Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah Negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu Negara
termasuk wilayah ijtihad umat islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan Al-Qur’an
sebagai system yang konkrit agar dapat diterjemahkan dalam permerintahan sepanjang
jaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep Negara yang ditekankan
bukanlah struktur “Negara Islam”, melaikan substruktur dan tujuannya. Islam adalah agama
yg universal, agama yang membawa misi rahmatan lil a’lamin. Islam juga memberikan
konsep kepada umat manusia mengenai persoalan dengan urusan duniawi seperti pemikiran
politik di kalangan umat islam, khususnya dalam system pergantian kepala Negara.
Munculnya pemikiran ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang
teologi dan hukum.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka dapat dirumuskan
beberapa masalah, antara lain :
 Bagaimana Politik dalam islam ?
 Bagaimana konsep Negara dalam Islam ?
 Pentingnya pemimpin dalam sebuah Negara ?
 Syarat, hak dan kewajiban seorang pemimpin ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari Makalah ini adalah


 Mengetahui apa itu politik dalam islam.
 Mengetahui konsep Negara dalam islam.
 Mengetahui arti pemimpin dalam sebuiah Negara.
 Mengetahui syarat, hak serta kewajiban seorang pemimpin.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Politik dalam Islam

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat


yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan
pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar
sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-
kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.
Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah
Allah mengatur semesta alam, yang diperuntukan kepada manusia. Islam itu secara substantif
bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah
Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili dan
melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya." Untuk lebih memahaminya, perlu kita
ingat kembali bahwa Allahmemberikan manusia dua amanah :
1. Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.
2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk mengendalikan
kehidupan (di atas bumi). Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, ..." (QS.
An Nur: 55)

Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki agar
ummat menjalankan kepemimpinan politik. Salah satu tujuan Islam adalah bagaimana agar
bisa menerapkan kehidupan secara Islami dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka
bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu tindakan untuk merubah situasi saat yang masih jauh
dari harapan ini agar mencapai tujuan di atas.
Kemudian Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah sasayasusu-siyasah .
Yang berarti (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya) dan secara bahasa adalah cara
pemerintahan Islam mengurus urusan rakyatnya, serta urusan negara, umat dan rakyatnya
terkait dengan negara, umat dan bangsa lain. Urusan tersebut meliputi seluruh aspek
kehidupan: politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dll, yang mana pada masa
Rasulullah SAW makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan
gembalaannya. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan
pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam
realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi
urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya.
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin
dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan
kejahatan musuh kafir dari mereka.
Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi
urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai
rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan)
seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda : "Siapa
saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah,
dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka
ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

2.2 Konsep Negara Dalam Islam

Bagaikan suatu perjalanan sentimental, membicarakan Islam dan politik di Indonesia


melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Daerah ini penuh dengan ranjau
kepekaan dan kerawanan, sehingga pekerjaan harus dilakukan dengan kehati-hatian
sekucupnya. Tapi berhati-hati tidaklah berarti membiarkan diri terhambat dan kehilangan
tenaga untuk melangkah, sebab jelas pembicaraan harus dilakukan juga, mengingat berbagai
alasan dan keperluan. Karena itu, untuk memulai kajian ini, kita bisa mengungkapkan hal-hal
yang terjadi pada masa Orde Baru. Apakah yang didapati dalam Orde Baru? Ada beberapa
hal yang mungkin diingkari mengenai Orde Baru, yaitu stabilitas sosial politik dan
pembangunan ekonomi.
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada ditangan Orde Baru.
Tumbangnya Orde Lama yang umat Islam ikut berperan besar didalam menumbangkannya,
memberikan harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun kekecewaan muncul di
masa tersebut. Umat Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya, komunis, telah tumbang
kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam
berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga
tidak diizinkan aktif dalam partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada
tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari presiden disampaikan kepada
DPRGR: RUU kepartaian, RUU pemilu dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD. Yang
kedua dan ketiga ditetapkan 22 November 1969. sedang yang pertama terhenti. Pada 9 Maret
1970, fraksi-fraksi parpol di DPR dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, parpol difusikan ke
dalam PPP dan PDI (5 Februari 1973). Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan.
Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, pancasila untuk
semua parpol, Golkar, dan organisasi lainnya, tidak ada asas cirri, tidak ada idiologi Islam,
dan oleh karena itu tidak ada partai Islam. Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran
Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi
sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran itu
akan terus berlangsung mungkin dengan pendekatan yang berbeda.
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide Negara Islam
secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-partai Islam, kecuali diawal
pergerakan nasional, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu
mengalami kekalahan. Malah dengan pembaharuan politik bangsa sekarang ini, partai-partai
(berideologi) Islam pun lenyap.
Dengan pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur
aspirasi politik Islam hilang. Terdapat kekhwatiran di kalangan sebagian mereka terhadap
ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul
dari perasaan keagamaan mereka. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan
politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar.
Amal usaha organisasi-organisasi keagamaan Islam pun dirasakan sia-sia. Untuk
merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut, beberapa
kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-
forum yang berkenaan dengan aspirasi politik Islam. Dengan menyelenggarakan
kebijaksanaan dan forum-forum tersebut dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik
bangsa itu, umat Islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri dari ikatan
primodialismenya, pindah dari dunianya yang sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak
pemikir Islam yang beranggapan, dengan ditariknya Islam dari level politik, perjuangan
kultural dalam pengertian luas menjadi sangat relevan, bahkan mungkin dianggap justru lebih
efektif.
Setelah berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala keberaniannya telah
melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada, mereka menerima Pancasila dan
berharap dapat mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain
yang selama ini memandang curiga terhadap “Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan
tokoh-tokoh Islam lainnya.

