terbukti dalam Putusan

Nomor 315/Pid. B/2020/Pn. Mks.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini merupakan upaya untuk memperluas keilmuan hukum

pidana, utamanya dalam hal penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana

penyerobotan tanah. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi

peneliti selanjutnya serta menjadi referensi untuk pengembangan keterampilan

penulisan karya ilmiah kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan yang konstruktif kepada pihak yang terkait dalam perkembangan hukum

pidana serta berguna secara praktis bagi para penegak hukum dalam

menyelesaikan perkara pidana khususnya dalam perkara tindak pidana

penyerobotan tanah.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan

tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat

undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana

merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu

hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwaperistiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana,

sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan

dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.5

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian

dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam

memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana

mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam

lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang

bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
5
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset
Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 18. Tindak Pidana ialah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek

7
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.6 Jadi berdasarkan

pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah

bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan

yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang

dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan

tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi

pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan

kejadian tersebut.

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi

pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung

jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu

mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan

pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas

yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya

ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine

praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu),

ucapan ini berasal dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.7

Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:8

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu

terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.


6
Kartonegoro, 2013, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 62.
7
Ibid.,
8
Ibid., hlm. 63.

8
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang

dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk

adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang

menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa

kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan

sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan

terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan

suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas perbuatannya

tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang

telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa

telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka

dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang

mengaturnya.9

Tindak Pidana ialah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai

hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek tindak

pidana”. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana ialah

seorang manusia sebagai oknum.10 Faktor penegak hukum merupakan pihak-pihak

yang membentuk maupun menerapkan hukum. Salah satu kunci dari keberhasilan

dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak

hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak

9
Ibid., hlm. 156.
10
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 59

9
hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan

diaktualisasikan.11

Menurut Moeljatno, bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.12 Sementara

itu Pompe membagi definisi tindak pidana menjadi 2 (dua) macam, yaitu ; 13

1) Definisi teoritis, yaitu pelanggaran norma (kaidah, tata hukum), yang

diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2) Definisi perundang-undangan, yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-

Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian

(nalaten), tidak berbuat, berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa

keadaan merupakan bagian suatu peristiwa.

Sementara menurut Komariah E. Sapardja, berpendapat bahwa tindak

pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi delik, melawan hukum,

dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.14 Sedangkan menurut Simons,

tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.15

Selanjutnya menurut Van Hammel, yang menjelaskan bahwa tindak pidana

11
Siti Zubaedah dan Nurwahidah Mansyur, “Analisis Pelaksanaan Elektronic Traffic Law
Enforcement dalam Upaya Penegakan Hukum Lalu Lintas (Studi Kasus Polrestabes Makassar)”,
Al-Amwal : Journal of Islamic Economic Law, September 2019, Vol. 4, No. 2, hlm. 172.
12
Adam Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 67-68.
13
Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 225.
14
Chairul Huda, 2013, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menjadi Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 27.
15
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 97.

10
adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan

yang melawan hukum yang memenuhi delik serta apabila dilakukan akan

mendapatkan sanksi pidana. Sanksi tersebut diharapkan akan memberikan efek

jera terhadap pelaku tindak pidana sehingga tujuan hukum dapat tercapai.

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan

menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum

guna menjamin penataan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan

menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiranpikiran badan pembuat

Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum) menjadi kenyataan.16

Penggolongan terhadap tindak pidana formil dan materil, didasarkan atas

cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undangundang. Apabila

tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana

(strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat

tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini

dikalangan ilmu pengetahun hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materiel

delict). Berbeda halnya dengan tindak pidana formal (formeel delict), pada tindak

pidana ini, perumusannya menyebutkan wujud dari suatu perbuatan tanpa

menyebutkan akibat yang disebabkan dari perbuatan itu.17

16
Safaruddin Harefa, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Indonesia Melaui Hukum
Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam”, UBELAJ, Volume 4 Number 1, April 2019, hlm.38
17
Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 35-36

11
Setelah membahas mengenai pengertian tindak pidana, maka dapat

dibahas mengenai unsur-unsur tindak pidana sebagai syarat pemidanaan. Setiap

tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP memiliki dua macam unsur, yakni

unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sementara unsur objektif adalah unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan mana tindakan

dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah antara lain, sebagai berikut: 18

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,

dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal

340 KUHP;

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah antara lain, sebagai berikut:

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

18
Lamintang, Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia,
PT. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 192.

12
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai

negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau

“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di

dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas, yakni hubungan

antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan

sebagai akibat.

Pemaparan para ahli tersebut dalam merumuskan suatu perbuatan yang

dapat dikategorikan tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang yang dapat bertanggungjawab, yang mana perbuatan tersebut adalah

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Itulah yang disebut sebagai asas

legalitas yang artinya tidak dapat seseorang itu dihukum jika perbuatannya

tersebut belum diatur dalam perundang-undangan. Perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang melanggar peraturan perundang-undangan haruslah memiliki unsur

kesalahan, baik itu kesengajaan (dolus) maupun kekhilafan (culpa). Sedangkan

unsur mampu bertanggungjawab artinya orang tersebut harus sudah dewasa dan

tidak mengalami gangguan mental.

Unsur secara istilah diartikan sebagai bestandeel dan element, kedua

istilah tersebut sama namun ada perbedaan prinsip antara keduanya. Element

dalam suatu tindak pidana mengandung arti unsur-unsur yang terdapat dalam

suatu tindak pidana baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan

bastendeel mengandung arti unsur tindak pidana yang secara expenssiv verbis

tertuang dalam suatu rumusan delik atau perbuatan pidana. Dengan kata lain

13
element tindak pidana meliputi unsur yang tertulis maupun unsur tidak tertulis,

sedangkan bestandeel hanya meliputi unsur yang tertulis saja.19

S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana, lebih jelasnya

Sianturi memberikan rumusan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada

tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan dapat

diancam dengan pidana oleh undang-undang yang bersifat melawan hukum, serta

dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab). 20

Setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-

unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya adalah segala

sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sementara yang dimaksud dengan

unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan dimana Tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.21

Menurut Adami Chazawi unsur-unsur tindak pidana terdiri dari 11 unsur yang

terdiri dari:22

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

19
P.A.F. Lamintang, 1990, Dassr-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 168.
20
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education & Pukap Indonesia,
Yogyakarta, hlm. 18-19.
21
Ibid.,hlm. 45.
22
Adami Chazawi, 2016, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 83-114

14
e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahan

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

i. Unsur objek hukum tindak pidana

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k. Unsur syarat tambahan memperingan pidana

Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Perbuatan

b. Yang dilarang oleh aturan hukum

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang

terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabpidanakan atas

tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum

untuk itu. Dilahat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya

seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawab-

pidanakan.23

Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana ialah antara lain, sebagai berikut:

1. Mampu bertanggung jawab;

2. kesalahan;

23
Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 75.

15
3. Tidak ada alasan pemaaf.

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan

sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.24

Terkait hal tersebut di atas, pemidanaan dan penuntutan adalah suatu hal yang

berkaitan, yang mana Penuntutan sebagaimana menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP,

bahwa “Penuntutan adalah tindakan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan

negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan”.25

B. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penyerobotan Tanah

Istilah menyerobot pada dasarnya banyak digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Menyerobot berasal dari kata serobot. Penyerobot adalaha orang yang

menyerobot, tukang serobot, sedangkan penyerobotan adalah proses, cara,

perbuatan menyerobot (kamus besar Bahasa Indonesia). Menyerobot dalam

perspektif hukumnya diarikan sebagai berikut:

a. Mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak

mengindahkan hukum dan aturan (seperti mencuri, merampas, menempati

tanah atau rumah orang lain yang bukan haknya).

b. Menyerang (melanggar, menubruk) secara nekat atau dengan diam- diam.

24
ibid., hlm 59.
25
Andi Sofyan dan Abdul Asis, Op.Cit., hlm. 169

16
c. Melakukan perbuatan (seperti masuk ke rumah orang tanpa izin,

menerobos tanah atau pekarangan tanpa izin yang berhak, dan

sebagainya).

Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia.

Kata penyerobotan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau

harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan

aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan

haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang

melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana.

Penyerobotan tanah bukanlah suatu hal yang baru dan terjadi di Indonesia.

Kata penyerobotan sendiri dapat diartikan dengan perbuatan mengambil hak atau

harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan

aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain, yang bukan merupakan

haknya. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan perbuatan yang

melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana.26

Tindak pidana penyerobotan tanah oleh seseorang atau sekelompok orang

terhadap tanah milik orang lain dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai

menduduki atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum,

melawan hak atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Karena itu,

perbuatan tersebut dapat digugat menurut hukum perdata ataupun dituntut

menurut hukum pidana.27

26
Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, hlm.70.
27
Ibid.,

17
Mengenai Larangan pemakaian Tanah tanpa izin di atur dalam PERPU

Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin Yang

Berhak Atau Kuasanya, Pasal 2 dirumuskan bahwa “Dilarang memakai tanah

tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah”. 28 Aturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah

Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menyatakan bahwa pemakaian tanah

tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan hukuman pidana. (Pasal 2 dan Pasal 6). Kedua pasal tersebut

berbunyi sebagai berikut :

1. Pasal 2 berbunyi :

Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah.

