Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENJAMINAN MUTU

EVALUASI PELAYANAN
KOLABORATIF INTERPROFESI
DI UPTD PUSKESMAS SAWAH LEBAR KOTA BENGKULU
TAHUN 2023

Disusun Oleh:
Bimo Fernando H1AP22005
Auliya Afifah H1AP22006
Dhilah Fairuz Syirah H1AP22007
Inayah Anisah H1AP220032

Pembimbing :
dr. Erlina Panca Puteri, MH
dr. Hj. Fatimah,
S.T

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena dengan izin-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Penjaminan Mutu yang
berjudul “Pelayanan Kolaboratif di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu Tahun
2023” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu
Kedokteran Komunitas.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing dr. Hj. Fatimah, S.T,


dan dr. Erlina Panca Puteri, MH, serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa Laporan Penjaminan Mutu ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang membaca demi perbaikan di masa depan. Penulis juga
berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan di Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu dan manajemen pelayanan
kesehatan pada umumnya.

Bengkulu, September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................6
1.1 Latar Belakang.......................................................................................6
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................8
1.3.1 Tujuan Umum........................................................................................8
1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................8
1.4.1 Bagi Penulis...........................................................................................8
1.4.2 Bagi UPTD Puskesmas Sawah Lebar......................................................9
1.4.3 Bagi Universitas......................................................................................9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................10
2.1 Profil UPTD Puskesmas Sawah Lebar................................................10
2.1.1 Tenaga Kesehatan..................................................................................11
2.1.2 Sarana Kesehatan...................................................................................11
2.1.3 Pembiayaan Kesehatan..........................................................................12
2.2 Situasi Lingkungan dan Kependudukan..............................................13
a. Data Demografis..................................................................................13
b. Kependudukan.....................................................................................13
2.3 Status Derajat Kesehatan.....................................................................17
a. Angka Kematian (Mortalitas)..............................................................17
b. Angka Kesakitan (Morbiditas).............................................................18
c. Status Gizi Masyarakat........................................................................20
2.4 Jaminan Mutu......................................................................................22

4
Gambar 2.3. Model Jaminan Mutu........................................................................23
2.5 Kualitas Pelayanan...............................................................................26
2.6 Kepuasan Pasien..................................................................................29
BAB III. PROBLEM SOLVING CYCLE............................................................33
3.1 Identifikasi Masalah.....................................................................................33
1.2 Penjabaran Masalah.............................................................................38
Tabel 3.2 Prioritas masalah...................................................................................38
2.7 3.3 Analisis Masalah............................................................................41
Bagan 1. Kerangka Konsep Prioritas Penyebab Masalah.....................................42
Tabel 3.3. Prioritas Penyebab Masalah.................................................................43
BAB IV. EVALUASI PROGRAM PENAJAMINAN MUTU............................45
4.1 Alternatif Penyelesaian Masalah.........................................................45
Tabel 4.1 Prioritas Penyelesaian Masalah.............................................................45
4.2 Proposal Intervensi..............................................................................48
4.2.1 Diskusi dengan bagian mutu dan pelayanan mengenai pengadaan
formulir kotak saran dan kepuasan pasien di UPTD Puskesmas Sawah
Lebar....................................................................................................48
 Manfaat................................................................................................48
 Sasaran.................................................................................................49
 Bentuk kegiatan...................................................................................49
pengadaan formulir kritik dan saran, pengadaan lembar survey kepuasan
pasien, pengadaan kotak formulir kritik dan saran serta kotak puas dan
tidak puas.............................................................................................49
BAB V. HASIL EVALUASI INTERVENSI.......................................................50
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................51
6.2 Kesimpulan..........................................................................................51
6.2 Saran....................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................52
Lampiran...............................................................................................................55

5
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Salah satu tugas pokok pemerintah adalah memberikan pelayanan yang baik kepada
masyarakat yang bertujuan untuk membantu masyarakat dan dilakukan dengan cara terbaik,
sehingga hasilnya lebih dari yang diharapkan. Berhubungan dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik
yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, maka tidak lepas dari upaya yang dilakukan dengan tujuan pembangunan
dan meningkatkan kapasitas dalam hal pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat salah
satunya adalah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat secara khusus terhadap
pelayanan publik dibidang kesehatan.1

Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) adalah fasilitas pelayanan kesehatan


yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah
kerjanya. Puskesmas merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang
amat penting di Indonesia yang memberikan pelayanan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan
mutu pelayanan kepada perorangan.2,3

Jaminan mutu (Quality assurance) merupakan kondisi yang memberikan kepastian


tentang tingkat mutu dari produk atau jasa sehingga konsumen dapat membeli atau
memanfaatkannya dengan penuh kepercayaan dan menggunakannya dalam jangka waktu
lama dengan kepercayaan dan kepuasan.

Upaya pengembangan Collaborative Practice WHO dalam Global strategy on


integrated people-centred health services (IPCHS) 2015-2026 telah menjelaskan perubahan
paradigma mendasar dalam cara pandang pemberian pendanaan, pengelolaan dan pelayanan
Kesehatan yaitu dengan adanya kolaborasi interprofesi.4

6
Kolaborasi interprofesi merupakan proses kerjasama dari berbagai profesi kesehatan sebagai
sebuah tim.5 Kolaborasi yang baik terjadi ketika individu didalam tim saling menghormati
satu sama lain, antara satu profesi dan profesi lain, dan serta dapat bekerjasama dengan baik.
Kolaborasi interprofesi melibatkan lebih dari satu tenaga kesehatan yang berbeda yang
menerapkan keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu mereka untuk
mengatasi masalah kesehatan pasien.6 Petugas kesehatan yang bermitra dalam satu tim
kolaborasi dapat meningkatkan pandangan pasien terhadap pelayanan yang diberikan dari
komunikasi yang efektif termasuk didengarkan dan didorong, perasaan memahami dan
memahami mengapa mereka memiliki rasa sakit. 7 Selain itu, dengan kolaborasi interprofesi
yang baik maka terwujud Collaborative Practice yang efektif yang pada gilirannya akan
mengoptimalkan kualitas layanan kesehatan, memperkuat sistem kesehatan dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik dalam perawatan akut dan primer, peningkatan tingkat
kepuasan pada pasien, penerimaan perawatan yang lebih baik dan peningkatan derajat
kesehatan.8

Di sini peran puskesmas dan jaringanya sebagai institusi yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan di tingkat pertama yang terlibat langsung dengan masyarakat menjadi
sangat penting. Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan
diwilayah kerjanya. Sebagai salah satu tempat pelayanan publik di bidang kesehatan yang
berada di bawah pemerintahan, puskesmas dirasakan belum memenuhi harapan masyarakat
dalam melakukan pelayanan. Hal ini dapat diketahui dari berbagai keluhan masyarakat yang
disampaikan melalui media massa dan jejaring sosial. Tentunya keluhan tersebut, jika tidak
ditangani memberikan dampak buruk terhadap pemerintah. Lebih jauh lagi adalah dapat
menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat. Salah satu upaya yang harus dilakukan
dalam perbaikan pelayanan publik adalah menerapkan pelayanan kolaboratif interprofesi
melalui perbaikan catatan perkembangan pasien yang terintegrasi antar profesi. Perbaikan
catatan pasien terintegrasi antar profesi dapat memudahkan antar profesi untuk mengetahui
permasalahan yang sedang dialami pasien dikarenakan berada di satu rekam medis dan
memudahkan akses terhadap data rekam medis pasien serta meningkatkan kecepatan dan
ketepatan dalam penanganan ksehatan pasien.

