Anda di halaman 1dari 16

HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Makalah ini Diajukan dan Dipresentasikan dalam Mata Kuliah


ULUMUL HADIS Pada Prodi Hukum Keluarga Islam

OLEH :

KELOMPOK 2

ANDI MUTMAINNA
742302023048

DOSEN PEMBINA

WILDANA, S. Pd. I., M. Pd

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) BONE

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas taufik


dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Hadis Sebagai
Sumber Ajaran Agama Islam” ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa kita
sanjungkan kepada junjungan kita, nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam kesempatan ini,saya ingin mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan saya semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
penambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat memperbaiki
bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Saya sadar bahwa saya ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan makalah yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan saya. Oleh sebab itu, saya
membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Bone, 21 September 2023

Penulis
DAFTAR PUSAKA

KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
A. LATAR BELAKANG........................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. KEHUJJAN HADIS..........................................................................................
B. FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QURAN...................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................................
A. KESIMPULAN...................................................................................................
B. SARAN................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam merupakan pedoman hidup pemeluknya untuk menjalankan


kehidupan didunia maupun akhirat setelah kematian, Islam memiliki beberapa
rujukan untuk menjalankan tuntunan berkehidupan baik itu Al-Quran, sunnah atau
hadis yang dipandang sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran,
Ijma’ dan lain sebagainya. Dapat kita ketahui pula beriman kepada Rasulullah
merupakan rukun iman yang harus diyakini setiap muslim dan ini diperintahkan
oleh Allah.
Timbulnya yang dinamakan sunnah Rasul adalah dari pelaksanaan tugas
Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalah dari Allah juga dalam Al-Quran
sendiri menekankan bahwa Rasulullah berfungsi menjelaskan maksud firman-
firman (risalah) Allah [QS. 16:44]. Risalah itu disampaikan ke dalam perbuatan
manusia dengan jalan mencontohkan pengerjaan atau mempraktikkan isi yang
terkandung. Dengan cara membacakan, menjelaskan, dan mencontohkan yang
menjadi bidang tugas Rasul1. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana
dikutip oleh Idri, bila seorang mengaku iman kepada Rasulullah, maka
konsekuensi logisnya menerima segala sesuatu yang datang darinya berkaitan
dengan urusan agama, karena Allah memilihnya untuk menyampaikan syariat-
Nya kepada umat manusia. Allah juga memerintahkan untuk beriman dan menaati
Nabi.2
Umat islam telah mengakui bahwa hadis Rasulullah dipakai sebagai
pedoman hidup yang utama setelah Al-Quran, sejak masa sahabat hingga saat ini
para ulama sepakat dalam menjadikan hadis sebagai penetapan hukum terutama
yang berkaitan dengan petunjuk dan cara kepemimpinan Rasul. Hal ini diperkuat
pula dengan kenyataan bahwa Al-Quran hanya memberikan garis-garis besar dan
umum yang memerlukan penjelasan dan rincian ialah hadiis untuk dapat
dilaksanakan dalam kehidupan. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan
ketentuan hkumnya, tidak rinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak
diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhusyukan menurut petunjuk
ayat yang masih mutlak dalam Al-Quran, maka hendaknya dicarikan
penyelesaiannya dalam hadis.3

1
Akmal Hawi, Dasar-Dasar Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 101.
2
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2010), 20.
Dalam pembahasan kali ini mencoba mengurai tentang bagaimana hadis
sebagai sumber ajaran Islam yang kedua, bagaimana fungsi hadis terhadap Al-
Quran.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hadis sebagai sumber ajaran Islam?


2. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al-Quran?

