Anda di halaman 1dari 14

Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Volume 5 Issue 1, April 2023: pp. 76-89.


Copyright © 2023 Halu Oleo Legal Research. Faculty of Law, Halu Oleo University, Kendari,
Southeast Sulawesi, Indonesia.
Open Access at: https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/

Halu Oleo Legal Research is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Kebijakan Aplikasi Pengembalian Keuangan Negara oleh


Kejaksaan

State Financial Refund Application Policy by the Prosecutor's Office

Herman1, Handrawan2, Oheo Kaimuddin Haris 3,


Sabrina Hidayat4, La Sensu5, Budhi Santoso6

1. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: man.herman@uho.ac.id.


2. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: handrawansaranani84@gmail.com.
3. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: oheokh@gmail.com.
4. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: sabrina.hidyat45@yahoo.com.
5. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: lasensu18@gmail.com.
6. Kejaksaan Negeri Kendari, E-mail: abudevil6@gmail.com.

Abstract: This study shows that the prosecutor's office can use penal and non-penal means in eradicating
corruption, especially in efforts to recover or recover state financial losses, based on the applicable laws and
regulations. Penal means include the stages of investigation, prosecution, and execution of court
decisions/execution, while non-penal means are carried out through the functions and duties of the prosecutor as a
State Attorney in civil cases. Prosecutors' professionalism is closely related to high technical skills, expertise and
mastery as well as the ability to always keep abreast of developments in science and technology. In implementing
the recovery of state financial losses due to criminal acts of corruption, prosecutors have authority through criminal
and civil instruments. The process of recovering state financial losses goes through several stages, namely tracking,
blocking, confiscating, appropriating, and returning state losses.
Keyword: Prosecutor's Office; Corruption; State Financial Losses
Abstrak: Penelitian ini menunjukkan bahwa kejaksaan dapat menggunakan sarana penal dan sarana non penal
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, terutama dalam upaya pemulihan atau pengembalian kerugian
keuangan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sarana penal meliputi tahap
penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan pengadilan/eksekusi, sedangkan sarana non penal dilakukan
melalui fungsi dan tugas jaksa sebagai Pengacara Negara dalam perkara perdata. Profesionalisme jaksa sangat
berhubungan dengan keterampilan, keahlian, dan penguasaan teknis yang tinggi serta kemampuan untuk selalu
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan
negara akibat tindak pidana korupsi, jaksa mempunyai kewenangan melalui instrumen pidana dan perdata. Proses
pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara melalui beberapa tahap, yaitu pelacakan, pemblokiran,
penyitaan, perampasan, serta pengembalian kerugian negara.
Kata kunci: Kejaksaan; Tindak Pidana Korupsi; Kerugian Negara

PENDAHULUAN
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana

76
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

korupsi sudah masuk dalam kategori “membahayakan”.1 Korupsi di Indonesia merupakan


persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan “darurat” yang telah dihadapi bangsa
Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus
korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu
agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.

Praktik korupsi yang semakin meningkat merupakan pekerjaan serius bagi upaya
penegakan hukum di Indonesia, khususnya pada Kejaksaan RI. Ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kejaksaan No. 15 tahun 1961 Jo. Undang-Undang No.5
tahun 1991 Jo. Undang-Undang No. 16 tahun 2004 merumuskan tugas kejaksaan di bidang
yustisial, yaitu pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi penyidikan, penyidikan lanjut dan
mengadakan pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidikan lainnya.

Korupsi dewasa ini pun telah menjadi masalah global antar negara, yang tergolong kejahatan
transnasional2, bahkan atas implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan
negara yang besar, maka korupsi dapat digolongkan sebagai extra-ordinary crime sehingga
harus diberantas oleh Hukum dan kewajiban semua warga negara. Pemberantasan korupsi
harus selalu dijadikan prioritas agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan
mendesak serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan
dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang
bersangkutan, tidak terkecuali Indonesia.

Sebagai suatu kejahatan yang extra ordinary crime3, pemberantasan tindak pidana korupsi
membutuhkan keseriusan dan dengan cara melakukan kerja sama internasional. Terlebih
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia bahwa
Indonesia pada Tahun 2005 menduduki Negara ke-6 terkorup di Dunia.4

Pemberantasan korupsi, sebagai keseriusan pemerintah Indonesia dapat dilihat dengan


diterbitkannya berbagai kebijakan yang secara langsung berkaitan dengan penanggulangan
tindak pidana korupsi.