7
1.2 Rumusan Masalah

Apakah pelayanan kolaboratif interprofesi sudah diterapkan di UPTD Puskesmas


Sawah Lebar Kota Bengkulu Pada Tahun 2023?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum studi ini adalah untuk menilai dan mengevaluasi pelayanan
kolaboratif interprofesi yang diberikan di UPTD Puskesmas Sawah Lebar pada Tahun 2023.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengidentifikasi pelayanan kolaboratif interprofesi yang diberikan di
UPTD Puskesmas Sawah Lebar pada Tahun 2023.

b. Untuk menganalisis kualitas pelayanan kolaboratif interprofesi yang diberikan di


UPTD Puskesmas Sawah Lebar kepada pasien pada Tahun 2023.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut, maka manfaat penelitian ini adalah:

1.4.1 Bagi Penulis


 Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama menjalani
pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu.

 Mendapatkan pengalaman belajar mengenai manajemen dan evaluasi program


puskesmas.

 Mendapatkan informasi mengenai pelayanan kolaboratif interprofesi di puskesmas.


 Dapat mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif penyelesaian

8
 masalah sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kepuasan
pasien.

1.4.2 Bagi UPTD Puskesmas Sawah Lebar

 Sebagai bahan masukan dalam peningkatan kepuasan pasien terhadap pelayanan


di Puskesmas Sawah Lebar.
 Mendapatkan gambaran tentang penyebab masalah pada pelayanan yang
berkaitan dengan kepuasan pasien di Puskesmas Sawah Lebar.
 Mendapatkan alternatif pemecahan masalah dalam penerapan pelayanan
kolaboratif interprofesi di Puskesmas Sawah Lebar.

1.4.3 Bagi Universitas


Melaksanakan tanggung jawab Universitas yang tertuang dalam tridharma perguruan
tinggi dengan melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai lembaga
penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.

9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil UPTD Puskesmas Sawah Lebar

Pusat kesehatan masyarakat (Puskemas) adalah suatu tempat yang digunakan


untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promortif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasiltas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif di wilayah kerjanya. 9

UPTD Puskesmas Sawah Lebar memiliki Visi yaitu komitmen yang tinggi
untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang berkualitas menuju masyarakat sehat
dalam wilayah kerja UPTD Puskesmas Sawah Lebar.
Misi UPTD Puskesmas sawah Lebar adalah:
1. Memberikan pelayanan yang bermutu baik bagi perorangan, keluarga
kelompokdan masyarakat.
2. Meningkatkan mutu pelayanan, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan.
3. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan dengan dukungan dan
kerjasama lintas sector.

Motto UPTD Puskesmas Sawah Lebar yaitu :

“Anda sehat adalah Kepuasan Kami”


Tata Nilai UPTD Puskesmas sawah Lebar adalah “SEPAKAT”
S=Senyum Menampilkan kebahagiaan dan rasa senang
E=Empati Mengetahui yang orang lain rasakan dan pikirkan
P=Profesional Memiliki kompetensi dalam suatu pekerjaan
A=Aktif Giat dalam bekerja

10
K=Kreatif Suatu kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
memberikan kesempatan individu untuk menciptakan
ide
A=Akimulatif Bertambah dan makin berkembang
T=Transparan Suatu hal yang nyata, jelas, terbuka, dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya

2.1.1 Tenaga Kesehatan


Pelayanan kesehatan bagi 21.743 jiwa penduduk yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Sawah Lebar terdapat sebanyak 47 Tenaga Kesehatan yang terdiri dari 30
orang PNS, 4 orang tenaga honorer, 13 orang tenaga TKS baik yang berada di
puskesmas induk maupun puskesmas pembantu. Unit Promosi Kesehatan Puskesmas
Sawah Lebar memiliki 3 orang tenaga kesehatan yang terdiri dari 1 orang tenaga
kesehatan PNS lulusan SKM sebagai penanggung jawab program promkes, 1 orang
tenaga kesehatan PNS yaitu bidan dan 1 orang tenaga kesehatan honorer Str.Kes.

2.1.2 Sarana Kesehatan


Adapun prasarana dan sarana Puskesmas Sawah Lebar meliputi7 :

a. Puskesmas

UPTD Puskesmas Sawah Lebar berlokasi di Jl. Sepakat RT.18, Sawah


Lebar Baru, Kecamatan Sawah Lebar, Kota Bengkulu. Terbagi atas ruang-
ruang terdiri dari:

- Ruang Ka. UPTD


- Ruang Pemeriksaan Gigi
- Ruang Pendaftaran
- Ruang Periksa
- Ruang Apotik
- Ruang Tata Usaha

11
- Ruang Gizi
- Ruang Laktasi
- Laboratorium Sederhana
- Ruang KIA/KB
- Kamar Mandi/WC 2 buah
- IGD

b. 3 Unit Pustu, masing-masing :

- Pustu Kebun Tebeng di Kelurahan Kebun Tebeng


- Pustu Lorong Butai di Kelurahan Sawah Lebar
- Pustu sawah Lebar di Kelurahan Sawah Lebar Baru

c. 16 Posyandu, masing-masing :

- 4 Posyandu di Kelurahan Kebun Tebeng


- 7 Posyandu di Kelurahan Sawah Lebar baru
- 5 Posyandu di Kelurahan Sawah Lebar

d. 1 Unit kendaraan roda empat sebagai Puskesmas Keliling


e. 6 unit kendaraan roda dua sebagai Transportasi Petugas

2.1.3 Pembiayaan Kesehatan


Pembiayaan kesehatan yang didapat oleh Puskesmas Sawah Lebar Kota
Bengkulu sama halnya dengan Puskesmas lainnya yang bersumber dari:
1) Gizi
2) BPJS
3) Operasional
4) BOK (Bantuan Operasional Kesehatan)
Realisasinya telah ditentukan oleh masing-masing kebijakan sumber dana.

12
2.2 Situasi Lingkungan dan Kependudukan

a. Data Demografis
UPTD Puskesmas Sawah Lebar Kota Bengkulu adalah Puskesmas utama yang
terletak di wilayah kerja Kecamatan Ratu Agung Kota Bengkulu, dengan luas 2,61
km2, dengan jumlah penduduk 21.206 jiwa, wilayah kerja Puskesmas Sawah Lebar
meliputi 3 (Tiga) Kelurahan yaitu:
1. Kelurahan Sawah Lebar dengan luas wilayah 1,15 km2, dengan jumlah
penduduk 7.841 jiwa.
2. Kelurahan Sawah Lebar Baru dengan luas wilayah 0,76 km2, dengan jumlah
penduduk 8.601 jiwa.
3. Kelurahan Kebun Tebeng dengan luas wilayah 0,70 km2, dengan jumlah
penduduk 4.764 jiwa.