BAB II
PEMBAHASAN

3
Muhaimin, et al., Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan (Jakarta:
Kencana Pramedia Group, 2005), 129
A. Kehujahan Hadis
Sebagai bangunan atau konstruksi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai,
ajaran, petunjuk hidup dan sebagainya, Islam membutuhkan sumber yang darinya
dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna mengkonstruksi ajaran Islam
tersebut. Mengacu pada ayat Al-Quran yang berbunyi: [ QS An-Nisa; 59]
Muhammad saw. Adalah Nabi dan Rasul terakhir. Ia diutus oleh Allah
dengan membawa petunjuk bagi manusia dan memperoleh mandat untuk
menjelaskan Al-Quran yang diturunkan kepadanya.
Dinyatakan di dalam Surah An-Nahl: 44
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ِبا ْلَبِّيٰن ِت َو ا لُّز ُبِرۗ  َو َا ْنَز ْلَنۤا ِاَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّنا ِس َم ا ُنِّز َل ِاَلْيِه ْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُرْو َن‬

"(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat)


dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar
mereka memikirkan."
Potongan ayat (liyubayyina li al-nas = untuk menerangkan kepada
manusia) adalah kata kunci bahwa Nabi saw. Memiliki peran untuk menjelaskan
ajaran Islam. Dengan kata lain, hahwa hadis (ucapan, perbuatan, dan taqrir) beliau
menjadi sumber ajaran islam. Banyak ayat Al-Quran menyatakan bahwa
Muhammad saw. adalah Rasul yang wajib ditaati, antara lain, yaitu:
1. Surah Ali ‘Imran, ayat 31-32 menegaskan bahwa Rasul saw. Diperintahkan
oleh Alllah untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikuti dan
menaatinya.
2. Surah Al-Hasyr ayat 7, Al-Quran memberikan kepada Rasul untuk membuat
aturan baik yang berkaitan dengan wajib atau yang haram.
Nabi saw. Menegaskan pula bahwa ada dua warisan yang ditinggalkannya,
yaitu Kitab Allah (Al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (Hadis). Siapa yang
berpegangan teguh kepada keduanya, ia tidak akan tersesat. Malik bin Anas
meriwayatkan hal it dalam kitab al-Mutawwa’
Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada
keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. 4
Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti hadits
baik pada Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Keberadaan hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, selain ketetapan Allah yang
dipahami dari ayat-Nya secara tersirat juga merupakan ijma’ (konsensus) seperti
4
Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah
kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyir:
7),“Dan Kammi tidak mengutus seorang Rasul melaikan untuk ditaati dengan izin Allah”
(QS. An-Nisa’:64)
terlihat dalam perilaku para sahabat. 5 Ijma’ umat Islam untuk menerima dan
mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman Nabi, para Khulafa al-Rasyidun dan
para pengikut mereka. Banyak contoh yang bisa menjelaskan betapa para sahabat
sangat mengagumi Rasulullah dan mengikuti ajarannya.6
Hal ini terlihat misalnya, penjelasan Usman bin Affan mengenai etika
makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW. Begitu juga, Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti
jejak Rasul. Ketika berhadapan dengan Hajar Aswad, ia berkata: “Saya tau engkau
adalah batu. Jika tidak melihat Rasul menciummu, aku tidak akan menciummu.”
Janji Abu Bakar untuk tidak meninggalkan atau melanggar perintah Rasul yang ia
ikrarkan ketika disumpah (bai’ah) menjadi khalifah. Abu Bakar juga pernah
berkata: “Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah,
maka pasti aku akan melakukannya.”
Menurut Muhammad Abu Zahrah, ada beberapa alasan yang kuat yang
mendukung pemakaian hadits sebagai hujjah, yang dapat diringkas sebagai
berikut:7
Pertama, adanya nash-nash al-Qur’an yang memerintahkan agar patuh dan
tunduk kepada Nabi. Firman Allah SWT. [QS An-Nisa: 59 & 80]
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ‫ۚ َو َا ِط ْيـُعوا الَّرُسْو َل َو ُا وِلى اَاْل ْم ِر ِم ْنُك م‬

"Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 59)

‫ۚ َم ْن ُّيِط ِع الَّرُسْو َل َفَقْد َاَطا َع َهّٰللا‬


"Barang siapa menaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 80)
Nash-nash tersebut dengan tegas menerangkan bahwa apa yang datang
dari Nabi SAW sesungguhnya datang dari Allah SWT.

Kedua, hadis Nabi sebagai bentuk penyampaian risalah dari Tuhan.


