Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ISSUE ETIK, MORAL DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Oleh:

•frada selvia

•syaidatul faizah

• reksa agus Marni

Dosen pengampu: Edi haskar SH, MH.

PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-NYA
kepada semua makhluk-NYA. Tidak lupa pula sholawat serta salam penulis haturkan kepada
junjungan kita semua yakni nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari
zaman yang buta akan pengetahuan menuju zaman yang penuh dengan segala macam dan bentuk
penetahuan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen Pengajar yang telah membimbing
dalam menyelesaikan makalah ini dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga penyusunan makalah ini dapat selesai pada waktunya. Semoga
Allah SWT memberikan balasan yang setimpal. Amin.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Penulis berharap, makalah ini bisa memberi dampak yang positif, dan memberikan pelajaran
yang bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Bukittinggi, 17 Oktober 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pemahaman mengenai etika dan kode etik kebidanan sangat penting diketahui
oleh para bidan maupun calon bidan. Hal ini sangat penting disadari karena masyarakat
semakin kritis dalam memandang kualitas pelayanan kebidanan, termasuk pula
ketidakpuasan dalam pelayanan. Perkembangan teknologi informasi juga memunculkan
situasi yang membutuhkan respon etik. Oleh karena itu pemahaman mengenai etika dan
kode etik dibutuhkan agar dapat membentuk sikap dan prilaku professional bidan dalam
melakukan profesi kebidanan. Demikian juga dalam berkarya di tempat pelayanan
kebidanan, baik kepada individu, keluarga dan masyarakat.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang berpengaruh


terhadap meningkatnya kritis masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan terutama
pelayanan kebidanan. Menjadi tantangan bagi Profesi bidan untuk mengembangkan
kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan praktk kebidanan serta dalam
memberikan pelayanan berkualitas.

Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan isu utama diberbagai tempat,


dimana sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi pelayanan kebidanan
terhadap etika. Pelayanan kebidanan adalah proses dari berbagai dimensi. Hal tersebut
membutuhkan bidan yang mampu menyatu dengan ibu dan keluarganya. Bidan sebagai
pemberi pelayanan harus menjamin pelayanan yang professional dan akuntabilitas serta
aspek legal dalam pelayanan kebidanan. Sebagai praktisi pelayanan bidan harus menjaga
perkembangan praktik berdasarkan evidence based. Sehingga disini berbagai dimensi etik
dan bagaimana pendekatan tentang etika merupakan hal yang penting untuk digali dan
dipahami.

Dalam praktik kebidanan seringkali bidan dihadapkan pada beberapa permasalan


yang dilematis, artinya pengambilan keputusan yang sulit berkaitan dengan etik.
Kesalahan dalam mengambil keputusan bisa menyebabkan malpraktik.
Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada
pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau
para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut
berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi
yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak
memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan
berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang
menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis
bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek
medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam
praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis
bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan
penyakit kandungan.

Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga


berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang
dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan
tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek
yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit
jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum
perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional
juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan
tenaga kesehatan tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
B. TUJUAN

Menjadi seorang bidan yang professional dibutuhkan pengetahuan dan


pemahaman yang mendalam terhadap kode etik dalam pelayanan kebidanan, untuk itu
tujuan dari pada pembuatan makalah ini tidak lain adalah sebagai metode pembelajaran
bagi penulis dalam menambah dan mengasah pengetahuan, serta mengenalkan dan
menjabarkan apa maksud dari kode etik dalam pelayanan kebidanan serta memberikan
contoh issue yang terjadi dalam memberikan pelayanan.