Dengan begitu banyak Peraturan Perundang-undangan yang terbit untuk mencegah


terjadinya Korupsi tersebut, tidak seketika membuat para Koruptor menjadi jera atau takut

1 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi (Jakarta: Solusi Publishing, 2010),
5.
2 Dalam Resolusi “corruption in Government” (Hasil Kongres PBB ke-8 yahun 1990) dinyatalan bahwa
korupsi tidak hanya terkait dengan berbagai kegiatan “economic Crime”, tetapi juga dengan “Organized
Crime”, illicit drug trafficking, money laundering, political crime, top hat crime, dan bahkan transnational
crime.
3 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomoe 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Disebut Extra Ordinary Crime menunjukkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi
dilakukan dengan “Cara luar biasa” dan “cara yang khusus”. Yang dimaksud adalah pembalikan beban
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi
dirumuskan secara tegas sebagai delik formal, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi,
ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti,
perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara dan sebagainya.
4 “Konvensi Anti Korupsi perlu Diratifikasi,” Harian Sumatera Ekspres (Palembang, Desember 13, 2005).

77
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

untuk melakukan tindak pidana Korupsi, tapi yang paling penting adalah bagaimana
penerapan/operasionalisasi/implementasi ke semua peraturan tersebut dalam
menanggulangi tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh
Muladi bahwa penegakan hukum pidana tidak selesai hanya pada pengaturan dalam suatu
undang-undang, tetapi juga harus diterapkan dan dilaksanakan dalam masyarakat.5

Dalam hal tindak pidana korupsi yang terjadi pada masa sekarang, Institusi kejaksaan yang
merupakan penegak hukum yang diberi wewenang dalam melakukan proses peradilan
pidana khususnya dalam fungsi dan peran kejaksaan terhadap pengembalian keuangan
negara dari terpidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yakni semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah; dan b.
berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.

Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden Marpaung adalah
perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram).6 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip oleh Leden
Marpaung, Korupsi diartikan sebagai “.... penyelewengan atau penggelapan (uang Negara
atau Perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata keuangan
negara biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan
Negara” adalah aparat pemerintah.7

Maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh Pejabat publik, merupakan alasan utama bagi
penegak hukum khususnya kejaksaan dalam berupaya dan bekerja keras untuk melakukan
pengembalian aset negara dari hasil tindak pidana korupsi oleh terpidana korupsi. Dalam
upaya pencegahan dan pendeteksian perpindahan hasil kejahatan dari tindak pidana
korupsi, setiap negara wajib mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu, sesuai
dengan hukum nasionalnya, di antaranya dengan mensyaratkan lembaga-lembaga
keuangan dalam yurisdiksinya untuk meneliti para nasabah, mengambil langkah-langka
yang tepat guna menetapkan identitas para pemilik hak atas dana-dana yang disimpan oleh

5 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), 13.
6 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahanya (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), 149.
7 Ibid.

78
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

atau atas nama perorangan yang dipercayakan atau telah dipercayakan pada jabatan-jabatan
publik dan para anggota keluarga serta mitra dekat mereka. Ketelitian yang tinggi tersebut
harus dirancang secara tepat untuk mendeteksi transaksi yang mencurigakan untuk tujuan
pelaporan kepada badan-badan berwenang dan tidak boleh ditafsirkan untuk mencegah
atau melarang lembaga-lembaga keuangan untuk melakukan usaha dengan setiap nasabah
yang sah.