Firman Allah SWT. [QS Al-Maidah: 67]

‫ۗ ٰۤي ـَاُّيَها الَّرُسْو ُل َبِّلْغ َم ۤا ُاْنِز َل ِاَلْيَك ِم ْن َّرِّبَكۗ  َو ِا ْن َّلْم َتْفَع ْل َفَم ا َبَّلْغ َت ِر ٰس َلـَتٗه‬

5
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 87.
6
Idri, Studi Hadis, 24.
7
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum dkk., (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2005), 151-154.
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.
Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak
menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 67)
Dengan demikian, apabila hadits secara keseluruhan merupakan
penyampaian risalah Muhammad, maka menerapkan dalil hadits berarti sama
dengan menerapkan syariat Allah SWT.
Ketiga, nash-nash al-Qur’an yang ada menerangkan bahwa Nabi berbicara
atas nama Allah. Firman Allah SWT [QS. An-Najm: 3-4]. Keempat, ayat-ayat al-
Qur’an dengan jelas menerangkan kewajiban iman kepada Rasul bersama dengan
iman kepadaNya. Firman Allah SWT [QS. Al-A’raf: 158]. Nash al-Qur’an ini
mengandung perintah untuk beriman kepada Rasul dan perintah akan sesuatu
yang menjadi konsekuensi logis dari iman kepada Rasul itu, yakni tunduk kepada
Rasul. Sahabat Nabi saw. Menjadikan hadis atau Sunnah sebagai rujukan untuk
memutuskan perkara setelah Al-Qur'an.

B. Fungsi Hadis terhadap Al-Qur'an


Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama Nabi Muhammad adalah untuk
menjelaskan isi kandungan al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang secara amaliah
belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasan hadis dapat dibutuhkan.
Dengan demikian fungsi hadis yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an.
Hal ini sesuai dengan penjelasann Al-Qur'an :

‫وما انزلنا علیك الكتاب اال لتبین لھم الذى اختلفتم فیھ‬

Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad)


melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan. (An-Nahl: 64)8
Allah menurunkan Az-Zikr (Al-Quran) bagi umat manusia agar dapat
dipahami, oleh karena itu maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
menjelaskannya. Dalam menetapkan hukum, umat Islam mengambil hukum Islam
dari Al-Quran yang diterima dari Rasul saw, yang dalam hal ini Al-Quran
membawa keterangan keterangan yang bersifat mujmal atau keterangan yang
bersifat mutlaq. Hadis adalah sumber kedua bagi hukum-hukum Islam,
menerangkan segala yang dikehendaki Al-Quran, sebagai penjelas, pensyarah,
penafsir, pentahsis, pentaqyid dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan
zahirnya.

8
Depag RI, op.cit. hlm. 64.
Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur`an yang paling pokok adalah sebagai
bayan (penjelas), sebagaimana ditandaskan dalam ayat:

“keterangan-keterangan (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan


kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas memberikan


penjelasan tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada
Al-Hadits. Umat manusia tidak akan bisa memahami Al-Qur`an tanpa melalui
Hadîts tersebut. Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin bisa
memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts, serta Imam Al-
Syatibi juga berpendapat bahwa kita tidak akan bisa mengistinbath atau
mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`an tanpa melalui hadits. Dengan
demikian jelaslah fungsi hadits terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu
sebagai bayan atau penjelas dipahami oleh para ulama dengan berbagai
pemahaman, antara lain sebagai berikut:

1. Bayanul Taqrir.
Dalam hal ini posisi hadis sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Quran. Fungsi hadis disini
hanya memperkokoh isi kandungan Al-Quran. Seperti hadis tentang shalat,
zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat
puasa dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Quran.

Hadis Nabi tentang melihat bulan untuk puasa Ramadhan:


Artinya: “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu
sesudah melihatnya”. (HR. Muttafaq alaih).

Hadis ini menguatkan firman Allah SWT:


Artinya: “Barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah”.
(Q.S. Al-Imran: 185)
Hadis di atas dikatakan bayan taqrir terhadap ayat Al-Quran, karena
maknanya sama dengan Al-Quran, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya
maupun hukumnya.

2. Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadis berfungsi memberikan perincian dan penafsiran
terhadap ayat ayat Al- Quran. Hadis sebagai tafsir terhadap Al-Quran terbagi
setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:
a. Menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (tafsil[u] mujmal[in])
Hadis disini berfungsi menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan
dengan ibadah dan hukum-hukumnya dari segi praktik, syarat, waktu dan tata
caranya seperti dalam masalah shalat. Ayat-ayat Al-Quran tentang masalah
tersebut masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-
sebabnya, syarat-syarat, ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itulah,
Rasulullah SAW melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti
disebutkan dalam hadis:

Artinya: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. (HR


Ahmad dan Bukhari dari Malik bin Al-Huwairits).

Hadis ini menerangkan kemujmalan Al-Quran tentang shalat, firman Allah


SWT:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruku’”. (Q.S. al-Baqarah: 43).

Contoh lainnya yaitu hadis dalam hal pelaksanaan ibadah haji wada’
Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Ambilah dariku manasik hajimu”. (HR. Muslim, Abu Daud dan
An-Nasa’i).

Hadits ini merincikan kemujmalan firman Allah SWT sebagai berikut:


Artinya: “Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah”.
(Q.S. Al Imran: 196).

b. Menghususkan ayat ayat Al-Quran yang bersifat umum .


Dalam hal ini hadis memperkhusus ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum,
dalam ilmu hadis disebut takhshish Al-‘amm. Takhshish al-’am ialah sunnah yang
mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum. Sabda Rasululah
SAW:

Artinya: “Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam
darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai
belalang. Sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah hati dan limpa”.
(Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).

Hadits ini mentahshish ayat Al-Quran yang mengharamkan semua bangkai


dan darah, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi” (Q.S. al
Maidah: 3).
Dalam ayat ini tidak ada pengecualian bahwa semua bangkai dan darah
diharamkan untuk dimakan akan tetapi Sunnah Rasulullah SAW di atas
mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu. Sabda Rasul SAW:

Artinya: “Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak
mewarisi seorang muslim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini mentahsis firman Allah SWT:
Artinya: “Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali
hak anakmu yang perempuan”. (Q.S. An Nisa: 11).

Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak
mendapat warisan. Sedangkan keberlakuan hukum tersebut hanya untuk anak
yang agamanya sama muslim. Sunnah Rasul memberikan takhshish atau
pengcualian dengan sabdanya di atas.

c. Membatasi lapaz yang masih mutlaq dari ayat ayat Al-Quran (Sebagai
Bayanul Muthlaq).
Hukum yang ada dalam Al-Quran bersifat mutlak amm (mutlak umum),
maka dalam hal ini hadis membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Quran.
Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat Al-Quran yang
bersifat mutlak adalah seperti Sabda Rasullullah:

Artinya: “Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka


beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.

Hadis ini mentaqyid firman Allah yang berbunyi:


Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan
sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha
Bijaksana”. (Q.S. al Maidah: 58).

Dalam ayat di atas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya.


Boleh jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau
bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam
kategori tangan. Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui
ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangan.

3. Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadis berfungsi sebagai penghapus hukum yang diterangkan
dalam Al-Quran. Contoh hadis yang berfungsi sebagai bayan al-nasakh:

Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadis ini menghapus ketentuan hukum dalam Al-Quran tentang


diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu
kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).

Kata an-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-
itbat (membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau taqyir (mengubah). Para
ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga di
antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mentaqrifkannya. Hal ini pun
terjadi pada kalangan ulama muta’akhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut
ulama mutaqqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’
(yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.
Dalam hal bayan nasakh ini terdapat silang pendapat diantara para ulama. Ada
yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak boleh. Mazhab Hanafi
termasuk kelompok yang membolehkan nasakh sunnah terhadap hukum ayat.
Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa hukum dalam Al-Quran dapat
dihapus oleh hukum dalam hadis dan sebaliknya. Adapun Imam syafi’i
berpendapat bahwa Al-Quran tidak dapat dihapus oleh hadis.

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian


dapat menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan
yang datang kemudian dari Al-Quran dalam hal ini, dapat menghapus ketentuan
dan isi kandungan Al-Quran. Demikianlah menurut ulama yang menganggap
adanya fungsi bayan an-nasakh.

