Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN

Disusun Oleh :
Kelas K1

FAKULTAS ILMU HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


SEMARANG 2021
1

A. PENDAHULUAN

Anak dan perempuan merupakan kaum rentan akan kejahatan yang perlu untuk
dilindungi. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia,
anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi
anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat
manusia.
Perlindungan terhadap anak yang bersifat yuridis atau bisa disebut dengan perlindungan
hukum terhadap anak, ada didalam undang-undang dasar 1945 pasar 34 yang
menentukan bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-
anak terlantar. Lebih diperjelas lagi di undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak yang menentukan bahwa kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Mengingat bahwa sebagaimana
disebutkan dalam deklarasi hak-hak anak yaitu, “anak karena ketidakmatangan
fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan danperawatan khusus, termasuk
perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah dilahirkan”. Salah satu prinsip
umum dalam konversi hak anak adalah Tindakan terbaik bagi anak (best interest of the
child). Pasal 3 ayat (1) menyatakan: “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosialpemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, lembaga pemerintahatau badan legislatif, kepentingan yang terbaik
bagi anak harus menjadipertimbangan utama”.
Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran dalam penyelenggaraan proses peradilan
pidana bagi anak yaitu:
1. Bahwa anak yang melakukan tindak pidana (kejahatan) bukandipandang
sebagai penjahat (criminal), tetapi harus dilihat sebagaiorang yang memerlukan
bantuan.
2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya mengutamakanpersuasif-edukatif
dan pendekatan (kejiwaan/psikologi) yaknisejauh mungkin menghindari proses
hukum yang semata-mata bersifat menghukum, bersifat degradasi mental dan
penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi
2

yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan dan kemandirian


secara wajar.1
Anak sebagai pelaku tindak pidana yang berada dalam peradilan pidana anak harus
mendapat perlindungan terhadap hak-haknya, seperti dikemukakan oleh Maidin
Gultom bahwa :
Pada hakekatnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi
dirinya mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan Peradilan
Pidana Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan dari
kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap
dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam
hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).2
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk
melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat
menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada
Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan
perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak.
Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus
kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya
perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara
lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara
lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan
Anak serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan
hukum.
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem
kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global yang

1
Barda Nawawi Arif dala, Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung,2009,hal 46.
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 2.
3

memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia,


lingkungan hidup dan supremasi sipil.Namun pada dasarnya perempuan masih sering
mendapatkan perlakuan diskriminatif. Diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan
berdampak dengan menyusulnya kekerasan yang dialami perempuan dalam berbagai
bidang kehidupan.
Di Indonesia perempuan dinilai sebagai sosok yang rentan menerima kekerasan.
Perempuan dinilai sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya, dalam ruang lingkup
yang kecil saja misalnya dalam kehidupan rumah tangga perempuan hanya dinilai
sebagai kelas kedua yang posisinya dianggap lebih rendah dari laki-laki. Bila ditelusuri
lebih mendalam dalam kehidupan sehari-hari, jumlah angka kekerasan yang ditujukan
kepada perempuan cenderung meningkat dan berdampak pada hal-hal yang sangat
serius seperti kekerasan seksual, tidak perkosaan, perdagangan perempuan serta
kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan
suatu masalah yang sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat bagaikan fenomena
gunung es.3
Kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan berawal dari budaya patriarkhi
dalam pemahaman tentang superioritas laki-laki terhadap perempuan. Ketidakadilan
gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence),beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak (burden). Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender
disebut juga dengan gender-related violence.4 Ditambah dengan munculnya beragam
pemahaman terhadap teks- teks agama yang diyakini sebagai pelegitimasi terhadap
superioritas laki-laki. Diskriminasi juga diyakini sebagai pengaruh dari terjadi
kekerasan terhadap perempuan, perlakuan diskriminasi ini hampir terjadi dalam setiap
bidang kehidupan. Peraturan-peraturan yang dijadikan sebuah hukum dibentuk salah
satunya berupaya untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan, namun hal itu
tidaklah terbukti bahkan hukum dinilai menjadi lembaga yang menyuburkan
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan begitu perempuan yang
dianggap sebagai kelompok lemah harus mendapatkan perlindungan. Artinya bahwa

3
Rika Saraswati, 2006, ” Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga” , PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 16;
4
Nawal El Saadawi, 2001,” Perempuan Dalam Budaya Patriarki”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, h. 1-2
4

harkat dan martabat kaum perempuan harus dihormati dan dilindungi. Serta pemerintah
harus secara tegas dan konsisten memberikan perlindungan kepada kaum perempuan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan?


