Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hisab Gerhana Bulan
Dosen pengampu: Dr. Muh Arif Royani, Lc. M.S.I.

Disusun Oleh:
Nisrina Salsabila (2102046003)
Syafruddin Saan Al-Anisi (2102046042)
Muhammad Aslam Ramadhan (2102046046)
Septi Alawiyah (2102046058)

PROGRAM STUDI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat–Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah‒Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hisab
Gerhana .

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami ucapkan
banyak terimakasih pada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam pembuatan makalah
kami.

Kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Dosen pengampu mata kuliah
ini yakni Bapak Muh Arif Royani semoga beliau diberikan kesehatan dan kesabaran serta
keistiqomahan dalam mengampu kami selama dimata kuliah Hisab Gerhana Bulan ini.

Telepas dari semua itu,kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan keritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.

Semarang, 03 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1. Latar belakang.............................................................................1
2. Rumusan Masalah.......................................................................1
3. Tujuan Penulisan.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

1. Sejarah Gerhana Dalam Islam..............................................................2

2. Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam..........................................2


3. Hikmah Dan Mitos Dibalik Peristiwa Gerhana...........................................4
4. Nash-Nash Tentang Gerhana................................................................5

5. Hukum Dan Tata Cara Shalat Gerhana..............................................7

BAB III PENUTUP................................................................................................8

1. Kesimpulan.................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................9

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah swt. yang sangat akrab dalam
pandangan manusia sehari-harinya. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat teratur
merupakan ketetapan aturan penguasa jagad semesta ini1.
Semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan menunjukkan akan
keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah swt.
membantah fenomena penyembahan terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan
ternyata keyakinan kufur tersebut banyak dianut oleh bangsa-bangsa besar di dunia sejak
berabad-abad lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi2.
Syariat Islam yang diturunkan oleh penguasa alam Semesta ini memberikan bimbingan
dan pencerahan terhadap akal-akal manusia yang sempit dan terbatas untuk membuktikan
bahwa akal para filosof, rohaniawan, para wikan, paranormal dan adalah akal yang terbatas
dan sangat bisa mengalami kesalahan dan kekeliruan bahkan bisa sesat. Sebagai penegasan
bahwa kebenaran dan hidayah hanya ada pada syariat yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul.
Di antara ajaran yang digagas oleh para filosof, rohaniawan dan lain-lain tentang
antariksa, semuanya berbau mistis dan kesyirikan. Termasuk dalam memahami hakekat
sebenarnya tentang gerhana matahari dan gerhana bulan. Dua fenomena tersebut oleh
banyak kalangan dihubung-hubungkan dengan akan terjadinya peristiwa luar biasa di bumi
tempat manusia tinggal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah terjadinya gerhana?
2. Bagaimana gerhana dalam hukum islam?
3. Apa saja nash dan hikmah dibalik peristiwa gerhana?
4. Bagaimana Hukum dan Tata cara Shalat gerhana?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah gerhana
2. Mempelajari hikmah dibalik terjadinya gerhana
3. Mengetahui hukum dan tata cara shalat gerhana
4.

1
Lihat QS al-Rahman/55: 5.
2
Lihat QS Fushshilat/41: 37.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH GERHANA DALAM ISLAM

Gerhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai peristiwa tertutupnya
bulan atau planet lain karena sinar matahari terhalang oleh bumi. Atau terjadinya kegelapan
pada seluruh atau sebagian dari matahari/bulan secara tak wajar dilihat dari bumi. 3 Senada
dengan itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional menyebut gerhana (bulan/matahari) sebagai kondisi gelap sebagian atau
seluruhnya dari dua benda tersebut jika dilihat dari bumi. Bulan disebut mengalami gerhana
saat cahaya bulan tidak sampai ke bumi karena titik pusat geometri bulan, bumi, dan matahari
terletak pada satu garis dan bumi berada di tengahnya. Sedang matahari disebut mengalami
gerhana saat bulan terletak di tengah-tengah jarak antara bumi dan matahari sehingga
bayangan bulan jatuh ke permukaan bumi.4
Secara historis, berdasarkan hadis Nabi saw diperoleh informasi bahwa pada masa Nabi hidup
pernah terjadi gerhana matahari. Hanya saja, hadis-hadis Nabi tidak merinci berapa kali gerhana
tersebut terjadi dan kapan waktunya terjadi. Akan tetapi, melalui perhitungan ilmu Astronomi/falak
dapat diketahui bahwa selama periode kenabian, telah terjadi sebanyak 8 kali gerhana. Empat kali
pada periode Mekah dan empat kali pula pada periode Madinah.

B. GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Sebagian orang menganggap terjadinya gerhana matahari dan bulan sebagai gejala alam
biasa, sebagai peristiwa ilmiah yang bisa dinalar. Namun bagi yang merasa tunduk kepada
keagungan Sang Perncipta, Allah Swt., gerhana adalah peristiwa penting yang secara
gamblang menunjukkan bahwa ada kekuatan Yang Maha Agung di luar batas kemampuan
manusia; Mereka yang merasa rendah di hadapan Sang Pencipta akan menadahkan muka,
menghadap Allah. Allah Swt. berfirman:

3
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan dan Kosakata Baru, (Cet. I;
Surabaya: Cahaya Agency, 2013), 203.
4
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan dan Kosakata Baru, (Cet. I;
Surabaya: Cahaya Agency, 2013), 203.

2
‫۟ا‬
‫َو ِم ْن َء اَٰي ِتِه ٱَّلْيُل َو ٱلَّنَهاُر َو ٱلَّش ْم ُس َو ٱْلَقَم ُرۚ اَل َتْسُج ُد و ِللَّش ْم ِس َو اَل ِلْلَقَم ِر‬
‫َو ٱْسُج ُد و۟ا ِهَّلِل ٱَّلِذ ى َخ َلَقُهَّن ِإن ُك نُتْم ِإَّياُه َتْعُبُد وَن‬
Artinya : Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya
matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada
Allah Yang Menciptakan keduanya (QS. Fushshilat: 37).

Terkait dengan peristiwa gerhana, agama Islam mensyari’atkan beberapa hal:

1) Perbanyaklah do’a, zikir, istighfar, takbir, salat gerhana dan sedekah. Dari ‘Aisyah,
Nabi saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang
atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah,
bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah (HR. Bukhari Muslim).
2) Menyeru jama’ah untuk melaksanakan salat gerhana dengan panggilan al-ṣalātu
jāmi’ah dan tidak ada adzan maupun iqamah. Hadis ’Aisyah mengatakan artinya :
Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari.
Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ash-ṣalātu jami’ah
(mari kita lakukan salat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju
dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua
raka’at.” (HR. Muslim)
3) Mengerjakan salat gerhana secara berjama’ah di masjid Salah satu dalil yang
menunjukkan hal ini yaitu dalam hadis dari ‘Āishah bahwasanya Nabi saw
mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi Saw. melewati
kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan salat.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi mendatangi tempat salatnya (yaitu
masjidnya) yang biasa dia salat di situ.7 Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan
ajaran Nabi adalah mengerjakan salat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian,
tentu salat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah
melihat berakhirnya gerhana
4) Berkhutbah setelah salat gerhana berdasarkan tuntunan Rasulullah. Setelah selesai
salat gerhana, Rasulullah berkhotbah di hadapan orang banyak, ia memuji dan
menyanjung Allah, kemudian bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena

3
kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka
berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah.”5

C. HIKMAH DAN MITOS DI BALIK PERISTIWA GERHANA

Peristiwa gerhana merupakan peristiwa alam biasa yang secara astronomis dapat
dihitung dan diprediksi kapan akan terjadi. Untuk itu umat Islam memberi makna akan
kehadiran gerhana melalui ibadah berupa salat gerhana yang dilakukan secara sendirian
maupun berjamaah di masjid-masjid atau mushalla serta memperbanyak takbir dan
sedekah. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah: ”Sesungguhnya matahari
dan bulan adalah dua macam tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana
matahari atau bulan itu bukan karena kematian seseorang atau kehidupannya. Maka
jikalau kamu melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, bersedekahlah serta
salatlah”18 (HR. Bukhari-Muslim ).

