Anda di halaman 1dari 22

Jurnal Hukum & Pembangunan

Volume 52 Number 3 Article 1

9-30-2022

PEMBARUAN PEMAHAMAN BAHASA HUKUM INDONESIA


DALAM PENAFSIRAN KONSTITUSI UNTUK JAMINAN KEPASTIAN
HUKUM
Normand Edwin Elnizar
Faculty of Linguistic, Universitas Indonesia, Indonesia, norman.edwin81@ui.ac.id

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp

Part of the Administrative Law Commons, Comparative and Foreign Law Commons, Constitutional
Law Commons, Criminal Law Commons, and the Natural Resources Law Commons

Recommended Citation
Elnizar, Normand Edwin (2022) "PEMBARUAN PEMAHAMAN BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM
PENAFSIRAN KONSTITUSI UNTUK JAMINAN KEPASTIAN HUKUM," Jurnal Hukum & Pembangunan: Vol.
52: No. 3, Article 1.
DOI: 10.21143/jhp.vol52.no3.3361
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol52/iss3/1

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 52 No. 3 (2022): 578 – 598
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PEMBARUAN PEMAHAMAN BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM


PENAFSIRAN KONSTITUSI UNTUK JAMINAN KEPASTIAN HUKUM

Normand Edwin Elnizar*


*Mahasiswa Magister Ilmu Linguistik Universitas Indonesia
Korespondensi: normand.edwin81@ui.ac.id
Naskah dikirim: 8 Desember 2021
Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 September 2022
Abstract
This article attempts to explain legal language aspects need to be improved in
implementing laws that uphold justice while at the same time provide legal certainty.
The study is limited to the constitution as the highest law in the national legal system.
The explanation of the linguistic aspect including foreign legal terminology in the
constitutional interpretation and the constitutional interpretation as a discourse
analysis. It was conducted by literature research to compare the paradigm of
constitutional interpretation theory with linguistic aspects in linguistic theory. Decision
Number 84/PUU-XVI/2018 used as example for this research. This qualitative research
describes some linguistic aspects are useful for legal certainty in implementing laws.
The main goal is upholding justice while at the same time ensuring better legal certainty.
Constitutional interpretation theory and theories in linguistics are described to capture
problems that occur regarding legal certainty. The linguistic theory described are
register from sociolinguistic, semantic, and discourse theory. The results of this study
indicate that the interpretation of the constitution in Decision Number 84/PUU-
XVI/2018 has made good use of the understanding in semantic studies for the use of
foreign legal terminology. The results of this study also assess that the use of discourse
theory can combine the results of the interpretation of originalism and non-originalism
as a unitary meaning of the constitution. This method can be useful in increasing legal
certainty by combining results from the interpretation of originalism and non-
originalism.
Keywords: Legal Language, Constitutional Interpretation, Legal Certainty

Abstrak
Artikel ini berupaya menjelaskan aspek bahasa hukum apa saja yang perlu dipahami lebih
baik dalam kerja penerapan hukum yang menegakkan keadilan sekaligus menjamin
kepastian hukum. Pembahasan dibatasi pada konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam
hirarki hukum nasional. Penjelasan aspek kebahasaan akan meliputi terminologi hukum
asing dalam penafsiran konstitusi dan penafsiran konstitusi sebagai analisis wacana.
Penelitian dilakukan dengan studi literatur untuk membandingkan paradigma teori
penafsiran konstitusi dengan aspek kebahasaan dalam teori ilmu linguistik. Data yang
digunakan untuk penelitian adalah salah satu teks putusan hasil penafsiran konstitusi oleh
Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor 84/PUU-XVI/2018. Penelitian ini
mendeskripsikan secara kualitatif pemahaman aspek kebahasaan apa saja yang
bermanfaat bagi kepastian hukum jika digunakan dalam penerapan hukum. Peningkatan
pemahaman itu dengan tujuan penegakan keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum
Tersedia versi daring: http://scholarhub.ui.ac.id/jhp
DOI: https://doi.org/10.21143/jhp.vol52.no3.3361
Pembaruan, Normand 579

bisa terwujud lebih baik lagi. Peneliti menghubungkan sudut pandang teori penafsiran
konstitusi dengan teori dalam ilmu linguistik lalu menguraikan masalah-masalah yang
terjadi soal kepastian hukum. Teori linguistik yang diuraikan ialah register dari kajian
sosiolinguistik, semantik, dan teori wacana. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
penafsiran konstitusi dalam Putusan Nomor 84/PUU-XVI/2018 telah memanfaatkan
dengan baik pemahaman dalam kajian semantik untuk penggunaan terminologi hukum
asing. Hasil penelitian ini juga menilai pemanfaatan teori wacana bisa memadukan hasil
penafsiran originalisme dan nonoriginalisme sebagai kesatuan makna konstitusi. Cara itu
bisa berguna meningkatkan jaminan kepastian hukum dengan menarik benang merah
hasil penafsiran originalisme dan non-originalisme.
Kata Kunci: Bahasa Hukum, Penafsiran Konstitusi, Kepastian Hukum
I. PENDAHULUAN
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Padmo Wahyono (1983),
pernah mengemukakan bahwa seorang ahli hukum harus menguasai bahasa yang
digunakan untuk merumuskan hukum. Dengan tegas Padmo menyebutnya sebagai syarat
mutlak. Alasannya karena seorang ahli hukum akan menjelaskan hukum kepada
masyarakat dengan sarana bahasa. Padmo mengatakan bahwa kenyataan bahasa sebagai
wadah dari hukum telah membuat setiap ahli hukum, semestinya, juga ahli bahasa.1
Pengertian kata ‘bahasa’ dalam kajian linguistik berdasarkan penjelasan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V) ialah sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Apa yang Padmo ungkapkan itu bisa diterima
berdasarkan kenyataan bahwa kehadiran hukum selalu berkaitan dengan interaksi di
masyarakat. Sebuah adagium mengatakan ubi sociates, ibi ius (di mana ada masyarakat,
di sana ada hukum). Hukum, dengan segala pengertiannya yang sangat luas, menjadi
patokan tentang hak dan kewajiban setiap pribadi dalam masyarakat. Agar hukum dapat
bekerja, ia harus dirumuskan dengan bahasa yang sama dengan bahasa masyarakat
sebagai subjek hukum. Masyarakat ini bisa disebut sebagai masyarakat hukum. Mereka
dituntut bisa menangkap makna dalam hukum agar bisa menjalankannya.
Hukum terikat dengan bahasa masyarakat hukum. Seorang ahli hukum pun harus
menguasai bahasa yang digunakan masyarakat hukum dengan sama baiknya seperti ia
menguasai ilmu pengetahuan hukum. Padmo menyebut ragam kata, istilah, dan pola
kalimat yang digunakan dalam hukum sebagai bahasa hukum2. Pembahasan mengenai
bahasa hukum sering terabaikan di kalangan ahli hukum. Kepercayaan diri yang sangat
tinggi bahwa mereka sudah menguasai bahasa Indonesia sebagai ‘bahasa ibu’ membuat
pembelajaran hukum dan praktik profesi hukum tidak menaruh perhatian pada bahasa
hukum. Hal ini dengan mudah dilihat pada teks-teks putusan pengadilan, akta-akta
notaris, naskah perjanjian, atau peraturan perundang-undangan di Indonesia yang selalu
memuat cacat kebahasaan. Penyusunan kalimat yang tidak sesuai ejaan yang
disempurnakan dan penggunaan tanda baca yang tidak tepat adalah yang paling sering
ditemui dalam berbagai produk hukum (BPHN, 1996).3

1
Padmo Wahjono, “Beberapa Permasalahan Hukum di Indonesia”, Makalah, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Mei 1983, hlm.201.
2
Ibid.
3
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996, Analisis dan Evaluasi tentang Perkembangan 25 Tahun
Penggunaan Bahasa Hukum, Jakarta: BPHN, hlm.21.
580 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

Kesalahan berbahasa dalam produk hukum seharusnya menjadi perhatian serius di


kalangan ahli hukum. Bisa dikatakan bahwa ahli hukum adalah pihak yang paling
berkepentingan dalam disiplin berbahasa. Sarjana hukum memang bukan ‘sarjana
katakata’ atau ‘sarjana titik koma’ seperti yang sering diungkapkan Guru Besar Hukum
Tata Negara kenamaan, Jimly Ashiddiqie4 . Namun perlu diingat, berbagai penafsiran
hukum akan mengandalkan kemampuan berbahasa sebelum kemampuan melakukan
penalaran hukum. Hakim Agung Busthanul Arifin menyebutkan bahwa hakim terikat
pada bahasa dan istilah dari undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam alasan-
alasan penafsirannya (1976)5. Pernyataan bahwa hakim itu “bebas” bermakna kebebasan
yang terikat. Kebebasan hakim ada dalam ruang gerak yang diberikan undang-undang,
namun terikat pada batas-batas yang ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat6.
Masih menurut Busthanul, penafsiran yang dibuat hakim memang bisa saja
menyimpang dari arti kata dan kalimat menurut bahasa dalam rangka memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Namun penyimpangan tersebut tetap harus memenuhi logika
berbahasa sebagai salah satu dasar argumentasi untuk meyakinkan masyarakat pencari
keadilan 7 . Berdasarkan pemaparan Sudikno Mertokusumo soal penemuan hukum 8 ,
tampak semua metode penemuan hukum harus berpijak pada bahasa hukum yang
digunakan dalam produk hukum. Khususnya pada hukum tertulis, berbagai metode
penemuan hukum mengandalkan pemahaman bahasa hukum dan pengetahuan hukum
sekaligus terhadap peraturan perundang-undangan.
Persoalan bahasa hukum juga semestinya diperhatikan oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan. Parlemen sebagai lembaga utama yang menghasilkan produk
hukum tertulis tidak bisa mengabaikan penggunaan bahasa hukum untuk menghasilkan
undang-undang yang baik. Dalam penjelasan Busthanul, perkembangan hukum itu
ditentukan juga oleh perkembangan bahasa pada umumnya dan bahasa hukum pada
khususnya. 9 Sasaran dari perkembangan hukum selalu berkaitan dengan jaminan
kepastian hukum dalam penerapan hukum. Maka, bisa juga dikatakan bahwa jaminan
kepastian hukum ditentukan pula oleh pembaruan bahasa hukum Indonesia. Pada
kenyataannya, pembaruan yang paling mendesak sebenarnya adalah pembaruan
pemahaman ahli hukum Indonesia terhadap bahasa hukum Indonesia.
Uraian dalam artikel ini meliputi beberapa konsep dan teori ilmu linguistik untuk
menjelaskan keterkaitan pembaruan pemahaman bahasa hukum Indonesia dengan
jaminan kepastian hukum. Artikel ini berupaya menjelaskan aspek kebahasaan apa saja
yang perlu dipahami lebih baik dalam kerja penerapan hukum yang menegakkan keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum. Pembahasan dibatasi pada konstitusi sebagai
hukum tertinggi dalam hirarki hukum nasional. Penjelasan aspek kebahasaan akan
meliputi:
1. Terminologi hukum asing dalam penafsiran konstitusi
2. Penafsiran konstitusi sebagai analisis wacana

