6257-Article Text-16099-19692-10-20191008
6257-Article Text-16099-19692-10-20191008
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the differences of intensive and semi-intensive rearing systems on the
performance of female Tegal ducks in feed composition and consumption of nutrients, feed conversion, and egg
production. The study was conducted in April - May 2018 at Bulu farmer groups farm in Bulu Village,
Pemalang District, Central Java. The material used in the study was 2265 female Tegal ducks from 13 farmers at
the KTT Bulusari consisting of 6 semi-intensive breeders and 7 intensive rearing systems. Tegal duck were
reared for 40 days. This research was a quantitative descriptive research that interpreted data from research
samples, analyzed by the Mann-Whitney test. The results showed that the of feed and HDP of female Tegal
ducks that were reared intensively was 7.09 and 57.57%, while the ducks that were kept semi-intensive were
1.43 and 58.84%. Semi-intensive rearing system is more profitable because less feed can produce optimal
productivity.
Key words: Tegal duck, rearing system, intensive, semi intensive, egg production, and feed conversion
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif pada
performans itik Tegal berupa komposisi dan konsumsi nutrien, konversi pakan dan produksi telur. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April – Mei 2018 di peternakan rakyat Desa Bulu, Kecamatan Petarukan, Kabupaten
Pemalang, Jawa Tengah. Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu 2265 ekor itik Tegal betina dari 13
peternak itik di KTT Bulusari yang terdiri dari 6 peternak dengan sistem pemeliharaan semi intensif dan 7
peternak dengan sistem pemeliharaan intensif. Itik Tegal dipelihara selama 40 hari. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian deskriptif kuantitatif yang menginterprestasikan suatu data dari sampel penelitian yang dianalisis
dengan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi pakan dan HDP itik Tegal betina yang
dipelihara secara intensif sebesar 7,09 dan 57,57%, sedangkan itik yang dipelihara secara semi intensif adalah
sebesar 1,43 dan 58,84%. Sistem pemeliharaan semi intensif lebih menguntungkan karena lebih sedikit pakan
dapat memproduksi secara optimal.
Kata kunci : itik Tegal, sistem pemeliharaan, intensif, semi intensif, produksi telur, dan konversi pakan
237 | Performans itik tegal betina dengan pemeliharaan intensif dan semi intensif...(Adi et al., 2019)
tersebut mempunyai kelebihan dan konsumsi pakan dan konversi pakan pada itik
kekurangan masing-masing yang berdampak Tegal (Anas plantyhynchos javanicus).
pada produktivitas telur itik. Perbedaan
sistem pemeliharaan berdampak pada MATERI DAN METODE
produksi telur dan kualitas telur yang
dihasilkan (Tumanggor et al., 2017). Materi yang digunakan dalam
Beberapa kajian sebelumnya tentang penelitian yaitu 2.265 ekor itik Tegal betina
sistem pemeliharaan itik, ternyata dari 13 peternak itik di KTT Desa Bulu
memberikan hasil yang berbeda-beda, Kecamatan Petarukan yang berasal dari 6
penelitian Kateren (2007) menunjukkan peternak dengan sistem pemeliharaan intensif
bahwa itik yang dipelihara dengan sistem dan 7 peternak dengan sistem pemeliharaan
intensif memiliki produktivitas yang lebih semi intensif. Itik Tegal dipelihara selama 40
baik dibanding dengan itik yang dipelihara hari.
dengan sistem semi intensif. Produksi telur Penelitian ini merupakan jenis
itik yang digembalakan hanya sekitar 26,9% penelitian deskriptif kuantitatif yang
- 41,3% setara dengan 98-151 menginterprestasikan suatu data dari sampel
butir/ekor/tahun, sedangkan pada sistem penelitian yang dianalisis dengan metode
terkurung (intensif) produksi telur mencapai statistik tertentu. Kegiatan yang dilakukan
55,6% setara dengan 203 butir/ekor/tahun. berupa tahap persiapan penelitian, berupa
Penelitian Tumanggor et al. (2017) pendekatan personal dengan para peternak di
menunjukkan, bahwa itik yang dipelihara Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang,
dengan sistem semi intensif dengan sesekali Jawa Tengah yang digunakan untuk sistem
digembalakan di sawah memiliki pemeliharaan sistem semi intensif.