Adapun Puskesmas Sawah Lebar wilayah kerjanya berbatasan dengan batas-


batas wilayah kerja puskesmas:
- Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Jembatan
Kecil.
- Sebelah Barat berbatsan dengan wilayah kerja Puskesmas Anggut.
- Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Sukamerindu.
b. Kependudukan
a) Peta Demografis
Puskesmas Sawah Lebar memiliki peta demografis seperti pada gambar
dibawah ini10:

13
Gambar 2.1. Peta Demografis UPTD. Puskesmas Sawah Lebar

Gambar 2.2. UPTD. Puskesmas Sawah Lebar

14
b) Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Sawah Lebar


adalah 21.206, yang terdiri dari 9.359 jiwa laki-laki dan 11.647 jiwa
perempuan.
c) Mata Pencaharian

Status sosial ekonomi penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas


SawahLebar kota Bengkulu adalah menengah kebawah, dengan rincian
mata pencarian sebagai berikut:

Tabel 2.1. Status Sosial Ekonomi Masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas
SawahLebar.
No Jenis Mata Pencarian Jumlah
1. Petani 1.646
2. Pedagang 1.015
3. PNS 2.042
4. ABRI 376
5. Swasta 2.700

Total 7.779

Pendataan Petugas SP2TP Puskesmas Sawah Lebar Tahun 2020

d) Sex Ratio Penduduk

Adapun sex ratio penduduk wilayah kerja UPTD Puskesmas


sawah LebarKota Bengkulu Tahun 2020, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Kelompok Jumlah Penduduk


Sex
No Umur
Lk Pr Lk+Pr Ratio
(Tahun)

15
1. 0-6 2.078 1.909 3.987
2. 7-12 1.463 1.476 2.939
3. 13-18 2.002 2.281 4.283
4. 19-24 2.046 2.121 4.167
5. 25-55 1.900 2.045 3.945
6. 56-69 908 737 1.645
7. 70-80 103 103 206
Jumlah 10.500 10.672 21.172
Angka Beban Tanggungan (Dependency Ratio) 100

e) Tingkat Pendidikan Penduduk


Sosial Ekonomi ini ditunjang juga dengan tersedianya sarana
pendidikan yang ada.

Tabel 2.3. Sarana Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas

N
Jenis Pendidikan Jumlah
o
1. Taman Kanak-Kanak/PAUD 10 Buah
2. Sekolah Dasar 11 Buah
3. SLTPSLTA 4 Buah
4. Akademi 3 Buah
5. Perguruan Tinggi 0 Buah
6. 2 Buah

Total 29 Buah

Pendataan Petugas SP2TP Puskesmas Sawah Lebar Tahun 2020

16
Untuk mengetahui lebih jelas disini dapat dilihat rincian tingkat
pendidikan penduduk sebagai berikut:

Tabel 2.4. Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan


N
Jenis Pendidikan Jumlah
o
1. Taman Kanak-Kanak/PAUD 1.780
2. Sekolah Dasar 3.128
3. SLTP 3.143
4. SLTA 3.009
5. Akademi dan Perguruan Tinggi 2.795
Total 13.855

Sumber: Pendataan Petugas SP2TP Puskesmas Sawah Lebar Tahun 2020.

2.3 Status Derajat Kesehatan

a. Angka Kematian (Mortalitas)


Angka kematian digunakan untuk melihat gambaran derajat kesehatan
dan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan
program pembangunan kesehatan lainnya.

Tabel 2.5. Angka kematian yang ada di Puskesmas Sawah Lebar Tahun
2020

No. Bulan Jumlah (n)


1 Januari 7
2 Februari 1
3 Maret 6
4 April 1
5 Mei 4
6 Juni 4

17
7 Juli 6

8 Agustus 1
9 September 2
10 Oktober 6
11. November 6
12. Desember 2

b. Angka Kesakitan (Morbiditas)


Angka kesakitan penduduk didapat dari data yang berasal dari
masyarakat (community based data) yang dapat diperoleh dengan melalui studi
morbiditas dari hasil pengumpulan data baik dari Dinas Kesehatan maupun dari
sarana pelayanan kesehatan (facility based data) yang diperoleh melalui sistem
pencatatan dan pelaporan.
Tabel 2.6. 10 Penyakit tertinggi kunjungan BPJS di wilayah kerja Puskesmas
SawahLebar Januari-Oktober 2021
No. Penyakit Jumlah (n)
1 Influenza 1.022
2 Follow up after Surgery 324
3 Hypertensive Hearth 277
Disease
4 Dyspepsia 245
5 Congestive Heart Failure 224
6 Diabetes mellitus 145
7 Pharyngitis 119
8 Myalgia 95
9 Headache 89
10 Surveilanve of 81
Contraceptive drugs

18
Jumlah 2.621

1) Penyakit Menular
Penyakit menular yang disajikan pada data profil kesehatan antara lain
penyakitmalaria, TB paru, HIV/AIDS, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Berikut adalah 10 penyakit menular tertinggi di Puskesmas Sawah Lebar pada
tahun 2020.
Tabel 2.7. 10 Penyakit Menular tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Sawah
Lebar

No. Penyakit Jumlah (n)


1 ISPA 3.065
2 Diare 375
3 Penyakit Mata 336
4 Penyakit Kulit Jamur 93
5 Demam Berdarah 45
6 Variecella 31
7 Campak 14
8 Parotitis 11
9 TB paru 11
10 Infeksi Gondok 7
Jumlah 3.998

2) Penyakit Menular Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)


PD3I adalah penyakit yang diharapkan dapat diberantas/ ditekan
ddengan pelaksanaan imunisasi. Pada profil kesehatan ini dibahas
penyakit tetanus neonatorum, campak, difteri, pertussis, dan hepatitis B.
3) Penyakit Potensi KLB/Wabah

19
4) Penyakit Tidak Menular
Semakin meningkatnya arus globalisasi disegala bidang,
perkembanganteknologi, dan industri banyak membawa perubahan pada
perilaku dan gaya hidup masyarakat, serta situasi lingkungan misalnya
perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktivitas fisik, dan
menignkatnya polusi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari
telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi
dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit

tidak menular seperti penyakit jantung, tumor, diabetes, hipertensi, gagal


ginjal,dan sebagainya.
5) Penyalahgunaan NAPZA
Ditinjau dari jenisnya, ketergantungan NAPZA merupakan
penyakit mental dan perilaku yang dapat berdampak pada kondisi
kejiwaan yang bersangkutan dan masalah lingkungan sosial. Walaupun
tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus penyalahgunaan
NAPZA.

c. Status Gizi Masyarakat


Pemantauan status gizi pada bayi/balita diperlukan untuk mengetahui
prevalensi kasus gizi buruk atau KEP pada suatu wilayah. Informasi mengenai
status gizi, sebagai salah satu indikator masalah kesehatan. Hasil dari kegiatan
PSG dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.8. Jumlah penduduk Prioritas Sasaran Program Kesehatan.

