Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

DOKTER INTERNSHIP

Kasus Konfirmasi COVID-19 dan Hipertensi

Disusun Oleh :
dr. Mercinna Fransisca

Dokter Pendamping :
dr. Erizal Kaban
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
karena berkat limpahan dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus dengan judul "Kasus Konfirmasi COVID-19 dan Hipertensi ".
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas internship di Rumah
Sakit Umum Deli Serdang. Terimakasih banyak penulis ucapkan kepada dr. Erizal
Kaban selaku pendamping selama di Rumah Sakit Deli Serdang .
Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam proses penyusunan laporan kasus ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang
dapat membangun penulis, sangat penulis harapkan dari para pembaca. Mudah-
mudahan makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Pakam, 15 September 2021


Penulis

dr. Mercinna Fransisca

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................1

DAFTAR ISI.................................................................................................2

BAB I LAPORAN KASUS..........................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................13


2.1. Corona virus disease 2019 (COVID-19).............................13
2.1.1. Definisi.....................................................................13
2.1.2. Etiologi dan pathogenesis.........................................13
2.1.3. Transmisi..................................................................14
2.1.4. Faktor resiko.............................................................14
2.1.5. Manifestasi klinis......................................................15
2.1.6. Diagnosis..................................................................15
2.1.7. Definisi kasus............................................................17
2.1.8. Derajat.......................................................................19
2.1.9. Tatalaksana...............................................................20
2.1.10. Kriteria isolasi, sembuh, pemulangan.....................29

2.2. Hipertensi.............................................................................31
2.2.1. Definisi dan klasifikasi.............................................31
2.2.2. Tatalaksana...............................................................32
2.2.3. Hipertensi dan COVID-19........................................37

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................40

2
BAB I
LAPORAN KASUS

Nama Peserta : dr. Mercinna Fransica

Nama Wahana : RSUD Deli Serdang

Topik : kasus konfirmasi COVID-19 dengan hipertensi

Tanggal (kasus) : 7 Agustus 2021


Usia : 40 tahun
Nama Pasien : Ny. D (perempuan)

Tanggal Presentasi : Nama Pendamping :


dr. Erizal Kaban

Tempat Presentasi : RSUD Deli Serdang

Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi :
Pasien datang ke IGD RSUD Deli Serdang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari
ini, demam naik turun dijumpai 3 hari ini, turun dengan obat penurun panas, batuk
dijumpai 3 hari ini, mual dijumpai, muntah tidak ada, hilang penciuman sejak
semalam, Pasien juga mengeluh badan terasa pegal dan lemas selama 3 hari terakhir.
BAB dan BAK normal, Pasien tinggal serumah dengan anaknya yang juga
terkonfirmasi COVID-19 atas nama ayu dijumpai dan perjalanan keluar kota tidak
ada. Dalam kesehariannya pasien mengaku kurang menerapkan protokol kesehatan
yaitu sering mencuci tangan, memakai masker setiap saat, dan menjaga jarak.
Riwayat hipertensi dijumpai 2 tahun yang lalu namun pasien tidak rutin minum obat.
Riwayat DM, asma, dan penyakit jantung lainnya disangkal oleh pasien. Pasien
diswab di RSUD Deli Serdang tanggal 07 Agustus 2021 dan hasilnya positif.

3
RPT : hipertensi
RPO : Amlodipine, Tremenza (Pseudoephedrine HCL Triprolidine HCL), Bisolvon
(Bromhexine HCL), Paracetamol.

Tujuan :
 Menegakkan diagnosis
 Manajemen penatalaksanaan

Bahan bahasan Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data pasien Nama : Ny. D Usia : 40 tahun

Nama RS : Telp : - Terdaftar sejak :


RSUD Deli Serdang 7 Agustus 2021

Data utama untuk bahan diskusi

1. Diagnosis / Gambaran Klinis


Pasien datang ke IGD RSUD Deli Serdang dengan keluhan sesak nafas sejak 1
hari ini, demam naik turun dijumpai 3 hari ini, turun dengan obat penurun
panas, batuk dijumpai 3 hari ini, mual dijumpai, muntah tidak ada, hilang
penciuman sejak semalam, Pasien juga mengeluh badan terasa pegal dan lemas
selama 3 hari terakhir. BAB dan BAK normal, Pasien tinggal serumah dengan
anaknya yang juga terkonfirmasi COVID-19 atas nama ayu dijumpai dan
perjalanan keluar kota tidak ada. Dalam kesehariannya pasien mengaku kurang
menerapkan protokol kesehatan yaitu sering mencuci tangan, memakai masker
setiap saat, dan menjaga jarak. Riwayat hipertensi dijumpai 2 tahun yang lalu
namun pasien tidak rutin minum obat. Riwayat DM, asma, dan penyakit jantung
lainnya disangkal oleh pasien. Pasien diswab di RSUD Deli Serdang tanggal 07
Agustus 2021 dan hasilnya positif.