4
Penulis sering mendengar ungkapan beliau tersebut dalam berbagai perkuliahan selama menjadi
mahasiswa sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
5
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, Simposium Bahasa dan Hukum, Bandung:
Binacipta., hlm.83.
6
Ibid. hlm.82.
7
Ibid. hlm.79-83.
8
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm.168-184.
9
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, Op.Cit., hlm.77.
Pembaruan, Normand 581

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini akan membandingkan paradigma teori penafsiran konstitusi dengan
aspek kebahasaan dalam teori ilmu linguistik. Penelitian merujuk dua aliran utama
pendekatan penafsiran konstitusi sebagai hukum tertinggi. Kedua aliran penafsiran itu
telah menghasilkan sejumlah teori lebih lanjut dalam penafsiran konstitusi. 10 Masing-
masing aliran biasa disebut aliran originalisme dan nonoriginalisme. Sesuai namanya,
aliran originalisme menafsirkan konstitusi dengan menegaskan makna originalnya. Teks
konstitusi dipahami dengan pemahaman aslinya seperti dipahami para perumusnya.
Makna teks diasumsikan tetap dan tidak berubah. Aliran ini tidak mengakui variasi
pemahaman yang mungkin terjadi di kalangan penafsir teks konstitusi. Penganut
originalisme begitu menekankan kepastian makna.11 Hanya pengertian atau pemahaman
para perumus teks konstitusi yang dianggap mengikat secara hukum.
Aliran non-originalisme menafsirkan dengan cara sebaliknya. Nonoriginalisme
menganggap makna konstitusi bersifat dinamis. Metodenya mengakui bahwa makna teks
konstitusi tidak ada yang tunggal. Makna orisinal sesuai pemahaman para perumusnya
hanya salah satu makna yang bisa digunakan. Fokus aliran ini adalah aspirasi masyarakat
yang berkembang dalam memaknai konstitusi. Makna dari aspirasi itu dianggap terus
tumbuh sebagai generalisasi lebih maju dari makna orisinal. Aliran ini meyakini makna
aspirasional tetap berkembang dengan mengikuti prinsip-prinsip dalam makna orisinal.
Oleh karena itu, makna aspirasional tidak mungkin berkembang sampai pada tahap
membolehkan apa yang jelas dilarang oleh makna orisinal.
Data yang digunakan untuk penelitian adalah salah satu teks putusan hasil
penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Nomor
84/PUUXVI/2018. Studi literatur penelitian ini mendeskripsikan secara kualitatif
pemahaman aspek kebahasaan apa saja yang bermanfaat jika ditingkatkan dalam
penerapan hukum. Peningkatan pemahaman itu dengan tujuan penegakan keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum bisa terwujud lebih baik lagi. Peneliti
menghubungkan sudut pandang teori penafsiran konstitusi dengan teori dalam ilmu
linguistik lalu menguraikan masalah-masalah yang terjadi soal kepastian hukum. Hasil
akhir dari penelitian ini adalah usulan untuk memanfaatkan paradigma kebahasaan yang
lebih baik demi menjamin kepastian hukum dalam penafsiran konstitusi. Teori linguistik
yang diuraikan ialah register dari kajian sosiolinguistik, semantik, dan teori wacana.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


3.1. Bahasa Indonesia dan Bahasa Hukum Indonesia
Sejak peristiwa ‘Sumpah Pemuda’, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa
masyarakat Indonesia puluhan tahun lamanya. Penggunaannya terus dikembangkan
dalam berbagai bidang termasuk bidang hukum. Sejak Kongres Bahasa Kedua di Medan,
28 Oktober-2 November 1954, telah dibuat keputusan soal penggunaan bahasa dalam
bidang hukum. Satu seksi khusus dibentuk untuk membahas bahasa Indonesia dalam
‘Perundang-undangan dan Administrasi’.
Seksi khusus ini bahkan diisi oleh dua ahli hukum terkemuka Mr. A.G.
Pringgodigdo dan Mr.Koentjoro Poerbopranoto. Singkatan Mr. di depan kedua nama
mereka bukan sebutan Mister (Tuan) dalam bahasa Inggris yang dikenal hari ini,

10
Muhammad Ilham Hermawan, 2020, Teori Penafsiran Konstitusi, Jakarta: Kencana, hlm.158166.
11
Ibid. hlm.159.
582 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

melainkan singkatan dari Meester in de Rechten (magister dalam ilmu hukum).


Kesimpulan yang mereka ajukan saat itu sudah menunjukkan perhatian serius soal
penggunaan bahasa Indonesia dalam bidang hukum.1212 Istilah ‘bahasa hukum Indonesia’

12
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Kumpulan Putusan Kongres Bahasa
Indonesia I-IX, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, hlm.9-12.
Keputusan Seksi B: Bahasa di dalam Perundang-undangan dan Administrasi Seksi B dalam
Kongres Bahasa Indonesia, yang dilangsungkan di Medan sejak tanggal 28 Oktober 1954 s.d.
tanggal 2 November 1954, setelah membaca praeadvis Saudara Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo dan
setelah membaca serta mempertimbangkan praeadvis Saudara Mr.Koentjoro
Poerbopranoto, mengambil kesimpulan- kesimpulan seperti teriring di bawah ini:
(I) Supaya Pemerintah segera membentuk Panitia Negara, seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 145 UUDS, dengan ketentuan bahwa di samping tugas yang dimaksud dalam pasal tersebut,
supaya kepada Panitia dibebankan juga kewajiban sebagai berikut.
(a) Mengadakan pembetulan/penyempurnaan, yang dipandang perlu dalam bahasa
Indonesia di dalam Undang-undang. Undang-Undang Darurat, Peraturan-Peraturan Pemerintah
dan Peraturan-Peraturan Negara yang lain, misalnya:
1) Kata "kebutuhan", sebab kata ini adalah kata cabul dalam bahasa daerah; Umumnya,
kata-kata cabul dari bahasa daerah janganlah dipergunakan.
2) Kata retributie (lihat Pasal 2 LN 1953 No. 4); demikian juga seperti kata-kata rel,
ondernemeng dalam TLN No. 353, diimporteer, paberikasi rokok, di dalam TLN No. 350, legaliseer,
aparatur, TLN 351, inrichting van het onderwijs TLN 351; umumnya kata-kata asing yang mudah
mendapat penggantiannya jangan dipergunakan.
(b) Memeriksa bahasa rancangan Undang-Undang Darurat, dan Peraturan-Peraturan
Negara yang lain, sebelum ditetapkan.
(c) Menjaga supaya istilah-istilah hukum bersifat tetap, terang, dan jangan berubah
sebelum mendapat persetujuan Panitia tersebut.
(II) Di dalam Panitia tersebut di Sub I didudukkan sebagai anggota selain daripada ahli-
ahli hukum dan bahasa, juga ahli-ahli adat, ahli-ahli agama dan ahli-ahli hukum agama.
(III) Di dalam Seksi Hukum dari Komisi Istilah hendaklah juga didudukkan ahli-ahli hukum
agama sebagai anggota.
(IV) Untuk mencapai keseragaman istilah hukum yang dipakai dalam dunia ilmu hukum pada
perguruan tinggi dan para sarjana hukum pada waktu-waktu yang tertentu mengadakan pertemuan.
(V) Supaya pihak Pemerintah tetap memakai istilah yang sama untuk "satu pengertian
hukum, misalnya: "atas kuasa Undang-Undang", (Undang-Undang Dasar Pasal 101 ayat 1) kontra
"berdasarkan" dalam LN 1953 no. 4.
(VI) Supaya sesuatu istilah senantiasa ditulis dalam bentuk yang sama, misalnya: "diubah",
"dirubah", "dirobah", (LN 1954 No. 39). LN 1953 No. 4 Pasal 1). "Dewan Pemerintah Harian",
(TLN 353) kontra "Dewan Pemerintah Daerah", (UURI 1948 no. 22).
(VII) Menyetujui seluruhnya kesimpulan-kesimpulan dari no. 1 s/d 6, yang diperbuat oleh
Saudara Mr. Koentjoro Poerbopranoto pada akhir praeadvisnya, yang berbunyi sebagai berikut.
Bahasa-hukum Indonesia adalah bahagian dari bahasa umum Indonesia yang meliputi lapangan
hukum dalam masyarakat Indonesia dan pemeliharaan hukum serta penyelenggaraan pengadilan
oleh instansi-instansi yang diakui oleh undang-undang. Instansi-instansi itu adalah instansi-
instansi resmi pengadilan, pun pula badan-badan atau petugas-petugas yang menurut adat dan
agama diserahi penyelenggaraan hukum adat, dan hukum agama, termasuk Pengadilan Swapradja
(di mana masih ada).
(b) Bahasa Indonesia dalam perundang-undangan dan administrasi adalah bahagian
bahasa-hukum Indonesia tertulis, yang dipergunakan dalam perundang-undangan dan
administrasi, yaitu oleh instansi-instansi resmi yang diserahi dengan penyelenggaraan administrasi
dan pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk pengitaban hukum (codificatie) dan
pencatatan hukum (rechtsregistratie).
(c) Persoalan-persoalan mengenai bahasa Indonesia pada umumnya pula terhadap dan
pengaruh pada bahasa hukum (termasuk pula bahasa perundang-undangan dan bahasa
administrasi) kita.
Pembaruan, Normand 583