No. Kelurahan Bumil Bufas Bayi Balita


1. Sawah Lebar 180 172 167 792
2. Sawah Lebar Baru 162 155 127 622
3. Kebun Tebeng 115 109 106 505

20
Jumlah 454 436 400 1.919

Tabel 2.9. Status Gizi Balita Menurut Kelurahan di Puskesmas Sawah Lebar
KotaBengkulu.
No. Kelurahan Status Gizi Balita
Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk Gizi Lebih
1. Sawah Lebar 198 7 0 6
2. Sawah Lebar Baru 390 7 0 11
3. Kebun Tebeng 307 5 1 5
Jumlah 895 19 1 22

Tujuan upaya peningkatan gizi di puskesmas merupakan tindak lanjut


dari Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2014 pasal 20 mengenai “Tata laksana
gizi burukmerupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan status
gizi dengan menurunkan angka kematian balita gizi buruk”

21
Ruang lingkup kegiatan program gizi meliputi:
a. Menimbang berat badan balita untuk memantau pertumbuhan anak.
Dilakukan secara rutin setiap bulan, baik di Puskesmas maupun di
Pos Timbang/Posyandu.
b. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita yang kurang
gizi. PMT penyuluhan (pemberian makanan tambahan) dilakukan
melalui demonstrasi pemilihan bahan makanan yang bergizi dan
cara memasaknya. PMT Pemulihan dilakukan melalui pemberian
makanan yang sifatnya suplementasi (Vitamin A, Sulfas Ferrosus,
Susu, dan sebagainya).
c. Memberikan penyuluhan gizi pada masyarakat. Kegiatan gizi
diintegrasikan kedalam program KIA baik digedung Puskesmas
maupun di Posyandu.
d. Pembagian Vitamin A untuk balita 2x setahun, suplemen tablet besi
(sulfas ferrosus) untuk ibu hamil yang datang ke puskesmas untuk
ANC dan pemberian obat cacing untuk anak yang kurang gizi
karena gangguan parasit cacing.

2.4 Jaminan Mutu

Program jaminan mutu (quality assurance) pada Pelayanan Kesehatan


merupakan suatu rangkaian kegiatan pelayanan kesehatan berdasarkan
standar dan prosedur medis yang semestinya agar mutu pelayanan kesehatan
tetap terjaga, ditinjau dari pandangan pemberi pelayanan kesehatan maupun
kepuasan pasien. Jaminan mutu bertujuan memastikan layanan tersebut
memenuhi persyaratan dan standar kualitas yang ditetapkan.11

Mutu Pelayanan Kesehatan adalah suatu kebutuhan dasar setiap orang.


Fasilitaskesehatan seperti rumah Sakit dan puskesmas terdiri atas pelayanan
yang beragam seperti pemeriksaan, perawatan, farmasi, laboratiorium,
termasuk pelayanan rekam medis. Rumah sakit dan puskesmas termasuk
dalam jasa pelayanan umum yang melayani masayarakat secara langsung,
oleh karena itu rumah sakit dan puskesmas harus memberikan pelayanan yang
bermutu sesuai dengan harapan pasien. Tujuan yang paling utama dalam
pelayanan kesehatan adalah menghasilkan outcome yang menguntungkan
bagi pasien. Pencapaian outcome yang diinginkan sangat tergantung dari
mutu pelayanan kesehatan.11

Mutu pelayanan kesehatan adalah suatu langkah ke arah peningkatan


pelayanan kesehatan baik untuk individu maupun untuk populasi sesuai
dengan keluaran yang diharapkan dan sesuai dengan pengetahuan profesional
terkini. Akan tetapi Mutu pelayanan kesehatan cukup sulit terukur karena
hasil yang terlihat merupakan gabungan dari seluruh unsur yang terjadi di
dalam pengelolaan suatu pelayanan kesehatan: meliputi input, process dan
outcome.11,12

Mutu pelayanan (masalah kompleks) yang terjadi di dalam organisasi


pelayanan berupa kerja tim dengan mengikuti langkah-langkah dalam
sikluspemecahan masalah (Problem Solving Cycle) dan mempergunakan alat-
alat pemecahan masalah (Quality Improvement Tool) serta berdasarkan data.

Salah satu Langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.3. Model Jaminan Mutu


(The Guide to Managing for Quality from MSH and UNICEF.)
1. Menentukan topik yang akan dikaji, dengan cara melakukan
pengamatan atauberdiskusi dengan kepala.
2. Menentukan masalah khusus dari topik tersebut.
3. Membicarakan masalah tersebut dengan sumber daya manusia
terkait, termasukkepala atau staf terkait.
4. Mencari penyebab masalah bersama dengan sumber daya
manusia terkait.
5. Mendesain pemecahan masalah bersama sumber daya manusia
terkait,sepengetahuan kepala.

6. Melakukan aplikasi/intervensi pemecahan masalah.


7. Mengevaluasi hasil penerapan tersebut.
8. Membuat analisis.
9. Menuliskan laporan.
Pendaftara
n

Pasien Menunggu Pemanggilan Sesuai Nomor Antrian

Pasien Masuk ke Poli

Lakukan Pemeriksaan Tanda

Rujukan Lakukan Pemeriksaan Laboratorium

Melakukan Diagnosa

Penulisan Resep

Apotek

Pulang

Alur Pelayanan Pasien di Puskesmas Sawah Lebar


Bagan 2.1. Alur Pelayanan Pasien di Puskesmas Sawah Lebar
2.5 Kualitas Pelayanan

Keberadaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan mempengaruhi


derajat kesehatan masyarakat suatu negara. Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjelaskan bahwa
fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif
yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat (Kemenkes RI, 2018). Dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 65 Tahun 2013 dijelaskan bahwa Upaya
Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) adalah wahana
pemberdayaan masyarakat, yang dibentuk atas dasar kebutuhan
masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat,
dengan bimbingan dari petugas Puskesmas, lintas sektor dan
lembaga terkait lainnya. Proses dalam mewujudkan upaya
pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan
eksternal yang saling berkontribusi dan mempengaruhi secara
sinergis dandinamis. Salah satu faktor eksternal dalam proses
pemberdayaan masyarakat adalah pendampingan oleh fasilitator
pemberdayaan masyarakat.12

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun


2014 tentang Puskesmas menyebutkan bahwa Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untukmencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.9 Dalam memberikan
pelayanan jasa di bidang kesehatan, maka setiap kebijakan
pemerintah harus disertai dengan sasaran kebijakan. Agar
kebijakan pelayanankesehatan yang dibuat itu tepat pada sasaran
maka dibuatlah kategori penerima layanan kesehatan.

pada dasarnya ada dua kategori dalam pelayanan


kesehatan yang berdasarkan pada sasaran dan orientasinya,
yaitu:

1. Kategori yang berorientasi pada publik atau masyarakat


Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kategori
publik terdiri dari sanitasi lingkungan (air bersih, sarana
pembuangan limbah baik limbah padatmaupun limbah cair,
imunisasi, dan perlindungan kualitas udara). Pelayanan
kesehatan yang berorientasikan masyarakat lebih
difokuskan langsung pada individu individu di masyarakat.
Orientasi ini merupakan usaha dari pencegahan, serta
peningkatan kesehatan masyarakat.

