Anda di halaman 1dari 9

Anggota Kelompok 5 :

1. Fathia Rebelsha Zahra ( 22011296 )


2. Iqbal Rahman ( 22011434 )
3. Keno Azizah Rovila ( 22011320 )
4. Winda Suryanta Simatupang ( 22011245 )

Variabel bebas (x) : Fatherless


Variabel terikat (y) : Self Control
Subjek : Remaja
Ha : Adanya pengaruh fatherless terhadap self control pada remaja
Ho : Tidak ada pengaruh fatherless terhadap self control pada remaja

Pengaruh Fathersless terhadap Self Control pada Remaja

A. Latar belakang

Dalam mengahadapi masalah setiap individu perlu memiliki kemampuan untuk


mengendalikan diri. Menurut Gufron dan Risnawati ( 2012 ) kontrol diri atau self
control adalah kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan
mengarahkan bentuk perilaku ke arah yang positif serta kontrol diri yang dapat
dikembangkan dan digunakan selama menjalani proses - proses dalam kehidupan.
Kontrol diri merupakan suatu keahlian individu dalam kesadaran membaca situasi
diri, situasi lingkungannya, mengendalikan emosi serta motivasi dari dalam diri.

Menurut Marsela , R.D (2019) Individu yang memiliki tingkat self control yang
rendah dikelompokan sebagai individu yang tidak mampu memilih tindakan yang
tepat sehingga dapat memicu terjadinya perilaku agresif .Sejalan dengan pendapat
mengenai perilaku agresivitas ,Menurut Paptriani dalam Marsela, R.D (2019) individu
yang memiliki tingkat self control yang rendah akan sulit untuk mengendalikan emosi
dan cenderung melakukan tindakan yang agresif tanpa mempertimbangkan
konsekuensi yang akan terjadi . Kondisi ini sering kali terjadi pada remaja .Masa
remaja adalah masa dimana individu mengalami gejolak emosi yang besar . Gejolak
emosi yang terkadang tidak stabil inilah yang membuat remaja memiliki tingkat self
control yang rendah.

Gufron dan Risnawita (2012) mengemukakan bahwa self control dipengaruhi


oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi self control adalah usia. Semakin bertambah usia seorang individu
maka semakin baik kemampuan pengontrolan diri individu. Pada remaja dibuktikan
dengan sudah mampu mempelajari apa yang di harapkan kelompok darinya dan bisa
berprilaku sesuai dengan harapan sosial tanpa harus di arahkan, di dorong , diawasi,
dan dihukum seperti yang di alami pada masa anak - anak (Gufron dan Risnawita ,
2007).Rentang usia remaja menurut Santrock (2007) yaitu awal masa remaja yang
dimulai pada umur 10 - 22 tahun . Faktor eksternal ini salah satu nya adalah
lingkungan keluarga terutama kedua orang tua yang menentukan bagaimana
kemampuan remaja dalam mengontrol diri. Keterlibatan kedua orang tua dalam
pengasuhan merupakan peran yang penting dalam proses pembentukan self control
pada remaja.

Ketika salah satu dari kedua orang tua tidak ambil andil dalam pengasuhan
maka terjadi ketimpangan psikologis anak yang berpengaruh pada masa remaja nya .
Mengasuh dan mendidik anak seringkali diasumsikan sebagai tugas seorang ibu. Yang
seharusnya seorang ayah juga turut mengambil kontribusi dalam hal pengasuhan.
Tetapi kebanyakan orang tua masih menggunakan perspektif lama yang salah yakni
mendidik dan mengasuh anak merupakan sepenuhnya tugas dari seorang ibu, dan
ayah hanya bertanggung jawab untuk kebutuhan finansial serta mengabaikan
kebutuhan yang harus di dapatkan anak dari seorang ayah. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya fenomena fatherless.

Fatherless adalah hilangnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak.Kondisi


fatherless tidak hanya terjadi ketika anak terpisah secara fisik oleh ayahnya tetapi juga
dirasakan oleh anak yang masih merasakan kehadiran seorang ayah secara fisik
namun tidak secara psikologis .

