Makalah Ulama Setelah Wali Songo
Makalah Ulama Setelah Wali Songo
Disusun Oleh:
Nama : Intan Dwi Hutari
Kelas : XII IPA 3
Puji dan syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan tugas ini.
Dalam pembuatan tugas ini, banyak kesulitan yang saya alami terutama disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan dan sumber-sumber info yang masih terbilang terbatas. oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini, khususnya para rekan-rekan. Terimakasih juga tak lupa saya haturkan
kepada Pak Guru Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan saya
tugas ini. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Saya menyadari tugas yang saya buat ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu saya memohon maaf apabila ada kekurangan ataupun kesalahan. Kritik dan saran
sangat diharapkan agar tugas ini menjadi lebih baik serta berguna dimasa yang akan datang.
A. Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute .pelayaran dan
perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.
Wilayah barat nusantara dan sekitar selat Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang
menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para
pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan
cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera antara abad ke-1 dan 7
masehi sering disinggahi pedagang asing seperti Aceh, Barus, Palembang di Sumatera serta
Sunda Kelapa, Gresik di pulau Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya
menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini
bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara
intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa ulama penyebar Islam paska Walisongo?
BAB II
ULAMA PENYEBAR ISLAM PASKA WALISONGO
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan
terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-
17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan
bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab
terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara
kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang
penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh
Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil
Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan
Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar
berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah
mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber
yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa,
Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-
Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam,
sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas
seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa
Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
A. Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri
Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar
di berbagai wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai
pengarang adalah Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan
Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari.[5]
1) Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah
tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum
karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-
masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam
bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan
puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-
puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya.
Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-
bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang
kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang
memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair
sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer dan
digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
2) Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk
dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa
Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa
Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi
keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu
di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan
mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang
sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair
dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya
jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan
Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
3) Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula
mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian
Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar
al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot
yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri
memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan
dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika,
epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf
paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan
kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan
memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil
menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala
permasalahannya.
Nama lengkap beliau adalah Syeikh Abdus Somad bin Abdurahman al-Jawi al-
Palimbani. Lahir dan dibesarkan di Palembang pada tahun 1150 H atau 1736 M demikian
menurut Kgs M. Zen dalam bukunya Faidul Ihsani, buku biografi atas Syeikh Abdusamad al-
Palimbani. Berbeda menurut Azumardi Azra, menurutnya satu-satunya sumber yang
menyebut angka tahun kelahiran Abdus Somad al-Palimbani adalah Tarikh Salasilah Negeri
Kedah, dalam buku itu disebutkan bahwa Abdusamad lahir sekitar 1116 H/ 1704 M.
Ia dibesarkan dalam lingkungan “Keraton Kuto Ceracangan” (antara 17 dan 20 ilir
sekarang). Karena ayahnya menjabat sebagai kepala penjaga Istana Kuto Ceracangan
Kesultanan Pelambang Darus Salam pada masa Sultan Agung dan Sultan Muhamad Badrudin
I. Ayahnya adalah seorang Sayid yang berasal dari Sana’a, Yaman dan sering melakukan
perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di Kedah Semenanjung Melayu. Di kemudian
hari setelah menjadi ulama besar Abdus Somad kerap berkunjung ke Yaman karena istrinya
adalah seorang Syarifah dari keluarga al-Idrus yang berasal dari Yaman. Ibunya meninggal
dunia tatkala usianya baru satu tahun. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, Abdu Somad
juga mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama besar Palembang pada waktu itu, seperti :
Tuan Faqih Jalaludin (w.1748), Hasanaudin bin Jakfar dan Sayid Hasan bin Umar Idrus.
Abdus Somad seorang anak yang cerdas dan memiliki ingatan yang kuat. kepada
gurunya yang disebut terakhir ini, beliau belajar mengaji al-Quran serta tajwidnya dan ilmu-
ilmu agama lainnya sehingga ia hafal kitab suci al-Quran dalam usia 10 tahun. Di usia ini pula
ia mendapatkan malam lailat al-Qadar yang di dalamnya banyak terdapat keajaiban-keajaiban
yang tak bisa dihinggakan.
Kemudian beliau meneruskan studinya ke tanah suci Mekah dan Madinah bersama
kedua sahabatnya dari Palembang, yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad
Muhyidin bin Syihabudin. Di tanah suci tiga serangkai ini belajar dengan sungguh-sungguh
selama 20 tahun kepada ulama-ulama terkemuka. Bidang yang paling digemari Abdus Somad
adalah Tauhid dan Tasawuf. Dalam bidang ini ia belajar langsung kepada Syeikh Muhammad
Samman al-Madani. Kepada guruna inilah ia mengambil tarekat Samaniyah yang zikirnya
dikenal dengan Ratib Saman. Melalui Syeikh Abdu Somad Ratib Saman masuk dan
berkembang di Indonesia hingga sekarang. Sebelum Terekat Samaniyah ia juga mengambil
tarekat Syatariyah melalui Syeikh Ibrahim al-Kurani di Madinah.
a. Kitab Karangan Syeikh Abdus Somad al-Palimbani
Semasa hidupnya Syeikh Abdus Somad tidak hanya aktif dalam berdakwah ke
berbagai daerah di Timur Tengah, tetapi juga menjadi seorang penulis yang produktif.