Penggunaan Hasil tindak pidana korupsi oleh para pelaku tindak pidana ataupun terpidana
yang telah di jatuhi hukuman baik Pidana penjara maupun denda, dalam hal tersebut Uang
hasil korupsi atau kerugian keuangan negara yang telah di perhitungkan oleh institusi yang
ditunjuk haruslah dan wajib dikembalikan oleh terpidana korupsi berupa uang pengganti
yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, hal ini
telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
secara implisit mengatakan adanya pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi. Dalam upaya mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara,
ada penegak hukum yang mempunyai peran fungsi yaitu Kejaksaan. Dalam Pasal 18 ayat (2)
UU Pemberantasan Tipikor yaitu Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut. dan kemudian pada Pasal 18 ayat (3) menjelaskan dalam hal terpidana
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka
hukumannya diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemberantasan
Tipikor dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Selain
uang korupsi yang perlu diganti oleh terpidana korupsi, barang-barang milik terpidana
korupsi yang diperoleh dari tindak pidana korupsi juga dirampas oleh negara sebagaimana
disebut di atas dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor. Maka dapat
diketahui bahwa kerugian negara itu ditanggung sendiri oleh terpidana korupsi yang telah
terbukti melakukan tindak pidana korupsi melalui sanksi pidana yang dijatuhkan
kepadanya. Hakimlah yang menentukan berapa jumlah uang pengganti yang harus
terpidana korupsi bayar dan hukuman lainnya untuk mengembalikan kekayaan negara yang
dirugikan akibat tindak pidana korupsi melalui putusannya.

Sejalan dengan pengaturan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Purwaning M.


Yanuar dalam bukunya berjudul Pengembalian Aset Hasil Korupsi8 mengatakan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut
UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan
pidana denda.

Banyak mekanisme yang dilakukan penegak hukum terhadap upaya pengembalian kerugian
keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana korupsi.
Dalam hal mekanisme gugatan Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama

8 M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bandung: Alumni, 2007), 150.

79
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Negara atau Pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan RI. Gugatan tersebut dilakukan apabila penyidik dalam melakukan
penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada
Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi
yang dirugikan untuk mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Begitu juga apabila Pengadilan menjatuhkan putusan bebas maka tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian keuangan negara dan jika saat penyidikan maupun pemeriksaan
sidang pengadilan tersangka atau terdakwa meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah
ada kerugian keuangan negara maka gugatan perdata ditujukan kepada ahli warisnya
dengan cara penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada jaksa
pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
berdasarkan Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.9

Selain itu, dalam Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juga mengatur tentang kewajiban terdakwa menerangkan asal usul harta
bendanya, baik seluruh berupa harta benda atas namanya sendiri maupun milik istrinya.
Anaknya dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi
yang didakwakan kepadanya dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa
hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka
hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (iilicit enrichment) dan hakim
berwenang untuk merampasnya.10

Mengingat para terpidana koruptor ini dengan berbagai cara, jauh-jauh hari telah
mengamankan aset-aset tersebut, termasuk dengan cara menggunakan rekayasa finansial
(finansial engineering) yang sering terjadi dalam praktik bisnis, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Untuk itu, dalam tahap penyidikan perkara korupsi dibutuhkan strategi yang
tepat untuk mengidentifikasi (Indentifying) dan menelusuri (tracing) aset yang di duga
terkait langsung atau tidak langsung dengan perkara Korupsi lebih-lebih, jika harta hasil
korupsi tersebut disembunyikan di luar negeri. Salah satu cara menelusuri ke mana hasil
korupsi itu dikaburkan oleh koruptor adalah dengan membina kerja sama dengan berbagai
negara, khususnya negara yang rawan menjadi tempat pelarian para koruptor atau
menyimpan harta hasil jarahannya.11

Berdasarkan publikasi berita di berbagai media massa dapat diketahui bahwa tuntutan dan
perhatian masyarakat terhadap pengembalian keuangan negara atau harta hasil tindak

9 Muhamad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Jakarta: Kompas, 2013), 70.


10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 38 B dan C
11 Abdul Rahman Saleh, “Peran Kejaksaan dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi,” makalah disampaikan
pada seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery dalam
rangka ulang tahun PPATK, Ruang Chandra ke-4 PPATK, Ruang Chandra, gedung Bank Indonesia Lt. 6,
Kebon Sirih (Jakarta, April 4, 2006).

