Hubungan Safety Culture Dengan Perilaku Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Pada Pusat Teknologi Dan Keselamatan Reaktor Nuklir Batan Tahun 2020
Hubungan Safety Culture Dengan Perilaku Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Pada Pusat Teknologi Dan Keselamatan Reaktor Nuklir Batan Tahun 2020
ABSTRAK
Safety culture merupakan budaya organisasi yang mengutamakan pada nilai–nilai dan sikap keselamatan.
Walaupun instansi telah menghimbau tenaga kerja untuk mengutamakan keselamatan, namun tenaga kerja belum
memahami bahwa perilaku K3 bagi tenaga kerja merupakan hal penting untuk menghindari PAK maupun KAK.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan safety culture dan faktor individu dengan perilaku K3 di Pusat
Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) BATAN. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif
analitik dengan rancangan cross-sectional study. Responden pada penelitian ini berjumlah 51 orang dengan teknik
pengambilan sampel purposive sampling. Hasil menunjukan proporsi responden berperilaku K3 baik sebesar
49,02%. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai proporsi perilaku K3 lebih tinggi secara bermakna
(p=0,023), sedangkan pada variabel umur, jenis kelamin, masa kerja dan safety culture tidak berhubungan secara
bermakna dengan perilaku K3 (p>0,05). Oleh karena itu perlu dicermati faktor penyebab lebih luas yang
mempengaruhi perilaku K3. Selain itu pihak manajemen hendaknya melakukan upaya untuk meningkatkan
perilaku K3.
Kata Kunci: Safety culture, Perilaku K3, Tenaga Kerja
ABSTRACT
Safety culture is an organizational culture that prioritizes safety values and attitudes. Although the company has
called on workers to prioritize safety, workers do not yet understand that safety behavior for workers is important
to avoid both occupational illness and work accident. This study aims to determine the relationship between safety
culture and individual factors with safety behavior at the Nuclear Reactor Technology and Safety Center BATAN.
This study uses quantitative analytic research with a cross-sectional study design. Respondents in this study
amounted to 51 people with a purposive sampling technique. The results show the proportion of respondents have
nice safety behavior at 49.02%. A higher level of education has a significantly higher proportion of safety behavior
(p = 0.023), while the age, sex, years of service and safety culture variables are not significantly related to safety
behavior (p> 0.05). Therefore it is necessary to look at the wider factors that influence safety behavior. Besides,
improvement of occupational health and safety should be targeted.
Keywords: Safety culture, Safety behavior, Workers
55
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
oleh kemampuan, kualitas pekerja dan Reaktor Nuklir (PTKRN) yang memiliki
kinerja kerja. Salah satu faktor yang proses kerja melakukan konsultasi dan
berpengaruh terhadap kinerja kerja yaitu bimbingan penelitian teknologi dan
safety culture. Safety culture yaitu sikap keselamatan reaktor nuklir, kemudian
dalam suatu organisasi maupun individu melakukan dan memfasilitasi pengujian
yang mengutamakan keselamatan dan analisis penelitian teknologi dan
(Kharismasari, 2018). Morrow et al. (2014) keselamatan reaktor nuklir (Tim
dalam penelitiannya menyatakan bahwa Reformasi Birokrasi BATAN, 2011).
safety culture merupakan perhatian dalam Penerapan Safety culture pada industri
industri–industri, diantaranya yaitu besar seperti BATAN terkhusus pada
operasi tenaga nuklir. divisi PTKRN perlu diperhatikan untuk
Berdasarkan hasil penelitiannya menciptakan lingkungan kerja yang
pada United States Nuclear Industry nyaman, aman dan sehat bagi para
menunjukkan bahwa terdapat hubungan pekerjanya sehingga dapat
antara safety culture dengan perilaku K3 meningkatkan produktivitas tenaga kerja
pada tenaga kerja. Kurangnya perilaku dalam instansi serta terhindar dari
K3 merupakan akibat dari sebab kecelakaan kerja.
terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku K3 Heinrich dkk (1980) merumuskan
tenaga kerja merupakan suatu timbal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
balik dari tenaga kerja terhadap perilaku K3, yaitu faktor manajemen,
manajemen atas usaha keselamatan yang faktor individu dan faktor lingkungan.
dilakukan oleh perusahaan (Zhou & Faktor individu terdiri dari (1) umur, (2)
Jiang, 2015). tingkat pendidikan, (3) masa kerja, (4)
Badan Tenaga Nuklir Nasional jenis kelamin. Umur berpengaruh
(BATAN) merupakan salah satu terhadap daya tangkap serta pola pikir
Lembaga Pemerintah Non Kementrian seseorang. Semakin bertambah usia maka
Indonesia yang bertugas melaksanakan daya tangkap dan pola pikir akan
tugas pemerintahan pada bidang semakin berkembang, sehingga
penelitian, pengembangan dan pengetahuan yang diperoleh semakin
pemanfaatan tenaga nuklir. Sejalan baik. Berdasarkan penelitian Septiani
dengan perkembangan ilmu (2018) terdapat hubungan antara umur
pengetahuan dan teknologi yang telah dengan perubahan perilaku pekerja
diterapkan di Badan Tenaga Nuklir dalam penerapan safe behavior.