2. Kategori yang berorientasi pada perorangan atau pribadi

Pelayanan kesehatan perorangan atau pribadi


merupakan pelayanan kesehatan yang berfokus untuk
melayani kesehatan individu yang pada umumnya memiliki
masalah kesehatan atau penyakit yang membutuhkan
pelayanan kesehatan yang intensif. Dalam pelayanan
kesehatan perorangan atau pribadi ini lebih berorientasi pada
penyembuhan dan pengobatan serta pemulihan yang
ditujuhkan langsung kepada individu yang membutuhkan
pelayanan kesehatan pribadi ini.15

Terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu: 16


1. Reliability, ditandai dengan pemberian pelayanan
yang tepat dan benar;
2. Tangibles, ditandai dengan penyediaan yang memadai
meliputi sumberdaya manusia dan sumber daya
lainnya;
3. Responsiveness, ditandai dengan keinginan melayani
konsumen dengancepat;
4. Assurance, ditandai tingkat perhatian terhadap etika
dan moral dalammemberikan pelayanan;
5. Empathy, ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui
keinginan dankebutuhan konsumen.

Dalam KEPMENPAN No. 25 Tahun 2004 disebutkan


bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa
prinsip sebagai berikut:
a. Kesederhanaan, prosedur pelayanan tidak berbelit-
belit, mudah dipahami danmudah dilaksanakan.
b. Kejelasan, mencakup dalam hal:
 Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
 Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/ persoalan/sengketa dalam pelaksanaan
pelayanan publik;
 Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat


diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
d. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat,
dan sah.
e. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik
memberikan rasa aman dankepastian hukum.
f. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan
publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan
prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya
yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika).
h. Kemudahan akses, tempat dan lokasi serta sarana
pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh
masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan, pemberi
pelayanan harus bersikapdisiplin, sopan dan santun, ramah,
serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah
dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan,
seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

2.6 Kolaborasi interpofesi


a. Definisi

Collaborative Practice adalah terjadi ketika lebih dari satu petugas


kesehatan dari berbagai tempat latar belakang profesi memberikan layanan
komprehensif kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk
memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik di seluruh pengaturan.17
Interprofessional Collaboration adalah “dua atau lebih profesi tenaga
kesehatan yang bekerja sama sebagai tim yang memiliki kesamaan tujuan,
komitmen dan saling menghormati antara satu profesi dengan profesi
lainnya .18

Interprofessional Collaboration adalah proses mengembangkan


dan mempertahankan hubungan kerja antar profesi kesehatan yang efektif
dengan peserta didik, praktisi, pasien/klien/keluarga dan masyarakat untuk
meningkatkan derajat kesehatan yang optimal, elemen kolaborasi termasuk
rasa hormat, kepercayaan, pengambilan keputusan bersama, dan kemitraan .
Praktik IPC mulai dikenal dalam pelayanan kesehatan selama
beberapa dekade, tetapi telah mendapatkan respon yang positif dari semua
pihak. Terutama dalam 15 tahun terakhir konsep . IPC diketahui sangat
efektif untuk mengatasi terjadinya kesalahan medis. Juga munculnya
berbagai layanan yang berpusat pada pasien dan keluarga terutama pada
daerah-daerah dengan derajat kesehatan masyarakat yang masih rendah,
model IPC diharapkan mampu memberikan perawatan yang lebih baik
untuk masyarakat luas.20 (WHO (2010) menjelaskan IPC dalam pemberian
layanan kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika adanya keterlibatan
beberapa profesi tenaga kesehatan serta memberikan pelayanan secara
menyeluruh bio-psiko-sosial dan kultural, saling bekerjasama dengan
pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang berkualitas disemua tatanan. IPC melibatkan lebih dari satu
tenaga kesehatan yang berbeda yang menerapkan keterampilan dan
pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu mereka untuk mengatasi masalah
kesehatan pasien. Kolaborasi yang baik terjadi ketika individu didalam tim
saling menghormati satu sama lain, antara satu profesi dan profesi lain, dan
serta dapat bekerjasama dengan baik. 17

b. Teori Dasar IPC

 Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative


Practice17

WHO pada tahun 2010, untuk pertama kalinya merilis sebuah konsep yang
disebut Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Practice. Konsep inilah yang mendasari pelaksanaan Interprofessional Education
dan Collaborative Practice diseluruh dunia. Interprofessional Education dan
Collaborative Practice dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh para pakar selama hampir 50 tahun,
menunjukkan bahwa dengan pelaksanaan Interprofessional Education maka akan
terwujudnya Collaborative Practice yang efektif yang pada gilirannya akan
mengoptimalkan kualitas layanan kesehatan, memperkuat sistem kesehatan dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik dalam perawatan akut dan primer,
peningkatan tingkat kepuasan pada pasien, penerimaan perawatan yang lebih baik
dan peningkatan derajat kesehatan yang dilakukan oleh tim kolaboratif seperti
pada gambar berikut:

Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa Collaborative Practice dapat


meningkatkan:

1. Akses dan koordinasi pelayanan kesehatan

2. Penggunaan tenaga spesialis yang tepat sumber daya klinis

3. Hasil kesehatan untuk orang dengan penyakit kronis

4. Mutu perawatan dan keselamatan pasien

Collaborative Practice mengurangi:

1. Total angka komplikasi yang dialami pasien


2. Lama tinggal di rumah sakit
3. Ketegangan dan konflik di antara petugas kesehatan
4. Staffturnover
5. Biaya rumah sakit
6. Tingkat kesalahan klinis
7. Tingkat kematian pasien

Dalam pelayanan kesehatan jiwa dimasyarakat Collaborative Practice dapat:

1. Meningkatkan kesabaran dan tingkat kepuasan

2. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan

3. Mengurangi jumlah hari rawat

4. Menurunkan biaya perawatan

5. Mengurangi kejadian bunuh diri

6. Meningkatkan pelayanan kesehatan untuk pasien dengan gangguan


psikiatris

7. Menurunkan jumlah kunjungan rawat jalan

b. Global strategy on integrated people-centred health services 2016- 2026

The World Health Organization (WHO) dalam Global strategy on integrated


people-centred health services (IPCHS) merupakan perubahan paradigma
mendasar dalam cara pandang pemberian pendanaan, pengelolaan dan pelayanan
kesehatan. Perubahan paradigm ini sangat dibutuhkan untuk memenuhi tantangan
yang dihadapi oleh sistem kesehatan diseluruh dunia. Meskipun terjadi
peningkatan secara signifikan terhadap derajat kesehatan dan harapan hidup
masyarakat dibeberapa negara maju, akan tetapi peningkatan tersebut relatif tidak
merata terutama pada Negara-negara berkembang didunia. Masih terdapat lebih
dari 1 miliar warga dunia tidak mendapatkan akses perawatan kesehatan yang
bermutu sehingga kepuasan terhadap layanan kesehatan tetap relatif masih rendah.
Sifat dari masalah perawatan kesehatan, yang dulu berfokus pada pengelolaan
penyakit menular, telah bergeser kearah penyakit tidak menular, gangguan
kesehatan jiwa dan peningkatan angka kecelakaan hal ini sangat dipengaruhi oleh
populasi manusia yang semakin bertambah, urbanisasi dan globalisasi, serta gaya
hidup yang tidak sehat. Kondisi ini berlangsung secara cepat sehingga pasien
cenerung membutuhkan waktu perawatan yang lama, kerena semakin
meningkatnya multi-morbiditas, hal ini mengakibatkan peningkatan biaya
perawatan kesehatan. Sistem kesehatan yang terkotak-kotak menunjukkan
ketidakmampuan pemberi layanan kesehatan menanggapi tuntutan masyarakat
akan peningkatan kualtas layanan yang diberikan. Contoh sistem kesehatan yang
lemah dan tidak terintegrasi dengan baik yaitu kejadian wabah Ebola di Afrika
Barat karena kurangnya komunikasi antara sistem kesehatan didunia serta
minimnya regulasi mengenai system kesehatan internasional membuat rentannya
penularan wabah tersebut kenegara lain. 5