produktivitas yang lebih baik jika Selanjutnya, daftar kuisioner disiapkan untuk
dibandingkan dengan itik yang dipelihara mendapatkan data itik Tegal dari para
dengan sistem intentif. Itik yang dipelihara peternak. Tahap berikutnya adalah tahap
dengan sistem semi intensif dan sesekali penelitian yaitu pengambilan data, dan tahap
digembalakan di sawah akan mendapat pengolahan data. Pakan peternak dianalisis
nutrisi tambahan yang lebih baik daripada di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
hanya diberikan nutrisi dari pakan ternah Ternak, Universitas Diponegoro, untuk
hasil pabrikan. diketahui kandungan nutrisinya.
Temuan-temuan tersebut memberikan Parameter yang diukur dalam
ketertarikan untuk melakukan penelitian penelitian ini yaitu konsumsi pakan, produksi
lebih lanjut tentang sistem pemeliharaan itik telur, konversi pakan. Pengukuran konsumsi
secara intensif dan semi intensif. Pemalang, pakan, dan produksi telur dilakukan setiap
tepatnya di Desa Bulu Kecamatan Petarukan hari dari awal pemeliharaan sampai 40 hari
merupakan salah satu sentra peternakan itik dengan pengamatan langsung di lapangan
tegal yang ada di Kabupaten Pemalang Jawa dan observasi langsung ke peternak.
Tengah. Sebagian peternak memelihara itik Pengukuran parameter dilakukan dengan :
dengan sistem intensif dan dan sebagian lagi 1. Konsumsi Pakan
semi intensif. Hal tersebut tentunya sejalan Pemberian Pakan (g) – Sisa Pakan (g)
dengan apa yang akan menjadi kajian
penelitian saat ini. 2. Produksi Telur dihitung dalam HDP (Hen
Penelitian ini bertujuan untuk Day Production)
mengetahui perbedaan sistem pemeliharaan h e
intensif dan semi intensif terhadap x
hii
produktivitas telur. Manfaat penelitian
adalah memberikan informasi mengenai 3. Konversi Pakan (FCR)
bagaimana pengaruh sistem pemeliharaan i g
semi intensif dan intensif pada produksi telur, e g
239 | Performans itik tegal betina dengan pemeliharaan intensif dan semi intensif...(Adi et al., 2019)
terkandung dalam pakan. Fouad et al. (2018) standar. Fouad et al. (2018) menyatakan
menyatakan bahwa asam amino yang sangat bahwa kadar metionin yang dibutuhkan itik
dibutuhkan oleh itik petelur adalah metionin, petelur yaitu sebesar 0,41%, lisin sebesar
lisin, treonin, dan arginin. Kandungan 0,80%, treonin sebesar 0,57%, dan arginin
metionin, lisin, treonin, dan arginin dalam 1,46%. Kebutuhan asam amino itik baik yang
pakan dapat mempengaruhi produksi telur, dipelihara secara intensif dan semi intensif
bobot telur ,ukuran telur, dan kualitas dapat dipenuhi karena keduanya sama-sama
cangkang telur pada itik. Kebutuhan asam menggunakan ikan segar. Talat dan Azmat
amino itik baik yang dipelihara secara (2006) menyatakan bahwa ikan segar dari
intensif dan semi intensif dapat dipenuhi pelelangan ikan (trash fish) yang biasa
karena ikan segar mempunyai kandungan digunakan sebagai pakan mempunyai
asam amino yang cukup lengkap. Kadar kandungan asam amino berupa arginin 3,0%,
asam amino pada ransum itik dapat dilihat histidin 1%, lisin 2,4%, fenilalanin 2,6%,
pada Tabel 2. tyrosin 1,5%, leusin 0,35%, isoleusin 1,3%,
Kadar asam amino yang terkandung metionin 1,2%, valin 0,2%, glutamin 0,9%,
dalam ikan segar yang diberikan oleh alanin 0,1%, asparagin 0,41%, dan treonin
peternak diperkirakan sudah sesuai dengan 1,5%.