80
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

pidana pengembalian kerugian keuangan negara atau harta hasil tindak pidana korupsi
(asset reccovery) cukup besar. Beberapa kasus yang sempat menyita perhatian masyarakat
pada waktu yang lalu adalah yang berkaitan dengan pelarian hasil korupsi ke luar negeri
antara lain kasus Eddy Tansil (Bapindo), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Tommy
Soeharto, Irawan Salim (Bank Global), Maria Lumowa (Bank BNI), Sudjiono Timan (PT.
Bahana Pembangunan Usaha Indonesia), David Nusa Wijaya (Bank Servitia), dan Eduardus
Cornelis Wiliam Neloe (rekening bank sebesar 5 juta dolar AS di Swiss).12

Beberapa hambatan yang akan dihadapi oleh Jaksa Pengacara Negara dalam melakukan
gugatan perdata perkara korupsi, antara lain hukum acara perdata yang digunakan
sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang menganut pembuktian formal.13
Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil. Dalam
tindak pidana korupsi khususnya, di samping penuntut umum wajib membuktikan
kesalahan terdakwa, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban
pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas”.14

Di samping mekanisme tersebut beberapa konvensi International yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah RI seperti konvensi International Pemberantasan pendanaan Terorisme
(diratifikasi dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2006) dan UNCAC (Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2006), dan memenuhi standar revised 40+9 recomendations financial action
task force (FATH) juga mengariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan.
Dalam pasal 54 ayat (1) huruf c United Nations Convention Against Corrupstion (UNCAC),
menyatakan bahwa:“....consfication of such property without a criminal conviction in cases in
wihich the offender cannot be prosecutted by reason of death, flight or absence or in other
approprate case”.

Dari pengertian tersebut di atas UNCAC telah mengatur mengenai kewajiban suatu negara
peserta sesuai dengan hukum nasionalnya, mengambil tindakan untuk memperbolehkan
perampasan atas kekayaan yang diperoleh melalui atau yang terlibat dalam pelaksanaan
suatu kejahatan tanpa suatu penghukuman pidana dalam kasus di mana si pelanggar tidak
dapat dituntut dengan alasan kematian melarikan diri, tidak hadir, atau dalam kasus-kasus
tertentu lainnya.15

12 Taufiqurachman Ruqi, “KPK dan Jejaring International Rezim Anti Korupsi dalam Upaya Pengembalian
Hasil Tindak Pidana Korupsi,” makalah disampaikan pada seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi:
Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery dalam rangka ulang tahun PPATK, Ruang Chandra ke-4
PPATK, Ruang Chandra, gedung Bank Indonesia Lt. 6, Kebon Sirih (Jakarta, April 4, 2006).
13 Suhabdibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi,” Dunia Esai,
diakses November 10, 2022, http://www.duniaesai.com/hukum/hukum3.html.
14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Pasal 37.
15 UNCAC, United Nations Convention Against Corruption: Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Mengenai
Anti Korupsi (Jakarta: United Nations, 2009), 41–42.

81
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

METODE PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada
penggunaan norma-norma hukum secara tertulis serta didukung dengan hasil wawancara
dengan narasumber dan informan.

FUNGSI KEJAKSAAN DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
Undang-Undang. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kejaksaan adalah:16

a. Lembaga pemerintah. Dengan demikian, Kejaksaan termasuk eksekutif, bukan legislatif,


dan bukan yudikatif.
b. Melaksanakan kekuasaan negara; dengan demikian maka Kejaksaan merupakan aparat
negara.

Sedangkan menurut pandangan pemikiran cendekiawan Kejaksaan Dr. Saheroji,


menjelaskan asal kata dari jaksa bahwa “Kata jaksa berasal dari bahasa Sanskerta yang
berarti pengawas (superintendant) atau pengontrol, yaitu pengawas soal-soal
kemasyarakatan.”17

Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di


bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan
keadilan, dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Di
Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga penegak hukum
yang kedudukannya berada di lingkungan kekuasaan pemerintah yang berfungsi
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, di samping melaksanakan fungsi kekuasaan lain yang oleh
undang-undang.

16 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), 191–192.
17 Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam
Penegakkan Hukum di Indonesia) (Bandung: Widya Padjajaran, 2011), 196.

