Uts Leadership
Uts Leadership
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengembangan Manajemen Mutu
Pendidikan
Dosen Pengampu :
Oleh:
Verawati Nahumarury
220401015
Jawaban:
(1)
Kepemimpinan Transformasional memiliki beberapa kelemahan didalam
implementasinya. Menurut Northouse (2013), terdapat enam kelemahan dan kritik dari
teori kepemimpinan transformational ini, yaitu;
1. Bahwa ia tidak memiliki kejelasan konseptual. Karena adanya tumpang tindih
substansial antara masing-masing Empat komponen (pengaruh ideal, motivasi
inspirasional, stimulasi intelektual , dan pertimbangan individual) menunjukkan bahwa
dimensi itu tidak jelas. Selanjutnya, parameter kepemimpinan transformasional sering
tumpang tindih dengan konseptualisasi kepemimpinan serupa. Misalnya, menunjuk
bahwa kepemimpinan transformasional dan karismatik sering diperlakukan sinonim,
meskipun di beberapa model kepemimpinan karisma hanya salah satu komponen dari
kepemimpinan transformasional.
2. Kritik berfokus pada bagaimana kepemimpinan transformasional diukur. Beberapa
peneliti biasanya menggunakan beberapa versi Multifactor Leadership Questionnaire
(MLQ) untuk mengukur kepemimpinan transformasional. Namun, beberapa studi telah
mengkritik validitas dari MLQ tersebut. Dalam beberapa versi dari MLQ, empat faktor
transformasional kepemimpinan (pengaruh idealis, motivasi inspirasional, stimulasi
intelektual, dan pertimbangan individual) berkorelasi tinggi dengan satu sama lain, yang
berarti mereka bukanlah faktor yang berbeda Selain itu, beberapa faktor
transformasional berkorelasi dengan faktor-faktor transaksional dan laissez-faire, yang
berarti mereka mungkin tidak unik dengan model transformasional.
3. Bahwa kepemimpinan transformasional memperlakukan kepemimpinan sebagai ciri
kepribadian atau kecenderungan bersifat pribadi daripada perilaku melatih orang.
Melatih orang-orang dalam pendekatan ini menjadi masalah karena sulit untuk mengajar
orang untuk mengubah sifat mereka. Meskipun banyak ahli, termasuk Weber, House,
dan Bass, menekankan bahwa kepemimpinan transformasional berkaitan dengan
perilaku pemimpin , seperti bagaimana pemimpin melibatkan diri dengan pengikut, ada
kecenderungan untuk melihat pendekatan ini dari perspektif sifat. Masalah ini
diperparah karena kata transformasional menciptakan gambar dari satu orang menjadi
komponen yang paling aktif dalam proses kepemimpinan. Sebagai contoh, meskipun
"menciptakan visi" melibatkan input dari pengikut, ada kecenderungan untuk melihat
pemimpin transformasional sebagai visioner. Ada juga kecenderungan untuk melihat
pemimpin transformasional sebagai orang yang memiliki kualitas khusus yang
mengubah orang lain.
4. Para peneliti belum menetapkan bahwa pemimpin transformasional sebenarnya mampu
mengubah individu dan organisasi. Ada bukti yang menunjukkan bahwa kepemimpinan
transformasional dikaitkan dengan hasil positif, seperti efektivitas organisasi. Namun
dalam penelitian belum menunjukkan hubungan sebab akibat antara pemimpin
transformasional dan perubahan pengikut atau organisasi yang jelas.
5. Kepemimpinan transformasional adalah elitis dan anti-demokrasi. Pemimpin
transformasional sering memainkan peran langsung dalam menciptakan perubahan,
membangun visi, dan advokasi arah baru. Hal ini memberikan kesan yang kuat bahwa
pemimpin bertindak secara independen dari pengikut atau menempatkan dirinya di atas
kebutuhan para pengikut.
6. Kepemimpinan transformasional memiliki potensi untuk disalahgunakan.
Kepemimpinan transformasional berkaitan dengan perubahan nilai-nilai masyarakat
menuju visi baru. Tapi siapa yang harus menentukan arah yang baru yang lebih baik?