BAB II

TEORI DAN PANDANGAN AL-QUR’AN

ISSUE ETIK, MORAL DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN


KEBIDANAN

A. PENGERTIAN
Issue adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu
lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian.
Issue adalah topic yang menarik untuk didiskusikan dan sesuatu yang
memungkinkan setiap orang mempunyai pendapat. Pendapat yang timbul akan bervariasi,
isu muncul dikarenakan adanya perbedaan nilai–nilai dan kepercayaan.
Etik adalah kumpulan azaz atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai benar
dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Etik merupakan bagian dari
filosofi yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan,
apakah benar atau salah dan apakah penyelesaiannya baik atau buruk (Jones, 1994).
K.Bertens (2002) merumuskan arti etika. Kata etika dapat digunakan dalam arti
nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa dirumuskan sebagai system nilai. System ini
dapat berfungsi dalam hidup manusia baik secara individu maupun social. Etika berarti
kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud disini adalah kode etik. Etika mempunyai
arti ilmu tentang apa yang baik dan buruk.
Menurut Shirley R. Jones (2000), “Ethics is the application of the processs and
theories of moral philosophy to a real situation. It is concerned with the basic principles
and concepts that guide human being in thought and action, and which underlie their
values.”
Etika merupakan penerapan teori dan proses filsafat moral dalam kehidupan
nyata, etika mencakup prinsip, konsep dasar, dan nilai-nilai yang membimbing makhluk
hidup dalam berfikir dan bertindak. Menurut Shirley R. Jones (2000) etika terbagi dalam
3 bagian :
1. Meta-Ethics (Ethics). Merupakan bentuk filsafat moral yang paling
abstrak, mencakup pemikiran moral manusia mengenai suatu kejadian.
Dalam tahap ini, manusia memandang etika hanya sebatas analisis pemiki
ran (konsep, bahasa), untuk menentukan suatu kejadian dianggap “baik”,
“buruk” atau lainnya.
2. Ethical/ Moral Theory, dalam tahap ini, manusia mencoba
memformulasikan mekanisme untuk menyelesaikan masalah etika. Setiap
manusia akan mengalami masalah etika sepanjang kehidupannya dalam
bentuk yang berbeda-beda, sehingga dibutuhkan mekanisme atau formula
pengambilan keputusan yang cepat dan tepat untuk menghadapi
konsekuensi dari keputusan tersebut. Pendekatan tersebut biasa disebut
dengan etika normative.
3. Practical Ethics, dalam tahap ini, manusia berupaya mengaplikasikan
bentuk etika dalam mewujudkan sikap atau prilaku untuk menghadapi
masalah etika yang dihadapi sehari-hari. Wujud practical ethics ini bisa
berupa etika bisnis.

Dalam suatu masyarakat yang terdiri atas individu yang memiliki karakteristik
beragam, sebuah kejadian akan dipandang dengan pendapat yang berbeda pula, sesuai
dengan nilai dan keyakinan mereka masing-masing.

Moral merupakan pengetahuan atau keyakinan tentang adanya hal yang baik atau
burukserta mempengaruhi sikap seseorang. Kesadaran tentang adanya baik dan buruk
berkembang pada diri seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan, pendidikan, social
budaya, agama dan lain-lain, hal inilah yang disebut kesadaran moral atau kesadaran etik.
Moral juga merupakan keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak baik atau buruk
walaupun situasi berbeda.
Issue moral adalah merupakan topic yang penting berhubungan dengan benar dan
salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi
kehamilan dan lain-lain. Issue moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa
dalam kehidupan sehari-hari, seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang dan lain-
lain.
Menurut Oxford Dictionary of English (2002), “ issue is an important topic for
discussion”. Ukuran yang penting adalah bahwa masalah tersebut merupakan topic yang
cukup penting sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap masalah
tersebut. Isu moral mencakup hal-hal penting mengenai “baik” dan “buruk” dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi juga bisa berupa kejadian/ peristiwa luar biasa seperti
terjadiperang atau konflik bersenjata. Opini tersebut akan beragam berdasarkan pada nilai
dan kepercayaan yang mereka miliki, dan keberagaman inilah yang menimbulkan dilema.
Contoh isu moral dalam bidang kesehatan diantaranya masalah aborsi, bayi tabung, sewa
rahim, bank sperma, cloning dan terbaru saat ini adalah masalah ATM kondom yang
menjadi polemic berkepanjangan dalam masyarakat.

Konflik moral menurut Johnson adalah bahwa konflik atau dilema pada dasarnya
sama, kenyataannya konflik berda diantara prinsip moral dan tugas yang mana sering
menyebabkan dilema, ada dua tipe konflik, yang pertama konflik yang berhubungan
dengan prinsip, dan yang kedua adalah konflik yang berhubungan dengan otonomi. Dua
tipe konflik inin adalah merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan.

Terkadang kita menganggap bahwa dilemma dan konflik moral adalah hal yang
sama, padahal keduanya berbeda. Konflik moral terjadi karena adanya perbedaan antara
prinsip moral antar individu. Konflik moral menyebabkan dilemma moral. Menurut
Johnson (1990), terdapat dua tipe konflik moral, yaitu :
1. Konflik dalam prinsip yang sama. Contoh, bila seorang bidan berprinsip
untuk menjunjung tinggi autonomi, autonomi siapa yang ia perjuangkan?
Autonomi bidan atau autonomi kliennya? Keduanya memiliki kedudukan
dan kepentingan yang sama, sehingga sering kali menimbulkan konflik
bagi bidan.
2. Konflik dalam prinsip yang berbeda. Contoh, dalam kasus ibu yang
menolak episiotomy, bidan memiliki konflik antara kewajiban untuk
menghargai hak hidup janin sekaligus menghargai autonomi dan
keinginan ibu.

Banyak kasus yang timbul dalam masyarakat dapat menimbulkan permasalahan


bagi tenaga medis. Permasalah itu mengakibatkan dilemma dalam tindakan profesi,
karena apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan yang tidak disetujui oleh pasien
ataupun diluar wewenangnya, hal ini akan dapat mempengaruhi moral dirinya sebagai
tenaga medis. Ini terbukti dengan banyaknya kasus yang dibawa ke meja hijau akibat
dilemma moral yang mengakibatkan tindakan melanggar hukum.

Dilema moral menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada
dua alternative pilihan, yang kelihatannya sama atau hamper sama dan membutuhkan
pemecahan masalah. Ketika mencari solusi atau pemecahan masalah harus mengingat
akan tanggung jawab professional, yaitu :
1. Tindakan selalu ditujukan untuk peningkatan kenyamanan, kesejahteraan,
pasien atau klien.
2. Menjamin bahwa tidak ada tindakan yang menghilangkan sesuatu bagian
(omission), disertai rasa tanggung jawab memperhatikan kondisi dan
keamanan pasien atau klien.

Menurut Beauchamp dan Childresss (1994) ada dua bentuk dilemma moral, yaitu:

1. Bila alternative tindakan sama kuat. Terdapat alasan yang sama kuat untuk
melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan (contoh, kasus ibu
yang menolak episiotomy). Pada kasus tersebut, jika bidan mengikuti
keinginan ibu, berarti bidan sudah menghormati autonomi ibu. Akan
tetapi, jika bidan tetap melakukan episiotomy, berarti bidan telah
menyelamatkan bayi. Kedua alas an yang ada sama kaut.
2. Bila alternative tindakan tidak sama kuat. Satu tindakan diangap “benar”
sedangkan tindakan lainnya dianggap “salah” (contoh, seorang remaja
yang hamil karena pergaulan bebas ingin menggugurkan kandungannya).
Pada kasus tersebut, jika bidan mengikuti keinginan remaja tersebut, maka
bidan dianggap malpraktik karena melakukan aborsi tanpa indikasi medis
yang jelas.

Proses pengambilan keputusan merupakan bagian dasar dan integral dalam


praktik suatu profesi dan keberadaannya sangat penting karena akan menentukan
tindakan selanjutnya. Dalam bidang kesehatan, khususnya pelayanan kebidanan,
pengambilan keputusan harus dilakukan melalui pemikiran mendalam, karena objek yang
akan dipengaruhi oleh keputusan tersebut adalah manusia, tidak hanya klien atau pasien
dan keluarganya, tetapi juga tenaga kesehatan (bidan, dokter, perawat, dan lain-lain),
serta system pelayanan kesehatan itu sendiri.
Beaucamp dan Childress (1989) menjelaskan empat tingkatan kerangka kerja
pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi dilemma etik.
Keempat pendekatan tersebut menggunakan pendekatan etik yang sebelumnya disebut
etik normative.

Tingkatan 1. Keputusan dan tindakan. Ketika bidan dihadapkan pada dilemma


etik, mereka membuat keputusan dan bertindak atas keputusan tersebut berdasarkan
intuisi, dan umumnya bidan merefleksikan pada pengalamannya atau pengalaman rekan
kerja.

Tingkatan 2. Peraturan. Peraturan yang didefinisikan berdasarkan kerangka kerja


adalah kaidah kejujuran (berkata benar), privasi, kerahasiaan dan kesetiaan (menepati
janji). Bidan sangat familier dengan aturan tersebut karena mereka menyatu dengan kode
etik profesi, dan panduan praktik profesi yang membantu interpretasi kode etik tersebut.