Mitos seputar kematian ini dalam hadis Nabi di atas dikaitkan dengan peristiwa
meninggalnya anak laki-laki Rasulullah yang bernama Ibrahim pada saat masih kecil.
Mitos lainnya yang berkembang di masyarakat antara lain :

1) Memukul-mukul pohon kelapa atau yang sejenisnya untuk membangunkan


bulan atau matahari supaya tidak di makan gerhana. Tindakan ini tidak masuk
akal menurut ilmu pengetahuan
2) Orang-orang tua dulu; sebagian masyarakat pedesaan di pulau Jawa
menganggap kejadian gerhana dengan ada buto (buta kalarahu) yang
memakan bulan.
3) Di Kotabumi, Lampung Utara, saat gerhana sejumlah ibu hamil bersembunyi
di kolong tempat tidur.
4) Menurut ramalan paranormal akan terjadi gaduh politik besar dalam skala
nasional. Kemungkinan akan ada keguncangan ekonomi, keributan besar elite
polik, tidak memikirkan rakyat, dan selalu mengutamakan kekuatan.

Hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa gerhana antara lain:
5
Qamaruzzaman, “GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ASTRONOMI”, EMPERISMA, Vol. 25 No.
2, 2016, 158-159

4
1) Gerhana adalah peristiwa alam yang menunjukkan ketundukan alam pada
Khaliqnya (Penciptanya).
2) Matahari dan bulan bisa beriringan dan berdampingan memperlihatkan
keharmonisan yang kadang menunjukkan fenomena cincin atau mahkotanya
yang indah yang biasanya tidak terlihat
3) Menyaksikan gerhana matahari total ataupun gerhana yang lainnya,
merupakan momen yang langka bahkan GMT hanya dapat dilihat sekali
seumur hidup (asumsi usia manusia kurang dari 100 tahun).
4) memperkaya khazanah pengetahuan manusia tentang gerhana, seperti menguji
presisi, ketepatan, berbagai metoda perhitungan kedudukan bulan dan
matahari6

D. NASH-NASH TENTANG GERHANA

Segala sesuatu itu memiliki landasan yang kuat. Missalnya sebagai contoh bahwa
gerhana adalah sebuah peristiwa alam, fenomena gerhana dapat dilacak landasannya
di dalam nas, baik melalui kitab suci al-Qur’an dan hadis

1) Al-quran
a. QS. Fusshilat/41:37
‫َو ِم ْن َء اَٰي ِتِه ٱَّلْيُل َو ٱلَّنَهاُر َو ٱلَّش ْم ُس َو ٱْلَقَم ُر ۚ اَل َتْسُج ُدو۟ا ِللَّش ْمِس َو اَل‬
‫ِلْلَقَمِر َو ٱْسُج ُدو۟ا ِهَّلِل ٱَّلِذ ى َخ َلَقُهَّن ِإن ُكنُتْم ِإَّياُه َتْعُبُدوَن‬

Terjemahannya : Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari,
dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi
bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh


mengemukakan bahwa ayat ini merupakan dalil yang menetapkan disyariatkannya shalat
gerhana.13 Ibnu Khuwaiz Mandad sebagaimana dikutip oleh al-Qurtubi mengatakan bahwa
ayat ini merupakan ayat yang mengandung perintah untuk dilaksanakannnya shalat gerhana,

6
Qamaruzzaman, “GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ASTRONOMI”, EMPERISMA, Vol. 25 No.
2, 2016, 160-162