Di Indonesia pada kenyataannya fenomena fatherless banyak terjadi di


masyarakat, hal ini dibuktikan bahwa Indonesia menjadi negara nomor 3 dunia
sebagai tingkat fenomena fatherless paling tinggi (JPNN, 2021). Salah satu
penyebabnya adalah tingkat perceraian yang tinggi. Menurut kementrian agama kasus
perceraian di Indonesia kian melonjak. Terjadi nya 516.334 kasus perceraian yang
meningkat 15% dari tahun 2021. Hal ini mengakibatkan seorang anak tidak
mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah dan anak akan di asuh
oleh orang tua yang single parent.dapat diartikan bahwa banyak masyarakat di
Indonesia yang hidup tanpa kehadiran sosok ayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Irma (2022) menunjukan bahwa remaja yang
mengalami perceraian orang tua cenderung memiliki kondisi emosi yang tidak stabil
dan sulit mengontrol emosi. Dapat disimpulkan secara umum self control berkaitan
dengan cara individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya
sehingga mampu mengambil langkah yang tepat dan membuat keputusan sesuai
dengan nilai - nilai moral yang ada.
Pemisahan antara ayah dan anak karena masalah rumah tangga .Ayah yang
bekerja dengan jarak yang jauh atau jarang dirumah serta ketersediaan waktu ayah
yang sedikit juga menjadi pemicu terjadi nya fenomema fatherless.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana gambaran fatherless pada remaja

2. Bagaimana gambaran Self Control pada remaja ?

3. Bagaimana pengaruh fatherless terhadap self control pada remaja yang masih
memiliki ayah dalam keluarga?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran fatherless pada remaja


2. Untuk mengetahui gambaran SC pada remaja
3. Untuk mengetahui pengaruh fatherless terhadap self
control pada remaja yang masih memiliki ayah dalam keluarga

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini ditujukan untuk dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
disiplin pengembangan ilmu psikologi khusunya yang berkaitan dengan
psikologi sosial.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tenta
ng dampak fatherless terhadap selfcontrol remaja yang masih memiliki ayah
serta dapat dijadikan acuan atau bahan bacaan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Self control

1. Pengertian self control

Self control merupakan salah satu hal terpenting harus ada dalam diri
individu .Menurut Ghufron & Risnawati ( 2011 ) Self control merupakan kemampuan
individu dalam sensibilitas memahami kondisi diri dan lingkungannya. Di samping itu
self control juga kemampuan untuk mengendalikan perilaku yang mencakup
kestabilan dan keseimbangan dalam kehidupan . Self control dalam diri individu juga
dapat membantu individu untuk mengarahkan perilaku yang akan membawa ke arah
dampak yang positif.Maka dari itu , self control yang rendah pada diri invidu dapat
merugikan dirinya sendiri dan lingkungan. Kemampuan mengontrol diri perlu diasah
dengan berinteraksi dengan lingkungan sekitar untuk menciptakan kematangan
pengontrolan diri ( Marsella , 2019 ).

Adapun menurut Chaplin dalam Yuniar Rachidiani ( 2011 ) self control adalah
kemampuan umtuk mengarahkan perilaku individu serta kemampuan untuk menekan
dan mencegah terjadinya dorongan - dorongan dan perilaku yang impulsif. Sejalan
dengan pendapat yang di kemukakan Berk dalam Sriyanti ( 2012 ) self control adalah
kemampuan merintangi , menahan dan mencegah suatu impuls agar tidak muncul ke
dalam suatu peilaku yang yang bertentangan dengan standar norma.

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan self control merupakan


kemampuan individu dalam mengendalikan diri agar tidak membawa konsekuensi
negatif bagi diri sendiri dan lingkungan.

2. Faktor - Faktor yang mempengaruhi self control

Avrill dalam (Ghufron dan Risnawati , 2019 ) membagi faktor-faktor yang


mempengaruhi kontrol diri menjadi dua bagian, yaitu:

a. Faktor Internal

Salah satu hal yang mempengaruhi kontrol diri individu adalah usia. Seiiring
bertambah nya usia individu semakin baik pengontrolan dirinya.

b. Faktor Eksternal

Dimana lingkungan keluarga terutama orang tua dapat mengambil andil


yang penting dalam pembentukan self control individu. Orang tua yang mampu
mendisiplikan kan anak nya secara intens dan konsisten sedari dini , menjadikan
anak dapat menginternalisasikan kontrol diri nya sendiri .