2. Bagimana perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan sebagai korban
kejahatan menurut hukum pidana di Indonesia?
3. Apa saja hambatan yang di hadapi dalam menanggulangi penegakan hukum terhadap
kekerasan anak dan perempuan?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhu adanya kekerasa terhadap anak dan
perempuan?

C. PEMBAHASAN

1. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan kita dapati pasal-pasal yang
menyangkut tindakan kekerasan terhadap anak dan perempuan, baik itu berupa
kekerasan fisik, kekerasan psikis atau mental maupun kekerasan seksual. Pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tergolong sebagai kekerasan fisik
1) Pasal 296 KUHP, tentang: “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan bul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencarian atau kebiasaan”
2) Pasal 297 KUHP, tentang: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-
laki yang belum dewasa”
3) Pasal 299 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang
wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan”
4) Pasal 301 KUHP, tentang: “memberi atau menyerahkan kepada orang lain
seorang anak yang dibawah kekuasaanya yang sah dan yang umurnya kurang
dari dua belas tahun, padahal diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk
atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya
atau yang dapat merusak kesehatannya.“
5

5) Pasal 330 KUHP, tentang: “Sengaja menarik seorang yang belum cukup
umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya,
atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu dan bilamana hal
tersebut dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap anak yang belum berumur dua dua belas tahun”
6) Pasal 331 KUHP, tentang: “Sengaja menyembunyikan orang belum dewasa
yang ditarik atau menarik diri sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-
undang ditentukan atas dirinya”
7) Pasal 332 KUHP, tentang: “Membawa pergi seorang wanita yang belum
dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan
persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap
wanita itu, baik didalam maupun di luar perkawinan.”
8) Pasal 338 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain”
9) Pasal 340 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain”
10) Pasal 341 KUHP, tentang: “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan
sengaja merampas nyawa anaknya.”
11) Pasal 342 KUHP, tentang: “Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang
ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada
saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya”
12) Pasal 347 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya”
13) Pasal 351 KUHP, tentang: “penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka
berat dan kematian.”
14) Pasal 352 KUHP, tentang: “penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit”
15) Pasal 353 KUHP, tentang: “penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
yang mengakibatkan luka-luka berat dan kematian.”
16) Pasal 354 KUHP, tentang: “sengaja melukai berat orang lain dan
mengakibatkan kematian”
6

17) Pasal 355 KUHP, tentang: “penganiayaan berat yang direncanakan sehingga
mengakibatkan kematian”
b) Tergolong sebagai kekerasan psikia
1) Pasal 301 KUHP, tentang: “memberi atau menyerahkan kepada orang lain
seorang anak yang dibawah kekuasaanya yang sah dan yang umurnya kurang
dari dua belas tahun, padahal diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk
atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya
atau yang dapat merusak kesehatannya.“
2) Pasal 310 KUHP, tentang: “Semgaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal”
3) Pasal 311 KUHP, tentang: “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan
apa yang diketahui”
4) Pasal 335 KUHP, tentang: “ Barang siapa secara melawan hukum memaksa
orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu,
dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain”
5) Pasal 336 KUHP, tentang: “ Barang siapa mengancam dengan kekerasan
terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama,
dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan
orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar
kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan
penganiayaan berat atau dengan pembakaran”
c) Tergolong kekerasan seksual
1) Pasal 281 KUHP, tentang: “Sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan, juga
didepan orang lain yang ada disitu dan bertentangan dengan kehendaknya”
2) Pasal 284 KUHP, tentang: “Seorang pria yang telah kawin yang melakukan
gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya”
7