nampaknya pertama kali digunakan dalam keputusan ini dengan maksud sebagai bagian
dari bahasa umum Indonesia di bidang hukum. 13 13 Bisa disimpulkan bahwa bahasa
hukum Indonesia tetap tunduk dengan semua kaidah kebahasaan secara umum yang
berlaku dalam Bahasa Indonesia.
Upaya pembinaan bahasa hukum ini tercatat kelanjutannya 20 tahun kemudian
dengan penyelenggaraan Simposium Bahasa dan Hukum di Medan, 25-27 November
1974. Dalam pidato pembukaan yang disampaikan Menteri Kehakiman (sekarang
berganti nama menjadi Menteri Hukum dan HAM) Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja
dikemukan dua permasalahan tentang bahasa hukum saat itu. Pertama, ada perbedaan
pendapat soal kaidah yang harus dipatuhi oleh bahasa hukum. Perbedaan ini terjadi di
antara sebagian kalangan ahli hukum dan ahli bahasa.
Di satu sisi, ada kalangan ahli bahasa menolak sama sekali ragam bahasa hukum
yang memiliki kekhususan. Menurut mereka bahasa dalam teks-teks hukum harus dengan
ragam bahasa pada umumnya. Sementara itu ada ahli hukum yang berpendapat bahwa
mereka dibenarkan untuk menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia umum. Alasannya
karena sifat khusus teks hukum dengan segala konsekuensi hukum yang hendak
diakomodasi.
Kedua, soal istilah hukum hasil terjemahan Bahasa Belanda yang digunakan belum
seragam. Berdasarkan catatan yang diungkapkan Mochtar, telah banyak daftar istilah
hukum hasil terjemahan yang bermunculan dalam berbagai karya tulis. Namun, tidak ada
standar bersama yang digunakan untuk berbagai istilah hukum hasil terjemahan itu.
Masih perlu kajian lebih lanjut mengenai ketepatan penerjemahan dan penggunaannya
untuk dijadikan standar istilah.14
Apa yang diungkapkan Mochtar menunjukkan bahwa ternyata dalam waktu 20
tahun sejak Kongres Bahasa Indonesia Kedua belum berhasil menindakalanjuti
keputusan-keputusan penting yang dibuat. Permasalahan yang dikemukakan oleh
Mochtar sebenarnya telah dibahas hingga menghasilkan rekomendasi tindak lanjut hasil
Kongres Bahasa Indonesia Kedua tahun 1954. Dalam Simposium Bahasa dan Hukum

(d) Dalam mencari, menggali, menghimpun, dan membentuk istilah hukum Indonesia
seyogyanya dipakai dasar:
1) bahan-bahan dari bahasa daerah yang meliputi seluruh daerah Hukum Indonesia;
2) kata-kata istilah dari bahasa asing yang menurut sejarah dan pemakaiannya sudah
memperoleh kedudukan yang kuat dalam masyarakat Indonesia;
3) kata-kata istilah bentukan baru yang menurut perhitungan baik berdasarkan isinya
maupun pengucapannya dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat umum.
(e) Dalam lapangan administrasi sangat besar gunanya kesamaan bentuk atau
keseragaman guna melancarkan penyelesaian surat-menyurat dan memudahkan pemecahan soal
yang dihadapi. Berhubung dengan itu lazimlah dipakai dalam administrasi cara penyelesaian soal
yang disebut "afdoening volgens antecedent/ precedent".
(f) Adalah satu keuntungan besar dalam sejarah kebudayaan bangsa kita bahwa sebagai
salah satu hasil revolusi bangsa Indonesia telah dapat ditetapkan satu bahasa kesatuan dan bahasa
resmi, yaitu bahasa Indonesia.
13
Ibid. Baca kesimpulan atas praeadvis Mr. Koentjoro Poerbopranoto:
“...Bahasa-hukum Indonesia adalah bahagian dari bahasa umum Indonesia yang meliputi
lapangan hukum dalam masyarakat Indonesia dan pemeliharaan hukum serta penyelenggaraan
pengadilan oleh instansi-instansi yang diakui oleh undang-undang. Instansi-instansi itu adalah
instansi-instansi resmi pengadilan, pun pula badan-badan atau petugas-petugas yang menurut adat
dan agama diserahi penyelenggaraan hukum adat, dan hukum agama, termasuk Pengadilan
Swapradja (di mana masih ada).”
14
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, Op.Cit., hlm.9-10.
584 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

tahun 1974 ini menyimpulkan empat hal, sebelas saran secara umum, dan tiga langkah
khusus penyeragaman istilah hukum untuk dilaksanakan. 15 Kesimpulan pertama
mengakui eksistensi bahasa hukum Indonesia sebagai ragam bahasa Indonesia yang
digunakan dalam bidang hukum. Hanya saja karakteristik khas bahasa hukum Indonesia
tetap harus memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kedua,
pengakuan ini mengategorikan karakteristik khas bahasa hukum ini terletak pada
istilahnya, komposisinya, dan gayanya. Ketiga, penggunaan bahasa hukum harus tetap,
terang, monosemantik, dan harus memenuhi syarat ektetika. Terakhir, simposium
mengakui bahasa hukum yang digunakan masih kurang sempurna terutama dalam
semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.
Ada sebelas saran yang diajukan untuk menjadi langkah tindak lanjut sebagai
berikut:
1. Fungsi hukum dalam era pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam GarisGaris
Besar Haluan Negara perlu dimantapkan.
2. Perlunya penginventarisasian istilah-istilah hukum secara menyeluruh.
3. Perlunya peningkatan keterampilan penggunaan bahasa oleh para penyusun
peraturan hukum, praktisi, dan teoritisi hukum, antara lain dengan memasukkan
bahasa Indonesia ke dalam kurikulum Fakultas Hukum.
4. Perumusan-perumusan di bidang hukum harus mengutamakan efektivitas agar
dapat mencerminkan pokok pikiran dengan sejelas-jelasnya dan mencapai sasaran
setepat-tepatnya.
5. Dalam pembinaan bahasa hukum yang efektif, perlu diikuti suatu pola yang
berpedoman kepada hukum yang berlaku di bidang Perdata dan Publik, Nasional
dan Internasional.
6. Dalam penginventarisasian diperlukan kerja sama interdisipliner antara berbagai
cabang ilmu, khususnya kelompok ilmu-ilmu kebudayaan.
7. Penterjemahan yang resmi atas peraturan hukum positif yang masih ditulis dalam
bahasa asing, hendaknya dilakukan oleh ahli-ahli hukum bersama-sama dengan
ahli-ahli bahasa.
8. Dalam proses penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum hendaknya ahli-
ahli bahasa Indonesia diikutsertakan.
9. Perlunya dilaksanakan usaha pembakuan (standardisasi) istilah-istilah hukum.
10. Perlunya membukukan dengan segera kesepakatan ahli-ahli hukum dalam
berbagai masalah hukum da pendapat ahli-ahli hukum tentang hal tertentu.
11. Menyelenggarakan lokakarya dalam berbagai bidang hukum yang dikaitkan
dengan bahasa Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Simposium Bahasa dan
Hukum.
Adapun mengenai upaya penyeragaman istilah hukum, diajukan tiga langkah
meliputi inventarisasi istilah hukum dan pepatah yang telah ada maupun yang sedang
dikumpulkan, pembakuan/standardisasi, dan penciptaan istilah-istilah hukum baru.
Caranya dengan membentuk lembaga yang secara terus-menerus menanganinya di bawah
arahan Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Lembaga Bahasa Nasional (sekarang
bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) berdasarkan suatu pola kerja
tertentu.
Simposium juga memandang perlu ada upaya penyebarluasan bahasa hukum
melalui berbagai penerbitan karya mengenai bahasa hukum. Bahkan mata kuliah

