Anda di halaman 1dari 4

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PAKUAN

UJIAN AKHIR SEMESTER ANTARA TAHUN AKADEMIK 2022/2023


Mata Kuliah : Sosiologi Hukum
Semester/Kelas : XIII (Delapan)
Hari/Tanggal : Senin-Rabu, Tanggal 21-23 Agustus 2022
Waktu : Senin 11.00 – Rabu 23.00 WIB
Dosen Penguji : Dr. Yenny Febrianty, SH. MHum. Mkn
Jabatan Akademik : Lektor
Sifat Ujian : Online/LMS

Kenyataan Yang Kompleks;


Keteraturan Dalam Ketidakteraturan
Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH (dalam bukunya Sosiologi Hukum)

Ilmu hukum tidak dapat menempatkan diri pada posisi terisolasi secara intelektual
berhadapan dengan perkembangan tersebut di atas. Apabila dikembangkan suatu pemahaman
alternatif terhadap hukum berseberangan dengan pemahaman profesional yang dominan,
maka "substansi alternatif" itu memang inheren ada dalam hukum itu sendiri. Apabila kita
bersedia untuk menempatkan tatanan hukum positif dalam konteks dan peta tatanan (order)
yang lebih besar, maka substansi alternatif, tatanan alternatif, artinya di luar hukum positif
memang senantiasa ada masyarakat. Dengan demikian, ada koinsidensi dengan ilmu pasca-
newton yang juga terlihat kompleksitas lebih besar.
Dalam ilmu hukum yang legalistis-positivistis hukum sebagai institusi pengaturan
yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistis dan
deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Kebiasaan yang dominan melihat dan
memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional logis, yang penuh dengan kerapian dan
keteraturan rasional. Seperti dikatakan oleh Charles Sampford, sesungguhnya hukum itu tidak
merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan logis-rasional (Samford, 1989). Yang
benar adalah manusialah yang berkepentingan dan ingin melihat hukum itu adalah memang
seperti itu. Sampford menggunakan istilah social melee dan legal melee sebagai sarana untuk
mengungkap kompleksitas hukum. Melee adalah keadaan cair (fluid) sehingga tidak memiliki
format formal atau struktur yang pasti dan kaku. Samford melihat hubungan antar manusia itu
bersifat melee, dalam kehidupan sosial maupun hukum. Hukum dibangun dari hubungan
antar manusia seperti itu, yaitu hubungan sosial antar individu dengan sekalian variasi dan
kompleksitasKeadaan ini menjurus kepada kecenderungan asimetris. Hukum tunduk kepada
kekuatan-kekuatan centripetal yang menciptakan suatu institusi yang terorganisir, tetapi pada
waktu yang sama juga tunduk kepada kekuatan-kekuatan centrifugal menciptakan konflik dan
ketidakteraturan (disorder).
Skema dan hubungan hukum yang dirumuskan dengan eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan tidak menghilangkan sifat melee di belakangnya. Di belakang hukum
positif terdapat interaksi antar manusia yang menentukan apa akan terjadi dengan peraturan
tertulis itu. Dalam hukum terbaca dan ditemukan skema-skema rasional, tetapi itu harus
dipastikan melalui proses dan interaksi antar manusia dalam masyarakat. Pada akhirnya yang
muncul adalah legal melee'tersebut. Ia memberi makna terhadap suatu peraturan, sehingga
makna itu ditentukan oleh posisi dari orang yang memberi makna tersebut. Di negeri kita, ia
muncul dalam contoh PK (peninjauan kembali) dalam perkara Mochtar Pakpahan. Kendati
peraturan jelas mengatakan, PK hanya dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli waris dan itu
bersifat limitatif, tetapi jaksa mengajukan PK juga. Inilah contoh bagaimana makna peraturan
ditentukan oleh posisi dimana seseorang berada (dalam hal ini: jaksa) Situasi subyektif ini
diperkuat oleh reaksi yang dikemukakan oleh advokat senior Mulya Lubis yang mengatakan,
telah terjadi tragedi dalam hukum. Jelas sekali, Lubis mengatakan demikian itu dari posisinya
sebagai seorang lawyer. Ingin ditambahkan, pemahaman kepastian hukum yang lazim adalah
tidak benar. Apabila dibuat suatu Undang-undang, maka yang muncul adalah kepastian
peraturan, belum kepastian hukum. Secara akademis adalah tidak benar, kepastian
hukum segera muncul mengikuti peraturan yang dibuat. Kepastian hukum terletak
dalam kawasan perilaku atau legal melee menurut Sampford.
Dalam hubungan ini sosiologi hukum banyak membantu menjelaskan persoalan
tersebut, karena disiplin tersebut tidak berbicara mengenai aturan dan logika, melainkan
struktur sosial dan perilaku.
Sebetulnya sudah sejak lama sekali gambar sebagaimana tersebut di atas dikenali dan
dirumuskan juga. Kita mengenal ujaran O.W. Holmes yang terkenal yang mengatakan The
life of the law has not been logic but experience. Apa yang disebut sebagai experience
sebetulnya tidak berbeda jauh dari legal melee Sampford. Donald Black juga mengatakan,
hukum itu bukan hanya rules and logic, tetapi social structure and behavior.
Teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistis dan berbasis peraturan
(rule-bound) tidak mampu menangkap kebenaran tersebut, karena seperti dikatakan di atas,
memang ia tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam konteks intelektual yang
didominasi oleh pikiran normatif-positivistis, maka pemikiran yang melihat hukum sebagai
fenomen yang lebih besar melampaui batas-batas positivistis, kenegaraan, menjadi aliran
pinggiran atau pikiran yang dibuangBagi faham dominan tetapi sempit itu banyak kejadian
atau pikiran yang dibuang, serta proses, tindakan dalam hukum yang tidak mampu dicakup
dan dijelaskan. Demi mempertahankan teori positif-normatif maka kenyataan yang tak dapat
dicakup itu menjadi "data yang menyimpang atau salah" sehingga dapat diabaikan begitu
saja.
Dengan merujuk kepada sikap newton yang membuang realitas dalam alam yang tak
dapat dimasukkan dalam tubuh teorinya sebagai aberrational data. Demikian pula dengan
fenomen dalam hukum yang tak dapat dimasukkan ke dalam tubuh teori hukum legal-
positivis. Teori positivis dogmatis yang hanya mau melihat tubuh hukum sebagai suatu
tatanan logis-rasional, tertib-teratur, tak dapat menerima adanya ketidakteraturan.
Penerimaannya akan merusak teori keteraturan yang dianutnya, yang berarti teori itu menjadi
roboh. Keteraturan dan ketidakteraturan adalah dua hal atau sifat yang berseberangan.
Keduanya tak dapat berada di dalam tubuh teori yang sama.
Teori hukum positif hanya menyoroti dan berbicara mengenai sebagian dari
tatanan yang besar, yaitu yang termasuk ke dalam tatanan politik dan lebih khusus lagi
tatanan yang berbasis negara. Tak dapat diterima kehadiran tatanan lain yang tidak
dapat dikaitkan kepada negara tersebut, kendatipun jenis tatanan tersebut ada dalam
masyarakat. Penerimaan suatu tipe tatanan lain di luar yang positif tersebut akan
mengganggu kebenaran sistem- rasional dari teori tersebut. Ini sangat bertentangan
dengan sikap ilmiah yang yang bertolak dari pengamatan terhadap apa benar-benar
ada dalam masyarakat. Seperti juga teori newton, maka teori positivisme ini membuang
kenyataan yang mengganggu keutuhan dan menganggapnya sebagai kenyataan yang salah
atau menyimpang. Pikiran tersebut adalah counter-scientific dan termasuk ke dalam kategori
"Theories which begin with the larger picture and work down to social relations which
distort the latter in order to fit them into their larger picture". Demi menjaga keutuhan
stufenbautheorie Hans kelsen, maka kenyataan yang tidak pas untuk dimasukkan kedalam
bangunan yang logis rasional itu dianggap sebagai meta-juridis.
Maka ketiadaan atau kegagalan dari hukum positif (baca: (the collapse of an order).
Padahal apabila kita menggunakan tatanan politik negara) berarti keambrukan tatanan konsep
dan peta tatanan yang besar, kegagalan bekerja hukum positif bukan berarti kegagalan dari
seluruh tatanan. Dengan demikian, kita dapat berbicara mengenai adanya "tatanan dalam
ketidaktertiban" atau "ketertiban dalam ketidaktertiban" (order in disorder). Seperti
dikemukakan di atas, terutama sejak reformasi, Indonesia merupakan laboratorium yang
sangat bagus untuk mengamati dan meyakinkan secara baik bahwa tatanan yang besar
tersebut memang hadir dalam masyarakat. Tetapi ilmu hukum di Indonesia sudah menjadi
bingung kurang tahu harus berbuat apa dengan kenyataan yang menyimpang itu. Ilmu hukum
kurang mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan tatanan di negeri ini karena
instrumen konsep yang dipakai sangat sempit, sehingga tidak mewadahi kenyataan yang
membanjiri informasi.

Petunjuk Soal;
1. Naskah di baca dengan teliti
2. Yang diperlukan pemahaman hukum atas terjadinya suatu keteraturan di dalam suatu
ketidak teraturan di tinjau dari sudut sosiologi hukum
3. Silahkan saudara berikan pemahamannya atas soal berikut dengan batas waktu
pengerjaan yang sudah ditentukan.

Soal:
1. Bagaimana sosiologi hukum melihat tentang kepastian hukum? Hubungkan dengan
pernyataan “kepastian hukum terletak dalam Kawasan perilaku atau legal melee”
2. Teori positivis dogmatis yang hanya mau melihat tubuh hukum sebagai suatu tatanan
logis rasional, tertib teratur, tidak dapat menerima adanya ketidakteraturan. Saudara
jelaskan pemahanan kalimat di atas (focus pada unsur penerimaan atau tidak terima
hukum pada ketidakteraturan)

-----------selamat mengerjakan-----------------

Koordinator/
Ketua Program Studi
Penguji Mata Kuliah

Farahdinny Siswajanthy., S.H., M.H.


Dr. Yenny Febrianty, SH. MHum. Mkn

Anda mungkin juga menyukai