3) Pasal 285 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan”
4) Pasal 286 KUHP, tentang: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita
di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya”
5) Pasal 287 KUHP, tentang: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita
di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bawa belum waktunya untuk dikawin”
6) Pasal 288 KUHP, tentang: “ Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh
dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya
bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka”
7) Pasal 289 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul”

2. Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan sebagai korban menurut hukum
pidana di Indonesia
Berikut ini undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap
anak dan perempuan sebagai korban kejahatan.
a) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25, yang meliputi
kewajiban dan tanggung jawab:
1) menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status anak,
urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2) memberikan dukungan sarana dan prasaran dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
3) menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kewsejahteraan anak dengan
memeperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang
8

secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi


penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
4) menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal 24).
Dalam Hukum Nasional, perlindungan anak telah memperoleh dasar pijakan
yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
serta UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang mengubah UU No.
23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.
Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan: ”Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, sedangkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang
perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan,
serta memeproleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 59 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
2002 diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga
negara lainnya, untuk memberikan perlindungan khusus kepada:
1) anak dalam situasi darurat;
2) anak yang berhadapan dengan hukum;
3) anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
4) anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5) anak yang diperdagangkan;
6) anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya;
7) anak korban penculikan, penjualan dan pedagangan;
8) anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;
9) anak korban kejahatan seksual;
10) anak korban jaringan terorisme;
11) anak penyndang disabilitas;
12) anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
13) anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
9

14) anak yang menajdi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
orang tuanya.
Sementara itu, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
dilaksanakan melalui:
1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
mental maupun sosial; dan
4) pemberian aksesibilitas utnuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
b) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Memberikan perlindungan kepada
korban
Tindak pidana terorisme terutama anak adalah sangat penting (urgent) karena
pada kenyataannya bahwa memang korban kejahatan, kejahatan apa saja
belumlah memperoleh perlindungan yang memadai. Di dalam Undang-undang
ini, kepada korban kejahatan diberikan hak untuk mendapatkan Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi yang termuat dalam Bab VI Pasal 36 sampai dengan
Pasal 42.
Kompensasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi setiap
warga negara/setiap orang yang tinggal dalam negara tersebut sedangkan restitusi
adalah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku atas akibat yang
ditimbulkan karena kesalahan yang dilakukannya kepada korban atau ahli
warisnya.
Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang dengan UU No. 15 Tahun 2003 menjadi
UU, pengertian kompensasi adalah pengertian yang bersifat materi dan immateril;
tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh
korban; tidak menentukan bentuk kerugian immaterial yang bagaimana yang akan
diberikan.
Tentang Restitusi, harus diajukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau
pihak ketiga paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan
permohonan. Sedangkan rehabilitas adalah pemulihan hak berdasarkan putusan
10

pengadilan pda kedudukan yang semula menyangkut kehormatan, nama baik,


atau hak-hak lain. Dan hal yersebut diatur pada pasal 37.
Dalam Pasal 36 disebutkan bahwa kompensasi yaitu ganti kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi yaitu ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga. Restitusi ini dapat berupa:
1) pengembalian harta milik;
2) pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
3) penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Selain pemberian kompensasi dan restitusi maka bentuk perlindungan yang dapat
diberikan kepada korban adalah memberikan konseling. Konseling adalah
merupakan suatu bentuk bantuan yang sangat cocok diberikan kepada korban
kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan dan juga sebagai akibat
munculnya dampak negative yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana.
Bentuk perlindungan yang lain yang dapat diberikan kepada korban kejahatan
termasuk adalah pelayanan/ bantuan medis, bantuan hukum yang merupakan
suatu bentuk pendampingan terhadap korban baik diminta maupun tidak diminta
oleh korban kemudian pemberian informasi yang harus diberikan kepada korban
atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan yang
dialami oleh korban.
c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap
sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik
menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum.
Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup
dijawab dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai sesuatu
yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam sebuah
keluarga adalah aib bagi keluarga yang bersangkutan. Sehingga penegakan
hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim
11