Dan siapa yang memutuskan bahwa visi baru adalah visi yang lebih baik?
Referensi :
Northouse, Peter G. 2013. Leadership Theory and Practice Sixth Edition. United State of
America; Sage Publication.
Gaya otokratis merupakan gaya yang mengadopsi pada bakat/karakter seseorang yang
dibawa didalam kepemimpinannya. Otokratis ini merupakan sentralistik dan pemusatan
kekuasaan pada satu orang saja. Dalam gaya otokrasi seorang pemimpin merupakan tokoh
yang memberikan banyak pengaruh pada pengikutnya yang mendukungnya. Pengaruh itu
menjadikan sang pemimpin ditakuti,diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang
dikatakan sang pemimpin. Selain itu, pimpinan gaya otokrasi menjadikan orang lain
tergantung pada apa yang dimilikinya, tanpa itu orang lain tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Hubungan ini akan berpotensi menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme,
dimana kedua belah pihak merasa saling diuntungkan. Dalam kepemimpinannya, seorang
pemimpin yang bergaya otokrasi memiliki wewenang yang dianggap tanpa batas.
Wewenang disini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada pemimpin untuk
menetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/ kebijakan baik itu keputusan
yang bersifat memberikan solusi maupun berpotensi merugikan kepentingan bawahannya /
organisasi.
Agar tujuan organisasi pemerintahan dapat tercapai dengan baik, maka dibutuhkan
kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang efektif menurut Made Pidarta (1988: 173) dalam
Suwatno (2011: 155) ialah pemimpin yang tinggi dalam kedua dimensi kepemimpinan. Begitu
pula pemimpin yang memiliki performa tinggi dalam perencanaan dan fungsi – fungsi
manajemen adalah tinggi pula dalam kedua dimensi kepemimpinan. Dua dimensi kepemimpinan
tersebut adalah:
a. Kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas adalah kepemimpinan yang hanya menekankan
penyelesaian tugas – tugas kepada para pegawainya dengan tidak memperdulikan perkembangan
bakat, kompetensi, motivasi, minat, komunikasi , tidak mempunyai empati , belas kasihan dan
tidak peduli kesejahteraan pegawainya. Para pegawai akan bekerja secara rutin, rajin, taat dan
tunduk dalam perintahnya. Pemimpin ini tidak mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman
sehingga organisasi menjadi usang dan ketinggalan jaman.
b. Kepemimpinan yang berorientasi kepada hubungan antar manusia. Kepemimpinan ini hanya
menekankan perkembangan para pegawainya, kepuasan mereka, motivasi, kerjasama, pergaulan
dan kesejahteraan mereka. Pemimpin ini berasumsi bila para pegawainya diperlakukan dengan
baik, maka tujuan organisasi kependidikan akan tercapai.