82
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan


kekuasaan negara. Di samping berperan di bidang penuntutan juga diberikan kewenangan
lain sebagai pihak penggugat maupun tergugat dalam perkara Perdata dan Tata Usaha
Negara yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan pengaruh kekuasaan lainnya.18

Fungsi Kejaksaan mencakup: “Aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta
Pengacara Negara dalam Keperdataan dan Tata Usaha Negara. Aspek Preventif, berupa
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakkan hukum,
pengamanan peredaran bang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal. Aspek represif melakukan penuntutan dalam perkara pidana,
melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang
berasal dari Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).”19 Kejaksaan memiliki
kedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara
merdeka dan tidak terpisahkan terutama pelaksanaan tugas dan kewenangan dalam
penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan serta memiliki tugas dan wewenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan pada tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 30A, 30B dan Pasal 30C Undang-Undang Nomor 11 tahun
2021 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
tugas dan Wewenang Kejaksaan RI yaitu:

Pasal 30A
Dalam pemulihan aset, Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran,
perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya
kepada negara, korban, atau yang berhak
Pasal 30B
Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk
kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan
pembangunan;
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen
dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar
negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.

18 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 127.
19 Ibid., 190.

83
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Pasal 30C
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan:
a. menyelenggarakan kegiatan statistik kriminal dan kesehatan yustisial
Kejaksaan;
b. turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;
c. turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi
dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya;
d. melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana
denda dan pidana pengganti serta restitusi;
e. dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang
ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses
dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik atas permintaan instansi
yang berwenang;
f. menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang keperdataan dan/atau bidang
publik lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
g. melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti;
h. mengajukan peninjauan kembali; dan
i. melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur
mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang
tindak pidana.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, di Indonesia perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui jalur pidana (Convicted Based Asset
Forfeiture) dan jalur perdata (Civil Forfeilure) sebagaimana diatur oleh UU PTPK. Melalui dua
hal dimaksud dilakukan pengembalian kerugian keuangan dan pemulihan perekonomian
negara.

Keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun,
yang dipindahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga


negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian


yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat
pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.

84
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Perampasan aset sebagai bagian dari upaya pengembalian kerugian keuangan negara secara
tegas dinyatakan dalam pasal 18 ayat (1) huruf a UU PTPK yang pada pokoknya mengatur
tentang: “perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan. Perampasan
tersebut dapat pula dikenakan terhadap harga dari barang tersebut.”

Perkara Tindak Pidana Korupsi yang di tangani oleh Kejaksaan RI Khususnya pada Seksi
Tindak Pidana Khusus se-Indonesia dalam 3 tahun terakhir telah berhasil mengembalikan
kerugian keuangan negara dalam tahap penyelesaian perkara dan melakukan penyitaan
dalam tahap penyidikan dan penuntutan dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Kerugian Negara yang Berhasil Dikembalikan pada Tahap Penyelesaian Perkara dan yang Dilakukan
Penyitaan pada Tahap Penyidikan dan Penuntutan pada Tahun 2020-2022

Kerugian Negara yang Berhasil Dikembalikan pada Tahap Penyelesaian Perkara dan
No. Tahun
yang Dilakukan Penyitaan pada Tahap Penyidikan dan Penuntutan
1 2 3
1. 2022 Rp2.769.609.281.880,33,-
(dua triliun tujuh ratus enam puluh Sembilan milyar enam ratus Sembilan puluh juta dua
ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus delapan rupiah tiga puluh tiga sen)
Rp21.141.158.272.031,90,-
(dua puluh satu triliun seratus empat puluh satu milyar seratus delapan puluh lima juta dua
ratus tujuh puluh dua ribu tiga puluh satu rupiah sembilan puluh sen)
US$11.400.813,57
(sebelas juta empat ratus ribu delapan ratus tiga belas dolar Amerika Serikat lima puluh tujuh
sen)
SG$646,04
(enam ratus enam puluh empat dolar Singapura nol empat sen)
2. 2021 Rp21.267.994.771.809,20,-
(dua puluh satu triliunan dua ratus enam puluh tujuh milyar sembilan ratus sembilan puluh
empat juta tujuh ratus tujuh puluh satu delapan ratus Sembilan puluh rupiah dua puluh sen)
US$763.080
(tujuh ratus enam puluh tiga ribu delapan puluh dolar Amerika Serikat)
SG$32.900
(tiga puluh dua ribu sembilan ratus dolar Australia)
3. 2020 Rp18.894.594.410.380,80,-
(delapan belas triliun delapan ratus sembilan puluh empat milyar lima ratus sembilan puluh
empat juta empat ratus sepuluh ribu tiga ratus delapan puluh rupiah delapan puluh sen)
US$76.737,42
(tujuh puluh enam ribu tujuh ratus tiga puluh tujuh dolar Amerika Serikat empat puluh dua
sen)
€71.532,30
(tujuh puluh satu ribu lima ratus tiga puluh dua ribu Euro tiga puluh sen)
£305,00
(tiga ratus lima Pound Mesir)