terhadap kasus KDRT diakibatkan beberapa hal, diantaranya pemahaman


terhadap akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari perspekti hukum, agama
maupun budaya. Untuk itu upaya diseminasi hak asasi perempuan harus
dilakukan secara efektif untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat
KDRT.
Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarkhis, sangat tidak
menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan
korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang
dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, istri korban KDRT oleh suaminya
disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah
akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya. Stigma korban terkait
perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah
seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan perangkat
hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang
sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah publik,
sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang jelas. Lingkup
rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan
anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dan
menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT sendiri seperti
dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk:
1) penghormatan hak asasi manusia;
2) keadilan dan kesetaraan gender;
3) nondiskriminasi; dan
4) perlindungan korban.
Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk:
1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan
sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap
12

perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya


relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini
antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih
sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang
lebih lemah. Kekerasan berbasis gender juga terlihat pada kasus perkosaan yang
lebih sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan daripada sebaliknya.
Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar
permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa
diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan
perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang
dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut. Inilah yang dimaksud dengan
ketimpangan historis dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan 1993.
Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak hanya difokuskan kepada
perempuan sebagai korban, namun juga kepada pelayan laki-laki, supir laki-laki
atau bawahan laki-laki lainnya. Karena dasar dari kekerasan berbasis gender ini
adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah
kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya.
Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan diantaranya:
1) Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang
mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal
ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku
telah melakukan tindak kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar.
2) Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias
gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi
korban kekerasan, ketidak-berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan
substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si
korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib
bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan”.
3) Ketentuan relasi gender dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu
rumah tangga Pasal 31 ayat (3). Pasal ini jelas menempatkan seorang suami
13

sebagai satu-satunya kepala keluarga. Oleh karenanya dialah yang berhak


mengatas namakan kepentingan anggota keluarganya dalam setiap persoalan.
Pasal ini merupakan salah satu Pasal yang mengandung bias gender, karena
menempatkan perempuan (isteri) pada posisi yang lebih rendah, berpadu
dengan mitos yang melekatkan tanggung jawab pengendalian reproduksi pada
perempuan dengan tugas domestiknya, sehingga secara psikologis dan yuridis
seorang suami seakan-akan dibolehkan melakukan kekerasan kepada anggota
keluarganya, terutama kepada isteri dan anak-anaknya.
Kekurangan dari undang-undang ini adalah lingkup pengaturan yang dibatasi
hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan
kekeluargaan atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat
diberlakukan kepada korban yang tidak memenuhi kategori lingkup domestik
tersebut. Karenanya sulit untuk mengatakan bahwa secara umum semua bentuk
kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun kekerasan seksual
(terutama terhadap korban perempuan) sudah mendapat pengaturan di dalam
hukum pidana Indonesia.
Meskipun demikian, dalam pandangan yang progresif, hakim dapat
mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut di dalam UU
PKDRT dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah
satu acuan dalam memutus suatu perkara kekerasan terhadap perempuan.
d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-undang Nomor Tahun 2006 tentang kewarganegaraan ini menggantikan
Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Undang-
undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan sosiologis dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan
Republik Indonesia. Secara filosofis, UU 62/58 masih mengandung ketentuan-
ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena
bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan
antarwarga negara, serta kurang
memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis,
landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS
1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945
14

telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta
adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah
asas non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan
memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada
khususnya.
Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan
campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya
sendiri. Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan
Indonesia atau pindah kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya,
sekalipun hukum negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26
ayat (1) dan (3)). Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958)
mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila
menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti kewarganegaraan
suaminya.
e) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)
Perdagangan orang (trafficking in person) sebenarnya merupakan hal yang sudah
ada sejak lama. Perdagangan orang ini sebenarnya berakar dari budaya
perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat, ketika bangsa
kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang Negro) di Afrika dan
menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang kulit hitam
yang dibeli tersebut, dijadikan budak oleh para pengusaha kulit putih di Amerika.
15

Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan dapat
diperlakukan sekehendaknya. Sebagai budak, tentu mereka tidak mempunyai hak
apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia
tidak memiliki kebebasan hidup sebagaimana mestinya.
Di Indonesia dapat dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika
itu kedudukannya tidak sama dengan orang-orang Belanda. Pembedaan rakyat
dalam golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing ditetapkan di
dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan rakyat dalam
golongan-golongan ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi
manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari peraturan perundang- undangan,
pemerintahan dan peradilan di “Hindia Belanda” dahulu. R. Supomo
mengemukakan pembedaan ini pada pokoknya didasarkan pada jenis kebangsaan.
Karena itu, terjadi “rasdiskriminasi” (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam
perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan “Hindia Belanda”.
Jumlah kasus perdagangan orang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedutaan
Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari
warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang.
Selama Maret 2005 hingga Juli 2006, data International Organization for
Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis
perdagangan orang. Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang,
sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja
seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human
trafficking.
Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)
UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
16

Perdagangan orang adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena


menghilangkan hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap orang, yaitu hak atas
kebebasan. Hal ini tentu saja melanggar berbagai instrumen hukum nasional
maupun internasional. Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah
memiliki beberapa aturan yang melarang perdagangan orang. Pasal 297 KUHP
misalnya, mengatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum
dewasa. Selain itu, Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturan- peraturan tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297
KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun
penjara) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan
orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan khusus tentang tindak
pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan
materiil sekaligus. UU itu harus mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan
orang yang berlindung di balik kebijakan resmi negara. Misalnya penempatan
tenaga kerja di dalam dan LN. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan,
perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang
ini merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan
menghapuskan perdagangan orang (trafficking in person).
f) Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 ini, memberikan petunjuk adanya keseriusan
pemerintah dalam upaya untuk menghilangkan bentuk diskriminasi dalam
seluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua
hal, yaitu:
1) Bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas
perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang
perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses
pembangunan nasional;
2) Bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua
instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah;
17

Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun
di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut
harus diganti.
g) Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2005
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan
adalah mekanisme nasional untuk penegakkan Hak Asasi Manusia perempuan
Indonesia. Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan perempuan
Indonesia dan merupakan jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan
perempuan agar negara bertanggungjawab terhadap kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan selama konflik dan kerusuhan Mei 1998. Presiden Habibie
meresmikan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181
tahun 1998, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005.
Pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan”. Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai
Pasal 2 adalah untuk:
1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia
perempuan di Indonesia;
2) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan.
Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga negara yang bersifat independen.
Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah:
menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
18

1) melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan


perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional
yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;
2) melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak
asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil
3) pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang
mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
4) memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif
dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong
penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan
hak-hak asasi manusia perempuan;
5) mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna meningkatkan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan
hak-hak asasi manusia perempuan.
Mengacu pada mandat Perpres Nomor 65 th. 2005 maupun Rencana Strategis
Komnas Perempuan 2007-2009, kelima subkomisi serta perangkat kelembagaan
lainnya Kesekjenan, Dewan Kelembagaan, Gugus Kerja dan Panitia Ad Hoc)
telah melaksanakan program & kegiatan yang mencakup enam (6) area atau isu
utama, yaitu:
1) Pemantauan & pelaporan HAM perempuan;
2) Penguatan penegak hukum & mekanisme HAM nasional;
3) Negara, agama dan HAM perempuan;
4) Mekanisme HAM internasional;
5) Peningkatan partisipasi masyarakat; dan
6) Kelembagaan
h) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 menganut
pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan,
19

tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi
di antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan
bahwa: ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”29
Dalam Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa: “Perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan saksi
dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.
Berdasarkan pada ketentuan yang disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 2014 ini,
jelas bahwa pembentuk undang-undang sudah bergeser konsep pemikirannya
dengan memikirkan untuk memberikan perlindungan yang maksimal juga kepada
korban bukan hanya untuk pelaku kejahatan saja sebagaimana yang sudah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), demikian halnya
untuk anak yang rentan untuk menjadi korban kejahatan. Hal ini jelas terlihat pada
Pasal 3 yang menyebutkan bahwa : “Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan
pada:
1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2) rasa aman;
3) keadilan;
4) tidak diskriminatif; dan
5) kepastian hukum.
Berlandaskan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2006 yang diubah dengan
UU No. 31 Tahun 2014 ini maka selayaknyalah dan sangatlah penting untuk
memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, karena prinsip-prinsip
dasar perlindungan terhadap korban kejahatan mengacu pada dilanggarnya hak
asasi korban sendiri. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang ini mengatur beberapa hak
yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang ,
atau telah diberikannya;
1) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
2) memberikan keterangan tanpa tekanan;
20

3) mendapat penerjemah;
4) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
5) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
6) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
7) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
8) dirahasiakan identitasnya;
9) mendapat idenstitas baru;
10) mendapat temoat kediaman sementara;
11) mendapatkan tempat kediaman baru;
12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
13) mendapat nasehat hukum;
14) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir dan/atau
15) mendapat pendampingan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa:
Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana
terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana
penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan
berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak
mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Dari bunyi Pasal 6, jelas bahwa UU No. 31 Tahun 2014 yang mengubah UU No.
13 Tahun 2006 ini memberikan perlindungan maksimal dan baik terhadap korban
kejahatan, baik itu korban anak maupun korban orang dewasa. Selain
perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dalam Pasal 7
dan 7A disebutkan bahwa korban tindak pidana berhak untuk mendapatkan
“Pembayaran Kompensasi dan Restitusi”. Bentuk Restitusi yang diberikan
kepada korban tindak pidana dalam Pasal 7A ayat (1) adalah:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung
sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
21

Dalam UU ini pula diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban,
yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini
merupakan lembaga yang mandiri dan berkedudukan di ibu kota Negara Republik
Indonesia.

D. PENUTUP
1) Kesimpulan
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah bentuk kekerasan
secara fisik, bentuk kekerasa secara psikia atau mental maupun bentuk kekerasan
seksual. Bentuk dari kekerasan tersebut berupa: dicubit, didorong, digigit, dicekik,
ditendang, disiram, disuruh lari, mengancam, diomeli, dicaci, diludahi, diusir,
dipaksa melakukan aktivitas yang tidak dikehendakinya, dirayu, dicolek, dipaksa
onani, oral seks, diperkosa dan lain sebagainya. Dengan begitu sangatlah penting
untuk mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan terlebih anak dan
perempuan yang merupakan korban yang sangat rentan, perlindungan ini diatur di
dalam peraturan perundang- undangan yang di dalamnya diatur perihal perlindungan
korban kejahatan secara komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis
maupun medis dan yang terpenting bahwa perlindungan ditujukan pada korban
kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Seperti yang sudah diberikan oleh UU No.
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.2 Tahun
2008 dan UU No.42 Tahun 2008, kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres N0.181 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas
Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.
2) Saran
KUHP dan KUHAP sebagai Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil di
reformasi agar dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada
korban kejahatan terlebih anak dan perempan. seperti halnya yang diberikan oleh
22

peraturan perundang-undangan lainnya, karena korban seperti halnya pelaku perlu


untuk diperhatikan dalam hal memperoleh hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arif dala, Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju,
Bandung,2009.
Emilda Firdaus, Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, Jurnal Konstitusi, Kerjasama MKRI dengan Fakultas Hukum Universitas
Riau, Vol. 1, No. 1, 2008.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Pencucian uang dan Teroris,
Fokus Media, Bandung, 2011.
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Kania, Dede. 2015. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015
Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor
65 Tahun 2005
KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Nawal El Saadawi, 2001,” Perempuan Dalam Budaya Patriarki”, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2001.
Niken Savitri, Kajian Teori hukum Feminis Terhadap Pengaturan Tindak Pidana
Kekerasan terhadap Perempuan dalam KUHP, Disertasi, Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 2008.
Rika Saraswati, 2006, ” Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga” ,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pustaka Mahardika,
Yogyakarta, 2015.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2000.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Sinar Grafika, Jakarta,
2007.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Zaitunah Subhan, Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,
2004.

Anda mungkin juga menyukai