5
baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Selain itu, al-Qurtubi juga mengatakan, ayat
ini termasuk dalam kelompok ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam al-Qur’an

a. QS Al-qiyamah/75: 8
‫َو َخ َس َف اۡل َق ُۙر‬
‫َم‬
Terjemahannya : Dan apabila bulan telah hilang cahaya-Nya,

Menurut Ibnu Katsir, kata khasafa dalam ayat tersebut bermakna zahaba dhau’ahu
(terj. Hilangnya sinar rembulan). Sedangkan al-Qurtubi mengatakan mungkin juga bermakna
‚gaba‛ (hilang/tidak terlihat).7 Secara konteks ayat ini hadir dalam rentetan pembicaraan
tentang tanda hari akhir, namun ayat ini juga menjadi penegas adanya fenomena Khusuf al-
Qamar (gerhana bulan) sebagai fenomena alamiah biasa yang sering diperlihatkan Allah
kepada manusia di dunia ini sebagai tanda kekuasaan-Nya. Bedanya menurut al-Qurtubi,
Khusuf sebagai tanda hari akhir zaman, sinar bulannya tidak akan muncul lagi. Sementara,
Khusuf sebagai fenomena alamiah biasa sinarnya akan kembali muncul setelah menghilang
beberapa saat.8

2) Hadis
Dibeberapa kitab kumpulan hadis (Subul al-Salam, Nailu al-Authar, dan al-Kutub al-
Tis’ah), terdapat berbagai hadis yang menceritakan peristiwa gerhana yang terjadi
pada masa Nabi saw. Begitu juga bagaimana beliau menyikapi peristiwa tersebut.
Hadis-hadis yang tersebar dalam kitab-kitab tersebut antara lain:
a. Kitab Subul al-Salam Syarah Bulugul Maram
b. Kitab Shahih al-Bukhari
c. Kitab Shahih Muslim
d. Kitab Sunan Abi Dawud
e. Kitab Sunan Ibn Majah:

Dari beberapa kitab diatas, semuanya membahas peristiwa gerhana matahari saja secara teks.

E. HUKUM DAN TATA CARA SHALAT GERHANA

7
Abi> Abdulla>h Muhammad bin Ahmad al-Ansha>ri> al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, Jil. X, Juz
19, 63
8
Abi> Abdulla>h Muhammad bin Ahmad al-Ansha>ri> al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, Jil. X, Juz
19, 63.

6
Hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan adalah Sunah
Muakkadah. Hukum tersebut disepakati oleh mayoritas ulama/Fuqaha, sebagaimana
dikemukakan oleh masing-masing al-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah. 9 Wahbah al-
Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 10 serta Muhammad Bakr Ismail dalam
kitab al-Fiqh al-Wadih. 11
Alasan disunnahkannya ibadah ini sudah jelas karena banyaknya hadis yang
meriwayatkan tentang sikap dan perbuatan Nabi yang melakukan shalat gerhana saat melihat
gerhana, serta adanya perintah secara lisan yang beliau sampaikan kepada sahabatnya untuk
melakukan shalat gerhana saat gerhana terlihat. Seperti riwayat dari Qabishah al-Hilali
‚..inkasafat al-syams fakharaja rasulullah fashalla rak’atain…faiza ra’aitum zalika
fashallu…‛. (telah terjadi gerhana matahari, maka Rasulullah keluar ke masjid untuk shalat 2
raka’at..apabila kalian melihat gerhana maka shalatlah..).
Hukum shalat gerhana tersebut (sunah) mencakup shalat gerhana bulan, sebagaimana
hadis Riwayat Ibnu Hibban dalam kitab al-Tsiqat, serta shalat gerhana matahari, sebagaimana
hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Bagi siapa saja yang termasuk kategori orang yang wajib
menjalankan shalat fardhu, baik ia laki-laki maupun perempuan sunah untuk
menjalankannya. Sementara bagi anak-anak dan orang yang sudah tua disunahkan untuk
menghadiri shalat gerhana tersebut.12