3. Aspek - aspek kontrol diri

Menurut Avrill dalam( Ghufron dan Risnawati , 2019 ) self control terbagi dalam
tiga aspek ,yaitu:

a. Kontrol perilaku ( Behavior control )

Aspek ini diperinci menjadi dua komponen , yaitu :

1. Mengatur pelaksanaan ( regulated administration )

Kemampuan individu dalam menentukan siapa yang akan


mengendalikan keadaan baik itu dari dalam dirinya maupun dari faktor
eksternal. Juga kemampuan individu mengahadapi jika suatu rangsangan
yang tidak diinginkan terjadi.

2. Modifikasi Stimulus ( Stimulus modifiabilty )

Kemampuan individu dalam mengendalikan semua rangsangan


yang tidak di inginkan terjadi . Adapun beberapa cara yang dapat di
lakukan dalam mengatasi rangsangan tersebut yaitu mencegah atau
menjauhi stimulus , memberikan jeda waktu diantara rangsangan yang
sedang berlangsung, menghentika stimulus sebelum stimulus tersebut
berakhir serta mematasi intensitasnya.

b. Kontrol kognitif ( Cognitie Control )

Aspek ini terdiri dari dua komponen yaitu :

1.Memperoleh informasi ( information again )

Individu memiliki nformasi mengenai suatu keadaan yang tidak


menyenangkan. Maka dari itu individu mampu memperkirakan
keadaan dengan berbagai pertimbangan yang ada.

2. Kemampuan penilaian ( Appraisal )

Kemampuan individu melakukan penilaian dalam suatu keadaan


dengan cenderung lebih memperhatikan sisi positif.

c. Mengontrol keputusan ( Decesional control )

Kemampuan individu untuk memilih tindakan atau hasil berdasarkan


kepercayaan diri atau penerimaan diri. Kemampuan ini dapat bekerja dengan baik
pada diri seseorang ketika orang mempunyai kesempatan, kebebasan atau
peluang untuk memilih tindakan.
B. Fatherless

1. Pengertian tentang fatherless

Fatherless adalah ketiadaan peran dan figure ayah dalam kehidupan anak
dengan keadaan tidak memiliki ayah atau tidak memiliki hubungan dengan ayah.
Fatherless juga dapat diartikan dengan suatu kondisi seorang anak yang mempunyai
ayah tetapi ayah tersebut tidak ada atau tidak berperan dengan maksimal pada proses
pertumbuhan dan perkembangan seorang anak ( Wulandari ,2023 ). Dilangsir dari
liputan.com,Jakarta ( Sitoresmi ,2023 ) bahwa fatherless adalah kekurangan sosok
ayah dalam kehidupan keluarga. Lebih rinci lagi, fatherless adalah kecenderungan
tidak adanya peran dan keterlibatan figure ayah secara signifikan dalam kehidupan
dari seorang anak.
Fatherless juga dapat diartikan sebagai kondisi atau keadaan seorang anak yang
mempunyai sosok orang tua lengkap terutama ayah, tetapi mereka kehilangan sosok
ayah seperti peran penting dari ayah karena adanya masalah keluarga. ( Aini, 2019 ).
Fatherless yang dimaksud oleh ( Utami, 2019 ) yakni keadaan seorang anak yang
ditinggal orang tua khususnya ayah karena dalam keadaan wafat atau meninggal
dunia.
Ketiadaan sosok figure ayah dalam hidup anak bisa saja terjadi pada anak yatim
atau anak dengan ayah yang masih hidup tetapi tidak menemui hubungan yang erat
dengan ayah juga disebut fatherless. Smit 2011 dalam ( Mardiyah ,2020 ) menyatakan
bahwa seorang anak yang mendapatkan kondisi fatherless ketika ia tidak memiliki
ayah atau tidak memiliki ikatan yang dekat dengan ayahnya. Bisa disebabkan oleh
kasus perceraian atau permasalahan pernikahan dari kedua orang tua.
Fatherless juga dapat diartikan sebagai dimana kondisi ayah hadir secara nyata
atau fisik namun tidak hadir secara psikologis pada anak ( Putri, 2023 ). Dengan
keadaan seperti ini akan membuat kelemahan dalam fungsi mendidik atau memberi
nilai yang baik, yang dapat membuat anak tidak memperoleh sosok ayah didalam
dirinya secara sempurna.
Dengan demikian dapat disimpulan bahwa fatherless adalah keadaan anak yang
kurang atau bahkan tidak mendapatkan akan peran figure dari seorang ayah dalam
proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Dengan kondisi ayah yang hadir
secara fisik didalam kehidupan anak tetapi tidak merasakan adanya sosok ayah secara
psikologis dan ayah yang tidak hadir didalam kehidupan seorang anak karena wafat.