1.3 Pentingnya Pemimpin dalam Islam.

Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Salah satu elemen penting dalam kehidupan seorang manusia adalah memimpin. Bila kita
mampu memimpin diri kita ke arah Syakhsiah (kepribadian) Islam yang cemerlang maka
akan menjadi kemuliaan bagi diri kita. Di samping itu, kita mesti memimpin diri orang lain
agar kehidupan kita bersama manusia lain di dunia ini dapat diseimbangkan ke arah generasi
Al-Quran. Hadis di atas jelas menunjukan bahwa setiap diri kita adalah pemimpin. Namun
demikian, tidak semua orang mampu mampu menjadi pemimpin bagi orang lain dengan baik
mengikuti landasan Islam yang sebenarnya. Dunia akan kacau jika semua manusia ingin
menjadi pemimpin dan enggan menjadi orang yang dipimpin, ataupun sebaliknya semua
orang ingin menjadi yang dipimpin dan tidak seorangpun yang mau menjadi pemimpin. Oleh
karena itu, Allah SWT dengan sifat bijaksananya dalam masalah kepemimpinan telah
menjadikan manusia dalam 3 kategori sesuai dengan kepribadian manusia tersebut, yaitu ada
segolongan manusia yang dijadikan menjadi seorang pemimpin, golongan lain sebagai yang
orang-orang yang dipimpin, serta orang-orang yang digolongkan sebagai pengadu-domba
yaitu mereka yang enggan menjadi pemimpin dan enggan dipimpin.
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai
pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah,
ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk
menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya
selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin
pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan
ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang
pertama setelah Rasulullah saw. wafat.

1.4 Syarat, Hak dan Kewajiban seorang pemimpin.

Pemimpin dalam islam adalah hal yang fundamental dan sangat riskan untuk
disalah gunakan, jadi dalam perspektif penulis syarat-syarat untuk menjadi seorang
pemimpin antara lain :

1. Menggunakan Hukum Allah


Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan
hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat : "Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya". (Qs : 4:59).
Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi,
tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum
Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :"Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)".
(Qs: 7 :3)
Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil
pemimpin sebagaimana ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim". (Qs : 5 : 51)
Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah
mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh
aspek kepemimpinannya.

2. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu..

"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang
memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya"
(HR Muslim). "Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan
dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat
dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang
menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas
dirinya". (HR Muslim).
Kecuali, jika tidak ada lagi kandidat dan tugas kepemimpinan akan jatuh pada
orang yang tidak amanah dan akan lebih banyak membawa modhorot daripada
manfaat, hal ini sebagaimana ayat : "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (mesir),
karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan".
(Qs : Yusuf :55) Dengan catatan bahwa amanah kepemimpinan dilakukan dengan ;
1. Ikhlas.
2. Amanah.
3. Memiliki keunggulan dari para kompetitor lainnya.
4. Menyebabkan terjadinya bencana jika dibiarkan jabatan itu diserahkan kepada
orang lain.
3. Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya."
(Qs : 28: 26).
4. Profesional
"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian
jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)
a) Seorang pemimpin harus bisa melihat potensi seseorang.
Setiap manusia tentunya diberikan kelebihan dan
kekurangan.Kesalahan terbesar bagi seorang pemimpin adalah ketika
dirinya tidak bisa melihat potensi seseorang dan menempatkannya pada
tempat yang semestinya. Begitu pentingnya perhatian bagi seorang
pemimpin terhadap hal ini, maka Rasulullah saw bersabda sebagaiman
hadits pada poin 5 di atas.
Ketidakmampuan pemimpin dalam hal ini hanya akan membuat
jama'ah atau organisasi yang di pimpinnya menjadi tidak efektif dan
efisien, bahkan tidak sedikit kesalahan pemimpin dalam hal ini
menimbulkan kekacauan yang membawa kepada kehancuran.

b) Bisa mengasah potensi seseorang.


Selain ia bisa melihat potensi pada diri seseorang, seorang
pemimpin dengan caranya yang paling baik, ia bisa mengasah potensi
mereka yang berada dalam kepemimpinannya. Mengasah potensi
seseorang berbeda dengan "memaksa" seseorang untuk menjadi seseorang
yang tidak di inginkannya.

c) Menempatkan seseorang sesuai dengan potensi yang ia miliki.