Nasional (BATAN) maka potensi bahaya Menurut Badan Pusat Statistik
semakin kompleks dan beragam (Andika, (2016) klasifikasi kelompok umur pada
2015) karena semakin banyak pekerja tenaga kerja terbagi menjadi 4 kelompok
yang harus berhadapan dengan yaitu 20–29 tahun, 30–39 tahun, 40–49
pekerjaan yang berpotensi terhadap tahun, kemudian ≥50 tahun.
kejadian KAK maupun PAK. Tingkat pendidikan seseorang
Salah satu bagian dari BATAN berpengaruh terhadap wawasan serta
yaitu Pusat Teknologi dan Keselamatan cara pandang dalam menghadapi suatu
56
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
57
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
HASIL
Pengisisan kuesioner online ini
diawali dengan perkenalan peneliti serta
penjelasan mengenai tujuan penelitian
serta kesediaan untuk menjadi responden
lewat broadcast message. Kuesioner online
58
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
59
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
60
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
World Health Organization (2014) usia dengan usia 44-65 tahun diharapkan untuk
produktif seseorang berada pada rentang tidak melakukan pekerjaan yang memiliki
umur 15-64 tahun, sehingga seluruh tenaga risk/hazad tinggi, karena semakin bertambah
kerja yang menjadi responden pada usia maka kemampuan kekuatan fisik
penelitian ini seluruhnya termasuk dalam semakin menurun.
kategori pekerja usia kerja atau produktif. Kemudian ditinjau dari karakteristik
Usia produktif merupakan usia yang umur, rentang umur ≥50 tahun merupakan
secara fisik dan mental sudah mampu proporsi terbanyak (60,78%).
dalam melakukan pekerjaannya. Namun
Gultom & Widajati (2016) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pekerja
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Hubungan Faktor Individu dan Safety
Culture dengan Perilaku K3
61
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
62
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
63
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
64
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
65
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
66
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
tersebut tidak jauh berbeda dengan dengan responden dengan masa kerja lama.
proporsi persepsi safety culture baik yaitu Meski begitu, risko perilaku K3 buruk
49,02%. Walaupun termasuk pada kategori akibat masa kerja tersebut tidak
safety culture cukup, responden tetap berpengaruh secara signifikan secara
berpeilaku K3 dengan baik sesuai dengan statistik (p>0,05). Sangaji dkk (2018) juga
peraturan dan prosedur yang ada. Hal ini berpendapat bahwa masa kerja tidak
didukung oleh penelitian Kharismasari berpengaruh terhadap perilaku K3 karena
(2018) yang menyatakan bahwa tidak ada responden dengan masa kerja baru pada
hubungan antara safety culture dengan umumnya memiliki semangat kerja yang
perilaku K3 pada karyawan (p=0,512). tinggi, maka mereka mengaktualisasikan
Model akhir dari uji analisis dirinya dengan mentaati prosedur
multivariat dapat dilihat pada Tabel 5, keselamatan serta memberikan hasil kerja
sehubungan seluruh variabel memiliki nilai yang terbaik untuk mendapatkan
p-value>0,05 maka didapatkan hasil akhir pengakuan dari pengawas.
bahwa tidak terdapat hubungan antara Pada variabel persepsi safety culture,
variabel bebas dengan variabel tergantung. responden dengan persepsi safety culture
Berdasarkan tabel analisis multivariat dapat cukup berisiko memiliki perilaku K3
dilihat bahwa variabel pendidikan, umur, kurang 1,23 kali lebih besar dibandingkan
jenis kelamin, masa kerja, safety culture dengan responden dengan persepsi safety
hanya 14% saja mempengaruhi perilaku K3 culture baik. Namun risiko perilaku K3
(Pseudo R2=0,1474). buruk akibat persepsi safety culture tersebut
Pendidikan mempunyai pengaruh tidak berpengaruh secara signifikan secara
paling kuat terhadap perilaku K3, yaitu statistik (p>0,05). Berdasarkan hal tersebut
responden dengan tingkat pendidikan maka perlu dicermati faktor penyebab yang
rendah berisiko memiliki perilaku K3 lebih luas seperti kepemimpinan dan desain
kurang 5,68 kali lebih besar dibandingkan kerja maupun tempat kerja, selain itu juga
dengan responden dengan pendidikan terkait dengan sikap individu serta
tinggi. Namun risiko perilaku K3 buruk kepribadian (Clissoid, 2004).