15
Ibid. hlm.106-108.
Pembaruan, Normand 585

penguasaan bahasa di dalam kurikulum Fakultas Hukum diminta untuk menekankan pada
penguasaan bahasa hukum. Pada Kongres Bahasa Indonesia Ketiga di Jakarta, 28
Oktober─3 November 1978 kembali disebutkan soal bahasa hukum. Hanya secara sekilas
di bagian kesimpulan tema ‘Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dalam
Kaitannya dengan Bidang Ilmu dan Teknologi’ disebutkan:
….Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang ilmu seperti ilmu hukum
banyak yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Oleh
karena bahasa keilmuan itu harus bermakna tunggal, pemakaian bahasa
Indonesia harus diperbaiki dan dibakukan…
Berbeda dengan hasil Kongres Bahasa Kedua, tidak ada rekomendasi untuk rencana
tindak lanjut di Kongres Bahasa Ketiga tahun 1978 ini soal bahasa hukum.16
Selanjutnya Kongres Bahasa Indonesia Keempat di Jakarta, 21─26 November
1983, menyebutkan secara sekilas soal bahasa hukum di bagian kesimpulan Pembinaan
Bahasa: Bahasa Indonesia yang digunakan dalam ilmu, seperti ilmu hukum dan ilmu
administrasi, banyak yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Karena
bahasa keilmuan itu harus bermakna tunggal, pemakaian bahasa Indonesia harus terus
diperbaiki dan usaha pembakuannya ditingkatkan.
Hasil Kongres keempat ini juga mengajukan dua rencana tindak lanjut yang
berkaitan dengan bahasa hukum: (1)Penggunaan bahasa Indonesia dalam semua bidang,
terutama bidang hukum dan perundang-undangan, perlu segera digarap secara
sungguh-sungguh, bertahap, dan terpadu karena hukum yang dimengerti oleh setiap
anggota masyarakat akan lebih menjamin terlaksananya pembangunan nasional secara
mantap, lancar, dan tertib; (2)Semua aparatur pemerintah, terutama yang secara
langsung terlibat dalam perencanaan, penyusunan, pengesahan, dan pelaksanaan
hukum, harus memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang
memadai sehingga hukum/undang-undang yang dihasilkan dan yang harus dilaksanakan
itu mudah dipahami dan tidak menimbulkan tafsiran yang berbedabeda.17
Sayangnya rencana tindak lanjut ini hanya terlihat sebagai himbauan tanpa langkah
jelas apa yang harus dilakukan. Bahasan tentang bahasa hukum tidak muncul sama sekali
pada Kongres kelima. Kongres Bahasa Indonesia Keenam di Jakarta, 28 Oktober─2
November 1993 hampir tidak menyinggung soal bahasa hukum selain di bagian
‘Perkembangan Bahasa Indonesia di Luar Negeri’ dalam kalimat singkat dengan konteks
untuk pembelajar asing: Perlu dikembangkan pula materi bahasa Indonesia bidang
tertentu, seperti bidang hukum, bidang perdagangan, bidang perbankan, yang mungkin
sekali diminati para pembelajar asing.18
Bahasan tentang bahasa hukum kembali hilang pada Kongres ketujuh. Kongres
Bahasa Indonesia Kedelapan di Jakarta, 14-17 Oktober 2003 pada keputusan tentang
‘Bahasa’ menyebutkan satu rencana tindak lanjut yang mendorong agar penyusunan
produk hukum melibatkan ahli bahasa: (13) Pembenahan bahasa Indonesia dalam
peraturan perundang-undangan, termasuk yang merupakan terjemahan dari hukum
warisan kolonial, harus mendapat perhatian serius agar produk hukum yang
bersangkutan tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan. Untuk itu, di dalam proses

16
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hlm.35.
17
Ibid. hlm. 45-46.
18
Ibid. hlm. 80.
586 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

penyusunan peraturan/perundangundangan perlu ditingkatkan keterlibatan secara aktif


pakar bahasa sebagai narasumber.19
Kongres Bahasa Indonesia Kesembilan di Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008
menyebutkan hal yang senada dengan pendapat Padmo Wahyono pada bagian pembuka
tulisan ini. Tertera di bagian Kebahasaan soal bahasa hukum: (2) Dalam meningkatkan
kualitas bahasa hukum dalam peraturan perundang-undangan, diperlukan ahli bahasa
yang memahami hukum dan ahli hukum yang mempunyai kemahiran berbahasa
Indonesia.20 Sedangkan pada Kongres Bahasa Indonesia Kesepuluh di Jakarta, 28
Oktober-31 Oktober 2013 dan Kesebelas pada bulan Oktober tahun 2018 sama sekali
tidak membahas lagi soal bahasa hukum Indonesia.
3.2. Beberapa Permasalahan Bahasa Hukum di Indonesia
Sudah banyak hal yang dibahas dan usulan yang digagas soal upaya pembinaan
bahasa hukum Indonesia sejak awal masa kemerdekaan. Bahkan usulan untuk melakukan
penyeragaman istilah dan upaya berkelanjutan mengembangkan bahasa hukum telah
disepakati Kongres Bahasa Kedua di tahun 1954. Jurnal Hukum dan Pembangunan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia edisi Mei 1983 telah memuat pula pernyataan
seorang ahli bahasa kenamaan JS.Badudu bahwa masalah Bahasa Indonesia dalam
hubungannya dengan Hukum di Indonesia sudah sangat banyak dibahas.20
Sayangnya hingga Kongres Bahasa paling baru yang dilakukan tahun 2018 lalu
justru pembahasan soal bahasa hukum semakin tidak terdengar lagi. Perlu juga untuk
menengok sejenak bagaimana Badan Pembinaan Hukum Nasional pernah melakukan
analisis dan evaluasi tentang perkembangan 25 tahun penggunaan bahasa hukum pada
masa Pembangunan Jangka Panjang Pertama era Orde Baru mulai dari tahun 1969 hingga
1994.21
Tim analisis dan evaluasi yang dipimpin oleh JS.Badudu pada tahun 1995
menghasilkan tiga kesimpulan dan enam saran 22 . Kesimpulan pertama bahwa upaya
pembinaan bahasa hukum perlu terus dilanjutkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari
pembangunan hukum.
Kesimpulan kedua menunjukkan bahwa pada sampel produk hukum yang dinilai
baik sekalipun masih belum mematuhi kaidah bahasa Indonesia baku. Sampel berasal dari
undang-undang, akta notaris, dan putusan pengadilan. Kondisi yang sama juga ditemukan
pada sampel karya tulis hukum dan bahan ajar di pendidikan tinggi hukum. Disusul
kesimpulan ketiga bahwa kesalahan umum yang muncul ialah soal penulisan yang tidak
sesuai panduan ejaan serta penggunaan tanda baca.
Sangat menyedihkan bahwa enam saran yang diajukan dalam evaluasi ini hanya
mengulang kembali apa yang telah diusulkan oleh hasil Simposium Bahasa dan Hukum
tahun 1974. 23 Keluhan Menteri Kehakiman Mochtar Kusuumaatmadja di pembukaan
Simposium tahun 1974 saat itu mencerminkan bahwa berbagai usulan penting soal bahasa

19
Ibid. hlm. 104. 20
Ibid. hlm. 112.
20
Yus Badudu, “Masalah Pengembangan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Hukum” (Kertas kerja pada
Seminar Pembakuan Istilah Hukum di Medan 1980), Jurnal Hukum dan Pembangunan edisi Mei 1983,
hlm.223.
21
Hasil analisis ini diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul ‘Analisis dan Evaluasi tentang
Perkembangan 25 Tahun Penggunaan Bahasa Hukum’.
22
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996, Op.Cit., hlm.21.
23
Ibid. hlm.21-22.
Pembaruan, Normand 587

hukum 20 tahun sebelumnya pada Kongres Bahasa Kedua tahun 1954 tidak dijalankan
sesuai harapan. Ternyata dalam 20 tahun sejak Simposium tahun 1974 hingga evaluasi
tahun 1994 juga mengalami kemandekan serupa.
Sebab dari kemandekan ini pernah ditelaah oleh Indonesianis asal Belanda, Ab
Massier (2001). Dalam makalah yang disampaikannya Massier menduga setidaknya ada
dua sebab. 24 Pertama, ketidakseragaman bahasa dan peristilahan hukum belum
diidentifikasi dengan tepat.
Massier menilai versi resmi sebagian produk hukum peninggalan Belanda yang
berlaku di Indonesia tidak bisa dimengerti lagi oleh kebanyakan ahli hukum karena masih
berbahasa Belanda. Hal ini bisa dibuktikan bahwa contoh yang disebutkan pada
Simposium tahun 1974 berkutat soal terjemahan istilah dan teks hukum Belanda. Alihalih
membongkar apa yang tidak dianggap perlu lagi dari berbagai istilah dan teks produk
hukum Belanda ini, justru para ahli hukum membuat terjemahan-terjemahan baru untuk
tetap menggunakannya. Bahkan tidak ada satu terjemahan resmi yang menjadi acuan
bersama. Akibatnya keseragaman bahasa dan peristilahan tidak pernah terjadi. Pada
akhirnya bahkan juga mengakibatkan ketidakpastian di bidang hukum.
Untuk memecahkan permasalahan ketidakseragaman bahasa hukum, Massier
pernah mengusulkan penggantian berbagai produk hukum peninggalan Belanda dengan
produk hukum Indonesia yang baru atau pemberlakuan satu terjemahan resmi bahasa
Indonesia dari teks-teks hukum peninggalan Belanda.
Seperti yang lazim diketahui di kalangan ahli hukum, tidak ada satu pun
undangundang hasil terjemahan produk hukum peninggalan Belanda yang dinyatakan
sebagai terjemahan resmi dan disahkan melalui peraturan perundang-undangan.
Terjemahan KUHP, KUH Perdata, KUH Dagang, dll. yang dipelajari di kampus hukum
dan digunakan dalam praktik hukum diterima begitu saja meskipun dengan beragam
versi.25
Tentu saja beragam versi terjemahan ini bisa menjadi masalah karena membuka
peluang besar terjadinya perbedaan penafsiran dalam penerapan. Padahal dengan satu
teks hukum yang seragam saja sudah membuka peluang perbedaan penafsiran. Hal ini
mengarah pada ketidakpastian hukum yang merugikan para pencari keadilan.
Proses pemilihan terjemahan yang terbaik memang sulit karena akan terjadi beda
pendapat tentang mana terjemahan yang paling baik. Akan tetapi, Massier
menggarisbawahi tidak diperlukan terjemahan yang sempurna. Ia menyebut Burgerlijk
Wetboek versi awal di Belanda kerap kali disebut 'terjemahan jelek' dari Code Civile
Perancis, namun bisa bertahan digunakan lebih dari seratus enam puluh tahun.26
Sebab kedua, Massier menilai bahwa ada asumsi keliru dengan menganggap
peran bahasa dalam hukum hanyalah alat atau sarana. Bagi Massier bahasa adalah bagian
inti dan struktur hukum itu sendiri. Massier menjelaskan bahwa pekerjaan utama ahli
hukum adalah mengolah bahasa dalam teks hukum. Mereka membuat dan menafsirkan
teks hukum seperti membuat surat gugatan atau memori kasasi, putusan hakim,
penafsiran peraturan perundang-undangan atau perjanjian.