4. Bayanul Tasyri'
Bayan at tasyri’ adalah menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak
didapati dalam Al-Quran. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadis itu merupakan
ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh Al-Quran
dan hukum-hukum itu hanya berasaskan hadis semata-mata. Hadis Rasulullah
SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri) berusaha
menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak
terdapat dalam Al-Quran. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan
bimbingan dan menjelaskan persoalannya. Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah
sebagai berikut:
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada
umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk
setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim”. (HR.
Muslim).
Hadis Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan,
sebagaimana mengamalkan hadis-hadis lainnya.
Menurut Quraish Shihab, keempat hadis yang dimaksud, setelah diteliti
keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang men-naskh-nya adalah ayat kalau
ayat tersebut dinamai naskh bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk
oleh hadis tersebut. Oleh karena itu, uraian tentang posisi hadis sebagai bayan
naskhi tidak dapat dikembangkan.

Imam Syafi’i berpendirian bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`ân itu


adalah sebagai: (1) bayân tafshil atau perinci ayat yang mujmal, (2) bayân
takhshish atau pengkhusus yang yang bersifat umum, (3) bayân ta’yien yaitu
menetapkan makna yang dimaksud dari suatu ayat yang memungkinkan memiliki
beberapa makna seperti menjelaskan yang musytarak, (4) bayân tasyri’ yaitu
sunnah yang berfungsi tambahan hukum yang tidak tercantum dalam al-Qur`ân.
Contohnya: dalam al-Qur`ân telah ditetapkan bahwa yang haram dimakan itu
hanyalah bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih bukan karena Allah
(Qs. 6:145). Sedangkan dalam beberapa riwayat sunnah diterangkan bahwa Rasul
melarang memakan binatang buas, yang berbelalai, burung menyambar, dan yang
hidup di air dan di darat, (5) bayân nasakh, yaitu mengganti hukum yang tidak
berlaku lagi seperti diuraikan pada bayân tabdil.

Ibnul-Qayim berpendapat bahwa fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur`ân adalah


sebagai: (1)bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di
atas (2) bayân tafsir, (3) bayân tasyri’, (4) bayân takhshish, dan (5) bayân taqyied,
yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak, seperti seruan
Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa pun. Sedangkan
sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak tersebut. Wanita
yang haid tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan mengganti. Dengan
memperhatikan beberapa pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya sunnah
terhadap al-Quran, terutama memberikan kemudahan bagi kaum muslimin untuk
memahami isi al-Qur`ân.
Oleh karena itu, kita membutuhkan hadis untuk menjelaskan isi dalaam Al-
Quran yang manusia biasa kurang paham, serta dapat mencontohkan perilaku
Rasulullah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Para ulama sepakat menetapkan bahwa Hadis berkedudukan dan berfungsi
untuk menjelaskan Al-Quran. Banyak ayat Al-Quran dan Hadis Rasulullah saw
yang memberikan penegasan bahwa Hadist merupakan sumber hukum Islam
selain Al-Quran yang wajib diikuti.
a. Dalil Al-Quran
Yang Artinya: Katakanlah: “Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (Q.S.
AlImran: 32)

b. Hadis Rasulullah SAW.


Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak
akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab
Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
Berdasarkan ayat diatas, hadis merupakan salah satu sumber pegangan kita
dalam menjalani kehidupan ini yang harus kita ikuti agar kita bahagia hidup di
dunia dan di akhirat. Pertama-tama di dapat dari Al-Quran, kalau tidak ditemukan
di dalamnya, dicari dari sunnah atau hadits. Dengan kata lain, hadis sebagai
sumber hokum islam kedua setelah Al-Quran.
Hadis sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Quran mempunyai empat macam
fungsi, yaitu: 1. Bayan taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa
yang telah diterangkan dalam Al-Quran, 2. Bayan Tafsir yaitu untuk memberikan
rincian dan tafsiran terhadap ayat Al-Quran yang masih bersifat global (mujmal),
3. Bayanul Nasakh yaitu penghapusan hokum syar’I dengan suatu dalil, 4. Bayan
at tasyri’ adalah menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam
Al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA

Subhi As-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. (Jakarta: Pustaka Firdaus).


Yusuf AL-Qordhawi. 2007. Pengantar Studi Hadis. (Bandung: Pustaka Setia).
Zeid B. Smerr. 2008. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. (Malang:
UIN Malang Press).
M. Maliki Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia,
2001)
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra,
1989

Anda mungkin juga menyukai