2. Faktor – faktor fatherless


Pada penilitan Putri dalam Fitroh ,(2014) menyebutkan bahwa kondisi anak
yang mengalami fatherless terdapat beberapa faktor penyebab diantaranya adanya
kondisi perceraian kedua orang tua. Hal ini mungkin membuat anak akan memilih
kondisi dimana akan memilih tinggal bersama ibu sedangkan ayah akan memulai
kehidupan yang baru. Kematian ayah juga merupakan faktor anak akan mengalami
fatherless karena anak tidak akan mendapatkan pola asuh secara utuh.
Masalah penikahan juga merupakan salah satu faktor fatherless yang membuat
ketidak harmonisan keluarga sehingga dapat menyebabkan anak mengalami fatherless
dan dapat menyebabkan waktu untuk anak berkurang serta seorang anak tidak akan
bisa mendapatkan perhatian berupa kasih sayang dari ayah. Pengasuhan dengan
kondisi budaya lokal menganut sistem patriarki yang menempatkan sistem sosial yang
menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama yang masih menempel pada
masyarakat. Adanya budaya ini membuat kepercayaan laki-laki mempunyai tanggung
jawab yang besar akan mencari nafkah, sedangkan dalam mengurus anak merupakan
tugas wajib dari perempuan. Anak dari keluarga yang menganut sistem ini
kemungkinan besar akan mengalami kondisi fatherless.
Kerasnya perilaku dari ayah juga merupakan faktor terjadinya fatherless (
Menurut Rosental dalam Putri ,2020 ) membuat anak akan merasakan kondisi dimana
anak akan merasakan fatherless, diantaranya :
a. Ayah yang pengkritik
Kondisi dimana ayah tidak bisa memenuhi cinta dan penerimaan tanpa
syarat yang diberikan oleh anak.
b. Ayah dengan penyakit mental
Penyakit yang dimiliki ayah, kemungkinan diturunkan kepada anak. Ayah
yang memiliki penyakit mental akan sulit dalam pengembangan
psikososial.
c. Ayah dengan ketergantungan zat
Akibat dari ketergantungan zat yang dihasilkan, ayah akan lebih sering
marah dan sering melalukan kekerasan dengan verbal bahkan fisik.
d. Ayah yang tidak dapat diandalkan
Mereka yang terlalu sibuk, tidak kompoten sehingga tidak bisa
menuntaskan tugasnya sebagai ayah.
e. Ayah yang melakukan kekerasan
Dari semua jenis kekerasan yang diberikan ayah kepadaa anak, semua
dapat menimbulkan efek yang buruk bagi anak.

Kesimpulannya,faktor penyebab terjadinya fatherless terdiri dari situasi dimana


orang tua mengalami kasus perceraian, kematian ayah, keluarga yang tidak harmonis,
pengasuhan dengan budaya lokal, dan kerasnya perlakuan dari ayah.

3. Dampak dari fatherless


Muda dalam Maryam munjiat, (2017) Dampak dari fatherless mempengaruhi
kondisi rusaknya psikologis yang disebut dengan father hunger dan menghasilkan
kondisi yang terjadi kepada anak, diantaranya :

a. Anak akan memiliki kesusahan dengan beradaptasi dan cenderung


minder
b. Anak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung
kekanak-kanakan.
c. Anak cenderung lari akan masalah dan emosional ketika menghadapi
masalah.
d. Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi.