24
AB Massier, “Penanganan Permasalahan Bahasa dalam Pembinaan Hukum Indonesia”, (Makalah
Seminar BPHN ‘Access to Legal Information’, Jakarta, 22-23 Agustus 2000), Jurnal Hukum dan
Pembangunan edisi Juli-September 2001, hlm.207-215..
25
Sigit Riyanto dkk., 2013, Keterampilan Hukum, Yogyakarta: UGM Press, hlm.16-17.
26
AB Massier, Op.Cit., hlm.213.
588 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

Dengan kata lain, sebenarnya para ahli hukum terikat cara berbahasa dan
peristilahan yang disepakati di bidang hukum. Semua ilmu pengetahuan hukum mengenai
norma hukum dan filsafat hukum tetap harus berpijak pada bahasa sebagai wujudnya.
Dalam hal ini para ahli hukum tidak bisa menciptakan bahasanya sesuka hati dengan
mengabaikan kebiasaan berbahasa di masyarakat.
Pandangan bahwa bahasa hanyalah sarana dari hukum membuat ahli hukum
meremehkan pengembangan bahasa hukum. Ada kepercayaan diri yang terlalu tinggi
bahwa cukup dengan nalarnya bisa mengatasi masalah bahasa hukum dalam
memecahkan urusan-urusan hukum.
Mengenai dugaan pertama Massier, JS.Badudu (1983) pernah menyampaikan hal
senada bahwa bahasa hukum Indonesia tidak terlalu memperlihatkan sifat dan ciri bahasa
Indonesia dalam strukturnya. Penyebabnya karena bahasa hukum Indonesia pada
umumnya didasarkan pada hukum yang ditulis pada zaman penjajahan Belanda dan
tertulis dalam bahasa Belanda. Secara ringkas, bahasa hukum Indonesia adalah bahasa
Indonesia hasil terjemahan dari bahasa Belanda itu yang sering terlalu harfiah.27
Buruknya penerjemahan berbagai istilah dan konsep hukum dalam bahasa
Belanda ini membuat pengungkapannya tidak sesuai dengan struktur bahasa Indonesia.
Nampaknya banyak penerjemah juga belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik
kala itu. Penerjemahan yang terlalu harfiah ini juga membuat gaya penggunaan kalimat
yang terlampau panjang diambil alih begitu saja.
JS.Badudu mencontohkan penggunaan kalimat-kalimat panjang yang penuh
dengan anak kalimat bahkan “cucu” kalimat. Pada akhirnya kesalahpahaman ini membuat
seolah bahasa hukum memiliki corak sendiri yang tidak sejalan dengan bahasa umum
yang digunakan oleh masyarakat. Dengan demikian, bahasa hukum dianggap sebagai
bahasa khusus yang sukar dipahami tidak hanya bagi masyarakat awam namun juga
kalangan ahli hukum sendiri.
Permasalahan ketidakseragaman bahasa dan peristilahan hukum semakin rumit di
era globalisasi. Interaksi Indonesia dengan berbagai yurisdiksi di seluruh dunia
mendorong penyerapan berbagai istilah baru dari bahasa hukum milik sistem hukum lain.
Masuknya beragam istilah baru ini disebutkan oleh Indonesianis asal Amerika Serikat,
Gregory Churchill (2002), lebih banyak berasal dari bahasa Inggris28.
Penyerapan berbagai istilah hukum dari bahasa Inggris tidak dapat dielakkan
sebagai pengaruh demokratisasi dan perkembangan standar global yang berkiblat pada
Barat. Perlu dicatat bahwa istilah hukum dari bahasa Inggris ini harus dipisahkan antara
yang berasal dari bahasa hukum Inggris dengan bahasa hukum Amerika.
Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris dan dalam rumpun common
law system, ada kemungkinan variasi makna untuk suatu istilah hukum yang sama.
Sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan perkembangan yang
berbeda walau keduanya dalam satu rumpun common law system.
Belum ada kejelasan apakah penyerapan istilah hukum baru dari bahasa Inggris
selama ini telah memperhatikan kemungkinan tersebut. Nampaknya banyak ahli hukum
Indonesia menggunakan begitu saja berbagai istilah hukum berbahasa Inggris dengan
asumsi sama-sama berasal dari common law system. Penyerapan istilah hukum ini
nampaknya banyak terjadi lewat hubungan hukum melalui transaksi bisnis internasional,

27
Yus Badudu, Op.Cit., hlm.225.
28
Gregory Churcill, “Badai Bahasa: Tanda-tanda Arah Perubahan dari Kosa Kata Hukum”, Jurnal Hukum
Jentera edisi Agustus 2002, hlm.62.
Pembaruan, Normand 589

perjanjian internasional, atau “oleh-oleh” hasil pendidikan hukum lanjutan di luar negeri.
Para praktisi hukum dan akademisi hukum bersama-sama melakukan penyerapan istilah
hukum berbahasa Inggris dalam aktifitas mereka. Alasan yang lazim karena belum
menemukan kosa kata dalam bahasa hukum Indonesia yang telah berterima.
Sebagai salah satu Guru Besar Ilmu Hukum yang mengikuti Simposium Bahasa
dan Hukum tahun 1974, Padmo Wahyono pernah mengungkapkan setidaknya ada tiga
wilayah bahasa hukum. Pertama dalam wilayah hukum buatan negara (hukum positif),
lalu hukum yang hidup di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
positif, dan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan hukum.
Wilayah ilmu pengetahuan hukum, menurut Padmo, akan berhubungan erat
dengan dua wilayah lainnya. Hal itu karena pengembangan bahasa hukum yang
digunakan dalam ilmu pengetahuan hukum sangat dipengaruhi oleh bahasa hukum yang
digunakan produk-produk hukum. Bagaimanapun juga, ketiga wilayah bahasa hukum ini
nampak memiliki hubungan timbal balik dalam membentuk bahasa hukum.29
Sulit mengharapkan kalangan praktisi hukum untuk memulai pembaruan bahasa
hukum. Seorang jurnalis senior dari kalangan sarjana hukum, Karni Ilyas pernah
mengatakan dengan tegas pendapatnya bahwa kalangan ahli hukum sendiri yang
mengacaukan bahasa hukum, “Mereka menerjemahkan bahasa hukum sesuai dengan
kepentingan mereka masing-masing” 30 . Oleh karena itu, pembaruan bahasa hukum
nampaknya justru harus dimulai dari kampus hukum sebagai lembaga pendidikan tempat
ilmu pengetahuan hukum diajarkan dan dikembangkan secara sistematis.
Standardisasi dan disiplin penggunaan bahasa hukum berpeluang besar untuk
dilakukan mulai dari kalangan ahli hukum di kampus-kampus hukum. Hasil keluaran dari
kampus hukum diharapkan akan mempengaruhi pembaruan bahasa hukum dalam
pembuatan hukum di parlemen dan penafsiran hukum di pengadilan sekaligus. Kampus
hukum bisa menghasilkan dukungan baik berbentuk teoritis dalam keilmuan maupun
penyediaan calon-calon praktisi hukum dengan pemahaman baru soal bahasa hukum.
Perkembangan bahasa hukum sudah jauh lebih awal terjadi di berbagai
negaranegara maju sebagai bagian dari perkembangan hukum mereka. Kajian dalam
tinjauan ilmu linguistik bahkan telah menghasilkan cabang ilmu legal linguistic di
bidang ilmu humaniora. Beberapa judul buku populer31 misalnya karya David
Mellinkoff berjudul The Language of the Law (1963) tentang legal English telah terbit
pada periode 60an.
Publikasi serupa bahkan telah diawali di negara yang lebih kecil, Finlandia, karya
Paavo Pajula, Suomalaisen lakikielen historia pääpiirteittäin [‘The History of Finnish
Legal Language in Broad Outline’, 1960]. Hasil kerja sama yang baik antara ahli bahasa
dan ahli hukum di Prancis juga sukses menghasilkan Le langage du droit
[‘The Language of Law’, 1975] karya Pierre Lerat (linguist) dan Jean-Louis Sourioux
(lawyer).
Junaiyah H. Matanggui (2013), seorang ahli bahasa Indonesia, menjelaskan
bahwa penyesuaian pemakaian bahasa juga terjadi di berbagai bidang lain sepeti bidang
kedokteran, penerbangan, teknik, dll. Tidak ada perbedaan dalam hal kaidah bahasa yang
29
Padmo Wahyono, Op.Cit., hlm.201-202.
30
Sulitnya Bahasa Hukum Akibat Ulah Praktisi Hukum, Jumat, 23 Agustus 2002
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6290/sulitnya-bahasa-hukum-akibat-ulahpraktisi-hukum
diakses pada Ahad, 30 September 2018 pukul 07.00 WIB
31
Heikki E.S. Mattila, 2006, Comparative legal linguistics, Great Britain: Ashgate Publishing Limited,
hlm.10
590 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

berlaku. Perbedaan terletak pada istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian yang
sesuai dengan keperluan masing-masing bidang. Dalam uraian lebih lanjut, Junaiyah
mengatakan bahwa bahasa hukum harus jelas, lugas, tepat, dan monosemantis (tidak
bermakna ganda)32.
Secara khusus Juhainah menekankan bahwa yang terpenting kalimat bahasa
hukum harus jelas mengenai hal-hal berikut34:
a) siapa berbuat apa atau mengerjakan apa?
b) siapa berbuat apa atau mengerjakan apa di mana?
c) siapa berbuat apa atau mengerjakan apa untuk apa?
d) siapa berbuat apa atau mengerjakan apa dengan siapa?
e) siapa berbuat apa atau mengerjakan apa, bagaimana caranya?