KEBIJAKAN APLIKASI PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA OLEH KEJAKSAAN


Kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi saat
ini, sesungguhnya telah mengalami berbagai perubahan, yang mana perubahan tersebut
dilakukan mengingat perkembangan korupsi yang demikian cepat. Bahkan menurut
beberapa ahli atau pakar hukum pidana dan kriminologi korupsi digambarkan sebagai suatu

85
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

penyakit yang dalam perkembangannya bukan saja merusak atau merugikan keuangan dan
perekonomian negara, akan tetapi telah melampaui batas-batas tersebut yakni merusak atau
merugikan perekonomian rakyat.

Perubahan-perubahan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana


korupsi, yang disebabkan oleh perkembangan korupsi yang demikian cepat dan disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dilukiskan pada
konsiderans beberapa perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi.

Perumusan mengenai tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tersebut, meletakkan korupsi sebagai delik materiel. Konsekuensi dari rumusan tersebut
adalah korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu apakah telah merugikan keuangan negara
atau tidak. Rumusan dengan model ini mengakibatkan tidak efektifnya penanggulangan
tindak pidana korupsi, terutama yang dilakukan oleh para pejabat negara.

Ketidakefektifan pemberantasan korupsi dengan melandaskan pada rumusan delik materiil


tersebut, kemudian melahirkan kebijakan pemberantasan korupsi yang baru yakni dengan
merumuskan korupsi sebagai delik formal. Pendirian pembentuk undang-undang mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi ini juga tampaknya disemangati oleh pergerakan
tindak pidana korupsi yang dalam perkembangannya tidak saja merugikan keuangan atau
perekonomian negara tapi sudah merusak hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi rakyat.
kondisi inilah yang kemudian mengubah arah kebijakan hukum pidana, di mana tindak
pidana korupsi yang pada awalnya dirumuskan berdasarkan delik materiil diubah menjadi
delik formal. Hal tersebut terlihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana
Korupsi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1)


Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Kedua rumusan tersebut menempatkan tindak pidana korupsi sebagai delik formal, di mana
perbuatan korupsi tetap dipidana, sekalipun tidak terjadi kerugian terhadap keuangan atau
perekonomian negara. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 bahwa kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan dan atau
perekonomian Negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal,
yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang
sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

86
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Dalam melaksanakan putusan pengadilan, sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan Pasal


30 ayat (1) huruf b UU Kejaksaan, Kejaksaan harus memperhatikan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa
mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan
pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan
hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan
disita untuk selanjutnya dijual lelang.

Dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, ketika hakim juga memutuskan menjatuhkan pidana
tambahan berupa perampasan dan pembayaran uang pengganti kepada pelakunya maka
jaksa melaksanakan putusan hakim itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku
yaitu berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU Korupsi Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20
Tahun 2001.

Sehubungan dengan kewenangan yang dimiliki kejaksaan dalam penanganan perkara-


perkara Tindak Pidana Korupsi yaitu selaku penyidik, sebagai upaya
penyelamatan/pengembalian kerugian keuangan negara akibat Tindak Pidana Korupsi
kejaksaan mempunyai kewenangan dan bisa memaksimalkan perannya dalam upaya
pengembalian kerugian keuangan negara akibat Tindak Pidana Korupsi pada semua tingkat
pemeriksaan, mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pada tahap pelaksanaan putusan
pengadilan/eksekusi.