"Right man in the right place", adalah ungkapan yang seringkali
kita dengar. Bahwa menempatkan seseorang itu harus berada pada tempat
yang paling tepat bagi orang tersebut serta penugasannya.

Hak-hak pemimpin erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak untuk di
taati dan di bantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk mentaati dan membantu. Selain itu
Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak pemimpin dalam melaksanakan tugas Negara:

1. Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy). Hal ini terang adanya. Sebab imam telah
melakukan pekerjaan demi kemaslahatan umum, sehingga tak ada waktu lagi baginya
memikirkan kepentingan pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran
sekarang, meskipun lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah
Abu Bakar ra, atas desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan
khalifahnya.
2. Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri’). Seorang imam juga berhak mengeluarkan
peraturan yang mengikat warganya, sepanjang peraturan itu tidak terdapat dalam Al-
Qu’an dan mengikuti Al-Sunnah. Dalam mengeluarkan peraturan-peraturan imam
mestilah mengetahui kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash.
Yang terpenting di antaranya ialah musyawarah (Al-Syura) yakni bahwa dalam
mengeluarkan suatu peraturan, imam tidak boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus
mempertimbangkan fikiran dari para ahli dalam masalah yang bersangkutan. Selain itu
peraturan tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan nash syara’ atau dengan ruh-
tasyri’ dalam al-qur’an dan sunnah.

kewajiban pemimipin adalah:

1. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa yang telah di sepakati
oleh ulama salaf.
2. Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan menyelesaikan
perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang
berusaha mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan
terhadap jiwanya atau hartanya.
4. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan
memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5. Menjaga wilayah batasan dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani
menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang mengadakan
perjanjian damai dengan muslim (mu’ahid).
6. Memerangi orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah dengan baik tapi
mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula menjadi kafir dzimmi.
7. Memungut Pajak dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ke tentuan syara’ atas dasar nash
atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
8. Manatapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak
menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta membayarkanya pada waktunya.

Adapun poin penting penting di ketahui oleh Ulil Amri harus menjaga dan
melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan Hak Asasi Manusia, seperti hak milik, hak
hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan
yang layak melalui kash al-halal, hak beragama, dan lain-lainnya.

Di dunia islam sekarang ini, kriteria kepala Negara (presiden) juga sangat beragam.
Di Pakistan, misalnya, seseorang dapat dipilih menjadi presiden dengan syarat: muslim dan
berusia sekurang-kurangnya 45 tahun (pasal 41 ayat 2 konsitusi Pakistan). Di Iran, kualifikasi
seorang presiden mencakup : Iranian origin, Iranian nationality, a good pastrecord,
trustworthy and piety, and conviced belief in the fundamental principles of Islamic Republic
of Iran, and the official madzab of the country (Article 115, the constitution of the Islamic
Rebublic of Iran).

Di Mauritinia, presiden pun harus seorang muslim (pasal 23 Konsitusi Republik


Mauritinia 1991). Sandi Arabia, Pakistan, Brunei Darussalam, libya, Irak (konsitusi 1990),
Mauritinia, dan Malaysia menyebut Islam sebagai agama resmi Negara (Islam is the religion
of the state), sedangkan Indonesia mengatakan dalam pasal 29 UUD 1945 (yang tidak
diamandemen). Pada ayat 1, pasal tersebut “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha
Esa”,dan pada pasal 2,”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tap penduduk untuk memeluk
agamanya dan kepercayaan itu”.
BAB III

PENUTUP

Mengakhiri pembahasan singkat dalam makalah ini, suatu kesimpulan ialah bahwa
umat Islam sepanjang ajaran agamanya, tidaklah menghendaki sesuatu kecuali kebaikan
bersama, sebagaimana dicontohkah oleh Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabt beliau. Ukuran
kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan kepentingan golongan sendiri saja, sebab
akhirnya agama Islam disebut sebagai rahmat Allah bagi seluruh alam, umat manusia.
Ukuran kebaikan itu ialah kebaikan umum sejagad, dan meliputi pula sesama makhluk hidup
lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran universal Islam menyediakan bagi
kaum Muslimin pandangan etika asasi untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam
tindakan hidup, termasuk dalam bidang sosial politik.
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia
termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân
sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang
zaman.
Sebuah negara bisa berdiri apabila ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemimpin bagi
rakyat tersebut. Hubungan antara rakyat dan pemimpin terwujud dalam aturan-aturan.
Khilafah Islam (Negara Islam), meskipun bersifat universal (‘alamiyyat), tidaklah harus
berwilayahkan seluruh penjuru bumi, untuk bisa disebut sebagai sebuah negara (Islam). Kita
sebagai penghuni Negara umat islam,mari kita berprilaku yang diajarkan khalifah kita(Nabi
Muhammad SAW)agar Negara umat Islam ini benar-benar sebagai Negara yang menjunjung
tinggi Agama Islam sebagai Landasan dan Ideologinya.

Anda mungkin juga menyukai