Lilis Hartini (2015), ahli bahasa Indonesia lainnya, membagi 17 langkah untuk
menyusun logika bahasa hukum yang bisa mewujudkan kepastian hukum33. Menerapkan
langkah-langkah berikut akan membantu para ahli hukum lebih mudah dalam membaca,
memahami, dan memasyarakatkan hukum:
1. Melukiskan peristiwa secara kronologis
2. Melukiskan tata letak
3. Melukiskan hal yang umum dan hal yang khusus
4. Mengelompokkan atau klasifikasi
5. Membandingkan dan membedakan
6. Mengelompokkan yang diperluas
7. Sebab dan akibat
8. Menjelaskan
9. Daur dan reaksi berantai
10. Analogi
11. Prediksi
12. Definisi
13. Hipotesis
14. Usulan atau saran
15. Pendapat pribadi
16. Penolakan
17. Diskusi atau debat

Ruang lingkup bahasa hukum mungkin merupakan kajian utama para ahli bahasa.
Namun, bahasa hukum berperan penting sebagai cabang ilmu penunjang dalam disiplin
hukum sama seperti filsafat hukum, antropologi hukum, sosiologi hukum, atau politik
hukum dalam upaya pembaruan hukum dan ilmu hukum. Sebagai kajian interdisiplin
dalam disiplin hukum, tidak mungkin untuk memahami bahasa hukum tanpa
menggunakan teori ilmu linguistik. Pemanfaatan teori-teori ilmu linguistik berkaitan
bahasa hukum perlu digunakan dalam penelitian ini.
Teori linguistik pertama yang perlu dikemukakan adalah penegasan soal apa yang
dimaksud bahasa hukum. Bahasa hukum adalah salah satu ragam bahasa atau laras bahasa
yang disebut juga sebagai register dalam kajian sosiolinguistik. Register menunjukkan

32
Junaiyah H. Matanggui, 2013, Bahasa Indonesia Untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-
undangan, Jakarta: Grasindo, hlm.1-2. 34 Ibid., hlm.105-106
33
Lilis Hartini, 2015, Bahasa & Produk Hukum, Jakarta: Refika Aditama, hlm.204.
Pembaruan, Normand 591

penggunaan bahasa dengan ragam khusus berdasarkan konteks. Poin penting dari teori
ini adalah variasi penggunaan bahasa yang terjadi dalam situasi tertentu (Holmes, 2001)34
seperti mitra komunikasi, topik, pekerjaan dan lain-lain. Holmes menyebut ada
perbedaan ukuran di antara ahli bahasa dalam menjelaskan konsep register. Ia menyebut
ada kalangan ahli bahasa yang mempersempit penggunaan konsep ini hanya berkaitan
pada perbedaan kelompok pekerjaan atau profesi.
Register juga bisa merujuk situasi spesifik yang tidak harus berkaitan dengan
pekerjaan. Holmes menyebut percakapan dengan variasi istilah khusus dalam situasi
perkuliahan atau komentator pertandingan olahraga sebagai contoh yang termasuk
sebagai register. Ia membedakannya dengan style yang cenderung berkaitan pada aspek
tingkat formalitas alih-alih topik seperti register. Holmes menyimpulkan konsep register
paling tepat untuk merujuk penggunaan bahasa oleh kelompok-kelompok dengan
kesamaan kepentingan atau pekerjaan, atau dalam situasi yang berkaitan kelompok
tersebut. Penelitian ini bersandar pada teori Holmes bahwa yang dimaksud dengan bahasa
hukum ialah register hukum.
Pendapat Holmes sama dengan Mattila (2006) saat menjelaskan konsep bahasa
hukum. 35 Mattila menyebut bahasa hukum sebagai variasi fungsional yang memang
memiliki aturan linguistik khusus yang berbeda dari penggunaan bahasa yang biasa
(kosakata, frasa, dan makna dalam istilah-istilah). Ia digunakan dalam situasi khusus
terkait bidang hukum : sidang pengadilan, dokumen hukum dll. utamanya oleh kalangan
profesi hukum meski juga berlaku bagi kalangan penutur umum. Namun, Mattila
memastikan bahwa bahasa hukum tetap tunduk pada kaidah tata bahasa biasa yang
menjadi induknya.
Salah satu topik penting dalam bahasa hukum atau register hukum ialah
istilahistilah hukum yang mengandung konsep dan makna khusus (BPHN, 1976).
Qodratillah (2016) menjelaskan definisi istilah atau disebut juga terminologi dengan dua
inti. Pertama, wujudnya bisa berupa kata atau gabungan kata (frasa). 36 Kedua,
kandungannya adalah makna dari konsep, proses, keadaan, atau sifat tertentu. Mulai dari
ilmu pengetahuan, teknologi, hingga seni dalam kehidupan manusia pasti dilambangkan
dalam wujud berbagai istilah. Istilah bisa dilihat dari dua sisi yaitu istilah umum dan
istilah khusus. Ketentuan pembentukan istilah dan kumpulan istilah yang dihasilkan perlu
disusun dengan perangkat dasar yang ia sebut sebagai tata istilah.
Perbedaan istilah umum dan istilah khusus bisa dianggap cukup tipis. Poin intinya
hanya pada sudut pandang seberapa luas keterpakaiannya di berbagai kalangan. Suatu
istilah dari bidang tertentu menjadi istilah umum ketika digunakan secara luas lalu
menjadi unsur kosakata umum. Ilustrasi sederhana yang bisa diajukan misalnya istilah
hubungan keluarga nenek, kakek, cucu, bibi, paman, sepupu, ibu, bapak, dan anak. Dari
sudut pandang penggunaan yang luas, bisa diterima dengan mudah sebagai kosakata
umum di Indonesia. Namun, istilah-istilah kekerabatan itu sebenarnya berasal dari bidang
ilmu antropologi.
Istilah khusus dari bidang tertentu bisa juga dilihat sebagai istilah umum. Hal itu
terjadi karena ternyata digunakan juga secara luas sebagai kosakata umum yang.
Misalnya, kata bintang, bulan, dan matahari semula merupakan istilah yang terkait

34
Janet Holmes, 2001, An Introduction to Sociolinguistics, England: Longman, hlm.246-252.
35
Heikki E.S.Mattila, 2006, Comparative Legal Linguistics, England: Ashgate, hlm.4-9.
36
Meity Taqdir Qodratillah, 2016, Tata Istilah, Jakarta: Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hlm.6-7. 39 Muhammad Ilham Hermawan,
2020, Op.Cit., hlm.161 40 Ibid, hlm.160.
592 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

dengan benda langit di bidang astronomi. Tanpa melihat kategori pengelompokkannya,


istilah tersebut bisa diakui sebgai kosakata umum atau istilah umum. Istilah umum lain
misalnya sandal, sepatu, baju, celana, dan kemeja. Tidak ada yang keberatan bahwa
semua lapisan masyarakat pasti menggunakan semua kosakata tadi sebagai istilah umum
dalam keseharian hidup. Pada saat yang sama, pengelompokkan menurut pemakaian kata
di bidang tata busana jelas menjadikan setiap kata tadi sebagai istilah khusus.
(Qodratillah, 2016). Ia menegaskan bahwa istilah umum beralih menjadi istilah khusus
karena punya makna yang khusus digunakan dalam bidang ilmu tertentu. Makna khusus
atau terbatas pada bidang ilmu tertentu menjadi tolok ukur suatu istilah menjadi istilah
khusus.
3.3. Dua Pendekatan Penafsiran Konstitusi
Sejarah mencatat istilah originalism dalam teori penafsiran konstitusi pertama
digunakan dalam artikel Paul Brest di tahun 1981.39 Pendekatan originalisme kerap
disebut menekankan pada kepastian makna. Pemahaman dari generasi perumus teks
konstiusi disebut pemahaman asli yang selalu menyingkirkan pemahaman yang berbeda
dari generasi selanjutnya.40 Setidaknya ada dua asumsi pokok pendekatan ini. Pertama,
teks konstitusi mengikat masa depan penerapan konstitusi. Kedua, niat perumus
konstitusi dalam menghasilkan rumusan konstitusi juga mengikat masa depan penerapan
konstitusi. Dua asumsi ini terlihat sejalan namun ternyata kerap menyebabkan beda
pendapat di kalangan penganut originalisme. Ada kalangan ahli yang lebih
mengutamakan bunyi teks konstitusi sedangkan sebagian lainnya melihat pada niat para
perumus konstitusi. Originalisme lalu berkembang menjadi beberapa teori dalam
menggali makna asli seperti textualism, original intent, literalism, purposive, dan
conceptualism.
Perkembangan pendekatan originalisme lalu mengerucut pada tiga corak besar.
Pertama, merujuk pada teks konstitusi. Corak ini biasa disebut textualism. penafsiran
yang dilakukan berdasarkan makna gramatikal teks konstitusi secara ketat. Kedua,
merujuk niat perumus yang menggambarkan keadaan mental subjektif perumus
konstitusi. Corak ini yang biasa disebut original intent/subjective intent/intentionalism.
Penafsiran dilakukan berdasarkan maksud subjektif penulis konstitusi melalui
pernyataan-pernyataan dan tulisan dalam perumusan. Ketiga, merujuk tujuan objektif
konstitusi yang biasa disebut makna umum. Corak ini biasa disebut original
meaning/objective intent. Penafsiran yang dilakukan fokus mencari makna tujuan dari
terminologi yang digunakan dalam teks konstitusi.37
Meski berkembang menjadi tiga corak, perbedaan dalam penekanan penafsiran
originalisme tetap bersepakat pada dua hal. Merujuk Lawrence B.Solum, Hermawan
menyebut dua kesepekatan itu ialah makna linguistik setiap norma konstitusi adalah tetap
dan makna asli dari konstitusi membatasi praktik di peradilan. Masalahnya, penafsiran
originalisme tidak menyediakan penjelasan soal sulitnya memastikan niat perumus
konstitusi yang terdiri dari banyak anggota. Konstitusi modern selalu merupakan produk
lembaga perwakilan rakyat alih-alih hasil pemikiran satu atau dua orang saja. Masalah
lainnya adalah kebutuhan pada konstitusi yang fleksibel menghadapi dinamika
pemerintahan sehingga sulit terikat secara ketat pada makna awal konstitusi. Kondisi ini
yang melahirkan pendekatan non-originalisme sebagai jalan keluar mewujudkan
konstitusi yang terus hidup mengikuti perkembangan.