Tetapi pada kenyataannya banyak ditemui pegawai tidak selalu beritikad baik, walaupun ia
diperlakukan dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan organisasi mejadi stagnan. Oleh sebab itu
kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mengintegrasikan hubungan antar
manusia. Dengan mengintegrasikan dan meningkatkan keduanya, kepemimpinan akan menjadi
efektif, yaitu mampu mencapai tujuan organisasi tepat pada waktunya. Kepemimpinan yang
efektif dapat melaksanakan fungsi – fungsi manajemen dengan baik termasuk melaksanakan
perencanaan dengan baik pula. Kepemimpinan yang efektif selalu memanfaatkan kerja sama
dengan anggotanya untuk mencapai cita – cita organisasi dan mendengarkan keluh kesah
pegawainya Dengan cara seperti ini, pemimpin akan banyak mendapat bantuan pikiran,
semangat, dan tenaga dari pegawainya yang akan menimbulkan semangat bersama dan rasa
persatuan, sehingga menimbulkan rasa memiliki dan empati didalam mengatasi masalah dalam
upaya memajukan organisasi pemerintahan
Referensi:
Arcan. Suwatno, Donni Juni Prinsa. 2011. Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan
Bisnis. Bandung
Alfabeta. Thoha, Miftah. 1983. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Alfabeta, Bandung Torang, Syamsir. 2013. Organisasi dan Manajemen, cetakan
pertama. Alfabeta, Bandung
(2)
Efektivitas kerja merupakan salah satu di antara kajian menejemen yang menitikberatkan
pada hasil kerja suatu orgnisasi. Efektivitas kerja merujuk pada tingkat pencapaian tujuan
organisasi yang telah ditetapkan secara tepat dengan mendayagunakan berbagai sumber
yang dimiliki dan jangka waktu yang telah ditentukan. Efektivitas kerja menuntut berbagai
dimensi dan indikator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur kinerja seseorang/individu
dalam suatu organisasi. Dengan berpijak pada indicator-indikator efektivitas, keberhasilan
atau kegagalan kinerja suatu organisasi dapat diketahui. Dapat diyakini bahwa, semakin
terpenuhi indikator-indikator efektivitas kerja, semakin tercapai tujuan yang tekah
ditetapkan dengan tepat. Keberhasiln dan atau kegagalan akan ketercapaian tujuan-tujuan
organisasi secara tepat tidak terlepas dari faktor kepemimpinan. Pimpinan organisasi
merupakan individu yang paling menentukan keberlangsungan kehidupan organisasi, tidak
terkecuali organisasi yang berfokus pada sektor pendidikan. Seorang pimpinan pendidikan-
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi-- harus mampu membujuk, membimbing,
mempengaruhi, dan mengerahkan/menggerakkan anggota organisasinya untuk
berbuat/bekerja secara optimal dalam usaha mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam melakoni perannya, seorang pimpinan sejatinya memenuhi, jika mungkin memiliki
criteria seperti 1) adil, 2) memberi sugesti, 3) mendukung tercapainya tujuan, 4) katalisator,
5) menciptakan rasa aman, 6) wakil organisasi, 7) sumber inspirasi dan 8) menghargai.
Dengan dilaksanakannya berbagai dimensi-dimensi dan indikatorindikator efektivitas kerja,
dan pimpinan yang memenuhi 8 kriteria di atas dalam melaksanakan perannya, maka dapat
diyakini efektivitas kerja organisasi-ipendidikan dapat terwujud dengan tercapaianya tujuan
pendidikan secara tepat.
Adapun Top leader ditempat saya berkuliah menggunakan gaya kepemimpinan demokratis,
karena beliau merupakan sosok Pemimpin yang baik, dapat menumbuhkan kepercayaan dan rasa
hormat di antara bawahannya. Tiap bawahan berpartisipasi dan mendasarkan keputusan mereka
pada moral dan nilai-nilai yang dianut bersama dalam grup. cenderung mencari berbagai
pendapat dan tidak berusaha membungkam suara-suara yang berbeda atau yang menawarkan
sudut pandang kurang populer.Maka itu, saya berpendapat bahwa pemimpin demokratis yang
baik memiliki sifat-sifat spesifik seperti di bawah ini untuk bisa menjadi mediator andal,
kejujuran, kecerdasan (Intelegensi), keberanian, kreativitas, kompetensi, rasa keadilan seperti
halnya dengan pemimpin ditempat saya kuliah saat ini.
Referensi:
Peramesti, Ni Putu Depi Yulia. Dedi Kusmana. 2018. Kepemimpinan Ideal pada Era Generasi
Milenial. Jurnal Transformasi Pemerintahan vol. 10 No. 1. Diunduh 27 Juni 2023.
Peramesti, Ni Putu Depi Yulia. Dedi Kusmana. 2018. Kepemimpinan Ideal pada Era Generasi
Milenial. Jurnal Transformasi Pemerintahan vol. 10 No. 1. Diunduh 27 Juni 2019.