RPT : hipertensi
RPO : Amlodipine, Tremenza (Pseudoephedrine HCL Triprolidine HCL),
Bisolvon (Bromhexine HCL), Paracetamol.

4
2. Riwayat Penyakit Dahulu
 Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu

3. Riwayat Keluarga
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama dijumpai pada anak pasien
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat hipertensi dijumpai pada ayah pasien

4. Riwayat Pekerjaan dan Pendidikan


Pasien bekerja sebagai pegawai swasta dengan pendidikan terakhir pasien adalah
S1.

5. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital :
TD : 165/103mmHg
Nadi : 103 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 37,5 oC
SpO2 : 94 % room
air Berat Badan : 66 kg
Tinggi Badan : 165 cm

5
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-),
edema palpebra (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (3mm/3mm)
Telinga : liang telinga : sekret (-)
Hidung : deviasi septum (-)
Mulut : sianosis (-), uvula medial, faring hiperemis (-),
tonsil T1/T1

Leher : deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-),


pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, barrel chest (-), dsypnea (+)
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea parasternal sinistra, nyeri
tekan (-), krepitasi (-), SF kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua paru
Auskultasi : Jantung: S1 S2 tunggal regular, cepat, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi : simetris, distensi (-), vena kolateral (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh abdomen
Palpasi : massa (-), hepar / lien tidak teraba

Ekstremitas : atas : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-),


deformitas (-/-)
bawah : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-),
deformitas (-/-)

6
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hasil pemeriksaan darah rutin :
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 12,85 gr/dl 11,7-15,5
WBC 6,79 103/mm3 3,6-11,0
RBC 4,02 106/mm3 3,80-5,20
HCT 36,5 % 35,0-47,0
PLT 226.2 103/mm3 150-500
MCV 90.8 µm3 80-100
MCH 31,5 pg 27,0-32,0
MCHC 34,7 gr/dl 32,0-36,0
RDW 13,5 % 11,0-16,0
Lym 21,61 % 10-40
Mon 8,6 % 2-8
Neu 68,03 % 50-70
Eos 1,3 % 2-4
Bas 0,47 % 0-1
LED 3 mm/jam 0-15

b. Radiologi

Kesan : Pneumonia dd/viral pneumonia, kardiomegali

7
c. EKG

Kesan : sinus ritme

7. Diagnosis
COVID-19 terkonfirmasi derajat ringan-sedang dengan Hipertensi stg 2

8. Tatalaksana
 Bedrest,
 Diet MB,
 3way,
 inj, ceftriaxon 1gram per 12 jam,
 inj. ranitidin 1 ampl per 12jam,
 azytromicin 1x500mg,
 Nacetylsistein 3x200mg,
 isoprinosin 3x1,
 favipiravir 2x1600mg (H-1) lanjut 2x600mg H-2 sampai H-5,
 zegavit 2x1,
 pct 3x1

8
9. Follow-up
Tanggal Follow up Terapi/Rencana
7 Agustus S : Pilek (+) • Bedrest,
2021 O : K/U : stabil • Diet MB,
TD : 165/103mmHg • 3way,
HR : 103 x/menit • inj, ceftriaxon 1gram per
12 jam,
RR : 24 x/menit
T : 37,5 oC • inj. ranitidin 1 ampl per
12jam,
SpO2 : 94 % room air
• azytromicin 1x500mg,
Rapid test positif 7
• Nacetylsistein 3x200mg,
Agustus 2021
• isoprinosin 3x1,
A : COVID-19 terkonfirmasi
• favipiravir 2x1600mg (H-
derajat ringan-sedang
1) lanjut 2x600mg H-2
dengan Hipertensi stg 2 sampai H-5,
• zegavit 2x1,
• pct 3x1