Adapun waktu pelaksanan dari masing-masing shalat gerhana adalah saat mulai
terjadinya gerhana (ijtima’) sampai selesai atau tersingkapnya cahaya keduanya
(matahari/bulan) secara utuh. Apabila peristiwa gerhananya telah berlalu tidak ada qadha lagi.
Sesuai hadis Nabi saw. ‚‛fashallu hatta yanjali‛.13 Hal-hal disunnahkan dalam shalat
gerhana, yaitu:
1. Memanggil jamaah untuk melaksanakannya dengan kalimat ‚asshalatu jami’ah‛
2. Dilakukan secara berjamaah
3. Memanjangkan bacaan surah pada tiap rakaat.
4. Menyampaikan khutbah sesudah shalat dengan tata cara sama dengan tata cara
khutbah jumat, yaitu dengan 2 kali khutbah dan diantarai dengan duduk sejenak
5. Berzikir, berdoa dan berisitgfar sesudah shalat.

9
Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1 (Cet. II; Cairo: Da>r al-Fath li al-I’la>m al- ‘Arabi>, 1999), 255.
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Jil. II, 1422
11
Muhammad Bakr Ismail, al-Fiqh al-Wa>dih, Juz 1 (Cet. II; Cairo: Da>r al-Mana>r, 1997), 275.
12
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Jil. II, 1422.
13
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Jil. II, 1429 dan 1423.

7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Berdasarkan informasi nas gerhana pernah terjadi pada masa Nabi. Hanya saja, nas
tidak merinci berapa kali gerhana tersebut terjadi dan kapan waktunya terjadi. Tapi, melalui
bantuan perhitungan ilmu Astronomi diketahui bahwa selama periode kenabian telah terjadi
sebanyak 8 kali gerhana. Empat kali pada periode Mekah dan empat kali pula pada periode
Madinah. Satu-satunya informasi yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui waktu
terjadinya gerhana pada masa Nabi adalah melalui ungkapan kalimat rawi yang mengatakan
pada hari kematian Ibrahim telah terjadi gerhana matahari. Imam al-Syaukani dalam kitabnya
‚”Nailu al-Authar” mengatakan, al-Hafiz (Ibnu Hajar al-Asqalani) berkata para ahli sejarah
menyebutkan bahwa anak Nabi saw bernama Ibrahim meninggal dunia pada bulan Syawal
tahun 10 H.

Ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan seiring dengan terjadinya peristiwa


gerhana. Ibadah tersebut jumlahnya ada 8, yaitu: melaksanakan shalat gerhana, memanggil
orang untuk berkumpul melaksanakan shalat sunnah gerhana secara berjamaah dengan
memakai kalimat seruan ‚”al-Shalatu Jami’a”, berzikir (Tasbih, Tahmid, Tahlil, Takbir),
berdoa, beristigfar, bersedekah, memerdekakan budak, menyampaikan khutbah sesudah
shalat gerhana.

8
DAFTAR PUSTAKA

Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan dan Kosakata
Baru, (Cet. I; Surabaya: Cahaya Agency, 2013), 203.

Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Disempurnakan dan Kosakata
Baru, (Cet. I; Surabaya: Cahaya Agency, 2013), 203.

Qamaruzzaman, “GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ASTRONOMI”,


EMPERISMA, Vol. 25 No. 2, 2016, 158-159

Qamaruzzaman, “GERHANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ASTRONOMI”,


EMPERISMA, Vol. 25 No. 2, 2016, 160-162

Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jil.
X, Juz 19, 63

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1 (Cet. II; Cairo: Dar al-Fath li al-I’lam al- ‘Arabi,
1999), 255.

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jil. II, 1422

Muhammad Bakr Ismail, al-Fiqh al-Wadih, Juz 1 (Cet. II; Cairo: Dar al-Manar, 1997), 275

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jil. II, 1429 dan 1423

Anda mungkin juga menyukai