37
Ibid, hlm.163.
Pembaruan, Normand 593

Seperti namanya, fokus penafsiran non-originalisme sejak awal adalah berdasarkan


kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai penafsir. Asumsi dasar pendekatan ini ialah
teks konstitusi tidak mampu mengantisipasi semua perkembangan di masa depan.
Penganut non-originalisme menilai konstitusi harus dipandang memiliki makna dinamis.
Pemahaman asli tetap dianggap penting sebagai salah satu makna, namun bukan satu-
satunya apalagi mutlak diikuti. Aspirasi publik menjadi ukuran utama dalam menafsirkan
konstitusi di setiap masa. Tentu saja ada batas dalam aspirasi publik yang bisa
diakomodasi penafsiran non-originalisme. Aspirasi publik yang berkembang dan bisa
diakomodasi adalah yang dinilai masih termasuk generalisasi lebih maju dari makna
orisinal. Artinya, penafsiran non-originalisme tidak sepenuhnya berlepas dari makna
orisinal.
Salah satu perdebatan sengit dari kedua pendekatan ini memang soal sejauh mana
konstruksi konstitusional dibatasi oleh makna linguistik dari teks. Namun, perlu dicatat
makna lingustik dari teks dianggap yang utama bagi originalisme bukan karena semata-
mata demi kepastian atas makna. Ada asumsi bahwa konstitusi dirumuskan dengan cara
demokratis sehingga menyimpan kedaulatan rakyat dalam setiap rumusan teks yang
tertulis. Di sisi lain, pendekatan non-originalisme fokus pada perkembangan kebutuhan
publik yang terus dinamis sehingga tidak seharusnya terus terikat dengan makna awal
saat konstitusi dibuat. Perkembangan aspirasi publik dianggap pasti berpijak pada
rumusan teks konstitusi yang sudah ada sehingga tidak akan bertolak belakan dengan cita-
cita bersama sejak awal hingga seterusnya.
Tabel 138
Originalisme Non-Originalisme

Bagaimana ketentuan dipahami Bagaimana ketentuan sampai


secara orisinal? dipahami seperti yang ada sekarang?

Menyelidiki maksud ketentuan


Menyelidiki maksud ketentuan seperti seperti yang dipahami di masa sekarang
yang dipahami pada awalnya dulu
Hasil penafsiran

Hasil penafsiran

3.4. Terminologi Hukum Asing dalam Penafsiran Konstitusi


Seperti diakui dalam Simposium Bahasa dan Hukum 1974 dan riset setelahnya,
terminologi hukum asing masih mempengaruhi praktik hukum di Indonesia. Tidak hanya
penerjemahan yang terlalu harfiah, bahkan terminologi hukum asing itu sendiri juga
masih digunakan dalam uraian penafsiran konstitusi. Berikut ini adalah salah satu contoh
penafsiran konstitusi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
84/PUU-XVI/2018. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi memutus perkara pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) terhadap UUD 1945. Penelitian menemukan sejumlah terminologi
hukum asing pada bagian pertimbangan yang diuraikan para hakim konstitusi.
Tabel 2
Putusan Nomor 84/PUU-XVI/2018

38
Ibid, hlm.208.
594 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

Bagian Teks Penafsiran Terminologi Hukum Asing


3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
……
[3.2] Menimbang bahwa oleh
karena permohonan Pemohon adalah
permohonan untuk menguji Tidak ada, namun Mahkamah
konstitusionalitas norma Konstitusi tampak secara sadar
undangundang, in casu Undang-Undang menggunakan terminologi asing dengan
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum penulisan huruf miring yaitu in casu dan
Acara Pidana (Lembaran Negara a quo.
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209,
selanjutnya disebut KUHAP) dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana,
selanjutnya disebut KUHP) terhadap
UUD 1945, maka Mahkamah berwenang
mengadili
permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal 1. legal standing
Standing) Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK
beserta Penjelasannya, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945
adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya
yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan
oleh berlakunya suatu undang-undang,
yaitu:
……
yang lainnya dalam tindak pidana
yang berkaitan dengan tindak pidana
berlanjut (voortgezette handeling) dan
gabungan tindak pidana (concursus
realis) menemukan kesulitan secara
teknis oleh penyidik atau jaksa penuntut
umum untuk mengajukan berkas perkara
secara bersamaan.

Tampak setidaknya ada sepuluh terminologi hukum asing yang digunakan oleh
majelis hakim di Mahkamah Konstitusi saat melakukan penafsiran konstitusi. Identifikasi
terminologi hukum asing mudah dilakukan dengan kenyataan semua terminologi hukum
asing itu digunakan bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Pembaruan, Normand 595

Terminologi hukum asing biasa ditulis dalam tanda kurung mengikuti terjemahannya.
Berikut ini adalah daftar terminologi hukum asing beserta terjemahannya seperti tertulis
apa adanya dalam penafsiran konstitusi.

Tabel 3
No. Terminologi Hukum Asing dan Terjemahannya dalam Penafsiran
Konstitusi
1. kedudukan hukum (legal standing)
2. tindak pidana perbarengan (concursus idealis)
3. tindak pidana berlanjut (voortgezette handeling)
4. gabungan beberapa tindak pidana (concursus realis)
5. tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti)
6. waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti)
7. tindak pidana perbarengan, penggabungan, dan berlanjut
(samenloop)
8. tindak pidana perbarengan, penggabungan, dan berlanjut
(concursus)
9. punishment
10. penuntutan dan penjatuhan pidana perkara secara terpisah
(splitsing)

Temuan ini menunjukkan bahwa lembaga otoritatif seperti Mahkamah Konstitusi


yang berwenang menafsirkan konstitusi mengakui penggunaan terminologi hukum asing.
Pada saat yang sama, terjemahan dari terminologi-terminologi asing itu sebenarnya
hampir semua sudah tersedia bahkan digunakan pula dalam uraian penafsiran konstitusi.
Peneliti melihat pola penggunaan terminologi hukum asing beserta terjemahannya terjadi
berulang-ulang dalam teks putusan yang menjadi contoh. Tampak bahwa cara itu
berkaitan dengan upaya menjamin kepastian hukum dari makna terminologi hukum yang
sedang diuraikan dalam penafsiran konstitusi. Pendapat ini merujuk pada temuan riset
disertasi Sinal (2013)39. Ia menyimpulkan bahwa rumusan istilah pada bahasa hukum
berkaitan erat dengan terwujudnya kepastian hukum.
Salah satu perumusan yang bisa dilakukan adalah menautkan terminologi hukum
hasil terjemahan dengan terminologi hukum asing yang menjadi sumbernya. Cara ini
tidak bisa dihindari jika sejak awal konsep yang dirujuk memang bersumber dari
terminologi hukum asing. Berdasarkan contoh putusan yang menjadi data penelitian ini,
Mahkamah Konstitusi cukup konsisten menjaga kepastian hukum saat merujuk konsep
dari terminologi hukum asing dalam penafsiran konstitusi. Hanya terminologi
punishment yang digunakan tanpa menjelaskan apa terjemahannya.
Berdasarkan teori semantik leksikal dalam ilmu linguistik, setiap wujud kata
memiliki makna masing-masing sebagai makna referensial. Setiap kata baik secara
mandiri maupun berada dalam susunan kalimat tetap menunjuk makna yang sejak awal
dilambangkannya. Makna semantik leksikal itu secara mudah bisa dilihat pada entri
dalam kamus. Terminologi baik sebagai kata maupun gabungan kata juga memiliki
makna referensial semacam itu.