R/ pantau TD dan SpO2


8 Agustus S : Pilek (+) • Bedrest,
2021 • Diet MB,
O : K/U : stabil • 3way,
TD : 143/87 mmHg • inj, ceftriaxon 1gram per
HR : 92 x/menit 12 jam,
RR : 22 x/menit • inj. ranitidin 1 ampl per
T : 36,7 oC 12jam,
SpO2 : 96 % room air • azytromicin 1x500mg,
PCR positif 8 Agustus • Nacetylsistein 3x200mg,
2021 • isoprinosin 3x1,
A : COVID-19 terkonfirmasi • favipiravir 2x1600mg (H-
derajat ringan-sedang 1) lanjut 2x600mg H-2
dengan Hipertensi stg 2 sampai H-5,
• zegavit 2x1,
• pct 3x1

R/ pantau TD dan SpO2


9 Agustus S : Pilek (+) berkurang, • Bedrest,
2021 Diare (+) berkurang, • Diet MB,
sulit tidur (+) • 3way,
O : K/U : stabil • inj, ceftriaxon 1gram per
12 jam,
TD : 146/98 mmHg
• inj. ranitidin 1 ampl per
HR : 100 x/menit
12jam,
RR : 22 x/menit
• azytromicin 1x500mg,
T : 36,5 oC
9
SpO2 : 96 % room air • Nacetylsistein 3x200mg,
PCR positif 8 Agustus • isoprinosin 3x1,
2021 • favipiravir 2x1600mg (H-
1) lanjut 2x600mg H-2
sampai H-5,
• zegavit 2x1,
• pct 3x1

10
A : COVID-19 terkonfirmasi
derajat ringan-sedang R/ Edukasi sleep hygiene
dengan Hipertensi stg 2
pantau TD dan SpO2

10 Agustus S : Pilek (+) berkurang, • Bedrest,


2021 Diare (-), Sulit tidur (+) • Diet MB,
O : K/U : stabil • 3way,
TD : 145/94 mmHg • inj, ceftriaxon 1gram per
HR : 97 x/menit 12 jam,
RR : 22 x/menit • inj. ranitidin 1 ampl per
12jam,
T : 36,5 oC
• azytromicin 1x500mg,
SpO2 : 97 % room air
• Nacetylsistein 3x200mg,
PCR positif 8 Agustus
• isoprinosin 3x1,
2021
• favipiravir 2x1600mg (H-
A : COVID-19 terkonfirmasi
1) lanjut 2x600mg H-2
derajat ringan-sedang sampai H-5,
dengan Hipertensi stg 2 • zegavit 2x1,
• pct 3x1


R/ pantau TD dan SpO2
11 Agustus S : Pilek (-), Diare (-), • Bedrest,
2021 kualitas tidur membaik • Diet MB,
s/d O : K/U : stabil • 3way,
13 Agustus TD : 130/84 mmHg • inj, ceftriaxon 1gram per
2021 12 jam,
HR : 88 x/menit
RR : 22 x/menit • inj. ranitidin 1 ampl per
12jam,
T : 36,5 oC
• azytromicin 1x500mg,
SpO2 : 98 % room air
• Nacetylsistein 3x200mg,
PCR positif 8 Agustus
• isoprinosin 3x1,
2021
• favipiravir 2x1600mg (H-
A : COVID-19 terkonfirmasi
1) lanjut 2x600mg H-2
derajat ringan-sedang sampai H-5,
dengan Hipertensi stg 1 • zegavit 2x1,
• pct 3x1
 R/ Swab follow up tanggal
14 Agustus 2021
14 Agustus S : Pilek (-), Diare (-),  Bedrest,
2021 kualitas tidur membaik  Diet MB,
O : K/U : stabil  meiact 2x400 mg,

11
TD : 126/82 mmHg  Nacetylsistein 3x200mg,
HR : 85 x/menit  isoprinosin 3x1,
RR : 22 x/menit  zegavit 2x1
T : 36,5 oC
SpO2 : 98 % room air
PCR positif 8 Agustus
2021
A : COVID-19 Hasil swab PCR Tgl
terkonfirmasi derajat
14/9/2021 negatif
ringan-sedang dengan
Hipertensi stg 2
R/ PBJ

Hasil Pembelajaran :
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Faktor resiko
d. Etiologi
e. Patofisiologi
f. Penegakan diagnosis
g. Penatalaksanaan
h. Komplikasi
i. Diagnosis banding
j. Plan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
2.1. Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
2.1.1. Definisi
Corona virus disease 2019 (COVID-19) adalah sebuah nama baru yang
diberikan oleh Wolrd Health Organization (WHO) bagi pasien dengan infeksi
virus novel corona 2019 yang pertama kali dilaporkan dari kota Wuhan, Cina pada
akhir 2019. Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm.
Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar
dan unta. Pada kasus COVID-19, trenggiling diduga sebagai reservoir perantara.

2.1.2. Etiologi dan patogenesis


Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga
tidak jauh berbeda dengan SARSCoV yang sudah lebih banyak diketahui. Pada
manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang
melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan
membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope
spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-
CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan
mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru
yang muncul di permukaan sel.
Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan
dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya
SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan
plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein S2’ berperan penting dalam
proses pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran.
Selain fusi membran, terdapat juga clathrin dependent dan clathrin-independent
endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu. Faktor
virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV.
Efek sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun
menentukan keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam

13
kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat
menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun
yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

2.1.3. Transmisi
Penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-
CoV- 2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk
atau bersin. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol
(dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam.

2.1.4. Faktor Resiko


Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan
diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor
risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada
laki- laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada
perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi
reseptor ACE2.
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi
SARS- CoV-2. Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang
berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel
dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami
penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat
mengalami luaran yang lebih buruk. Pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit
sistem respirasi juga akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah
dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam
satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap
sebagai risiko rendah. Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang berisiko
tinggi tertular.

14
2.1.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai
dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat,
ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien
dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan
demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pada beberapa kasus pasien juga
mengeluhkan diare dan muntah.
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk
kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif,
sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil,
mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti
konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu
puncak antara 38,1-39°C

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau
riwayat kontak erat dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang
merawat pasien infeksi COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan
dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid.
Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada
pneumonia dilakukan foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed tomography
scan (CT scan) toraks dengan kontras. Gambaran foto toraks pneumonia yang
disebabkan oleh infeksi COVID-19 mulai dari normal hingga ground glass
opacity, konsolidasi. CT scan toraks dapat dilakukan untuk melihat lebih detail
kelainan, seperti gambaran ground glass opacity, konsolidasi, efusi pleura dan
gambaran pneumonia lainnya.
Diagnosis pasti atau kasus terkonfirmasi ditentukan berdasarkan hasil
pemeriksaan ekstraksi RNA virus severe acute respiratory syndrome coronavirus
2 (SARS-CoV-2) menggunakan reverse transcription polymerase chain reaction
(RT- PCR) untuk mengekstraksi 2 gen SARS-CoV-2. Contoh uji yang dapat
digunakan

15
adalah dari sampel berupa swab tenggorok. Swab nasofaring baik untuk evaluasi
influenza tetapi untuk virus corona lain swab nasofaring yang diambil
menggunakan swab dari dacron atau rayon bukan kapas.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan RT-PCR :


 Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila
pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari
kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan
pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua).
 Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan sebanyak tiga kali
selama perawatan.
 Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan
pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan
pada pasien yang berat dan kritis.
 Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah
sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif.
 Bila diperlukan, pemeriksaan PCR tambahan dapat dilakukan dengan
disesuaikan kondisi kasus sesuai pertimbangan DPJP dan kapasitas di fasilitas
kesehatan masing-masing.
 Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam
selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif,
kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan oleh
terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif.
Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau
tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR
karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan reagen dan alat yang
digunakan.

16
2.1.7. Definisi kasus
Definisi operasional kasus COVID-19 yaitu kasus suspek, kasus probable,
kasus konfirmasi, dan kontak erat.

1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis dan salah satu kriteria
epidemiologis:

Kriteria Klinis:
 Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam dan batuk; atau
 Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam,
batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/
pilek / hidung tersumbat, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah, diare,
penurunan kesadaran

Kriteria Epidemiologis:
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan; atau
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal; atau
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas
yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; atau
b. Seseorang dengan ISPA Berat,
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria
epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARSCoV-2 positif

17
2. Kasus Probable
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut
a. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis, dan memiliki riwayat kontak erat
dengan kasus probable; atau terkonfirmasi; atau berkaitan dengan cluster
COVID-19
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra
penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak
ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan dan memiliki
riwayat kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi, atau berkaitan
dengan cluster COVID-19

3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 dengan kriteria
sebagai berikut:
a. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
b. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif dan memenuhi
kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek (kriteria A atau B)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-
2 positif dan memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable atau
terkonfirmasi.

Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:


a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)

4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

18
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian
risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat

2.1.8. Derajat COVID-19


Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,
sedang, berat dan kritis.

1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.

2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia.
Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit
kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan
(ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan.
Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium,
dan tidak ada demam.

3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk,
sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 > 93%
dengan udara ruangan, atau anak-anak dengan tanda klinis pneumonia tidak berat
(batuk atau sulit bernapas dengan napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan
tidak ada tanda pneumonia berat. Kriteria napas cepat yaitu usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5
tahun, ≥30x/menit.

19
4. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk,
sesak, napas cepat) ditambah satu dari berikut; frekuensi napas > 30 x/menit,
distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.

Pada pasien anak dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas),
ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2<93% ;
 distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting,
tarikan dinding dada yang sangat berat);
 tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia
2– 11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun,
≥30x/menit.

5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
sepsis.

2.1.9. Tatalaksana
1. TANPA GEJALA
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen
diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan pemerintah.
 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP)
 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
b. Non-farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke
rumah):

20
Pasien :
 Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi
dengan anggota keluarga
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering
mungkin.
 Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
 Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
 Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)
 Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
 Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum
jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore).
 Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik /
wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya
sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
 Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
 Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika
terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC

Lingkungan/kamar:
 Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
 Membuka jendela kamar secara berkala
 Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar
(setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering
mungkin.
 Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan
lainnya

Keluarga:
 Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya
memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.

21
 Anggota keluarga senanitasa pakai masker
 Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
 Senantiasa mencuci tangan
 Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
 Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
 Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien misalnya
gagang pintu dll
c. Farmakologi
 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis
Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; Tablet Vitamin C non acidic
500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari), Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam
oral (selama 30 hari), Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2
tablet /24 jam (selama 30 hari) dan dianjurkan multivitamin yang
mengandung vitamin C,B, E, Zink.
 Vitamin D Suplemen 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak,
serbuk, sirup), Obat 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000
IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern
Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan
untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan
kondisi klinis pasien.
 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.

22
2. DERAJAT RINGAN
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak
muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga
gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan
mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
 Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa
gejala).
c. Farmakologis
 Vitamin C
 Vitamin D
 Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
 Antivirus : Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari
(terutama bila diduga ada infeksi influenza) atau Favipiravir (Avigan
sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
 Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern
Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan
untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan
kondisi klinis pasien.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

3. DERAJAT SEDANG
a. Isolasi dan Pemantauan
 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19

23
 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi
cairan, oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi
hati dan foto toraks secara berkala.
c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Diberikan terapi farmakologis berikut:
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
 Salah satu antivirus berikut : Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading
dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-
5) atau Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV
drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
 Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. DERAJAT BERAT ATAU KRITIS


a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
 Pengambilan swab PCR follow up
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi
(terapi cairan), dan oksigen Pemantauan laboratorium Darah Perifer
Lengkap

24
berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP,
fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
 Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
o Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
o Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
o PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
o Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
o Limfopenia progresif,
o Peningkatan CRP progresif,
o Asidosis laktat progresif.
 Monitor keadaan kritis
o Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal
multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
o Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan
ventilator mekanik
o 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu
sebagai berikut
 Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive
mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau
efusi paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV.
 Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema
paru.
 Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone
position).
 Terapi oksigen
o Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas
dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi
sesuai target SpO2 92 – 96%.

25
o Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High
Flow Nasal Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam
atau terjadi perburukan klinis.
o Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40%
sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target
SpO2 92-96%. Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator
(PAPR, N95). Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti
peningkatan fraksi oksigen, jika :
 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
 Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu
nafas aktif)
 Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali
sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan
akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
 Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan
indeks ROX.
 Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi
aman (indeks ROX >4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan
bahwa pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara
ROX
<3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi.
 Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan
terapi oksigen dengan HFNC tidak tercapai atau terjadi
perburukan klinis pada pasien, pertimbangkan untuk
menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.
 De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC,
dimulai dengan menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga
mencapai fraksi 30%, selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1-2
jam) hingga mencapai 25 L.
 Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional
ketika flow 25 L/menit dan FiO2 < 30%.

26
Gambar 2.1. Alur penentuan alat bantu nafas mekanik.

c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
 Vitamin D
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
 Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah
harus

27
dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus)
patut dipertimbangkan.
 Antivirus : Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) atau
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari
ke 2-5 atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
 Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang
mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
 Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana
syok yang sudah ada
 Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
 Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi
klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan kesehatan masing-
masing apabila terapi standar tidak memberikan respons perbaikan.
Pemberian dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim
COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6 (tocilizumab), plasma
konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca, terapi
plasma exchange (TPE) dan lain-lain.

28
Gambar 2.2. Algoritma penanganan pasien COVID-19.

2.1.10. Kriteria selesai isolasi, sembuh, dan


pemulangan Kriteria Selesai Isolasi:
Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
Pasien konfirmasi asimtomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-
PCR. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi mandiri
selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
b. Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang
Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak dilakukan
pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi harus dihitung 10
hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
c. Pada kasus konfimasi gejala sedang dengan komorbid dan/atau yang
kemungkinan berpotensi terjadi perburukan dapat dilakukan evaluasi ulang
dengan RT-PCR.

29
d. Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit
 Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit
dinyatakan selesai isolasi apabila telah mendapatkan hasil pemeriksaan
follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah minimal 3 hari tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
 Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR tidak dapat dilakukan, maka
pasien kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit yang sudah menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset dengan
ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan, dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialihrawat
non isolasi atau dipulangkan.

Kriteria Sembuh:
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala
berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria selesai isolasi dan
dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan, berdasarkan penilaian dokter di
fasyankes tempat dilakukan pemantauan atau oleh DPJP.
Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan memiliki hasil
pemeriksaan follow up RT-PCR persisten positif, karena pemeriksaan RT-PCR
masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus COVID-19 walaupun virus sudah
tidak aktif lagi (tidak menularkan lagi). Terhadap pasien tersebut, maka penentuan
sembuh berdasarkan hasil assessmen yang dilakukan oleh DPJP.

Kriteria pemulangan:
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi
kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
 Hasil kajian klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran radiologis
menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan perbaikan, yang
dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
 Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait sakit
COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.

30
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan Kembali pasien dalam
rangka masa pemulihan. Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang
sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam rangka
pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala COVID-19, dan secara
konsisten menerapkan protokol kesehatan.

Gambar 2.3. Alur penatalaksanaan berdasarkan beratnya kasus.

2.2. HIPERTENSI
2.2.1. Definisi dan klasifikasi
Seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali pengukuran pada
kunjungan yang berbeda, dengan 2 – 3 kali pengukuran (selang waktu 1-2 menit)
dalam 1 kunjungan.
Klasifikasi berdasarkan derajat keparahan hipertensi menurut European
Society of Cardiology (ESC) / European Society of Hypertension (ESH) dapat
dilihat pada gambar 2.4.

31
Gambar 2.4. Klasifikasi hipertensi ESC/ESH.

2.2.2. Tatalaksana
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Alur tatalaksana hipertensi berdasarkan klasifikasinya dapat dilihat pada gambar
2.5.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk
menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
 Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
 Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
 Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55
– 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
 Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
 Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
 Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

32
Gambar 2.5. Alur tatalaksana hipertensi.

1. Modifikasi gaya hidup


Pendekatan nonfarmakologis merupakan awal sebelum penambahan obat-
obatan antihipertensi, sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan
nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian
penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting
diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status
merokok harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi
yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok. Olahraga aerobik teratur
bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan
risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur dengan intensitas dan durasi
ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan dengan latihan
intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan untuk
berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobik dinamik berintensitas sedang
(seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi
garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi

33
hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2
gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur).
Sebaiknya menghindari makanan dengan kandungan tinggi garam. Pasien
hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang mengandung
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak,
gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta
membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh. Penurunan berat badan
dan menjaga berat badan ideal juga membantu mengurangi risiko hipertensi.

2. Terapi farmakologi
a. Penghambat renin-angiotensin system (angiotensin converting enzyme
inhibitors dan angiotensin receptor blockers)
Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai
diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri
merupakan pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua guidelines
yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada
pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian
kardiovaskular.
Pada pasien hipertensi usia lanjut ( > 65 tahun ), pemberian ACEi juga
direkomendasikan , khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar yaitu
ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi
pria berusia lanjut, ACEi memperbaiki hasil akhir kardiovaskular bila
dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki
penurunan tekanan darah yang sama.
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap
ACEi. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki
efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian
kardiovaskular yang tinggi.

b. Calcium channel blockers


Calcium channel blockers (CCB) secara luas digunakan untuk pengobatan
hipertensi dan memiliki efektivitas yang sama seperti kelas obat utama lainnya.

34
CCB juga telah dibandingkan dengan agen antihipertensi lainnya dalam uji coba
berbasis HMOD, dan dilaporkan lebih efektif daripada beta-blocker dalam
memperlambat perkembangan aterosklerosis karotis, dan dalam mengurangi LVH
dan proteinuria.
CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB juga
akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner.

c. Thiazide
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti
yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu. Diuretik juga tampaknya
lebih efektif daripada kelas obat lain dalam mencegah gagal jantung.

d. Beta-blockers
Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi
pada pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan
timbulnya gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina,
karena efek utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negative.
Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian
diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga menghambat
pelepasan renin di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung.
Betablocker cardioselective (β1) lebih banyak direkomendasikan karena tidak
memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsic.
Dalam pemilihan obat antihipertensi perlu diperhatikan kontraindikasi dari
masing-masing obat antihipertensi. Kontraindikasi dari masing-masing obat
antihipertensi dapat dilihat pada gambar 2.6.

35
Gambar 2.6. Kontraindikasi obat antihipertensi spesifik.

Target tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan oleh berbagai


studi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, adalah
tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg.
Namun berdasarkan European Society of Cardiology (ESC) / European Society of
Hypertension (ESH), target tekanan darah berbeda-beda tergantung usia dan
penyakit jantung penyerta lainnya. Target tekanan darah menurut ESC/ESH dapat
dilihat pada gambar 2.7.

36
Gambar 2.7. Target penurunan tekanan darah.

2.2.3. Hipertensi dan COVID-19


Hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering ditemui pada
pasien COVID-19. Hipertensi juga banyak terdapat pada pasien COVID-19 yang
mengalami ARDS. Saat ini belum diketahui pasti apakah hipertensi tidak
terkontrol merupakan faktor risiko untuk terjangkit COVID-19, akan tetapi
pengontrolan tekanan darah tetap dianggap penting untuk mengurangi beban
penyakit.
SARS-CoV-2, virus yang mengakibatkan COVID-19, berikatan dengan
ACE2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan penghambat
angiotensin converting enzym (ACE inhibitor) dan angiotensin receptor blockers
(ARB), 2 golongan obat yang sering digunakan dalam mengontrol hipertensi,
dipertanyakan akan memberikan manfaat atau merugikan, karena ACE inhibitor
dan ARB meningkatkan ACE2 sehingga secara teoritis akan meningkatkan ikatan
SARS-Cov-2 ke paru-paru. Akan tetapi, ACE2 menunjukkan efek proteksi dari
kerusakan paru pada studi eksperimental. ACE2 membentuk angiotensin 1-7 dari
angiotensin II, sehingga mengurangi efek inflamasi dari angiotensin II dan
meningkatkan potensi efek antiinflamasi dari angiotensin 1-7. ACE inhibitor dan
ARB, dengan mengurangi pembentukan ngiotensin II dan meningkatkan

37
angiotensin 1-7, mungkin dapat berkontribusi dalam mengurangi inflamasi secara
sistemik terutama di paru, jantung, ginjal dan dapat menghilangkan kemungkinan
perburukan menjadi ARDS, miokarditis, atau cedera ginjal akut (acute kidney
injury).
Faktanya ARB telah disarankan dalam pengobatan COVID-19 dan
komplikasinya. Peningkatan ACE2 terlarut dalam sirkulasi mungkin dapat
mengikat SARS-CoV-2, mengurangi kerusakan pada paru atau organ yang
memiliki ACE2. Penggunaan ACE2 rekombinan mungkin menjadi pendekatan
terapeutik untuk mengurangi viral load dengan mengikat SARS-CoV-2 di
sirkulasi dan mengurangi potensi ikatan ke ACE2 di jaringan. Penggunaan obat-
obatan ini harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darah dan tidak dihentikan,
dengan dasar dari bukti yang ada saat ini. Beberapa tinjauan sistematik dan meta
analisis melaporkan pemberian ACE inhibitor dan ARB tidak meningkatkan
progresivitas penyakit Covid-19, sehingga ACE inhibitor dan ARB tetap dapat
digunakan sebagai terapi antihipertensi pada populasi pasien COVID-19.
European Society of Cardiology (ESC) juga tetap merekomendasikan
pemberian ACE inhibitor dan ARB sebagai upaya mengendalikan hipertensi pada
pasien COVID-19 dikarenakan efek negatif kedua obat ini tidak memiliki basis
kaidah ilmiah. Penggunaan ACE inhibitor atau ARB tidak berhubungan dengan
peningkatan risiko COVID 19 dan didapatkan penurunan derajat keparahan
COVID 19 dengan ACE inhibitor atau ARB pada populasi umum dan kelompok
pasien dengan hipertensi. Risiko kematian karena semua sebab (all-cause death)
mengalami penurunan dengan terapi ACE inhibitor atau ARB pada populasi
umum dan populasi pasien dengan hipertensi.
Direkomendasikan pemberiaan RAAS inhibitor tetap dilanjutkan. Ada
kemungkinan bahwa hubungan yang dilaporkan antara hipertensi dan risiko
komplikasi berat atau kematian akibat infeksi COVID-19 dapat dikacaukan oleh
kurangnya penyesuaian usia. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
hipertensi merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi berat atau
kematian akibat infeksi COVID-19. Meskipun banyak spekulasi, saat ini tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan sebelumnya dengan ACEI atau ARB

38
meningkatkan risiko infeksi COVID-19, atau risiko munculnya komplikasi berat
dari infeksi COVID-19.
Pengobatan hipertensi harus mengikuti rekomendasi yang ada dalam
pedoman dari ESC (European Society of Cardiology) dan ESH (European Society
of Hypertension). Tidak ada perubahan untuk rekomendasi pengobatan ini yang
diperlukan selama pandemi COVID-19. Pasien yang diisolasi sendiri dengan
kondisi hipertensi dan sedang dirawat tidak perlu mengunjungi rumah sakit untuk
kunjungan pemeriksaan rutin selama pandemic ini. Pasien dapat menggunakan
pemantauan tekanan darah di rumah secara berkala, dengan konferensi video, atau
konsultasi telepon hanya jika diperlukan. Pasien dengan hipertensi mungkin
mengalami risiko yang meningkat terhadap aritmia jantung akibat dari penyakit
jantung yang mendasarinya, atau akibat dari seringnya pasien mengalami
hipokalemia pada kondisi infeksi COVID-19 berat.
Terapi antihipertensi mungkin perlu dihentikan sementara pada pasien
infeksi akut di rumah sakit yang mengalami hipotensi atau cedera ginjal akut
sekunder akibat infeksi COVID-19 yang berat. Pada pasien yang sebelumnya
dirawat karena hipertensi yang memerlukan ventilasi invasif, obat antihipertensi
parenteral hanya diindikasikan untuk mereka yang mengalami hipertensi berat
persisten.

Gambar 2.8. Manajemen hipertensi pada pasien COVID-19.

39
DAFTAR PUSTAKA

Cai H. Sex difference and smoking predisposition in patients with COVID-


19. Lancet Respir Med. 2020; published online March 11. DOI: 10.1016/S2213-
2600(20)30117-X

de Wit E, van Doremalen N, Falzarano D, Munster VJ. SARS and MERS:


recent insights into emerging coronaviruses. Nat Rev Microbiol. 2016;14(8):523-
34

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit–Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pencegahan dan pengendalian
coronavirus disease (COVID-19) Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; Maret 2020.

Erlina B, Fathiyah I, Agus Dwi Susanto dkk. Pneumonia COVID-19.


Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Jakarta, 2020.

European Society of Cardiology. Position Statement of the ESC Council on


Hypertension on ACE Inhibitors and Angiotensin Receptor Blockers [Internet].
2020 [updated 2020 March 13; cited 2020 March 22]. Available from:
https://www.escardio.org/Councils/Council-on-Hypertension-
(CHT)/News/positionstatement-of-the-esc-council-on-hypertension-on-ace-
inhibitorsand-ang.

Handayani D, Hadi DR, Isbaniah F, Burhan E, Agustin H 2020, ‘Penyakit


virus corona 2019’, J Respir Indo, Vol. 40, No. 2, hh. 119-129

Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and


diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal. 2020; published online March 5. DOI:
10.1016/j.jpha.2020.03.001

Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redón J, Zanchetti A, Böhm M, et al.


2018 ESC/ESH guidelines for the management of arterial hypertension. European
Heart Journal (2018) 00, 1–98. doi:10.1093/eurheartj/ehy339

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Panduan


Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular pada Pandemi COVID-19.
Jakarta: Centra Communication; 2020;

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman


Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Centra
Communication; 2015;

40
Schiffrin EL, Flack J, Ito S, Muntner P, Webb C. Hypertension and COVID-
19. American Journal of Hypertension. 2020.

Susanto, A., Burhan, E., Nasution, Sa., Ginanjar, E., & Wicaksono, C. (2020).
Pedoman Tatalaksana Covid-19 Edisi 3. Diterbitkan Bersama
PDPI,PERKI,PAPDI,PERDATIN,IDAI.

Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,


Herikurniawan, dkk. Coronavirus disease 2019: Review of current literatures.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2020;7(1):45–67.

World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory


infection (SARI) when COVID-19 disease is suspected.Interim Guidance, 13
March 2020.

Zhang H, Penninger JM, Li Y, Zhong N, Slutsky AS. Angiotensin-converting


enzyme 2 (ACE2) as a SARS-CoV-2 receptor: Molecular mechanism and
potential therapeutic target. Intensive Care Med 2020;46:586-590.

41
42
43
44

Anda mungkin juga menyukai