Negara-negara berkembang masih menghadapi masalah yang besar mulai


dari kurangnya akses geografis kelayanan kesehatan, sampai kurangnya tenaga
kesehatan, layanan kesehatan masih berfokus kerumah sakit, mengobati penyakit
bukan pada peningkatan fungsi mandiri pasien dalam menyelesaikan masalah
kesehatannya. Model perawatan kuratif merusak kemampuan sistem kesehatan
untuk menyediakan perawatan secara umum, adil, berkualitas tinggi, serta terus
menerus. Secara finansial. pemberi layanan kesehatan seringkali tidak
bertanggung jawab terhadap masyarakat, mereka melayani dan karenanya
memiliki insentif terbatas untuk memberikan perawatan responsif yang sesuai
dengan kebutuhan dan preferensi pengguna mereka. Pasien dan keluarga tidak
dapat membuat keputusan yang tepat tentang penanganan gangguan kesehatan
yang mereka alami dan melakukan perubahan atas keputusan yang mereka telah
lakukan. 5

Universal Health Coverage (UHC) tidak akan tercapai tanpa perbaikan


dalam pemberian layanan yakni masyaraka dapat mengakses layanan kesehatan
berkualitas tinggi yang memenuhi kebutuhan dan preferensi mereka. Perlu
reorientasi sistem layanan kesehatan, dari model pemberian yang terfragmentasi,
menuju layanan kesehatan yang menempatkan pasien, keluarga dan masyarakat
sebagai pusat layanan semua tenaga kesehatan, dengan layanan kesehatan yang
lebih responsive, terkoordinasi dengan baik, didalam maupun di luar sektor
kesehatan, serta diatur oleh regulasi yang memadai dan mendukung kondisi
tersebut. 5

c. Konstruksi Teori IPC Menurut Bachchu Kailash Kain

Bachchu Kailash Kaini menyatakan bahwa Interprofessional Collaboration sangat


penting untuk dilaksanakan dengan asumsi bahwa:20

1. Pelayanan kesehatan saat ini bersifat multifaset dan aktivitas


pelayanan yang semakin hari semakin kompleks.
2. Perubahanstrukturdemografipendudukdanpolapenyakityang
berkembang dari penyakit penular ke penyakit degeneratif
3. Terjadinya peningkatan biaya pelayanan kesehatan
4. Semakin berkembangnya konsep spesialisasi dan sub- spesialisasi
disetiap bidang profesi.
5. Perluasan peran profesional pelayanan kesehatan health care
professionals (HCPs)
6. Semakin bertambahnya tingkat pengetahuan masyarakat dan
semakin banyaknya alternatif pilihan tempat dan sistem pelayanan
kesehatan.

Mengubah lingkungan pelayanan kesehatan kearah yang lebih baik membutuhkan


sistem baru antara lain dengan meningkatkan praktik kolaboratif antar profesi
kesehatan, sistem ini semakin dibutuhkan dalam mengatasi masalah kesehatan
pasien.

Bachchu Kailash Kaini mengembangkan model IPC berdasarkan beberapa konsep


teori antara lain: 20

1. Teori Peran (Peran dan tanggung Jawab, kepemimpinan,

pengambilan keputusan, pelatihan dan pendidikan)

2. Teori Pembagian Kerja (spesialisasi dan peningkatan


produktivitas, sosial dan teknis tenaga kerja)

3. Teori Faktor Manusia (Komunikasi, interaksi, budaya

profesional, etika, kepribadian)

4. Teori Profesi (Kekuatan profesional, identitas, otonomi, batas)

d. The Perception of Interprofessional Collaboration Model (PINCOM).

Model teoritis PINCOM menjelaskan bahwa IPC dapat terjadi ditingkat


individu, tim, dan organisasi.
Pada Gambar 2.6 nampak Model IPC yang ditemukan oleh Oedegard (2016),
dimana dapat terlihat adanya 3 faktor yang saling berpengaruh antara satu faktor
dan faktor lainnya, yaitu: 21

1. Faktor Individu, yang dipengaruhi oleh subvariabel: motivation, role


expectancy, personality style,dan professional
2. Faktor Tim, yang dipengaruhi oleh subvariabel: group leadership, coping
mecanism, communication, dan social support.
3. Faktor Organisasi, yang dipengaruhi oleh: organizational culture,
organizational goal, organizational domain dan organizational
environment.

e. Hambatan dan Tantangan IPC

Menurut Bachchu Kailash Kaini hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan IPC
antara lain: 20

a. Kurangnya kesadaran akan nilai dan pentingnya IPC


b. Pendidikan dan pelatihan interprofessional yang masih sangat rendah.
c. Budaya profesional yang berbeda.Identitas, kekuatan dan struktur
profesional yang berbeda antar tiap profesi yang akan saling berkolaborasi
d. Peran dan tanggung jawab
e. Faktor manusia

Faktor hambatan utama dari kolaborasi adalah adanya:22

a. Budaya yang berbeda


b. Komunikasi
c. Peran masing-masing profesi
d. Berbagi sumber daya

IPC pada dasarnya adalah pengintegrasian atau kolaborasi berbagai profesi, dan
setiap profesi memiliki sejarah, budaya, sikap, nilai, kebiasaan, dan keyakinan
yang unik. Ada beberapa hambatan yang sering ditemui pada pelaksanaan IPC
yaitu:23

a. Suatu profesi memandang profesi lain sebagai orang luar atau pesaing
dan tidak ingin melibatkan profesi tersebut dalam proses kolaborasi.
b. Adanya profesi tertentu yang tidak dapat berinteraksi dengan kelompok
profesional lain karena berbagai alasan, bahkan sampai ketahap
membatasi diri, karena menganggap profesinya yang status rendah dalam
hierarki sosial.
c. Budaya dominan pada profesi tertentu dan mungkin memiliki sikap yang
negative terhadap profesi lain.
d. Individu pada profesi yang telah atau sedang dalam proses memperoleh,
legitimasi melalui lisensi, sertifikasi, sering dipandang berbeda oleh
rekan mereka sendiri.
e. perbedaan ideologis dan hubungan kekuasaan dalam proses kolaborasi
dari berbagai profesi dapat berpotensi menimbulkan masalah.
f. Perbedaan pendapat, masalah status, hambatan bahasa, orientasi layanan
kesehatan pada pasien, dan struktur pelaporan berpotensi menjadi
penghambat pelaksaanaan kolaborasi.
g. Terbatasnya fasilitasi layanan kesehatan yang tidak memenuhi standar,
serta peran dan kewenangan profesi yang tumpang tindih.
Kesimpulannya bahwa dalam proses kolaborasi akan ditemukan beberapa
hambatan yang perlu diatasi dengan baik, sehingga permasalahan kesehatan
pasien dapat diselesaikan dengan baik. Hal terebut merupakan langkah penting
dan strategis dalam membangun kolaborasi yang efektif.Diharapkan tiap unit
pelayanan dapat menemukan metode yang disepakati untuk mengatasi masalah
tersebut, dimulai dari penanganan hambatan pada tingkat individu sampai
ketingkat organisasi yang lebih besar. Beberapa ahli berpendapat bahwa proses
membangun budaya kolaborasi tidak bisa hanya dibangun sesuai dengan konsep
teori, proses kolaborasi membutuhkan banyak latihan dan pembiasaan. Kolaborasi
harus dimulai dari hal kecil dilingkungan masing-masing individu. Contohnya
membiasakan diri berkolaborasi dikantor antar sesama anggota dalam profesi,
dilingkungan tempat tinggal atau bahkan dikomunitas masing-masing individu.
Setelah keterampilan dalam kolaborasi telah menjadi sebuah kebiasaan dibuktikan
dengan telah tercapainya tugas secara bersama, kemudian diharapkan kolaborasi
ini dapat lebih mudah dilaksanakan dalam lingkungan organisasi yang lebih
besar .24