Unsur Pasal 2 ini adalah :

a. Memakai tanah tanpa izin

b. Tanpa izin yang berhak

2. Pasal 6 berbunyi :

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan


Pasal 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selamalamanya 3
(tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah);

1) barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah,
dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah perkebunan dan hutan
dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut Pasal 5 ayat (1);
2) arangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam
menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
3) barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan
lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2
atau sub b dari ayat (1) pasal ini;

28
PERPU Nomor 51 Tahun 1960

18
4) barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan
perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;

Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri

Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5

dapat memuat ancaman pidana dengan kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan

dan/atau denda sebanyak-banyakrrya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) terhadap siapa

yang melanggar atau tidak memenuhinya.Tindak pidana tersebut dalam pasal ini

adalah pelanggaran. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1) Barangsiapa

2) Memakai tanpa izin

3) Mengenai tanah perkebunan

4) Haknya atas suatu bidang tanah

5) Memberi bantuan dengan cara apapun

Tindak pidana penyerobotan tanah di atur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), antara lain sebagai berikut :

a. Pasal 167 ayat (1) KUHP :

Barangsiapa dengan melawan hak orang lain masuk dengan memaksa ke


dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai
orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan
segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas
nama orang yang berhak dihukum penjara selama- lamanya 9 bulan, atau
denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,-“

Unsur-unsur dari tindak pidana Pasal 167 ayat (1) KUH Pidana, yaitu:

1) Barangsiapa. Barangsiapa adalah subjek tindak pidana, di mana dalam sitem

KUHPidana sekarang ini yang dapat menjadi subjek tindak pidana hanyalah

manusia saja, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek tindak pidana.

19
Berbeda halnya dengan tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang di

luar KUH Pidana, di mana ada yang sudah mengakui korporasi sebagai subjek

tindak pidana, misalnya dalam tindak pidana korupsi.

2) Memaksa masuk. Mengenai pengertian dari kata-kata “memaksa masuk”

diberikan uraian penjelasan oleh S.R. Sianturi bahwa, Yang dimaksud dengan

memaksa masuk ialah memasuki (suatu rumah dan sebagainya) bertentangan

dengan kehendak dari orang lain sipemakai yang sekaligus merupakan sipehak

(yang berhak). Kehendak itu dapat diutarakan/diucapkan dengan lisan ataupun

dengan tulisan bahkan dengan isyarat atau tanda yang sudah lazim dapat

dimengerti bahkan juga secara diam-diam. Dalam hal ini apabila pintu dari

suatu rumah terbuka lebar, tidak berarti bahwa siapa saja dapat memasuki

rumah tersebut, namun apabila ada orang lain memasukinya,dalam praktek

hukum tidak dipandang sebagai memaksa memasuki. Jika pintu itu tertutup

tetapi tidak dikunci, lalu ada orang lain membuka dan memasukinya tanpa

mengucapkan salam, pada umumnya dipandang sebagai memaksa masuk,

terutama jika penghuni rumah itu sedang tidak berada di rumah, misalnya

bertandang di rumah tetangga. Namun apabila si pIhak itu setelah ia pulang

dan melihat kehadiran orang lain itu di rumahnya, dan ia tidak meminta supaya

orang lain itu segera pergi, maka berarti secara diam-diam telah disetujui

kehadiran tersebut dengan demikian bersifat melawan hukum dari tindakan

orang lain tersebut terhapus.29

29
Haezer M. M. Tumilaar, ”Tindak Pidana Memasuki Rumah, Ruangan, Pekarangan Berdasarkan
Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Lex Crimen Vol. VIII/No. 1/Jan/2018,
hlm.7

20
3) Ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain

dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum. Dari

unsur ini terlihat bahwa ada dua macam tujuan dari memaksa masuk, yaitu (a)

ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oranglain

dengan melawan hukum; atau (b) berada di situ dengan melawan hukum.30

Tindak pidana penyerobotan tanah jika dilihat dari segi waktunya

dibedakan menjadi dua, yaitu pada waktu perolehan dan pada waktu mengakui

tanpa hak. Sehubungan dengan itu sekalipun seseorang disangka benar telah

melakukan suatu tindak pidana penyerobotan tanah, akan tetapi hal itu bukan

merupakan jaminan bahwa pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman, atau dengan

kata lain tidak setiap orang yang melakukan kesalahan dapat dihukum sebelum

benarbenar dinyatakan telah memenuhi segala syarat-syarat yang ditentukan

dalam undang-undang.

Atas dasar itulah P.A.F. Lamintang mengatakan bahwa orang pelaku

tindak pidana adalah Tidak cukup apabila disitu hanya terdapat suatu

strafbaarfeit, melainkan harus juga strafbaar persoon atau seseorang yang dapat

dihukum apabila strafbaarfeit yang dilakukan itu tidak bersifat wederchttelijk dan

telah dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja.31

Seseorang untuk dapat dipidana adalah harus memenuhi unsur-unsur yang

ada dalam tindak pidana. Tindak pidana penyeroboton tanah yang terdapat dalam

KUHP pada dasarnya memuat unsur-unsur sebagai berikut:

30
Ibid., hlm. 28
31
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, hlm. 174.

21
a. Pada Waktu Perolehan

Tindak pidana ini pada waktu perolehan berlandasan pada adanya tindak

pidana penipuan yang diatur pada Pasal 385 KUHP, yang diberi kualifikasi

sebagai stelionat atau dapat disebut penipuan yang berhubungan hak atas tanah.

Ketentuan pidana pada pasal ini bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang

dimiliki oleh penduduk asli berdasarkan hukum adat, ataupun atas bangunan-

bangunan atau tanaman-tanaman yang terdapat di atas tanah. Pasal 385 KUHP,

pada pasal ini tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1) Unsur Subyektif

Dengan Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dengan

melawan hukum. Dengan maksud di sini memperlihatkan kehendak dari sipelaku

untuk menguntungkan diri sendiri dan di lain pihak memperlihatkan pengetahuan

atau kesadaran sipelaku bahwa ia melakukan tindakan memaksa dan seterusnya.

Jadi dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum, berarti sipelaku mengetahui bahwa untuk menguntungkan diri

sendiri/orang lain tersebut adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan

hukum atau dengan hak orang lain. Kalau sipelaku tidak ada kehendak untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka pasal yang lebih tepat

diterapkan adalah Pasal 335. Bahkan jika sipelaku yakin atau mengira bahwa ia

berhak untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain (misalnya sipelaku yakin

bahwa bahwa barang itu adalah miliknya atau milik temannya yang baru saja

hilang), maka unsur ini tidak terpenuhi dan karenanya penerapan pasal ini tidak

tepat. Bahwa maksud sipelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri/orang

22
lain, harus terbukti. Tetapi apakah harus terbukti pula bahwa yang diperas itu

harus merasa dirugikan, tidak dipersoalkan. Namun jika yang diperas itu memang

merasa dirugikan, maka hal ini dapat digunakan untuk memperkuat maksud

sipelaku.32

Penggunaan istilah “dengan maksud” yang ditempatkan di awal

perumusan berfungsi rangkap, yaitu baik sebagai pengganti dari kesengajaan

maupun sebagai pernyataan tujuan. Sebagai unsur sengaja, maka sipelaku

menyadari/menghendaki suatu keuntungan untuk diri sendiri/orang lain. Bahkan

dia juga menyadari ketidakberhakannya atau suatu keuntungan tersebut.

Menyadari pula bahwa sarana yang digunakan adalah suatu kebohongan atau

merupakan alat untuk memberdayakan, demikian juga ia harus menyadari tentang

tindakannya yang berupa menggerakkan tersebut. Dalam fungsinya sebagai

tujuan, berarti tidak harus selalu menjadi kenyataan keuntungan yang diharapkan

itu. Yang penting ialah, adakah ia pada waktu itu mengharapkan suatu

keuntungan. Bahwa mungkin yang sebaliknya yang terjadi, misalnya sesuatu

barang yang diberikan itu kemudian mengakibatkan bencana bagi sipelaku/orang

lain, tidak dipersoalkan.33

Diketahui tanah tersebut ada orang lain yang lebih berhak; Kejahatan-

kejahatan tersebut didalam pasal ini biasa disebut kejahatan Stellionat, yang

berarti “penggelapan hak atas barangbarang yang tidak bergerak” (onroerende

goederen), misalnya : tanah, sawah, gedung, dll. Supaya dapat dikenakan pasal

32
Ibid.,
33
Ibid.,

23
ini, maka terdakwa harus telah nyata berbuat hal mengetahui, bahwa yang berhak

atau ikut berhak disitu adalah orang lain.34

Tidak memberitahukan kepada orang lain bahwa tanah tersebut telah

dijadikan tanah tanggungan utang atau telah digadaikan. Unsur ini lebih

menekankan pada kegiatan menjual, menukar atau membebani dengan suatu

pinjaman sebidang tanah (dengan hak menurut UUPA), bangunan dan sebagainya,

padahal tanah tersebut sebelumnya sudah dibebankan dengan suatu pinjaman.

Dengan perkataan lain terjadi dua kali pembebanan untuk sebidang tanah yang

sama.35

2) Unsur Obyektif

Barangsiapa, Sesuai dengan Pasal 9 UU No.5 Tahun 1960 (UUPA), maka

yang dimaksud dengan “barangsiapa” pada sub ayat ke (1) sampai dengan ke (6)

tersebut hanyalah warga negara Indonesia.

Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang

sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah dan partikelir; Pasal ini

dibuat pada tahun 1915 dan mulai berlaku tahun 1918, yang penerapannya

dikaitkan dengan perundangan di bidang agraria (pertanahan) dan perundangan di

bidang hukum dagang dan peminjaman uang. Beberapa perundangan yang

berkaitan dengan Suatu hak penggunaan sebidang tanah oleh rakyat Indonesia di

atas tanah-negara (landsdomein) atau tanah-partikulir (particuliere landerijen)

antara lain adalah :

a) Agrarische Wet (Stb.1870 No.55 jo Pasal 51 Stb.1925 No.447);

34
Ibid, hlm. 175
35
Ibid.,

24
b) Domeinverklaring (tersebut Pasal 1 Agrarisch Besluit Stb.1870 No.118) ;

c) Algemene Domeinverklaring (Stb.1875 No.119a) ;

d) Domeinverklaring lain-lainnya di luar Jawa ;

e) Peraturan-peraturan pelaksanaan K.B. 16 April 1872 No.29 Stb.1872

No.117;

f) Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai bumi dan sebagainya ;

g) Bepalingen betreffende het Credietverband (KB.6 Juli 1908 No.50, Stb.1908

No.542 jo 1909 No.568).

Peraturan-peraturan di atas telah dicabut dengan Undang-Undang Pokok

Agraria No.5 tahun 1960 (UUPA). Karenanya sebagai penyesuaiannya maka

perkataan Credietverband pada Pasal 385 ini harus dibaca sebagai “pinjaman” dari

Bank, sesuai dengan perundangan yang berlaku (termasuk perundangan hipotik).

Sedangkan kalimat suatu hak-penggunaan sebidang tanah oleh rakyat Indonesia di

atas tanah-negara (landsdomein) atau tanah partikulir harus dibaca sebagai “suatu

hak-penggunaan sebidang tanah” sebagaimana diatur dalam UUPA.

Menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain, Ketentuan ini adalah

untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk asli berdasarkan

Hukum Adat ataupun bangunanbangunan atau tanaman-tanaman di atas tanah

semacam itu. Sungguhpun benar, bahwa setelah berlakunya Undang-Undang

Pokok Agraria tahun 1960 para camat itu ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta

Tanah, sehingga seharusnya semua tindakan hukum yang menyangkut tanah itu

dilakukan di depan camat setempat, akan tetapi didalam praktek banyak terjadi,

bahwa hingga kinipun orang masih melakukan jual beli tanah di bawah tangan,

25
bahkan dengan disaksikan oleh para pamong desa, umumnya dengan alasan

“untuk sementara” sebelum menghadap camat untuk dilakukan jual beli secara

resmi.

Sebelum tahun 1960 memang tidak ada satu peraturan yang berlaku secara

umum di seluruh Indonesia tentang bagaimana orang Indonesia itu harus

memindah tangankan tanah milik adatnya secara sah dan karenanya cara tersebut

diserahkan kepada Hukum Adat setempat dan umumnya dilakukan didepan

Kepala Desa, walaupun cara itu sebenarnya adalah tidak diisyaratkan secara

mutlak. Setelah tahun 1960 sudah jelas jual beli tanah secara itu adalah tidak sah.

Di daerah pedalaman di desa-desa umumnya orang menganggap bahwa apa yang

disebut “girik”, “letter C” atau “surat pipil” itu adalah “bukti pemilikan tanah”

yang sah., padahal sesungguhnya adalah tidak demikian. Surat-surat semacam itu

hanyalah merupakan “tanda wajib pajak” dalam arti, bahwa orang yang namanya

disebutkan di dalam surat semacam itu adalah orang yang wajib membayar pajak

tanah. Ini tidak berarti bahwa orang yang membayar pajak itu adalah orang yang

mempunyai hak milik atas tanah yang pajak tanahnya ia bayar itu. 36

Menyewakan tanah buat suatu masa, sedang diketahuinya tanah tersebut

telah disewakan sebelumnya kepada orang lain. Unsur ini jauh lebih menunjukan

kegiatan menyewakan sebidang tanah (dengan hak menurut UUPA) untuk waktu

tertentu, padahal telah disewakan sebelumnya untuk waktu yang sama.

b. Pada Waktu Mengakui Tanpa Hak

36
P.A.F. Lamintang dan G. Djisman Samosir, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sinar Baru,
hlm. 240-241.

26
Delik pelanggaran terhadap hak kebebasan dan ketentraman. Kejahatan ini

dirumuskan dalam Pasal 167 KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. Unsur Subyektif

1) Melawan hukum

Yakni sebelum bertindak, ia sudah mengetahui atau sadar bahwa tindakannya

bertentangan dengan hukum seolah-olah mengakui miliknya sendiri.

2) Sengaja

Ia telah mengetahui bahwa perbutannnya bertentangan dengan kewajiban

hukumnya atau bertentangan dengan hak orang lain.

b. Unsur Obyektif

1) Dengan melawan hak masuk dengan paksa ke dalam rumah, ruangan

tertutup dan sebagainya. R. Soesilo mengatakan “masuk begitu saja” belum

berarti “masuk dengan paksa”. Yang artinya “masuk dengan paksa” ialah

“masuk dengan melawan kehendak yang dinyatakan lebih dahulu dari

orang yang berhak”.37

2) Dengan melawan hak berada di rumah, ruangan tertutup dan sebagainya,

tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang

berhak atau atas nama orang yang berhak. Pernyataan kehendak ini bisa

terjadi dengan jalan rupa-rupa, misalnya: dengan perkataan, dengan

perbuatan, dengan tanda tulisan “dilarang masuk” atau tanda-tanda lain

yang sama artinya dan dapat dimengerti oleh orang di daerah itu. Pintu

pagar atau pintu rumah yang hanya ditutup begitu saja itu belum berarti

bahwa orang tidak boleh masuk. Apabila pintu itu “dikunci” dengan kunci
37
Ibid., hlm. 145.

27
atau alat pengunci lain atau ditempel dengan tulisan “dilarang masuk”,

maka barulah berarti bahwa orang tidak boleh masuk di tempat tersebut.

Seorang penagih utang, penjual sayuran, pengemis dan lain-lain yang

masuk ke dalam pekarangan atau rumah orang yang tidak memakai tanda

“dilarang masuk” atau pintu yang dikunci itu belum berarti “masuk dengan

paksa” dan tidak dapat dihukum. Akan tetapi jika kemudian orang yang

berhak lalu menuntut supaya mereka itu pergi, mereka harus segera

meninggalkan tempat tersebut. Jika tuntutan itu diulangi sampai tiga kali

tidak pula diindahkan, maka mereka itu sudah dapat dihukum. Jadi jika

kehendak awal dari si pemilik rumah adalah memperbolehkan si pemegang

kunci masuk jika terjadi sesuatu dan tidak ada orang di rumah, maka selain

dari hal tersebut, si pemegang kunci tidak berhak untuk masuk ke dalam

rumah itu.38

Menurut R. Soesilo, pasal ini terkait dengan delik yang disebutnya

“huisvredebreuk” yaitu kejahatan terhadap kebebasan rumah tangga. Unsur-unsur

dari pasal di atas dapat dibagi dua yaitu:

1) Unsur Subyektif

Unsur subjektif adalah unsur yang menyangkut orang yang melakukan

tindak pidana. Dalam pasal ini meskipun tidak disebutkan kata-kata “sengaja

(dolus), atau lalai (culva), maka dapat ditafsirkan pada bahwa unsur kesalahan

dari orangnya adalah “sengaja”. Artinya harus bisa dibuktikan perbuatan yang

38
Ibid.,

28
dilakukan oleh subjek delik dilakukan dengan sengaja. Jika unsur sengaja tidak

ada maka, pasal ini tidak bisa digunakan.

2) Unsur Obyektif

Unsur objektif adalah unsur dari perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh subjek hukum. Dalam pasal ini ada beberapa unsur yaitu :

memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain, cara masuknya harus dengan

unsur paksaan. Paksaan merupakan unsur mutlak dari pasal ini, jika seorang

memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain tanpa paksaan, maka pasal ini

tidak bisa digunakan. Paksaan dapat diartikan perbuatan itu dilakukan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan misalnya dengan merusak,

mematahkan, atau memalsukan kunci. Ancaman misalnya dilakukan dengan

katakata yang kasar, kata- kata dibarengi mengacung-acungkan senjata, atau

sesuatu benda yang bisa mengancam tubuh dan nyawa seseorang.

b. Pasal 385 KUHP

Dakwaan Alternatif Kedua Adalah Pasal 385 ayat (4) KUHP. Kejahatan

Yang Diatur Dalam Pasal 385 Ini Adalah Kejahatan Yang Disebut Dengan

Kejahatan “Stellionnaat” Yang Berarti Penggelapan Hak atas Barang-Barang

Yang Tidak Bergerak (Onroerende Goederen), Misalnya Tanah, Sawah, Gedung,

Rumah Dan Lain-Lain. Yang ancaman dengan pidana penjara paling lama empat

tahun :

1) Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain


secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan
crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu gedung,
bangunan, penanaman atau pemberihan, padahal diketahui bahwa yang
mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain:

29
2) Barangsiapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan, atau
membebani dengan crediet verband, sesuatu hak tanah Indonesia yang
telah dibeban crediet verband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman
atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa
memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak lain;
3) Barangsiapa dengan maksud yang sama mengadakan crediet verband
mengenai sesuatu hak tanah Indonesia, dengan menyembunyikan kepada
pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah
digadaikan;
4) Barangsiapa dengan maksud yang sama mengadaikan atau menyewakan
tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang
mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu;
5) Barangsiapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah
dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan
kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah digadaikan;
6) Barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah
dengan hak Indonesia untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah
itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga.
pasal ini memiliki dua unsur penting yaitu unsur subjektif dan unsur

objektif. unsur subjektifnya adalah “dengan maksud” sedangkan unsur

objektifnya adalah perbuatan menguasai tanah/bangunan atau benda tidak

bergerak lainnya, lalu menggadaikannya atau menyewakkannya. jika menilik dari

dari kedua unsur ini, maka dapat disimpulkan bahwa delik yang diatur dalam

pasal 385 ayat (4) kuhp ini adalah delik-delik yang ditujukan pada makelar tanah

yang kemudian menyewakan atau menggadaikan tanah-tanah tersebut kepada

pihak ketiga. pasal ini menghendaki adanya dua perbuatan yang dilakukan agar

unsur objektif terpenuhi yaitu perbuatan menguasai tanah dan yang kedua setelah

tanah dikuasai selanjutnya digadaikan atau disewakan. sementara itu, dari unsur

subjektif, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja, artinya ada

kehendak jahat untuk menguasai tanah/bangunan.