Anak dari orang tua yang bercerai kemungkinan memperlihatkan adanya


masalah perilaku seperti tingkah laku dan ketidak patuhan ( Hasa dalam campbell,
2019 ). Serta kekosongan figure dan keteladanan pengaruh ayah. ( Sundari dalam
kock dan lower ,1984 ). Aini dalam ( Biller, 1974 ) ( Rekers ,1986 ) fatherless akan
menghasilkan konflik gender dan kebingungan identitas gender. Serta menegaskan
peningkatan yang cukup signifikan akan perilaku homoseksual baik antara sesama
laki-laki dan sesama perempuan.

Dampak dari kematian ayah dalam fatherless akan membuat anak akan
merasakan hilangnya kasih sayang, kehilangan model, kehilangan rasa aman,
kehilangan teman berbagi, kehilangan keutuhan keluarga dan hilangnya arah sang
anak untuk kedepannya. Anak akan lebih cenderung mempunyai motivasi belajar
yang rendah hingga hilangnya motivasi belajar sampai penurunan kualitas belajar
anak ( Putri, 2023 ).

C. Dinamika pengaruh antara Fatherless dengan self control

Keterlibatan peran ayah mempunyai pengaruh yang berdampak pada


perkembangan individu. Salsabila dan rekan-rekan nya mengemukakan dampak dari
tidak adanya peran ayah dalam perkembangan individu seperti marah, malu, kesepian,
rasa cemburu, duka dan kehilangan yang mendalam, rendahnya harga diri dan
rendahnya control diri. Aini (2019) memperhatikan minimnya sosok ayah berkolerasi
dengan penurunan pengendalian diri pada remaja. Berdasarkan temuan penelitian
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan kontrol diri remaja.Kontrol
diri membantu individu berpikir dan mengelola perilaku yang akan ditampilkan.

Situmorang dan rekan-rekan nya mengemukakan bahwa pengendalian diri


adalah kemampuan individu dalam mengatur emosi dari dalam agar dapat mengambil
keputusan yang sukses sejalan dengan standar ideal, nilai moral dan harapan
Masyarakat. Hidayat (2018) menemukan bahwa hubungan yang baik dengan ayah
lebih dapat membantu pembentukan kontrol diri pada remaja.

Hart (Parmanti & Purnamasari,2015) mengemukakan bahwa ayah berperan


dalam hal menegakkan disiplin, mengendalikan lingkungan dan belajar bagaimana
menjaga perilaku yang baik bahkan jika tidak bersama ibu atau ayah. Effendi dan
rekan-rekan mengemukakan bahwa ayah berperan dalam hal menanamkan nilai agar
anak dapat mengambil kendali diri sendiri.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh


peran pengasuhan ayah terhadap pembentukan kontrol diri remaja. Keterlibatan ayah
membawa dampak pada kontrol diri yang akan digunakan untuk mengatasi masalah
yang muncul selama perkembangan remaja. Remaja yang mempunyai kontrol diri
tinggi tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan buruk, dan mereka akan
terhindar dari kejahatan remaja seperti narkoba, geng motor, perundungan, tawuran,
dan bentuk kejahatan lainnya. Ekasari dan Yuliyana (2012) berpendapat bahwa
kontrol diri sangatlah penting bagi remaja untuk mengatur diri sendiri dan mengatasi
tantangan yang berkembang pada masa remaja.

D. Kerangka Konseptual

Berdasarkan penjabaran dan hasil penelitian mengenai keterkaitan hubungan


fatherless terhadap pengontrolan diri pada remaja memiliki pengaruh yang sangat
berdampak pada perkembangan self-control remaja. Maka semakin berkurangnya
peran seorang ayah terhadap remaja maka semakin tinggi tingkat rendahnya self-
control pada remaja dan begitupun sebaliknya.

FATHERLESS SELF-CONTROL REMAJA

E. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan diatas , maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai
berikut:
 Hipotesis Alternatif (Ha) : Adanya pengaruh fatherless terhadap self control
pada remaja.
 Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada pengaruh fatherless terhadap self control pada
remaja

Anda mungkin juga menyukai