Kandungan lemak kasar (LK) ransum yang terdapat dalam pakan akan
itik kedua kelompok masih kurang dari mempengaruhi bobot telur karena kuning
standar SNI (2000) yaitu 3,5%. Kandungan telur sebagian besar tersusun atas lemak,
LK berada dibawah standar dimungkinkan selain itu lemak merupakan cadangan energi
karena ransum kedua kelompok peternak yang dapat disimpan dalam tubuh dan
hanya menggunakan tiga jenis bahan pakan digunakan saat itik kekurangan pakan
saja, sedangkan sumber lemak ransum (Juliambarwati, 2012)
unggas pada umumnya berasal dari bahan Kandungan Ca ransum kedua
pakan bungkil dan jagung yang banyak peternak adalah 1,30 – 1,67%, sehingga
mengandung minyak. Semakin banyak atau sudah sesuai dengan standar Ca yang disitasi
bervariasis bahan pakan yang digunakan oleh Imawan et al. (2016) yang menyatakan
untuk menyusun ransum maka akan semakin bahwa kandungan Ca dalam ransum itik
lengkap nutrisinya. Afandi et al. (2006) petelur yakni sebesar 0,88 – 1,75%.
menyatakan bahwa penyusunan ransum Kandungan fosfor ransum kedua peternak
harus mempertimbangkan nutrisi yang adalah 0,98 - 1,03%, sehingga sudah sesuai
terkandung dalam bahan pakan, pakan dengan standar fosfor yang dikemukan oleh
disusun atas dasar nilai kecukupan kebutuhan SNI (2000) dan Sinurat (2000), yakni sebesar
nutrisi. Ransum yang baik tersusun atas 0,6 - 1%. Ketaren (2010) menyatakan bahwa
beberapa bahan pakan sumber energi, sumber unsur Ca dan P pada dasarnya digunakan
protein, sumber vitamin dan mineral, serta untuk menunjang pembentukan cangkang
mempertimbangkan kandungan lemak dan pada telur.
serat kasar agar nutrisinya seimbang. Lemak
Itik Tegal petelur yang dipelihara berbeda. Konsumsi nutrien itik dapat dilihat
secara semi intensif mengkonsumsi ransum pada Tabel 4.
dengan jumlah sedikit karena sebagian Konsumsi nutrien itik petelur yang
kebutuhan pakan itik dapat diperoleh saat dipelihara secara intensif sudah terpenuhi,
digembalakan. Pada sistem pemeliharaan bahkan melebihi standar kecuali konsumsi
semi intensif, itik dilepas atau digembalakan LK, sedangkan pada itik semi intensif
pada siang hari untuk mencari pakan dan konsumsinya berada dibawah standar.
ternak itik dimasukkan kembali ke dalam Nugraha et al. (2012) menyatakan bahwa
kandang pada sore hari. Pemberian pakan kebutuhan pakan itik Tegal petelur yaitu
pada itik semi intensif tidak terlalu banyak protein sebesar 26 g/ekor/hari, EM sebesar
karena itik dapat mencari pakan sendiri saat 390 kkal/ekor/hari, SK sebesar 16,8
digembalakan. Konsumsi ransum itik semi g/ekor/hari, LK sebesar 7 g/ekor/hari, Ca
intensif melebihi standar, sedangkan sebesar 3,5 g/ekor/hari, dan P sebesar 1,4
konsumsi pakan itik semi intensif sebelum g/ekor/hari. Konsumsi protein yang terlalu
digembalakan masih dibawah standar. tinggi tidak efisien karena protein yang tidak
Sinurat (2000) menyatakan bahwa kebutuhan tercerna hanyak terbuang. Sari dan Afrila
pakan itik petelur dewasa > 20 minggu (2014) menyatakan bahwa jika konsumsi
membutuhkan pakan sebanyak 160 – 180 protein ransum melebihi kebutuhan akan
g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi ransum menyebabkan kerugian karena kelebihan
akan menyebabkan konsumsi nutrien juga protein tersebut tidak dicerna, melainkan
akan dibuang lewat ekskreta.
Semi intensif Ikan segar 103,08 8,80 1,31 0,63 0,959 0,51
Bekatul 24,21 1,06 1,83 0,19 0,002 0,07
Aking 41,09 0,99 0,06 0,01 0,002 0,01
Total 168,38 10,85 3,23 0,84 0,963 0,59
241 | Performans itik tegal betina dengan pemeliharaan intensif dan semi intensif...(Adi et al., 2019)
Konsumsi energi yang melebihi dipenuhi dengan mengkonsumsi keong.
kebutuhan juga tidak baik untuk itik petelur Firdus dan Muchlisin (2005) menyatakan
karena kelebihan energi akan disimpan dalam bahwa daging keong mengandung protein 50
bentuk lemak, apabila itik terlalu gemuk akan - 60% dengan kandungan asam amino
berpengaruh terhadap produktivitas telur. Itik arginin 18,9%, histidin 2,8%, isoleusin 9,2%,
yang dipelihara secara semi intensif leusin 10%, lisin 17,5%, methionine 2%,
mengkonsumsi nutrien lebih rendah dan phenilalanin 7,6%, threonin 8,8%, triptofan
dibawah standar, tetapi kebutuhan nutrien 1,2%, dan valin 8,7%.
itik masih bisa terpenuhi karena saat
digembalakan itik dapat mencari pakan Konversi Pakan
sendiri. Hasil penelitian menunjukkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bahwa isi tembolok itik semi intensif berisi nilai Feed Conversion Ratio (FCR) itik yang
bahan pakan lain selain bahan pakan dipelihara secara semi intensif mempunyai
penyusun ransum. Bahan yang ditemukan di angka lebih rendah dibandingkan itik
dalam tembolok itik antara lain gabah, intensif. Hal ini menunjukkan bahwa pakan
keong, hijauan, dan bahan lainnya yang tidak yang diberikan oleh kelompok peternak
diketahui. intensif kurang efisien dibanding kelompok
Gabah merupakan biji padi yang peternak semi intensif. Anggorodi (1985)
masih utuh dan mempunyai kandungan mengatakan, bahwa penggunaan ransum
energi yang tinggi, sedangkan keong semakin efisien apabila nilai FCR-nya
merupakan pakan tambahan yang semakin kecil, dan dikatakan buruk jika nilai
mempunyai kandungan protein tinggi pula. FCR mencapai 3,2 – 5.
Sandhy (2000) menyatakan bahwa keong Ransum yang diberikan kelompok
bisa dijadikan sebagai pakan tambahan itik peternak intensif kurang efisien karena
yang kaya akan protein. jumlah pemberian ransum terlalu banyak.
Hal ini terjadi karena kelompok peternak
Tabel 5. Komposisi bahan pakan dalam intensif beranggapan pemberian pakan dalam
tembolok itik semi intensif jumlah besar akan lebih baik, sebab itik yang
Jenis Bahan Pakan Persentase (%) dipelihara secara intensif tidak mendapat
Gabah 75,81 pakan tambahan dari luar. Pakan yang
Keong 16,85 diberikan peternak semi intensif dinilai lebih
Hijauan 3,23 efisien, nilainya yang lebih kecil dikarenakan
pemberian ransum hanya sedikit karena itik
Bahan lain 4,12
dapat mencari pakan tambahan saat
Jumlah 100,00 digembalakan. Siregar et al., (1980)
menyatakan bahwa tingkat konversi ransum
Konsumsi energi itik semi intensif sangat tergantung dengan konsumsi ransum
yang kurang bisa tercukupi dengan yang dihabiskan pada waktu tertentu,
mengkonsumsi gabah sehingga kebutuhan semakin baik mutu ransum maka angka
energi metabolisnya terpenuhi, sedangkan konversi semakin kecil.
kebutuhan protein dan asam amino itik dapat
243 | Performans itik tegal betina dengan pemeliharaan intensif dan semi intensif...(Adi et al., 2019)
Kabupaten Blitar Jawa Timur. Jurnal dalam ransum terhadap produksi telur
Ilmu Ternak dan Veteriner 14 (2) : itik Tegal. Animal Agricultural
103-105. Journal. 1 (1) : 75-85.