Kitabnya ini sampai sekarang masih dibaca dan dipelajari di Palembang, terutama Hidayat
al-Salikin. Adapun diantara karangannya tersebut adalah.
1. Zuhratul Murid (Mantiq, 1764)
2. Tuhfatut al-Ragibin (1774)
3. Urwatul al-Wusqa (Tarekat Samaniyah).
4. Ratib Abdus Somad
5. Zad al-Mutaqin (Tauhid)
6. Siwatha al-Anwar
7. Fadha’il Ihya li al-Gazali (Tasawuf)
8. Risalah Aurad dan Zikir
9. Irsyadan Afdhal al-Jihad
10. Nasihat al-Muslimin wa Tazkirawat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah (Perang
Sabil
11. Hidayat al-Salikin (Tasawuf, 1778).
12. Sair al-Salikin (Tasawuf, 1779-1788)
13. Risalah Ilmu Tasawug
14. Wahdatul Wujud.
Mal An Abdullah dalam bukunya Jejak Sejarah Abdusamad al-Palimbani menyebut 20 buku
yang ditulis oleh Syeikh Abdusamad al-Palimbani. Menurut Mal An Abdullah ada satu buku
yang masih diperdebatkan oleh para pakar apakah buku itu tulisan Abdusamad al-Palimbani
ataukah tulisan al-Banjari, buku tersebut berjudul tuhfah al-Ragibin.
b. Hidayatus Salikin
Syeikh Abdusamad al-Palimbani mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan
Islam di Nusantara terutama tradisi pesantren. Dalam berbagai bidang keilmuan, hadis,
fikih, tasawuf, tarekat dll Syeikh Abdusamad menjadi bagian mata rantai penting jaringan
intelektual Nusantara dan negara-negara Islam lainnya. Misalnya kita dapat melihat posisi
Syeikh Abdusamad dalam jaringan sanad yang disusun oleh Syeikh Yasin al-Padani,
dalam semua jalur sanad kitab kuning terdapat nama Syeikh Abdusamad al-Palimbani
yang menghubungkan murid-murid setelahnya dengan para penyusun kitab itu, baik
ulama Nusantara maupun manca negara.
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (Arab: نيQQاوي البنتQQووي الجQQد نQQ)محم
atau Syekh Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M - meninggal
di Mekkah, Hijaz 1314 H/1897 M) adalah seorang ulama Indonesia bertaraf Internasional
yang menjadi Imam Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal
dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif
menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang meliputi bidang
ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi al-
Bantani kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam al-
Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni ilmunya), A'yan Ulama
al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad 14 Hijriyah), hingga Imam Ulama
al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua Kota Suci).
a. Biografi
Syekh Nawawi lahir dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat di Kampung Tanara,
sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten (Sekarang di Kampung
Pesisir, Desa Padaleman, Kecamatan Tanara, Serang) pada tahun
1230 Hijriyah atau 1815 Masehi, dengan nama Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi al-
Bantani. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said,
Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah. Ia merupakan generasi ke-12 dari Sultan Maulana
Hasanuddin, raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasabnya melalui
jalur Kesultanan Banten ini sampai kepada Nabi Muhammad .
Ayah Syekh Nawawi merupakan seorang Ulama lokal di Banten, Syekh Umar bin Arabi al-
Bantani, sedangkan ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga biasa.
Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai 3
orang anak: Nafisah, Maryam, Rubi'ah. Sang istri wafat mendahului dia.[1]
Peranan dan Perjuangan[sunting | sunting sumber]
b. Nasionalisme dan Pengabdian di Masjidil Haram
Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi pulang ke Banten sekitar
tahun 1828 Masehi. Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap
rakyat. Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen
tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah
keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai
pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid [6].
Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu
sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 Masehi), hingga
akhirnya ia kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika
puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di
Mekkah dia segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.[7]
Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Dia mengajar di
halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian
banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-
Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama
tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf. [6]
Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil
Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di
negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan namanya begitu masyhur.[6]
c. Karya-Karyanya
Kepakaran Syekh Nawawi tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar
'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil
al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di
Masjidil Haram) menulis bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga
karyanya mencapai seratus judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula
karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Karya tafsirnya, al-Munir, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih
baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-
Mahalli yang sangat terkenal. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau
komentar terhadap kitab fiqih Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumeir al-
Hadhramy. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur
al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul.
Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain,
Kasyifah al-Saja, dan yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa yaitu
Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan, Nashaih
al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Masuknya Islam di Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya Islam ke
daerah-daerah lain. Keunikannya terlihat kepada proses masuknya Islam ke Indonesia
yang relatif berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia secara damai dibawa
oleh para pedagang dan mubaligh.
Masuknya Islam di Indonesia pada umumnya berjalan secara damai. Akan tetapi,
adakalanya penyebaran harus diwarnai dengan cara-cara penaklukan. Hal itu terjadi jika
situasi politik di kerajaan-karajaan itu mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan.
Secara umum Islam masuk di Indonesia dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Perdagangan
b. Perkawinan
c. Gerakan Dakwah
d. Pendidikan
e. Tasawuf
f. Akulturasi Budaya dan Kesenian
2. Saran
Saya menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saran dan
kritik dari pembaca yang sifatnya membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan di
masa mendatang.