(3)
pemimpin yang efektif selalu mempunyai rencana, berorientasi pada hasil, senantiasa
mengadopsi visi-visi baru yang menantang tetapi bisa dijangaku, mengkomunikasikannya
visi-visi tersebut kepada seluruh anggotanya. Visi yang kuat akan menuntun menuju
kepemimpinan yang sukses, karena kepemimpinan yang sukses merupakan kunci keberhasilan
organisasi. Organisasi yang sukses adalah organisasi yang mampu melahirkan pemimpin-
pemimpin dengan komitmen kuat, memiliki visi masa depan, dan mampu mengkoordinasikan
seluruh anggotanya. Merujuk pada konsep kepemimpinan visioner yang ada yang sangat
dibutuhkan dan urgen pada saat ini dalam menjawab semua perubahan dan tantangan yang
ada dalam menciptakan dan membangun keefektifan dalam pendidikan adalah kepemimpinan
visioner. Mengapa? Karena visioner adalah orang yang memiliki wawasan ke depan. Visioner
juga mengkontruksi perubahan-perubahan yang dinamis, lebih memikirkan pada manfaat,
nilai dan tanggung jawab. Visioner menunjukkan sifatnya terbuka dan melihat pada potensi-
potensi yang mungkin terjadi tanpa mempunyai kepastian mengenai hasil- hasilnya. Masa
depan adalah masa kini yang sedang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Visi masa depan ini
harus dimiliki oleh setiap pemimpin sekolah. Maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
visioner dalam pendidikan adalah segala tindakan, dan perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok dalam suatu wadah tertentu yang memberikan pengaruh, bimbingan,
arahan, keinginan, tujuan, mengkoordinasikan, inisiatif, perintah, hubungan sosial,
menentukan prosedur, merancang perbuatan dalam rangka mencapai tujuan yang menjadi
kesepakatan bersama.
Gaya kepemimpinan situasional berarti sebuah proses pelaksanaan pengelolaan dengan seni
yang dimiliki oleh pemimpin yang berdasarkan pada keadaan situasi. Artinya pemimpin
memiliki kemampuan ataupun kecerdasan dalam membaca situasi dan kondisi sehingga ia
paham kapan harus bertindak secara demokratis, kapan harus bentidak secara otoriter.
Sehingga di linggungan internal pemimpin menguasai keadaan dengan baik. Maka pada
penerapan gaya kepemimpinan situasional tidak terlepas dari empat indikator model yang
dikemukakan oleh Ken Blanchard-Paul Hersey yang terdiri dari telling, selling, participating,
dan delegating. Telling artinya pemimpin memberitahukan tugas pokok dan fungsi dari
masing-masing mitra kerjanya, sehingga terjadi komunikasi satu arah antara atasan dan
bawahan. Selanjutnya selling artinya menjual maksudnya pemimpin memberikan instruksi
yang tepat kepada mitra kerjanya dengan menjalin komunikasi secara efektif dan efisien.
Selanjutnya participating artinya pemimpin memiliki partisipasi yang tinggi dalam
menjalankan tugas dan berusaha menyadarkan mitra kerjanya untuk berpartisipasi aktif dalam
menyelesaikan pekerjaannya serta berperanaktif dalam pengambilan keputusan. Terakhir
delegating pemimpin meberikan pelimpahan wewenang kepada mitra kerjanya yang sanggup
dan mau untuk melaksanakannya.
Referensi:
B. Nanus, "Kepemimpinan Visioner; Menciptakan Kesadaran akan arah dan Tujuan di Dalam
Organisasi. Alih Bahasa: Frederik Ruma," Jakarta: Prenhallindo, 2011.
A. Komariah dan C. Triatna, "Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif," Jakarta: Bumi
Aksara, 2016
Yukl, G. 2006. Leadership in Organizational. Sixth Edition. New Jersey: Perason Prentice
Hall.
(4)
Referensi:
Dirawat, dkk, 1986, Pengantar Kepemimpinan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.
Purwanto Ngalim, 2002, Administrasi Dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Abdullah, Munir. Menjadi Kepala Sekolah Efektif, Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010