f. Interprofessional dan Kerja Tim

Kerja tim atau teamwork merupakan seperangkat nilai yang mendorong


perilaku seperti mendengarkan dan konstruktif menanggapi sudut pandang
diungkapkan oleh orang lain, memberi orang lain manfaat dari keraguan,
memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkannya, dan mengakui
kepentingan dan prestasi orang lain.25 Penelitian diuniversitas Aston di Inggris
menjelaskan tiga kondisi yang diperlukan untuk teamwork:

1. Memiliki tujuan yang jelas yang diketahui semua anggota


2. Anggota tim bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut
3. Ada pertemuan rutin untuk meninjau efektivitas tim dan mendiskusikan
bagaimana hal itu dapat ditingkatkan.26

Institusi Kesehatan di Amerika Serikat mengakui teamwork yang efektif


dapat menjadi sarana untuk mengatasi kompleksitas masalah kesehatan dan
kemajuan teknologi dalam diagnosis dan perawatan kesehatan. Inti dari suatu
hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling ketergantungan
(interdefensasi) untuk kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama dalam suatu
kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik

. Kerjasama jugmencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan


atau target yang telah ditentukan tercapai. 25 Hal yang diperlukan dalam teamwork
perawatan kesehatan yaitu: 26

1. Menyetujui aturan-aturan dasar dan proses untuk bekerja sama,


2. Pemahaman tentang nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan anggota
tim, partisipasi aktif oleh semua anggota.
3. Upaya menyingkirkan stereotip dan hambatan
4. Waktu yang 20 teratur untuk mengembangkan kerjasama tim bekerja jauh
dari praktek
5. Komunikasi yang baik
6. Pemahaman masing-masing peran
7. Pertemuan tim yang efektif
8. Anggota tim menghargai dan menghormati satu sama lain,
9. Mempertahankan hubungan professional

Manajemen kinerja yang baik Penelitian menunjukkan bahwa kerja tim


dan kolaborasi interprofessional dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Selain itu, tenaga kesehatan sebagai bagian dari tim akan bekerja secara efektif
dan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak
bekerja secara tim. Konsep "interprofessionality," yang diciptakan oleh D'Amour
sebagai respon terhadap praktik perawatan kesehatan yang terfragmentasi,
didefinisikan sebagai "pengembangan praktik kohesif antara profesional dari
berbagai disiplin ilmu. Ini adalah proses dimana tenaga kesehatan merefleksikan
dan mengembangkan cara-cara berlatih yang memberikan jawaban terpadu dan
kohesif terhadap kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Interprofessionality dibedakan dari multidisiplin, mengacu pada suatu proses di
mana beberapa profesi bekerja secara bersama-sama, baik secara independen
maupun parallel.28 Perlu dipahami bahwa konsep "kolaborasi," diidentifikasi
sebagai hal penting untuk memberikan jaminan layanan kesehatan berkualitas.
Kolaborasi digambarkan sebagai penyampaian berbagai gagasan serta melakukan
tindakan secara bersama-sama berorientasi pada tujuan bersama, dengan penuh
semangat serta mengedepankan sikap saling percaya. Kolaborasi interprofessional
adalah kesepakatan yang antara para tenaga kesehatan saling menghargai keahlian
dan kontribusi yang diberikan oleh berbagai tenaga kesehatan kepada pasien dan
akan sangat efektif bila terjalim komunikasi yang baik untuk menyampaikan
pendapat di antara anggota tim. Dalam tinjauan literatur pada praktek kolaboratif,
teridentifikasi empat konsep yang berhubungan dengan kolaborasi yaitu: berbagi,
kemitraan, saling ketergantungan, dan kepemimpinan .27

Definisi tim adalah sebagai "sekelompok orang yang bekerja bersama untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama serta dapat
dipertanggungjawabkan. Pembentukan tim bertujuan agar anggota tim
melaksanakan tugasnya dengan baik, anggota memiliki kontribusi dan peran yang
setara, dengan menggunakan sumber daya yang ada secara efisien. Elemen-
elemen kunci dari kerja tim yaitu:28

1. Anggota yang memiliki produk kerja bersama


2. Tugas-tugas yang saling bergantung
3. Tanggung jawab bersama
4. Komitmen

Manajemen konflik Keberhasilan kerja dari dalam tim dapat terjadi apabila terjadi
kolaborasi yang baik antar sesama anggota. Menciptakan lingkungan kondusif
didalam menyelesaikan tugas dengan mengedepankan aspek kolaborasi.
Kolaborasi terjadi apabila ada sinergi baik yang diciptakan oleh orang-orang
dalam tim.kolaborasi membutuhkan dua elemen kunci, yaitu:

1. Konstruksi tindakan kolektif yang membahas kompleksitas kebutuhan


klien.
2. Menciptakan kondisi tim yang menyatukan pendapat setiap
tenagakesehatan di mana setiap anggota dapat saling menghormati dan
membina hubungan saling percaya denga

g. . Konsep Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK)

SDMK adalah seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang
memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu
membutuhkan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan (Sumiarsih and
Nurlinawati, 2020). Kebutuhan SDMK adalah jumlah SDMK menurut jenisnya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan sejumlah beban kerja yang ada. Sementara
perencanaan kebutuhan SDMK adalah proses sistematis dalam upaya menetapkan
jumlah, jenis, dan kualifikasi SDMK yang dibutuhkan, sesuai dengan kondisi
suatu wilayah, dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan.