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Prasetyo, H., dan Ketaren, P. 2005. Interaksi
Umum. PT. Gramedia, Jakarta. antara bangsa itik dan kualitas ransum
pada produksi dan kualitas telur itik
Budiharjo, K., D. Sumarjono, M. Handayani, Lokal. Prosiding Seminar Nasional
dan G. Siwi. 2009. Studi potensi Teknologi Peternakan dan Veteriner.
ekonomi usaha ternak itik di Balai Penelitian Ternak, Bogor.
kabupaten Tegal. Prosiding Seminar
Kebangkitan Nasional 20 Mei 2009: Purba, M, T. Haryati, dan A. P. Sinurat. 2015.
572-580. Performa Itik Pedaging EPMp dengan
Pemberian Pakan yang mengandung
Firdus, dan Z.A. Muchlisin. 2005. Berbagai Level Lisin selama Periode
Pemanfaatan keong mas (Pomacea Starter. Balai Penelitian Ternak,
canaliculata) sebagai pakan alternatif Bogor.
dalam budidaya ikan kerapu lumpur. J.
Enviro. 5 (1) ;64-66. Ranto. 2005. Panduan Lengkap Beternak Itik.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fouad, A. M., D. Ruan, S. Wang, W. Chen,
W. Xia, dan C. Zheng. 2018. Rasyaf, M. 2002. Beternak Itik. Edisi ke-16.
Nutritional requirements of meat type Kanisius. Yogyakarta.
and egg type duck. Journal of Animal
Science and Biotechnologi. 9 (1) : 1- Sandhy, S. W. 2000. Beternak Itik Tanpa Air.
11. Penebar Swadaya. Jakarta.
Imawan, M. R., R. Sutrisna, dan T. Kartini. Suharno, Bambang, dan Toni, S. 2002.
2016. Pengaruh ransum dengan kadar Beternak Itik Petelur di Kandang
protein kasar berbeda terhadap Baterai. Penebar Swadaya, Jakarta.
pertumbuhan itik betina Mojosari.
Sari, E., dan A. Afrila. 2014. Efek enzim
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 4
papain pada berbagai pakan
(4) : 300-306.
kandungan protein berbeda terhadap
Juliambarwati, M. 2012. Pengaruh produksi dan kecernaan ayam
Penggunaan Tepung Limbah Udang kampung. Buana Sains. 14 (1) : 85 -
dalam Ransum Terhadap Kualitas 94.
Telur Itik. Fakultas Peternakan
Setioko, A, R., S. Iskandar., Y, C, Raharjo.,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
T, D, Soedjana., T, Murtisari., M,
(Skripsi). Purba., S, E., N, Sunandar dan D,
Ketaren, P. 2007. Peran Itik sebagai Sarosa. 2000. Model usaha ternak itik
Penghasil Telur dan Daging Nasional. dalam sistem pertanian IP 300. Jurnal
Balai Penelitian Ternak, Bogor. Ilmu Ternak dan Veteriner. 5(1) : 38-
45.
Ketaren, P. 2010. Kebutuhan Gizi Ternak
Unggas di Indonesia. Balai Penelitian Sinurat, A. P. 2000. Penyusunan Ransum
Ternak, Bogor. Ayam Buras dan Itik. Pelatihan
Proyek Pengembangan Agribisnis
Nugraha, D., U. Atmomarsono dan L. D. Peternakan. Dinas Peternakan DKI
Mahfudz. 2012. Pengaruh Jakarta, Jakarta.
penambahan eceng gondok
(Eichornia crassipes) fermentasi
245 | Performans itik tegal betina dengan pemeliharaan intensif dan semi intensif...(Adi et al., 2019)