akibat tingkat pendidikan tersebut tidak Berdasarkan hasil penelitian, maka
berpengaruh secara signifikan secara saran yang dapat peneliti berikan bagi
statistik (p>0,05). Suryanto dkk (2015) peneliti selanjutnya adalah untuk
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa melakukan analisis berdasarkan lokasi kerja
pengetahuan manusia tidak hanya didapat pada tiap tenaga kerja, melakukan uji
melalui pendidikan, namun dapat dari hal validitas dan realibilitas terhadap
lainnya seperti pengalaman diri sendiri, instrumen, serta uji validitas konten agar
pengalaman orang lain, media massa serta penyampaian kuesioner dapat lebih mudah
lingkungan. dimengerti oleh responden, melakukan
Selain itu responden dengan masa analisis berdasarkan seluruh tenaga kerja
kerja baru berisiko memiliki perilaku K3 pada lokasi penelitian, untuk mendapatkan
kurang 2,87 kali lebih besar dibandingkan hasil penelitian yang lebih komperhensif.
67
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
Kemudian bagi responden untuk skor yang tertinggi (4,32), sedangkan skor
memahami konsep penilaian risiko dan yang terendah dan perlu perbaikan yaitu
identifikasi hazard, sehingga integrasi keselamatan sebagai penggerak
keselamatan dapat berjalan dengan baik, pembelajaran (4,10) yaitu dengan inspeksi
dan hendaknya responden berpartisipasi K3 secara berkala.
dalam penelitian untuk dapat Berdasarkan hasil penelitian sebagian
menghasilkan data penelitian yang besar responden memiliki perilaku K3 baik.
komperhensif, sehingga dapat dibentuk Namun terdapat beberapa komponen yang
kebijakan yang sesuai dengan kondisi perlu diperbaiki, diantaranya yaitu diskusi
tempat kerja. penentuan SOP kerja, pengadaan himbauan
Kemudian saran bagi manajemen tegas dalam bekerja hati-hati, identifikasi
dalam hal peningkatan karakteristik safety penyebab kecelakaan kerja, pengecekan
culture, pihak manajemen hendaknya mesin secara berkala, dan adanya pelatihan
mengadakan inspeksi keselamatan secara kondisi darurat secara berkala.
rutin dan berkala, serta penyediaan sarana Berdasarkan hasil analisis multivariat
dan prasarana belajar yang memadai, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
kemudian dalam hal peningkatan perilaku pengaruh antara variabel bebas (safety
K3 pihak manajemen hendaknya culture) dan variabel luar (jenis kelamin,
melakukan pemberian reward dan usia, masa kerja, pendidikan) terhadap
punishment sebagai ungkapan dari pihak variabel tergantung yaitu perilaku K3
manajemen terhadap kinerja tenaga kerja (p>0,05).
sebagai usaha untuk terus menstimulus Terdapat beberapa kelemahan dalam
tenaga kerja agar berperilaku K3 baik, penelitian ini, diantaranya yaitu: (1)
mengadakan pelatihan K3 secara rutin, pengambilan data dilakukan melalui
pengecekan mesin kerja untuk menilai kuesioner online akibat adanya wabah
kerusakan. COVID-19 yang mewajibkan lokasi
penelitian untuk melakukan work from home.
SIMPULAN Akibatnya peneliti kesulitan untuk
Berdasarkan faktor individu, menghubungi responden secara satu per
mayoritas tingkat pendidikan responden satu untuk mengisi kuesioner, dan tingkat
dengan pendidikan terakhir tingkat response rate hanya 56%, (2) sebanyak 44%
perguruan tinggi (94,12%), sebagian besar tenaga kerja dari total sampel tidak
responden berumur ≥50 tahun (60,78%), berpartisipasi dalam pengisian kuesioner,
dan sebagian besar responden berjenis sehingga dapat mengakibatkan hasil
kelamin laki-laki (78,43%), kemudian penelitian tidak dapat digeneralisasikan, (3)
responden yang bekerja selama >3 tahun uji validitas konten untuk memperbaiki
merupakan proporsi yang lebih banyak bahasa dan kalimat pada butir pertanyaan
(94,12%). kuesioner tidak dilakukan. Sehingga
Berdasarkan radar kondisi safety terdapat kemungkinan responden kurang
culture, keselamatan sebagai nilai yang memahami pertanyaan yang ada pada
diakui dan dipahami merupakan proporsi instrumen penelitian, (4) instrumen
68
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
69
Mairing, Wirawan & Deswandri Vol. 8 No. 1: 55 - 71
70
Arc. Com. Health • April 2021
ISSN: 2527-3620 Vol. 8 No. 1: 55 - 71
71