30
C. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Kebebasan hakim dalam memeriksan dan mengadili suatu perkara

merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh

semua pihak tanpa kesuali, sehingga tidak ada satupun pihak yang dapat

mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. 39 Hakim dalam

menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang

berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan

yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya

serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.

Menurut Arkanzie, ada beberapa pendekatan atau teori yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu sebagai berikut :40

1) Teori Keseimbangan

Keseimbangan disini adalah antara syarat-syarat yang ditentukan oleh

undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan

dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan

dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan

korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.Dalam praktik

peradilan pidana, kepentingan korban saat ini belum mendapat perhatian yang

cukup, kecuali antara lain dalam perkara-perkara korupsi, perlindungan

konsumen, lingkungan hidup. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam

39
Setiady, Tolib, 2010, Pokok-pokok Hukum Panitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hlm. 21-22.
40
Mackenzie, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 105-106.

31
memberikan pertimbangan pada kepentingan korban, karena baik dalam

hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, tidak ada ketentuan atau

tidak cukup diatur mengenai perlindungan terhadap korban, hal itu adalah atas

inisiatif sendiri dan bukan sebagai bagian dari proses perkara.Dalam praktik,

ada dua cara melindungi kepentingan korban, yaitu yang pertama, melakukan

gugatan keperdataan atas dasar perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad), dan yang kedua, melakukan perdamaian dengan pelaku

atau semata-mata karena uluran tangan pelaku. Salah satu penyebab tidak ada

tempat bagi kepentingan korban, karena perkara pidana semata-mata dianggap

sebagai perkara antara negara melawan pelaku dan korban bukan merupakan

bagian, apalagi sebagai pihak dalam perkara pidana.

2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan hukuman oleh hakim merupakan kewenangan dari hakim.

Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan

keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam

perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu

penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau

Penuntut Umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh

hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh hakim dalam

penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh Instink atau Intuisi dari pada

pengetahuan dari hakim.

Dalam praktik peradilan, kadangkala teori ini dipergunakan hakim dimana

pertimbangan akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dalam perkara

32
pidana atau pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan

dalam perkara perdata, di samping dengan minimum 2 (dua) alat bukti, harus

ditambah dengan keyakinan hakim. Akan tetapi, kayakinan hakim adakalanya

sangat bersifat subjektif, yang hanya didasarkan pada Instink atau naluri hakim

saja. Padahal hakim sebagaimana manusia biasa pada umumnya, dipengaruhi

oleh keadaan jasmani dan rohani yang kadangkala menempatkan Instink atau

naluri hakim menjadi sesuatu yang tidak benar, sehingga dikuatirkan terjadi

kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut,

sehingga akan menjadi putusan yang salah atau yang sesat, yang dapat

menimbulkan polemik yang berkepanjangan dalam masyarakat, yang pada

akhirnya putusan tersebut akan banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Oleh karena itulah, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini,

yang hanya mengandalkan pada seni dan Intuisi semata dari hakim sendiri .

3) Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena

dengan pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim dapat mengetahui

bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana,

yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat, ataupun dampak

yang ditimbulkan dalam putusan perkara perdata yang berkaitan pula dengan

pihak-pihak yang berperkara dan juga masyarakat. Semakin banyak “jam

terbang” dari seorang hakim, seharusnya secara teori semakin akan sangat

berhati-hati sekali hakim tersebut memberikan pertimbangan atas suatu

33
perkara. Perjalanan tugas dari seorang hakim, sebagaiman yang berlaku di

Indonesia, biasanya dimulai sejak hakim tersebut menjadi seorang calon hakim

(cakim) yang diberi tugas untuk mempelajari mengenai cara-cara dan prosedur

persidangan yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum materiil maupun

hukum formil karena penguasaan hukum materil dan hukum acara yang baik,

akan sangat membantu jika saat kelak ia menjadi hakim.

4) Teori Pendekatan Hukum

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam

kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin

konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-

mata atas dasar intuisi atau Instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu

pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi

suatu perkara yang harus diputuskannya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk

menguasai berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan hukum

maupun ilmu pengetahuan yang lain, sehingga putusan yang dijatuhkannya

tersebut, dapat dipertanggung jawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan

diputuskan oleh hakim. Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai

berbagai teori-teori dalam ilmu hukum, ataupun sekedar pengetahuan yang

lainnya, sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Untuk

itu, hakim dituntut untuk terus belajar dan belajar ilmu pengetahuan yang

34
berkaitan dengan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan yang lain pada

umumnya.

5) Teori Racio Decidendi

Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang

mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok

perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan

yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum

dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada

motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi

para pihak yang berperkara.

6) Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana

sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di

pengadilan anak. Landasan dari teori kebijaksanaan ini menekankan rasa cinta

terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus

ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua, ikut bertanggung jawab untuk

membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat

menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan, yaitu yang pertama, sebagai

upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, yang kedua,

sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak

pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas antara keluarga dengan

35
masyarakat dalam rangka membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak

pidana anak, dan yang keempat, sebagai pencegahan umum dan khusus.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara

merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh

semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat

menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam

menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang

berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan 17

kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan

rasa keadilan masyarakat.

Dalam memutus suatu perkara hakim memiliki 2 kategori yang menjadi

pertimbangannya. Yaitu pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan

pertimbangan hakim yang bersifat non-yuridis.41

1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

a. Dakwaan penuntut umum, dakwaan tersebut hanya dibuat dalam bentuk

surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana dan ditarik dari hasil

pemeriksaan penyidikan dan merupakan landasan atau pedoman untuk

hakim dalam memeriksa saat persidangan.

b. Tuntutan pidana, Surat tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum

yang telah disesuaikan dengan dakwaan jaksa penuntut umum dengan

melihat bukti dalam persidangan dan penuntut umum menjelaskan satu

41
Zainal Abidin Farid, 2014, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 85.

36
persatu unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

disertai dengan alasannya.

c. Keterangan saksi merupakan keterangan mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengan sendiri, melihat, mengalami yang harus disampaikan dalam

sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

d. Keterangan terdakwa, Keterangan terdakwa meliputi keterangan yang

berisi subuah penolakan dan keterangan berisi pengakuan atau semua yang

didakwakan kepadanya.

e. Barang bukti, ialah barang yang dipergunakan terdakwa untuk melakukan

tindak pidana. Adanya barang bukti dapat memperkuat keterangan saksi,

keterangan ahli, keterangan terdakwa untuk menitikberatkan kesalahan

terdakwa.

f. Pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana, hal yang harus

dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah peraturan perundang-

undangan yang menjadi dasar pemidanaan42

2. Pertimbangan yang Bersifat Sosiologis

Pertimbangan yang bersifat non-yuridis ini membuat hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana berdasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan

memperhatikan secara seksama bahwa pidana yang dijatuhkan tersebut memiliki

manfaat bagi masyarakat.43 Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim dan hakim

42
Ibid.,
43
Ibid., hlm. 86.

37
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Contoh: Pelaku pada tindak pidana pencurian, yang mana pelaku

melakukan tindak pidana pencurian dengan maksud ingin memenuhi kebutuhan

anaknya yang sedang kelaparan dan membutuhkan makanan tetapi pelaku terbatas

kendala ekonomi, jadi pelaku melakukan aksinya dengan melakukan tindak

pidana pencurian di sebuah swalayan agar anaknya tidak kelaparan lagi.

Kemudian atas kejadian tersebut pelaku menjadi tersangka dalam kasus tindak

pidana pencurian, selanjutnya hakim dapat meringankan putusan dengan

pertimbangan sosiologis yang ada.44

44
Ibid.,

38
BAB III

METODE PENELTIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang tepat dalam penyusunan

penelitian ini, maka penulis akan melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Kota

Makasar dalam rangka memeroleh informasi mengenai data yang dibutuhkan

dalam penelitian ini. Dengan melakukan penelitian di lokasi ini penulis berharap

dapat memperoleh data yang akurat sehingga dapat memperoleh hasil penelitian

yang objektif yang berkaitan dengan objek penelitian. Adapun pertimbangan

dipilihnya lokasi penelitian tersebut karena sesuai dengan tujuan penulisan skripsi

ini.

B. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah penelitian

kualitatif. Dimana Metode penelitian kualitatif marupakan prosedur penelitian

yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari

informan penelitian dan perilaku obyek penelitian yang di amati. Dalam penelitian

ini tidak ada perlakuan yang di tambahkan atau di kurangi dalam perolehan data di

lapangan,penelitian ini menggabarkan suatu gejala, kondisi dan sifat situasi secara

apa adanya menipulasi pada waktu penyelidikan lapangan di lakukan. Tujuan

penelitian ini adalah melukiskan variable atau kondisi obyek yang di amati secara

apa adanya tampa adanya manipulasi.

39
C. Jenis dan Sumber Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini akan diperoleh dan digunakan tiga jenis data,

sebagai berikut:

1) Data Primer yaitu data empirik yang diperoleh dan dikumpulkan secara

langsung dari responden dan narasumber di tempat atau lokasi penelitian, yang

diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung dengan narasumber

yaitu Doddy Hendra Sakti, S.H., M.H Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Makassar, Ipda Dodo Widarda, S.E Kasubnit II Unit Tahban.

Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain

terdiri dari :

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana


2) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
3) PERPU Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa
izin Yang Berhak Atau Kuasanya
4) Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1956 Tentang Acara Pengadilan Yang
Berlaku di Indonesia
5) PERMA No.2 Tahun 2012 Tentang penyesuaian batasan tindak pidana
ringan dan jumlah denda dalam KUHP
6) Surat Edaran MA Nomor 4 tahun 1980
7) Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No B-230/ E/ Ejp/ 01/ 2013
perihal penanganan perkara tindak pidana umum yang objeknya berupa
tanah

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran dan penelahan

studi pustaka mengenai putusan lepas dari segala tuntutan dalam tindak pidana

penyerobotan tanah.

3) Data Tersier, yaitu data penunjang dari kedua data di atas yakni data primer

dan data sekunder. Data ini diperoleh melalui kamus, insiklopedia dan lain

sebagainya yang masih ada keterkaitan dengan masalah yang diteliti.

40
D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu di lakukan dengan

pendekatan undang-undang. Penulis mencari peraturang perundang-undangan

yang berkaitan dengan penyerobotan tanah. Penulis juga melakukan satdi

dokumen, seperti putusan pengadilan dan surat edaran mahkamah agung (SEMA).

Kemudian dilakukan studi kepustakaan, studi melakukan, penulis melakukan

penulusuran terkait buku-buku, jurnar, dan artikel hukum, serta literatur yang

berkaitan dengan penelitian ini.serta melakukan wawancaara kepada hakim dan

penyidik guna mengetahui secara konseptual.

E. Teknik Analisis Data

Bahan-bahan hukum tersebut dianalisa menggunakan pendekatan kualitatif

konseptual yang menggabungkan tiga pendekatan yaitu; pendekatan undang-

undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Sehingga dapat melahirkan

penafsiran dan kesimpulan yang dapat digunakan untuk menjawab segala rumusan

masalah yang ada.

41
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penyerobotan Tanah dalam Putusan Nomor

315/Pid.B/2020/PN. Mks

1. Posisi Kasus

Terkait tindak pidana penyerobotan tanah dalam putusan Nomor 315/Pid.

B/2020/PN yang perkaranya adalah sebagai berikut:

Sekitar tahun 2000 Hj. Heria yang usia 57 tahun Agama islam pekerjaan

wiraswasta membeli tanah di H. Anwar Rauf di Jalan Goa Ria Kelurahan Sudiang

Kecematan Biringkanaya Kota Makassar yang luas 200 m2 (Dua Ratus Meter

Persegi) yang memiliki Sertifikat Hak Milik N0.22419/ Kelurahan Sudiang

dengan Akta Jual Beli No.673/JB/VII/2000 dan membangun rumah di tanah

tersebut sekitar tahun 2014. Dan pada tanggal 03 maret dan tanggal 15 oktober

2014 Hj. Heria di peringatkan untuk meninggalkan lokasi tersebut di karenakan

tanah yang di tempati Hj. Heria adalah milik Kolonel Polisi Drs. Irawan Sumarno

yang saat ini berdomisili Jakarta yang di mana Drs. Irawan Sumarno juga pernah

membeli tanah di H.Anwar Rauf pada tahun 2000 di Jalan Goa Ria Kelurahan

Sudiang Kecematan Biringkanaya Kota Makassar yang luas 200 m2 (Dua Ratus

Meter Persegi) yang pada saat itu juga sudah di pasangkan patok kayu oleh Drs.

Irawan Sumarno, dan juga memiliki Sertifikat Hak Milik No.21580/ Kelurahan

Sudiang dengan Akta Jual Beli No. 574/JB/VI/2000.

42
Pada waktu dan tempat di atas Hj. Heria yang menempati lokasi milik Drs.

Irawan Sumarno sudah di peringatkan untuk meninggalkan lokasi tersebut, namun

sampai sekarang Hj. Heria belum keluar dan meninggalkan lokasi tersebut

sehingga Drs. Irawan Sumarno mengalami kerugian lebih sebesar Rp.400.000.000

(empat ratus juta rupiah).

2. Dakwaan Penuntu Umum

Berdasarkan perbuatan terdakwa Hj. Heria di dakwa oleh jaksa penuntut

umum dengan dakwaan tunggal yang melakukan penyerobotan tanah

sebagaimana diatur dalam pasal 167 Ayat (1) KUHP. yaitu memaksa masuk

kedalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup milik orang lain dan atas

suruhan korban, terdakwa tidak pergi segerah. Akibat perbuatan terdakwa Hj.

Heria maka Drs. Irawan Sumarno kesulitan untuk mendapatkan serta menguasai

atau mengelola lokasi miliknya.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Mengenai tuntutan jaksa penuntut umum terhadap tindak pidana

penyerobotan tanah yang di lakukan Hj. Heria, maka penuntut umum mengajukan

kepada hakim Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksa dan mengadili

perkara ini agar memutuskan antara lain sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Hj. Heria telah terbukti bersalah memaksa masuk

ke dalam, rumah ruangan atau pekarangan tertutup yang di pakai orang

lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan

hukum, dan atas permintaan yang berhak atas suruhanya tidak pergi

43
dengan segera,sebagaimana di maksud dalam pasal 167 Ayat (1) KUHP

dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Hj. Heria selama 6

(enam) bulan dengan perintah terdakwa di tahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa :

- 1 (satu) rangkap fc legalisir SHM No. 22419 an.Hj. Heria

- 1 (satu) lbr rangkap fc legalisir surat izin IMB

- 1 (satu) rangkap fc legalisir SHM No.21580 an. Drs. Irawan

Sumarno (terlampir dalam berkas perkara)

4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.2500

(dua ribu lima ratus rupiah)

4. Pertimbangan Hakim

Dalam kasus tersebut hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan

keterangan para saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang

bukti, diperoleh fakta-fakta hukum bahwa terdakwa dilaporkan oleh saksi Hj.

Muliaty yang diberikan kuasa oleh Irawan Sumarno atas penyerobotan tanah milik

Irawan Sumarno yang terletak di Jalan Goa Ria Kel.Sudiang Kec.Biringkanaya

Kota Makassar sekitar tahun 2014.

Kemudian hakim mempertimbangkan mengenai lokasi tanah milik Irawan

Sumarno yang saat ini dikuasai oleh terdakwa dan benar bahwa Irawan Sumarno

memperoleh tanah dari H. Anwar Rauf berdasarkan Akta Jual Beli

No.574/JB/VI/2000 tanggal 12 Juni 2000 yang dibuat oleh Susanto Wibisono,SH.

44
dan sudah bersertifikat berdasarkan Sertifikat Hak Milik No.21580/Sudiang surat

ukur No.00135 tanggal 03 maret 2000.

Majelis hakim juga memberi pertimbangan bahwa Irawan Sumarno sebagai

saksi korban belum pernah ketemu dengan Terdakwa karena Irawan Sumarno

berada di Jakarta dan bahwa benar Terdakwa telah disomasi pada tanggal 13 dan

15 Oktober 2014 untuk meninggalkan tempat tersebut namun sampai sekarang

Terdakwa tidak keluar dari lokasi tersebut.

Pada tanggal 10 Maret 2020 Pak Irawan Sumarno sebagai saksi korban telah

meninggal dunia dan benar bahwa saksi Hj. Muliati pernah bertemu dengan

Terdakwa di kantor Polda Sulawesi Selatan untuk membicarakan mengenai

masalah ini dan Terdakwa meminta tawaktu 2 bulan untuk menyelesaikan

permasalah ini, namun sampai sekarang tidak ada jalan keluar dan Terdakwa tidak

ada reaksi.

Kemudian menurut pertimbangan hakim bahwa Terdakwa membeli 1 kapling

tanah yang terletak di Jalan Goa Ria Kel. Sudiang Kec. Biringkanaya Kota

Makassar dari alm.H.Anwar Rauf yang diketahui oleh H. Nur dan benar pada

waktu Terdakwa membeli tanah tersebut masih dalam hamparan tanah kapling

yang sudah dipatok. Kemudian terdakwa membeli tanah tersebut pada tahun 2000

dan pada tahun 2014 terdakwa membangun rumah berdasarkan IMB dan terdakwa

membangun rumah diatas lokasi tanah milik terdakwa sendiri yang diklaim oleh

HJ.Muliaty bahwa lokasi yang ditempati terdakwa adalah milik Pak Irawan

Sumarno (saksi korban).

45
Hakim juga mempertimbangkan bahwa benar Terdakwa menguasai lokasi

tanah tersebut berdasarkana AJB No.673/JB/VII/2000 tanggal 3-7-2000 selaku

pihak penjual H.Anwar Rauf dan terdakwa selaku pihak pembeli yang dibuat

dihadapan Notaris Susanto Wibowo kemudian tahun 2002 diterbitkan

SHMno.22419/Biringkanaya Surat Ukur 01541/2002 luas 200 M2 an.NY.Haeria

dan benar yang melakukan pengurusan AJB Terdakwa adalah H.Nur dan sertifikat

adalah alm.H.Anwar Rauf.

Selama terdakwa menguasai lokasi tanah tersebut tidak pernah ada orang

yang datang mengklaim lokasi tanah tersebut adalah miliknya, namun setelah

terdakwa membangun rumah pada tahun 2014 setelah H.Anwar Rauf meninggal

terdakwa didatangi oleh H.Tamrin mengatakan bahwa lokasi yang terdakwa

tempati adalah milik polisi dan benar bahwa Terdakwa disuruh meninggalkan

lokasi tersebut namun terdakwa tidak mau karena terdakwa merasa yang memiliki

tanah tersebut berdasarkan AJB dan SHM dan membenarkan sampai sekarang

lokasi tanah yang telah dibangun permanen tersebut dikuasai dan ditinggali oleh

terdakwa. Untuk sekarang ini terdakwa sementara mengunakan hak terdakwa

untuk menggugat BPN dalam perkara perdata. Majelis Hakim selanjutnya akan

mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut terdakwa

dapat dinyatakan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh

Penuntut Umum kepadanya dan terdakwa diajukan dipersidangan oleh Penuntut

Umum dengan dakwaan Tunggal Pasal 167 Ayat (1) KUHPidana, yang unsur-

unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Unsur Barang Siapa;

46
2. Unsur Melwan Hak

3. Unsur memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan

secara paksa, masuk atau sudah tinggal disini atau sudah ada dalam

pekarangan itu atau rumah dengan tidak ada hak;

4. Di Peringatkan Oleh Yang Berhak

Bahwa untuk menilai apakah perbuatan atau rangkaian perbuatan

Terdakwa yang telah didakwakan kepadanya tersebut sesuai dengan ketentuan

dimaksud dan memenuhi unsur-unsur yang terkandung didalam pasal 167 Ayat

(1), Majelis akan mempertimbangkannya sebagai berikut :

1. Unsur Barang Siapa

Barang siapa adalah setiap orang atau manusia sebagai subyek hukum

(naturalijke persoon), dalam hal ini di persidangan Penuntut Umum telah

menghadapkan Terdakwa Hj. Heria Agama Islam umur 57 Tahun bertempat di

Jalan Goa Ria Kelurahan Sudiang Kec. Biringkanaya sebagaimana dalam surat

dakwaan yang telah cocok dan diakui oleh Terdakwa sebagai dirinya, selain itu

selama pemeriksaan dipersidangan baik berdasarkan keterangan saksi-saksi serta

keterangan Terdakwa, tidak terdapat satupun petunjuk akan terjadi kekeliruan

orang (error in persona) sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang

dihadapkan di persidangan adalah benar Terdakwalah yang dimaksud oleh

Penuntut Umum, sehingga dengan demikian unsur barang siapa telah terpenuhi

pada diri Terdakwa.

47
2. Melawan Hak

Tanah yang terletak di Jalan Goa Ria Kelurahan Sudiang Kecamatan

Biringkanaya Kota Makassar sebelumnya diberi suatu tanda larangan bagi orang

yang tidak berhak untuk masuk kedalam suatu rumah, ruangan atau pekarangan

tertutup dan terdakwa menguasai tanah tersebut dengan membangun rumah tanpa

mendapatkan izin yang berhak, sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa itu

telah mengandung sifat melawan hak karena tidak mengindahkan tanda larangan

masuk semacam itu, yang berarti orang yang masuk tanpa mengidahkan tanda

larangan tersebut adalah bertentangan, dengan demikian unsur melawan hak telah

terpenuhi pada terdakwa.

3. Unsur memaksa masuk kedalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang

dipakai orang lain dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atas

suruhannya tidak pergi dengan segera :

Dengan memaksa masuk kedalam rumah, atau pekarangan adalah dengan

mengunakan ancaman ataupun kekarasan sedangkan melawan hukum adalah

tanpa seizin atau sepengetahuan dari yang berhak.

Fakta yang terungkap dipersidangan tanah yang terletak di Jalan Goa Ria

Kel.Sudiang Kec.Biringkanaya Kota Makassar, adalah atas nama Irawan Sumarno

berdasarkan Akta Jual Beli No.574/JB/VI/2000 tanggal 12 Juni 2000 yang dibuat

oleh Susanto Wibisono,SH. dan sudah bersertifikat berdasarkan Sertifikat Hak

Milik No.21580/Sudiang surat ukur No.00135 tanggal 03 maret 2000 yang berasal

dari H. Anwar Rauf. Terdakwa sudah disomasi oleh saksi HJ.Muliaty dan sempat

bertemu dengan saksi HJ.Muliaty dikantornya dan pada saat itu Terdakwa

48
meminta waktu selama 2 (dua) bulan untuk menyelesaikan permasalah tanah

tersebut, tetapi sampai pada saat ini Terdakwa ternyata tidak pernah

menyelesaikan permasalahan ini; Menimbang, bahwa fakta yang terungkap

dipersidangan ternyata Terdakwa juga membeli tanah yang sekarang Terdakwa

tempati dari orang yang sama yaitu berdasarkana AJB No.673/JB/VII/2000

tanggal 3-7-2000 selaku pihak penjual H.Anwar Rauf dan terdakwa selaku pihak

pembeli yang dibuat dihadapan Notaris Susanto Wibowo kemudian tahun 2002

diterbitkan SHM No.22419/Biringkanaya Surat Ukur 01541/2002 luas 200 M2

an.NY.Haeria;

4. Unsur di peringatkan oleh yang berhak

Dalam persidangan, pada tanggal 13 dan tanggal 15 Oktober 2014 bahwa

benar terdakwa pernah bertemu Hj. Muliaty di kantornya dan terdakwa di somasi

dan di laporkan oleh H. Muliaty saksi korban Drs. Irawan Sumarno. Dimana

korban tidak memperingatkan terdakwa secara langsung dikarenakan korban

berada di kota yang berbeda dengan kondisi lockdown COVID-19 dalam keadaan

yang tidak memungkinkan korban dan terdakwa bertemu. Namun Hj. Heria tidak

meninggalkan lokasi tersebut karena memiliki alat bukti Sertifikat Hak Milik No.

22419/ Kelurahan Sudiang Kecematan Biringkanaya dan Akta Jual Beli No.

673/JB/VII/2000 yang sah. Berdasarkan unsur yang di peringatkan oleh yang

berhak atas uraian diatas tersebut terpenuhi dan diterima oleh hakim dan sesuai

menurut Hukum.

Bahwa oleh karena semua unsur dari pasal 167 Ayat (1) KUHPidana,

maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan

49
melakukan tindak pidana sebagaimana di dakwakan dalam dakwaan tunggal

penuntu umum.

Bahwa dari kenyataan yang di peroleh selama persidangan dalam perkara

ini majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari

pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan

pemaaf, oleh karenanya majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan yang di

lakukan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya.

Sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, maka perlu di

pertimbangkan tentang keadaan yang memberatkan dan keadaan yang

meringankan bagi terdakwa;

a) Hal-Hal Yang Memberatkan

a. Perbuatan terdakwa mengakibatkan korban Drs. Irawan Sumarno tidak

dapat memiliki/menikmati tanahnya tersebut.

b) Hal-Hal Yang Meringankan

a. Terdakwa belum pernah di hukum;

b. Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;

c. Usia terdakwa cukup tua

Kemudian yang menjadi majelis hakim dalam hal-hal yang meringankan

terdakwatidak mempersulit penyidikan dan tidak berbelit-belit dalam persidangan

dengan mengakui dan berterus terang tentang perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan undang-undang, kemudian terdakwa melakukan penyerobotan

tanah tersebut untuk dirinya sendiri dan barang bukti yang dimiliki oleh terdakwa

relative kecil kemudian usia dari terdakwa cukup tua sehingga majelis hakim

50
mengharapkan bahwa terdakwa tidak akan mengulangi perbuatan untuk

kedepanya.

Kemudian majelis hakim mempertimbangkan dalam hukum diharapkan

dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sehingga masyarakat terlindungi

aman dan nyaman serta membawa masyarakat kearah lebih maju, dan majelis

hakim dalam putusan tersebut memperlihatkan manfaat bagi masyarakat untuk

kedepanya.

Masyarakat yang sedang berubah terkhususnya di Kota Makassar

memerlukan rekayasa hukum untuk mewujudkan masyarakat yang di cita-citakan,

jadi fungsi hukum tidak hanya sekedar menjaga ketertiban, tetapi hukum-pun di

harapkan mampu menjadi sarana untuk mengubah kehidupan masyarakat. Dan

Majelis Hakim juga mempertimbangkan dalam putusan tersebut sepenuhnya

mendukung lingkungan kehidupan masyarakat sehingga adanya kesesuaian dan

keselarasan yang memaknai nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat menuju

pada kondisi yang lebih baik.

Kemudian majelis hakim mempertimbangkan bahwa dari fakta yang

terungkap tersebut diatas nyatanya baik terdakwa maupun Irawan Sumarno

membeli tanah dari orang yang sama dan ditahun 2000, sedangkan Sertifikat Hak

Milik untuk Irawan Sumarno terbit lebih dahulu yaitu tahun 2000, sedangkan

untuk Sertifikat Hak Milik untuk Terdakwa terbit pada tahun 2002 dimana sampai

saat ini kedua sertifikat ini masih dinyatakan sah berlaku karena belum ada yang

membuktikan sebaliknya terhadap kedua sertifikat tersebut. Dan dalam dakwaan

maupun repliknya yang menyatakan bahwa sudah diadakan pengembalian batas

51
oleh BPN dimana tanah tersebut adalah milik dari Irawan Sumarno, selanjutnya

setelah Majelis Hakim mempelajari tentang pokok dakwaan ini adalah mengenai

kepemilikan dimana tentang kepemilikan bukan merupakan ranah dari pada

Hukum Pidana, tetapi sudah masuk pada ranah Hukum Perdata, terkecuali

Sertifikat Hak Milik No.21580/Sudiang surat ukur No.00135 tanggal 03 maret

2000 atas nama Irawan Sumarno dan SHM no.22419/Biringkanaya SU

01541/2002 luas 200 M2 an.Ny.Heria salah satu dari kedua sertifikat tersebut

sudah dinyatakan tidak belaku lagi. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas

dihubungkan dengan pasal yang didakwakan kepada terdakwa maka Majelis

Hakim tidak sependapat dengan dengan Pembelaan yang diajukan oleh terdakwa

maupun tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dimana Majelis hakim

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi

perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana karena sudah menyangkut

tentang kepemilikan dan tentang kepemilikan tersebut sudah masuk dalam ranah

Hukum Perdata.

5. Putusan

Adapun yang menjadi putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa Hj. Heria, telah melakukan perbuatan sebaimana

dalam dakwaan penuntut umum, akan tetapi perbuatan tersebut bukan

marupakan suatu tindak pidana ;

2. Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (onslag

van alle rech vervologing) ;

52
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat

serta martabatnya ;

4. Memerintahkan agar barang bukti berupa ;

- 1 (satu) rangkap fc legalisir SHM No. 22419 an.Hj. Heria

- 1 (satu) lbr rangkap fc legalisir surat izin IMB

- 1 (satu) rangkap fc legalisir SHM No.21580 an. Drs. Irawan Sumarno

(terlampir dalam berkas perkara)

5. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara ;

6. Analisis Penulis

Majelis hakim pada kasus tindak pidana penyerobotan tanah dengan

nomor register perkara Nomor 315/Pid.B/2020/PN.Mks memutuskan melepaskan

terdakwa dari segala tuntutan hukum atau Onslag van alle Recht Vervolging

meskipun terbukti di persidangan bahwa perbuatan terdakwa sesuai dengan

dakwaan jaksa penuntut umum akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.

Putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yakni putusan lepas dari

segala tuntutan hukum,berdasar kriteria:

a) Apa yang di dakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan
meyakinkan;
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang di
dakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Landasan putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah kenyataan

bahwa apa yang di dakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan

tindak pidana tetapi masuk ruang lingkup perdata.

Dalam kasus ini, Hj. Heria di dakwakan dakwaan Hj. Heria tersebut

dijatuhkan putusan lepas dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP, terlah terbukti secara

53
sah dan meyakinkan, bersalah melakukan Tindak Pidana penyerobotan tanah

“memaksa masuk kedalam pekarangan orang lain”. Dimana kasusnya telah diadili

di Pengadilan Negeri Makassar dengan Nomor Putusan 135/Pid.B/2020/PN.Mks.

Menurut penulis, jaksa penuntut umum terdakwa dijatuhkan putusan lepas

berdasarkan bukti-bukti yang mengarah pada terdakwa bahwa terdakwa dalam

pembuatan sertifikah hak milik telah terbukti H. Nur lah yang membuatkan

sertifikat hak milik tersebut, pekarangan yang di jual H, Anwar Rauf yang luas

200 m2 ternyata sama, dikarenakan dilihat dari fakta yang ada di persidangan,

perkara ini memang bukanlah perkara tindak pidana melainkan sudah masuk ke

ranah hukum perdata, dikarenakan pokok permasalahan dari kasus ini adalah

sengketa kepemilikan lahan/tanah dikarenakan adanya dua sertifikat hak milik

atas tanah yang sama dengan lokasi yang sama. Maka dari itu, jika terjadi pakar

semacam ini, sesuai dengan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1956 Pasal 1 dan

Pasal 2, yang berbunyi :

Pasal 1

“Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu
hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua
pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk
menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang
adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Pasal 2

“Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu waktu dihentikan,


apabila dianggap tidak perlu lagi.”

Ditambah lagi dengan Surat Edaran MA Nomor 4 tahun 1980 yang

mengatakan bahwa “dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata terlebih dahulu

sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana”.

54
Menurut penulis, harusnya majelis hakim tidak terburu-buru dalam

menjatuhkan putusan lepas terhadap terdakwa tindak pidana penyerobotan tanah

akan tetapi lebih baiknya jika majelis hakim menagguhkan pemeriksaan perkara

pidana selagi menunggu putusan pengadilan terkait dengan pemeriksaan perdata

tersebut. Menurut penulis pula, putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

Onslag van alle Recht Vervolging tidak serta merta dapat dijatuhkan pada kasus

yang terbukti melakukan suatu perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut

umum akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana. Akan tetapi, harus juga

dilihat ada atau tidak alasan penghapusan pidana atau Strafuitsluitingsgronden,

baik itu alasan pembenar sesuai dengan Pasal 50 KUHP ataupun alasan pemaaf

yang tertuang pada Pasal 44 KUHP.

Namun menurut penulis, dalam menangani perkara penyerobotan tanah ini

dikarenakan majelis hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu

perkara dilandasi dengan adanya surat dakwaan dari jaksa penuntut umum. Akan

tetapi, surat edaran Jaksa Agung Republik Indonesia nomor B-230/ E/ Ejp/ 01/

2013 yang ditanda tangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum perihal

penanganan perkara tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah secara

ringkas menjelaskan pada point 3 sampai dengan point 6 bahwa :

“Jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah, dimana status hukum
kepemilikan tanah berdasarkan alasan hak yang dimiliki, jelas, kuat, dan sah
menurut undang-undang, maka jika ada pihak yang melanggarnya, misalnya
penyerobotan tanah, maka kasus tersebut dapat dipidanakan. Namun sebaiknya
jika sekiranya kasus yang objeknya berupa tanah yang belum jelas status hukum
kepemilikannya, sehingga menjadi objek sengketa perdata, demikian juga
sengketa-sengketa dalam transaksi jual beli tanah dimana status hukum
kepemilikan telah dimiliki oleh penjual, selanjutnya terjadi sengketa dalam
transaksi jual beli tanah yang bersangkutan, maka kasus tersebut berada dalam

55
ranah perdata dan merupakan perkara perdata murni sehingga tidak selayaknya
dipaksakan untuk digiring masuk ke ranah pidum.”

Terkait dengan butir 2 dan 3 di atas, maka jaksa peneliti diminta agar

dipetakan/identifikasi permasalahan objek tanah dimaksud: 4.1. Masalah tanah

yang terkait dengan fisik tanah itu sendiri, terdapat beberapa modus operandi,

antara lain :

a. Terjadi perebutan suatu lokasi lahan/tanah, dimana lahan/tanah dimaksud

belum jelass tentang pihak yang memiliki status kepemilikan berdasarkan atas

hak yang kuat dan sah.

b. Terdapat adanya fakta bahwa suatu lahan/tanah memiliki sertifikat ganda yang

dikeluarkan oleh pihak kantor pertanahan

c. Bisa juga terjadi pakar dimana ada 2 (dua) lokasi lahan/tanah yang

berdampingan, dimana kedua orang masing-masing pemilik sah atas lahannya,

gambar, luas, dan batas lokasi tanah juga jelas, namun salah satu pihak masuk

mencaplok dan menggarap lahan/tanah yang berdampingan milik orang lain.

Terhadap permasalahan tersebut huruf a, b, dan c harus dipastikan dulu status

kepemilikan atas tanah melalui gugatan perdata/TUN dan terhadap masalah yang

dimaksud huruf c dapat dipidanakan dengan menggunakan Pasal 385, 170, 406

KUHP. 4.2. Masalah tanah yang terkait dengan transaksi jual beli atas tanah,

dibuktikan pada masalah status kepemilikan tanah. Disini diperlukan kejelian

jaksa peneliti dalam mengurai :

- Ikatan jual beli/perjanjian jual belinya :

- Substansi perjanjian;

- Klausul di dalam perjanjian;

56
- Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian;

- Wanprestasi;

- Masa berlakunya perjanjian.

Menurut Doddy Hendra Sakti S.H sebagai salah seoarang hakim di

Pengadilan Negeri Makassar menjeleskan bahwa :

Dalam menangani kasus yang bukan bagian dari ranah pengadilan negeri
tersebut maka hakim dapat memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dengan memberikan pertimbangan yang tepat seperti pertimbangan
mengenai perkara ini bukan termasuk tindak pidana.

Penulusuran atas item-item perjanjian/ikatan jual beli di atas untuk

memastikan bahwa kasus tersebut berada dalam ranah perdata. Namun apabila

dalam suatu ikatan/perjanjian jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen

palsu atau yang dipalsukan atau pihak pembeli dalam melakukan pembayaran atas

harga tanah dengan menggunakan cek kosong, maka contoh kasus seperti ini bisa

saja dipidanakan dengan menggunakan pasal-pasal 378, 263, 266 KUHP.”

Oleh karena itu didalam menangani kasus perdata yang objeknya berupa

tanah, diminta agar tidak serta merta menganggap bahwa perkara tersebut adalah

pidana dan tidak tergesa-gesa menerbitkan P-21. Hendaknya sebelum menentukan

sikap untuk menerbitkan P-21 terlebih dahulu dilakukan gelar perkara (ekspose)

secara internal yang dipimpin oleh Kajati/Aspidum/Kajari.

Jika menangani suatu kasus yang objeknya berupa tanah, dimana terdapat

adanya gugatan perdata atas barang (tanah) atau tentang suatu hubungan hukum

(jual beli) antara 2 (dua) pihak tertentu, maka perkara pidum yang bersangkutan

dapat ditangguhkan/dipending dan menunggu putusan pengadilan dalam perkara

perdatanya dengan mempedomani ketentuan :

57
- Pasal 81 KUHP;

- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956;

- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1980;

- Putusan-putusan Mahkamah Agung Nomor : 413/K/KR/1980 tanggal 26

Agustus 1980 Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 129K/Kr/1979 tanggal 16

April 1980 Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 628K/PID/1984 tanggal 22 Juli

1985.

Menurut Ipda Dodo Widarda, S.E., penyidik Kasubnit Tahban Satuan

Reskrim Polda Sulawesi Selatan mengemukakan banyak kasus penyerobotan

tanah yang menjadi permasalan utama yang sering didapatkan pada saat

penyidikan di Polda Sulawesi Selatan, karena penyelesain masalah kasus

penyerobotan tanah secara hukum pidana tetaplah tidak efektif di lakukan, karena

proses pidana hanyalah menghukumkan badan atas pelaku penyerobotan tanah

yang bukan miliknya dan putusan pengadilan dalam perkara pidana tidak dapat

mengeksekusi penyerobot untuk keluar dari tanah yang diserobotnya. Walaupun

terbukti secara atas tanah, belumlah menjamin atas kepemilikanya dan harus pula

mengajukan proses hukum secara perdata melalui gugatan dan setelah

mendapatkan kepastian hukum melalui putusan perdata selanjutnya bermohon

pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan, barulah yang melakukan penyerobotan

tanah dapat di miliki kembali.

58
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor

315/Pid. B/2020/PN. Mks

Dalam putusan, hakim memutuskan bahwa terdakwa Hj. Heria telah

melakukan perbuatan sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum

tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut penulis unsur-unsur dari tindak

pidana penyerobotan tanah terhadap Drs. Irawan Sumarno mengakibatkan

kerugian disertai dengan pertimbangan hakim berdasarkan alat bukti, Dan

pertimbangan yuridis, Maupun fakta persidangan tersebut maka terdakwa tidak

terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan tanah terhadap Drs. Irawan

Sumarno di karenakan terdakwa memiliki sertifikat hak milik.

Adapun pertimbangan Non yuridis yang diberikan oleh hakim dalam putusan

pidana berdasarkan pertimbangan yang meringankan terdakwa, majelis hakim

berpendapat bahwa terdakwa berlaku sopan dan dapat mempertanggung jawabkan

selama persidangan dan terdakwa mengakui perbuatanya serta mejelis hakim

memperlihatkan manfaat bagi masyarakat untuk kedepanya terkhususnya di Kota

Makassar. Karena sebagian besar masyarakat kota Makassar memiliki sifat arogan

dalam menghadapi suatu masalah seperti halnya penyerobotan tanah. Apalagi

menyangkut sebidang tanah milik hak seseorang yang diserobot oleh orang lain

Suatu masyarakat tanpa hukum tidak akan pernah menjadi masyarakat yang baik.

Didalam masyarakat tradisionalpun pasti ada hukum dengan bentuk dan corak

yang sesuai dengan adat istiadat masyarakat kota Makassar. Serta nilai-nilai yang

hidup di masyarakat hak-hak rakyat atas tanah perlu di perkuat, bukan saja untuk

ketentraman, tetapi yang lebih penting adalah melindungi hak-hak mereka dari

59
tekanan para pihak ekonomi yang kuat yang ingin mengambil atau membeli tanah

untuk kepentingan investasi.

Menurut Doddy Hendara Sakti, S.H., M.H., sebagaimana hakim di Pengadilan

Negeri Makassar menjelaskan, pembebasan yang dimaksud pada putusan lepas

dari segala tuntutan hukum ini adalah pembebasan yang tidak sebenarnya

(onzuivere rechtsspraak). Pembebsan ini memiliki dua arti tuntutan yang bersifat

tertutup.bentuknya yaitu sebagai berikut:

1. Bila perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana seperti :


a. Perbuatan yang tidak mengandung segala unsur yang dikehendaki
Undang-Undang;
b. Perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya;
2. Bila terdakwa tidak dapat dipersalahkan walaupun yang di dakwakan
merupakan tindak pidana, seperti :
a. Hal tersebut merupakan kekuasaan relatif tidak dapat diatasi;
b. Keadaan hj.heria tidak memungkinkan tanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan;45
Adapun pembebasan dalam arti sempit, yaitu jika hakim berpendapat bahwa

unsur-unsur dari delik tidak terbukti, tetapi pendapatnya keliru karena salah satu

unsur di artikan salah, salah karena tidak sesuai dengan kehendak undang-undang.

Jadi, hakim tersebut menggunakan kriteria subjektif sebagai manusia pribadi yang

tidak sesuai dengan kriteria objektif, yang harus di turuti.

Mengenai status terdakwa yang di jatuhi putusan lepas dari segala tuntutan

hukum ini, jika pada saat putusan dijatuhkan terdakwa berada dalam tahanan,

maka harus di barengi dengan perintah untuk membebaskan terdakwa dari

tahanan sesuai dengan tata cara yang diatur pasal 191 Ayat (3).

Penulis sependapat dengan pandangan hakim Doddy Hendara Sakti, S.H.,

45
Doddy Hendra Sakti, S.H, Hakim Pengadilan Negeri Makasar

60
M.H., penulis merasa bahwa tidak ada sanksi bagi hakim yang memutus perkara

dengan menyimpangi ketentuan pidana penyerobotan tanah asalkan hakim

memutus perkara tersebut dengan pertimbangan yang cukup dan dapat

dipertanggungjawabkan seperti terdakwa bukan residivis, dan terdakwa tidak

berbelit-belit dalam persidangan.

Menurut penulis pula tentang pertimbangan non yuridisnya dari

pertimbangan latar belakang terdakwa, manfaat bagi masyarakat dan nilai-nilai

yang hidup di masyarakat semua keriteria terpenuhi.

61
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkara pidana dilepas dari segala tuntutan hukum ketika memenuhi unsur-

unsur sebagaimana di atur dalam pasal 167 Ayat (1) KUHP yaitu tindak pidana

yang di dakwakan oleh penuntut umum terbukti secara hukum, tetapi tidak

termasuk perbuatan pidana, melainkan menjadi ranah hukum perdata. selain

itu, terdapat pula alasan pemaaf dan pembenar, serta proses pembuktian dan

penuntutan dalam persidangan.

2. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam kasus dengan No. perkara

315/Pid.B/2020/PN.Mks. dalam penjatuhan lepas terhadap terdakwa bahwa

penuntut umum mendakwa dengan pasal 167 Ayat (1) Tentang penyerobotan

tanah, namun berdasarkan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan

dengan bukti Akta Jual Beli yang dajukan oleh terdakwa, dan melihat bukti

tersebut Akta Jual Beli serta para saksi yang di miliki korban lebih kuat maka

hakim menjatukan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Hal tersebut

didasarkan pada adanya perbuatan dari terdakwa namun perbuatan tersebut

bukan perbuatan tindak pidana melainkan perbuatan tersebut masuk ke dalam

ranah hukum perdata. Dengan demikian perbuatan terdakwa adalah perbuatan

yang melawan hukumdan terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum

mampu bertanggung jawab sehingga dengan demikian

62
B. Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat untuk memperhatikan dan menghargai hak

kepemilikan masing-masing. Yang mana hal ini sering terjadi, dimana seorang

tidak mau mengakui hak kepemilikan orang lain dan berjuang pada berbagai

bentuk kejahatan, salah satunya tindak pidana penyerobotan tanah sebagaimana

yang di atur dalam pasal 167 Ayat (1).

2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih cermat memperhatikan dalam

membeli tanah dan jangan mempercayakan orang lain untuk menerbitkan

surat-surat tanah atau Sertfikah Hak Milik karena sewaktu waktu dapat

menimbulkan tumpah tindih karena Sertifikat Hak Milik yang sama.

63
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adam Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Pers, Jakarta.

---------------. 2016. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. PT. Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Sinar
Grafika. Jakarta.

Andi Sofyan dan Abd Asis. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.
Prenamedia Group. Makassar.

Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan. Mahakarya
Rangkang Offset Yogyakarta. Yogyakarta.

Bernhard Limbong. 2012. Konflik Pertanahan. Pustaka Margaretha. Jakarta.

Kartonegoro, 2013, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,


Jakarta.

Lamintang, Franciscus Theojunior Lamintang. 2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana


di Indonesia. PT. Sinar Grafika. Jakarta.

Lamintang dan Theo Lamintang. 2010. Delik- Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kepentingan Hukum Negara. Sinar Grafika. Jakarta.

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika.


Jakarta.

Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

M.Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.


Sinar Grafika. Jakarta.

P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,


Bandung.

Peter Mahkum Marzuki. 2011. Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group. Jakarta.

R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta


komentar-komentarnya. Politea. Bogor.

64
Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia
(UI-Press). Jakarta.

S.R. Sianturi. 1983, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Alumni AHM-
PTHM, Jakarta.

Tri Andrisman. 2009. Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.

Zainal Abidin Farid, 2014, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal

Siti Zubaedah dan Nurwahidah Mansyur, “Analisis Pelaksanaan Elektronic


Traffic Law Enforcement dalam Upaya Penegakan Hukum Lalu Lintas
(Studi Kasus Polrestabes Makassar)”, Al-Amwal : Journal of Islamic
Economic Law, September 2019, Vol. 4, No. 2, hlm. 172.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

PERPU Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin
Yang Berhak Atau Kuasanya

Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1956 Tentang Acara Pengadilan Yang Berlaku di


Indonesia

PERMA No.2 Tahun 2012 Tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan
jumlah denda dalam KUHP

Surat Edaran MA Nomor 4 tahun 1980

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No B-230/ E/ Ejp/ 01/ 2013 perihal
penanganan perkara tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah

Hasil Wawancara

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 315/Pid. B/2020/PN. Mks

Press realize Akhir Tahun 2019 (Unit Tahban Reskrim)

Wawancara Hakim Ketua Pengadilan Negeri Makassar

Wawancara Penyidik Sat Reskrim Polrestabes Makassar

65
LAMPIRAN

Pengadilan Negeri Makassar

66
Unit Tahban Sat Reskrim Polda Sulawesi Selatan

67
68
69

Anda mungkin juga menyukai