Dalam rangka menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara penyidikan wajib


melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka, istri/suami, anak dan setiap orang
yang mempunyai hubungan dengan perkara tersangka. Penyitaan ini dilakukan berdasarkan
hasil penelitian yang cermat dari kegiatan-kegiatan penyidikan yang dilakukan sebelumnya.
Jaksa/Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya wajib meminta kepada hakim agar
menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti di samping pidana
pokok, dan menyatakan merampas barang yang disita dalam tahap penyidikan. Nilai dari
keseluruhan barang-barang yang dimohonkan untuk dirampas dan jumlah tuntutan
pembayaran uang pengganti adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari Tindak Pidana Korupsi.

Dalam rangka melaksanakan putusan hakim jika pembayaran uang pengganti belum
mencukupi, jaksa eksekutor melakukan penyitaan terhadap harta benda lainnya dari
terpidana tanpa memerlukan campur tangan pihak pengadilan dalam bentuk penyitaan yang
dituangkan dalam bentuk penetapan, dan lain-lain.

Putusan pengadilan baru bisa dilaksanakan setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum
tetap. Sesuai dengan ketentuan Pasal 270 KUHAP pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilakukan oleh jaksa, bukan oleh penuntut
umum.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU PTPK)
memberikan ancaman kepada pelaku tindak pidana korupsi berupa pidana penjara, pidana

87
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

denda dan pembayaran uang pengganti. Khusus untuk uang pengganti jika terpidana tidak
membayar uang pengganti tersebut, maka dilakukan perampasan terhadap harta kekayaan
atau aset terpidana tersebut. Sedangkan pidana denda yang tidak dibayarkan oleh terpidana
tersebut, maka memuat ketiga jenis sanksi tersebut UU PTPK juga mengatur tentang
dimungkinkannya untuk dilakukan perampasan aset yang merupakan aset atau hasil dari
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a undang-undang
tersebut.

UU PTPK memberikan dua jalan atau dua cara berkenaan dengan perampasan aset hasil
tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Kedua
jalan dimaksud yaitu perampasan melalui jalur pidana dan perampasan melalui gugatan
perdata.

KESIMPULAN
Kejaksaan memainkan peran penting dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan pemulihan atau pengembalian kerugian keuangan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan sarana penal dan non penal
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Jaksa harus memiliki profesionalisme baik
sebagai penyidik, penuntut umum maupun eksekutor perkara Tindak Pidana Korupsi
dengan tanggung jawab, keahlian, dan keterampilan yang tinggi serta mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pelaksanaan pengembalian kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, Jaksa memiliki kewenangan melalui
instrumen pidana dan perdata. Tahapan pelaksanaannya meliputi pelacakan, pemblokiran,
penyitaan, perampasan, dan pengembalian kerugian negara.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil, dan Adang. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
Padjajaran, 2011.
Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi. Jakarta: Solusi
Publishing, 2010.
Marpaung, Laden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan).
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahanya. Jakarta: Sinar
Grafika, 1992.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995.
Ruqi, Taufiqurachman. “KPK dan Jejaring International Rezim Anti Korupsi dalam Upaya
Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi.” makalah disampaikan pada seminar
Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery dalam
rangka ulang tahun PPATK, Ruang Chandra ke-4 PPATK, Ruang Chandra, gedung Bank
Indonesia. Jakarta, April 4, 2006.

88
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Saleh, Abdul Rahman. “Peran Kejaksaan dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi.”
makalah disampaikan pada seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan
Tantangan Asset Recovery dalam rangka ulang tahun PPATK, Ruang Chandra ke-4 PPATK,
Ruang Chandra, gedung Bank Indonesia, April 4, 2006.

Suhabdibroto. “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam


Korupsi.” Dunia Esai. Diakses November 10, 2022.
http://www.duniaesai.com/hukum/hukum3.html.
Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
UNCAC. United Nations Convention Against Corruption: Konvensi Persatuan Bangsa-
Bangsa Mengenai Anti Korupsi. Jakarta: United Nations, 2009.
Yanuar, M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Bandung: Alumni, 2007.
Yusuf, Muhamad. Merampas Aset Koruptor. Jakarta: Kompas, 2013.
“Konvensi Anti Korupsi perlu Diratifikasi.” Harian Sumatera Ekspres. Palembang,
Desember 13, 2005.

89

Anda mungkin juga menyukai