39
Mohamad Sinal, 2013, Bahasa Indonesia Hukum dalam Perspektif Kepastian Hukum, disertasi tidak
diterbitkan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, hlm.369-370.
596 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

Penelitian ini melihat bahwa baik penafsiran originalisme maupun nonoriginalisme


sama-sama terikat kebutuhan atas makna referensial setiap terminologi hukum.
Kebutuhan itu berkaitan dengan upaya menjamin kepastian hukum dalam penafsiran
konstitusi. Oleh karena itu, pemahaman yang benar pada makna referensial setiap
terminologi hukum mutlak dimiliki para praktisi hukum. Berbagai terminologi hukum
asing perlu dilacak hingga bahasa asalnya untuk digunakan secara tepat dalam
menafsirkan konstitusi. Cara Mahkamah Konstitusi menggunakan hasil terjemahan
dengan terminologi hukum asing yang menjadi sumbernya tampak cukup menjamin
kepastian hukum. Penafsiran dengan cara originalisme atau non-originalisme harus
sangat berhati-hati saat merujuk terminologi hukum yang bersumber dari sistem hukum
asing. Perlu diingat, sistem hukum Indonesia terus mengalami perkembangan sehingga
tidak kaku hanya mengadaptasi dari civil law system sebagai cetakan dasar dari
peninggalan masa penjajahan. Semakin banyak konsep dan teori common law system
yang diadaptasi dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu, terminologi hukum yang
dirujuk dari terminologi hukum asing perlu tetap mencantumkan terminologi aslinya
untuk pelacakan makna referensial.
3.5. Penafsiran Konstitusi sebagai Analisis Wacana
Aspek kebahasaan lain yang penting dipahami lebih baik untuk jaminan kepastian
hukum penafsiran konstitusi merujuk pada teori wacana. Baik penafsiran originalisme
maupun non-originalisme berkepentingan untuk memahami UUD 1945 pada dasarnya
adalah satu wacana. Yuwono (2009)40 memulai penjelasannya tentang wacana dengan
mengidentifikasi wacana sebagai satuan analisis tersendiri dalam bidang analisis wacana.
Zaimar dan Harahap (2015) 41 menyebut wacana tidak mempunyai bentuk yang pasti,
dapat terdiri dari satu kata saja, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, juga
dapat terdiri dari beberapa buku, bahkan juga satu bidang ilmu, misalnya wacana sastra
dan wacana politik. Hal penting dari wacana adalah keberadaannya sebagai satuan bahasa
yang komunikatif dan memiliki kesatuan makna.
Wacana dapat berdiri sendiri, bersifat otonom, dan mengandung pesan yang jelas
meskipun hanya berupa satu kata. Bahkan suatu wacana bisa juga terdiri dari beberapa
wacana yang lebih kecil. Namun, wacana juga terikat pada konteks. Tanpa adanya
konteks yang membentuk situasi komunikatif dan terungkapkannya kesatuan makna,
tidak akan terbentuk wacana. (Yuwono, 2009)42. Suatu teks bahasa saja belum menjadi
wacana tanpa adanya konteks.
Misalnya tulisan EXIT di atas pintu dalam ruangan bioskop adalah sebuah wacana
karena memiliki kesatuan makna dan komunikatif terhadap pesan yang dikandungnya.
Konteks tulisan EXIT yang terpampang di atas pintu secara komunikatif memberikan
kejelasan makna terhadap penonton bioskop yang ingin keluar. Sedangkan jika tulisan
EXIT tersebut diletakkan di atas wastafel, misalnya, maka ia tidak menjadi suatu wacana
yang memberikan kesatuan makna ‘jalan untuk keluar’.
Hal terpenting yang menjadi benang merah dari pemahaman atas wacana adalah
kohesi dan koherensi. Kohesi adalah hubungan yang terjadi tatkala penafsiran suatu unsur
dalam teks bergantung pada unsur yang lain dalam teks. Di sisi lain, koherensi adalah

40
Untung Yuwono, 2009, Wacana dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 91-103.
41
Ayu Basoeki Harahap dan Okke Kusuma Sumantri Zaimar, 2015, Teori Wacana. Jakarta: Penaku,
hlm.12-14.
42
Untung Yuwono, 2009, Op.Cit., hlm.96.
Pembaruan, Normand 597

jalinan makna antarbagian dalam wacana. Pemahaman bahwa teks konstitusi adalah satu
wacana bisa menjadi jalan mempertemukan sisi konservatif hasil penafsiran originalisme
dan sisi progresif hasil penafsiran non-originalisme. Hasil penafsiran kedua aliran bisa
dianggap sebagai kesatuan makna yang dimiliki oleh konstitusi. Praktisi hukum bisa
menggabungkan kedua hasil penafsiran terhadap teks konstitusi itu untuk menjamin
kepastian hukum penafsiran konstitusi. Alih-alih melihat hasil dari dua aliran penafsiran
itu saling meniadakan sehingga menurunkan bobot jaminan kepastian hukum,
memadukan keduanya dengan teori wacana tampak menguntungkan kepentingan
penegakan keadilan sekaligus jaminan kepastian hukum. Penafsiran konstitusi perlu
dipandang sebagai analisis wacana dan bisa meminjam berbagai teori dalam ilmu
linguistik untuk memperkaya metode penafsiran konstitusi.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Studi literatur dan teks penafsiran konstitusi ini menyimpulkan beberapa
pandangan sebagai berikut:

1. Pemahaman lebih baik terhadap bahasa hukum berpotensi besar meningkatkan


jaminan kepastian hukum dalam penafsiran konstitusi. Fitur yang perlu dipahami
dari bahasa hukum sebagai cabang ilmu penunjang dalam disiplin hukum antara
lain berkaitan dengan kajian semantik dan kajian wacana.
2. Berdasarkan kajian semantik, penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi
tampak cukup menjaga makna referensial dari terminologi hukum asing yang
digunakan demi tercapainya kepastian hukum. Disadari atau tidak, kesadaran atas
aspek semantik leksikal sudah diterapkan dalam Putusan Nomor 84/PUU-
XVI/2018.
3. Perdebatan soal metode penafsiran originalisme dan metode nonoriginalisme
berpotensi melemahkan jaminan kepastian hukum. Pemanfaatan teori wacana bisa
memadukan dua hasil penafsiran sebagai kesatuan makna konstitusi. Alih-alih
melanjutkan perdebatan yang saling menegasikan hasil penafsiran kedua metode
itu, paradigma UUD 1945 sebagai wacana meningkatkan bisa meningkatkan
jaminan kepastian hukum dengan menarik benang merah hasil penafsiran
originalisme dan nonoriginalisme.
4.2. Rekomendasi
Penelitian ini mengusulkan beberapa hal untuk dikaji ulang dan diuji coba oleh
kalangan praktisi hukum sebagai berikut:
1. Pengembangan metode penafsiran konstitusi bisa banyak meminjam berbagai teori
analisis wacana dengan konsistentensi pada kohesi dan koherensi. Penelusuran
literatur dalam penelitian ini menunjukkan kesepakatan pakar hukum konstitusi
bahwa makna linguistik setiap norma konstitusi adalah tetap dan makna asli dari
konstitusi membatasi praktik di peradilan.
2. Kajian bahasa hukum perlu lebih dikembangkan dalam studi hukum di Indonesia
terutama untuk kepentingan metode penafsiran teks hukum secara umum.
Pendekatan interdisiplin dengan ilmu linguistik layak menjadi prioritas bagi sistem
hukum Indonesia yang banyak mengadopsi konsep dan teori hukum Barat baik dari
civil law system maupun common law system.
598 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.3 Juli-September 2022

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, Simposium Bahasa dan Hukum, Bandung:
Binacipta.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1996, Analisis dan Evaluasi tentang Perkembangan
25 Tahun Penggunaan Bahasa Hukum, Jakarta: BPHN.
Harahap, Ayu Basoeki dan Okke Kusuma Sumantri Zaimar, 2015, Teori Wacana. Jakarta:
Penaku.
Hartini, Lilis , 2015, Bahasa & Produk Hukum, Jakarta: Refika Aditama.
Hermawan, Muhammad Ilham, 2020, Teori Penafsiran Konstitusi, Jakarta: Kencana.
Holmes, Janet, 2001, An Introduction to Sociolinguistics, England: Longman.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011, Kumpulan Putusan Kongres Bahasa
Indonesia I-IX, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Matanggui, Junaiyah H., 2013, Bahasa Indonesia Untuk Bidang Hukum dan Peraturan
Perundang-undangan, Jakarta: Grasindo.
Mattila, Heikki E.S., 2006, Comparative Legal Linguistics, Great Britain: Ashgate
Publishing Limited.
Massier, AB, 2008, The Voice of The Law in Transition, Leiden: KITLV Press.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty.
Qodratillah, Meity Taqdir, 2016, Tata Istilah, Jakarta: Pusat Pembinaan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sigit Riyanto dkk., 2013, Keterampilan Hukum, Yogyakarta: UGM Press.
Sinal, Mohamad, 2013, Bahasa Indonesia Hukum dalam Perspektif Kepastian Hukum,
disertasi tidak diterbitkan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas
Brawijaya.
Yuwono, Untung, 2009, Wacana dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Makalah dan Artikel Berita
Wahjono, Padmo, “Beberapa Permasalahan Hukum di Indonesia”, Makalah, Jurnal
Hukum dan Pembangunan edisi Mei 1983.
Badudu, Yus, “Masalah Pengembangan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Hukum”,
Makalah, (Kertas kerja pada Seminar Pembakuan Istilah Hukum di Medan 1980),
Jurnal Hukum dan Pembangunan edisi Mei 1983.
Gregory Churcill, “Badai Bahasa: Tanda-tanda Arah Perubahan dari Kosa Kata Hukum”,
Jurnal Hukum Jentera edisi Agustus 2002
Massier, AB, “Penanganan Permasalahan Bahasa dalam Pembinaan Hukum
Indonesia”,
Makalah, (Makalah Seminar BPHN ‘Access to Legal Information’, Jakarta, 22-23
Agustus 2000), Jurnal Hukum dan Pembangunan edisi Juli-September 2001.
Sulitnya Bahasa Hukum Akibat Ulah Praktisi Hukum, Jumat, 23 Agustus 2002
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6290/sulitnya-bahasa-
hukumakibat-ulah-praktisi-hukum diakses pada Ahad, 30 September 2018 pukul
07.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai