MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN - Makul B Ind
MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN - Makul B Ind
Disusun Oleh :
Kelas K1
A. PENDAHULUAN
Anak dan perempuan merupakan kaum rentan akan kejahatan yang perlu untuk
dilindungi. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia,
anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin
hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi
anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat
manusia.
Perlindungan terhadap anak yang bersifat yuridis atau bisa disebut dengan perlindungan
hukum terhadap anak, ada didalam undang-undang dasar 1945 pasar 34 yang
menentukan bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-
anak terlantar. Lebih diperjelas lagi di undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak yang menentukan bahwa kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Mengingat bahwa sebagaimana
disebutkan dalam deklarasi hak-hak anak yaitu, “anak karena ketidakmatangan
fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan danperawatan khusus, termasuk
perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah dilahirkan”. Salah satu prinsip
umum dalam konversi hak anak adalah Tindakan terbaik bagi anak (best interest of the
child). Pasal 3 ayat (1) menyatakan: “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosialpemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, lembaga pemerintahatau badan legislatif, kepentingan yang terbaik
bagi anak harus menjadipertimbangan utama”.
Ada dua hal yang menjadi dasar pemikiran dalam penyelenggaraan proses peradilan
pidana bagi anak yaitu:
1. Bahwa anak yang melakukan tindak pidana (kejahatan) bukandipandang
sebagai penjahat (criminal), tetapi harus dilihat sebagaiorang yang memerlukan
bantuan.
2. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya mengutamakanpersuasif-edukatif
dan pendekatan (kejiwaan/psikologi) yaknisejauh mungkin menghindari proses
hukum yang semata-mata bersifat menghukum, bersifat degradasi mental dan
penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi
2
1
Barda Nawawi Arif dala, Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung,2009,hal 46.
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 2.
3
3
Rika Saraswati, 2006, ” Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga” , PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 16;
4
Nawal El Saadawi, 2001,” Perempuan Dalam Budaya Patriarki”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, h. 1-2
4
harkat dan martabat kaum perempuan harus dihormati dan dilindungi. Serta pemerintah
harus secara tegas dan konsisten memberikan perlindungan kepada kaum perempuan.
B. RUMUSAN MASALAH
C. PEMBAHASAN
5) Pasal 330 KUHP, tentang: “Sengaja menarik seorang yang belum cukup
umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya,
atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu dan bilamana hal
tersebut dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap anak yang belum berumur dua dua belas tahun”
6) Pasal 331 KUHP, tentang: “Sengaja menyembunyikan orang belum dewasa
yang ditarik atau menarik diri sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-
undang ditentukan atas dirinya”
7) Pasal 332 KUHP, tentang: “Membawa pergi seorang wanita yang belum
dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan
persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap
wanita itu, baik didalam maupun di luar perkawinan.”
8) Pasal 338 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain”
9) Pasal 340 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain”
10) Pasal 341 KUHP, tentang: “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan
sengaja merampas nyawa anaknya.”
11) Pasal 342 KUHP, tentang: “Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang
ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada
saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya”
12) Pasal 347 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya”
13) Pasal 351 KUHP, tentang: “penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka
berat dan kematian.”
14) Pasal 352 KUHP, tentang: “penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit”
15) Pasal 353 KUHP, tentang: “penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
yang mengakibatkan luka-luka berat dan kematian.”
16) Pasal 354 KUHP, tentang: “sengaja melukai berat orang lain dan
mengakibatkan kematian”
6
17) Pasal 355 KUHP, tentang: “penganiayaan berat yang direncanakan sehingga
mengakibatkan kematian”
b) Tergolong sebagai kekerasan psikia
1) Pasal 301 KUHP, tentang: “memberi atau menyerahkan kepada orang lain
seorang anak yang dibawah kekuasaanya yang sah dan yang umurnya kurang
dari dua belas tahun, padahal diketahuinya bahwa anak itu akan dipakai untuk
atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya
atau yang dapat merusak kesehatannya.“
2) Pasal 310 KUHP, tentang: “Semgaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal”
3) Pasal 311 KUHP, tentang: “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan
apa yang diketahui”
4) Pasal 335 KUHP, tentang: “ Barang siapa secara melawan hukum memaksa
orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu,
dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap
orang itu sendiri maupun orang lain”
5) Pasal 336 KUHP, tentang: “ Barang siapa mengancam dengan kekerasan
terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama,
dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan
orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar
kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan
penganiayaan berat atau dengan pembakaran”
c) Tergolong kekerasan seksual
1) Pasal 281 KUHP, tentang: “Sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan, juga
didepan orang lain yang ada disitu dan bertentangan dengan kehendaknya”
2) Pasal 284 KUHP, tentang: “Seorang pria yang telah kawin yang melakukan
gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya”
7
3) Pasal 285 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan”
4) Pasal 286 KUHP, tentang: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita
di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya”
5) Pasal 287 KUHP, tentang: “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita
di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bawa belum waktunya untuk dikawin”
6) Pasal 288 KUHP, tentang: “ Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh
dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya
bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka”
7) Pasal 289 KUHP, tentang: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul”
2. Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan sebagai korban menurut hukum
pidana di Indonesia
Berikut ini undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap
anak dan perempuan sebagai korban kejahatan.
a) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak, ditegaskan dalam Pasal 21 sampai Pasal 25, yang meliputi
kewajiban dan tanggung jawab:
1) menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status anak,
urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2) memberikan dukungan sarana dan prasaran dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
3) menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kewsejahteraan anak dengan
memeperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang
8
14) anak yang menajdi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
orang tuanya.
Sementara itu, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
dilaksanakan melalui:
1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik,
mental maupun sosial; dan
4) pemberian aksesibilitas utnuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
b) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Memberikan perlindungan kepada
korban
Tindak pidana terorisme terutama anak adalah sangat penting (urgent) karena
pada kenyataannya bahwa memang korban kejahatan, kejahatan apa saja
belumlah memperoleh perlindungan yang memadai. Di dalam Undang-undang
ini, kepada korban kejahatan diberikan hak untuk mendapatkan Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi yang termuat dalam Bab VI Pasal 36 sampai dengan
Pasal 42.
Kompensasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi setiap
warga negara/setiap orang yang tinggal dalam negara tersebut sedangkan restitusi
adalah bentuk tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku atas akibat yang
ditimbulkan karena kesalahan yang dilakukannya kepada korban atau ahli
warisnya.
Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 yang dengan UU No. 15 Tahun 2003 menjadi
UU, pengertian kompensasi adalah pengertian yang bersifat materi dan immateril;
tidak dicantumkan tentang berapa besarnya kompensasi yang harus diterima oleh
korban; tidak menentukan bentuk kerugian immaterial yang bagaimana yang akan
diberikan.
Tentang Restitusi, harus diajukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau
pihak ketiga paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan
permohonan. Sedangkan rehabilitas adalah pemulihan hak berdasarkan putusan
10
telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta
adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah
asas non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan
memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada
khususnya.
Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan
campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya
sendiri. Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan
Indonesia atau pindah kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya,
sekalipun hukum negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri
mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26
ayat (1) dan (3)). Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958)
mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila
menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti kewarganegaraan
suaminya.
e) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)
Perdagangan orang (trafficking in person) sebenarnya merupakan hal yang sudah
ada sejak lama. Perdagangan orang ini sebenarnya berakar dari budaya
perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat, ketika bangsa
kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang Negro) di Afrika dan
menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang kulit hitam
yang dibeli tersebut, dijadikan budak oleh para pengusaha kulit putih di Amerika.
15
Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan dapat
diperlakukan sekehendaknya. Sebagai budak, tentu mereka tidak mempunyai hak
apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia
tidak memiliki kebebasan hidup sebagaimana mestinya.
Di Indonesia dapat dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika
itu kedudukannya tidak sama dengan orang-orang Belanda. Pembedaan rakyat
dalam golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing ditetapkan di
dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan rakyat dalam
golongan-golongan ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi
manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari peraturan perundang- undangan,
pemerintahan dan peradilan di “Hindia Belanda” dahulu. R. Supomo
mengemukakan pembedaan ini pada pokoknya didasarkan pada jenis kebangsaan.
Karena itu, terjadi “rasdiskriminasi” (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam
perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan “Hindia Belanda”.
Jumlah kasus perdagangan orang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedutaan
Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari
warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang.
Selama Maret 2005 hingga Juli 2006, data International Organization for
Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis
perdagangan orang. Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang,
sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja
seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan human
trafficking.
Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)
UU PTPPO adalah: “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
16
Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan
program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun
di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut
harus diganti.
g) Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2005
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan
adalah mekanisme nasional untuk penegakkan Hak Asasi Manusia perempuan
Indonesia. Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan perempuan
Indonesia dan merupakan jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan
perempuan agar negara bertanggungjawab terhadap kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan selama konflik dan kerusuhan Mei 1998. Presiden Habibie
meresmikan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181
tahun 1998, yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005.
Pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan”. Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai
Pasal 2 adalah untuk:
1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia
perempuan di Indonesia;
2) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan.
Komnas Perempuan adalah salah satu lembaga negara yang bersifat independen.
Adapun tugas dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 65 Tahun
2005 adalah:
menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
18
tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi
di antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan
bahwa: ”Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”29
Dalam Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa: “Perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada
saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan saksi
dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”.
Berdasarkan pada ketentuan yang disebutkan dalam UU No. 31 Tahun 2014 ini,
jelas bahwa pembentuk undang-undang sudah bergeser konsep pemikirannya
dengan memikirkan untuk memberikan perlindungan yang maksimal juga kepada
korban bukan hanya untuk pelaku kejahatan saja sebagaimana yang sudah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), demikian halnya
untuk anak yang rentan untuk menjadi korban kejahatan. Hal ini jelas terlihat pada
Pasal 3 yang menyebutkan bahwa : “Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan
pada:
1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2) rasa aman;
3) keadilan;
4) tidak diskriminatif; dan
5) kepastian hukum.
Berlandaskan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2006 yang diubah dengan
UU No. 31 Tahun 2014 ini maka selayaknyalah dan sangatlah penting untuk
memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, karena prinsip-prinsip
dasar perlindungan terhadap korban kejahatan mengacu pada dilanggarnya hak
asasi korban sendiri. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang ini mengatur beberapa hak
yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang ,
atau telah diberikannya;
1) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
2) memberikan keterangan tanpa tekanan;
20
3) mendapat penerjemah;
4) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
5) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
6) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
7) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
8) dirahasiakan identitasnya;
9) mendapat idenstitas baru;
10) mendapat temoat kediaman sementara;
11) mendapatkan tempat kediaman baru;
12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
13) mendapat nasehat hukum;
14) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir dan/atau
15) mendapat pendampingan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa:
Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana
terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana
penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan
berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak
mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Dari bunyi Pasal 6, jelas bahwa UU No. 31 Tahun 2014 yang mengubah UU No.
13 Tahun 2006 ini memberikan perlindungan maksimal dan baik terhadap korban
kejahatan, baik itu korban anak maupun korban orang dewasa. Selain
perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6, dalam Pasal 7
dan 7A disebutkan bahwa korban tindak pidana berhak untuk mendapatkan
“Pembayaran Kompensasi dan Restitusi”. Bentuk Restitusi yang diberikan
kepada korban tindak pidana dalam Pasal 7A ayat (1) adalah:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung
sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
21
Dalam UU ini pula diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban,
yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini
merupakan lembaga yang mandiri dan berkedudukan di ibu kota Negara Republik
Indonesia.
D. PENUTUP
1) Kesimpulan
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah bentuk kekerasan
secara fisik, bentuk kekerasa secara psikia atau mental maupun bentuk kekerasan
seksual. Bentuk dari kekerasan tersebut berupa: dicubit, didorong, digigit, dicekik,
ditendang, disiram, disuruh lari, mengancam, diomeli, dicaci, diludahi, diusir,
dipaksa melakukan aktivitas yang tidak dikehendakinya, dirayu, dicolek, dipaksa
onani, oral seks, diperkosa dan lain sebagainya. Dengan begitu sangatlah penting
untuk mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan terlebih anak dan
perempuan yang merupakan korban yang sangat rentan, perlindungan ini diatur di
dalam peraturan perundang- undangan yang di dalamnya diatur perihal perlindungan
korban kejahatan secara komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis
maupun medis dan yang terpenting bahwa perlindungan ditujukan pada korban
kejahatan terhadap semua jenis kejahatan. Seperti yang sudah diberikan oleh UU No.
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.2 Tahun
2008 dan UU No.42 Tahun 2008, kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres N0.181 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas
Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.
2) Saran
KUHP dan KUHAP sebagai Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil di
reformasi agar dapat memberikan perlindungan hukum yang maksimal kepada
korban kejahatan terlebih anak dan perempan. seperti halnya yang diberikan oleh
22
Barda Nawawi Arif dala, Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju,
Bandung,2009.
Emilda Firdaus, Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, Jurnal Konstitusi, Kerjasama MKRI dengan Fakultas Hukum Universitas
Riau, Vol. 1, No. 1, 2008.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Pencucian uang dan Teroris,
Fokus Media, Bandung, 2011.
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008.
Kania, Dede. 2015. Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015
Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor
65 Tahun 2005
KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Nawal El Saadawi, 2001,” Perempuan Dalam Budaya Patriarki”, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2001.
Niken Savitri, Kajian Teori hukum Feminis Terhadap Pengaturan Tindak Pidana
Kekerasan terhadap Perempuan dalam KUHP, Disertasi, Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 2008.
Rika Saraswati, 2006, ” Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga” ,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pustaka Mahardika,
Yogyakarta, 2015.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2000.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Sinar Grafika, Jakarta,
2007.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Zaitunah Subhan, Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,
2004.