Pada tingkat kabupaten/kota, proses tersebut dilihat menurut jenis, jumlah, dan
kualifikasi yang dilakukan dalam lingkup kabupaten/kota. Secara berjenjang
proses perencanaan kebutuhan SDMK tersebut dilakukan dari tingkat institusi ke
tingkat kabupaten/kota, kemudian dilanjutkan ke tingkat provinsi, dan terakhir di
tingkat nasional. Perencanaan kebutuhan SDMK menjadi salah satu fokus utama
guna menjamin ketersediaan, pendistribusian, dan peningkatan kualitas SDMK.
Sistem Kesehatan Nasional mendefinisikan SDMK sebagai tenaga kesehatan
profesional, termasuk tenaga kesehatan strategis, tenaga kesehatan nonprofesi,
serta tenaga pendukung/penunjang kesehatan, yang terlibat dan bekerja serta
mengabadikan dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan. Perencanaan
kebutuhan SDMK di kabupaten/kota dimulai dengan melihat kebijakan terkait
dengan perencanaan SDMK, pemenuhan kompetensi tenaga perencana serta
adanya pembiayaan yang menunjang. Dalam proses perencanaan akan dilakukan
upaya pemanfaatan data dan sistem informasi yang sesuai serta pelaksanaan
metode dan perhitungan kebutuhan yang telah ditetapkan, sehingga akan
dihasilkan output berupa perencanaan kebutuhan SDMK.29
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pada Pasal 11
menjelaskan bahwa tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta pendukung/penunjang kesehatan, yang terlibat dan
bekerja serta mengabadikan dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan.
Perencanaan kebutuhan SDMK di kabupaten/kota dimulai dengan melihat
kebijakan terkait dengan perencanaan SDMK, pemenuhan kompetensi tenaga
perencana serta adanya pembiayaan yang menunjang. Dalam proses perencanaan
akan dilakukan upaya pemanfaatan data dan sistem informasi yang sesuai serta
pelaksanaan metode dan perhitungan kebutuhan yang telah ditetapkan, sehingga
akan dihasilkan output berupa perencanaan kebutuhan SDMK.29

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pada Pasal 11


menjelaskan bahwa tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan tersebut
dikelompokkan ke dalam:

1. Tenaga medis (terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter
gigi spesialis)
2. Tenaga psikologi klinis (psikologi klinis)
3. Tenaga keperawatan (terdiri atas berbagai jenis perawat)
4. Tenaga kebidanan (bidan)
5. Tenaga kefarmasian (terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian)
6. Tenaga kesehatan masyarakat (terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga
promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga
administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan,
serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga)
7. Tenaga kesehatan lingkungan (terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan,
entomolog kesehatan, dan mikrobiologi kesehatan)
8. Tenaga gizi (terdiri atas nutrisionis dan dietisien)
9. Tenaga keterapian fisik (terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis
wicara, dan akupunktur )
10. Tenaga keteknisian medis terdiri atas perekam medis dan informasi
kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis
optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan
audiologis)
11. Tenaga teknik biomedika (terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli
teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik
prostetik)
12. Tenaga kesehatan tradisional terdiri atas tenaga kesehatan tradisional
ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan) tenaga kesehatan
lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia.


Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
Republik Indonesia; 2019.
2. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara; 2006.
3. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019.

4. WHO (2015b) ‘Panduan Kurikulum Keselamatan Pasien : Edisi Multi


Profesioanal’, pp. 1–272. doi: 10.1037/0003-066X.57.3.165.
5. Broers, T., Poth, C. and Medves, J. (2009) ‘What’s in a word?
Understanding “interprofessional collaboration” from the students’
perspective’, Journal of Research in Interprofessional Practice and
Education, 1(1).
6. Penney, P. R. (2015) ‘Collaborative practice : a grounded theory of
connecting in community rehabilitation Collaborative practice : A
grounded theory of connecting in community rehabilitation’, (July). doi:
10.13140/RG.2.1.1171.0962.
7. Fu, Y. et al. (2016) ‘Patient-professional partnerships and chronic back
pain self-management: A qualitative systematic review and synthesis’,
Health and Social Care in the Community, 24(3), pp. 247– 259. doi:
10.1111/hsc.12223.
8. Mahendradhata, Y. et al. (2017) The Republic of Indonesia Health System
Review. Health Systems in Transition Vol. 7 No. 1.
9. Zimmermann PG, Herr RD. Triage Nursing Secret. Philadelphia:
ElsevierMosby; 2006. 10–14 p.

10. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75


Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2014.

11. Profil Kesehatan Puskesmas Sawah Lebar. (2021). Bengkulu, Indonesia.

12. Iman AT, Suryani DL. Manajemen Mutu Informasi Kesehatan I:


QualityAssurance [Internet]. 1st ed. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RepublikIndonesia; 2017 [cited 2022 Jan 29]. p.2–44

13. Muninjaya. G. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: EGC;


2012.

14. Nurmala I, Rahman F, Nugroho A, Erlayani N, Laily N, Anhar VY.


Promosi Kesehatan. 2018. 116 p.

15. Kementrian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 Tentang Standar Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2009.

16. Amri A, Manjas M, Hardisman. Analisis Implementasi Triage,


Ketepatan

17. World Health Organization (2010) Framework for action on


interprofessional education and collaborative practice. World Health
Organization.

18. Babiker, A. et al. (2014) ‘Health care professional development:


Working as a team to improve patient care.’, Sudanese journal of
paediatrics, 14(2), pp. 9–16. Available at:
http://www .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27493399%0Ahttp://w
ww .pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC494980 5.

19. Collaborative, C. I. H. (2010) A national interprofessional competency


framework. The Collaborative.

20. Kaini, B. K. (2012) ‘Interprofessional Team Collaboration (IPTC) in


Hospitals’.

21. Oedegard,A. and Strype, J. 2009. ‘Perceptions of inter professional


collaboration within child mental health care in Norway’ Journal of
interprofessional Care. Taylor& Francis, 23(3),pp 286-296.

22. Davidavičiene, V., Al Majzoub, K. and Meidute-Kavaliauskiene, I.


(2020) ‘Factors affecting knowledge sharing in virtual teams’,
Sustainability (Switzerland), 12(17). doi: 10.3390/SU12176917.

23. Green, B. N. and Johnson, C. D. (2015) ‘Interprofessional collaboration


in research, education, and clinical practice: working together for a better
future’, Journal of Chiropractic Education, 29(1), pp. 1–10. doi:
10.7899/jce-14-36.

24. Franklin, C. M. et al. (2015) ‘Interprofessional Teamwork and


Collaboration Between Community Health Workers and Healthcare
Teams’, Health Services Research and Managerial Epidemiology, 2, p.
233339281557331. doi: 10.1177/2333392815573312.

25. Murphy,J.E. et al. 2018. ‘Interprofessional education: Principles and


application. An update from the American College of Clinical
Pharmacy,’ 1 (1), pp. e17-e28. Doi:10.1002/ jac5.1025
26. Thistlethwaite, J., Jackson, A.and Moran, M. 2013 “Interprofessional
collaborative practice: A deconstruction,’ Journal of Interprofessional Care, 27
(1), pp.50-56. doi:10.3109/13561820.2012.730075.

27. Franklin, C. M. et al. (2015) ‘Interprofessional Teamwork and Collaboration


Between Community Health Workers and Healthcare Teams’, Health Services
Research and Managerial Epidemiology, 2, p. 233339281557331. doi:
10.1177/2333392815573312.

28. Holland, S., Gaston, K. and Gomes, J. (2017) ‘Critical success factors for cross-
functional teamwork in new product development’, International Journal of
Management Reviews, 2(3), pp. 231–259. doi: 10.1111/1468-2370.00040.

29. Perpres (2012) ‘PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL’.

Anda mungkin juga menyukai