Tingkatan 3. Prinsip. Terdapat empat prinsip etik yang umumnya digunakan


dalam perawatan kesehatan dan praktik kebidanan khususnya, antara lain :

a. Autonomy, memerhatikan penguasaan diri, hak kebebasan, dan pilihan


individu.
b. Beneficence, memerhatikan peningkatan kesejahteraan klien, selain itu
berbuat yang terbaik untuk orang lain.
c. Non- maleficence, tidak melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan
ataupun kerugian pada orang lain dan yang terpenting, jangan menimbulkan
kerugian.
d. Justice, memerhatikan keadilan,pemerataan beban dan keuntungan.
(Beaucamo dan Childress, 1989 dan Richard, 1997).

Tingkatan 4. Teori etik.

a. Teori Utilitarian (teori teleology). Teori ini menitikberatkan pada konsekuensi


tindakan dan memaksimalkan kebahagiaan (Thompson dan Melia, 1998).
Contoh aplikasi teori utilitarian dapat dibuktikan dalam banyak aspek dalam
praktik kebidanan, seperti tes skrinning antenatal.
b. Toeri Deontologi. Deontologi berasal dari kata “deon”, yang berarti
kewajiban. Teori deontology disusun oleh Immanuel Kant (ahli metafisika)
pada abad ke- 18. Kant memformulasikan teori itu sebagai istilah lain dari hal-
hal benar yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Teori Kant merefleksikan bahwa bertindak yang dilandasi moral berhubungan
dengan penghormatan terhadap tugas. Menurut teori ini, aturan-aturan moral
diaplikasikan pada setiap orang. Contohnya, seseorang tidak boleh berbohong
pada kondisi apa pun (Henry, 1996). Kant mempercayai bahwa rasionalisasi
yang meningkatkan hal ini ia sebut sebagai hokum moral tertinggi (Gillon,
1992). Selain itu, tindakan dapat dikatakan bermoral hanya jika diterima oleh
setiapm orang sebagai hokum yang universal. Kant mempercayai bahwa
manusia adalah makhluk hidup yang memiliki autonomi dan moral rasional
serta harus dihormati (Edwards, 1996).

Pengambilan keputusan menurut George R.Terry adalah pemilihan alternative


prilaku tertentu dari dua atau lebih dari alternative yang ada. Terdapat lima hal pokok
dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Intuisi, berdasarkan perasaan, subjektif dan mudah terpengaruh.


2. Pengalaman, mewarnai pengetahuan praktis, seringnya terpapar suatu
kasus meningkatkan kemampuan mengambil keputusan terhadap suatu
kasus.
3. Fakta, keputusan lebih riil, valid dan baik.
4. Wewenang, lebih bersifat rutinitas.
5. Rasional, keputusan bersifat objektif, transparan, konsisten.

Factor-factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan :

1. Posisi atau kedudukan.


2. Masalah: terstruktur, tidak terstruktur, rutin, insidentil.
3. Situasi : factor konstan, factor tidak konstan.
4. Kondisi, factor-factor yang menentukan daya gerak.
5. Tujuan, antar atau objektif.
Kerangka pengambilan keputusan dalam asuhan kebidanan memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :

1. Bidan harus mempunyai responsibility dan accountability.


2. Bidan harus menghargai wanita sebagai individu dan melayani dengan
rasa hormat.
3. Pusat perhatian pelayanan bidan adalah safety and wellbeing mother.
4. Bidan berusaha menyokong pemahaman ibu tentang kesejahteraan dan
menyatakan pilihannya pada pengalaman situasi yang aman.
5. Sumber proses pengambilan keputusan dalam kebidanan adalah :
knowledge, ajaran intrinsic, kemampuan berfikir kritis, kemampuan
membuat keputusan klinis yang logis.
Kebidanan adalah satu bidang ilmu yang mempelajari keilmuan dan seni yang
mempersiapkan kehamilan, menolong persalinan, nifas dan menyusui, masa interval dan
pengaturan kesuburan, klimakterium dan menopause, bayi baru lahir dan balita, fungsi–
fungsi reproduksi manusia serta memberikan bantuan/dukungan pada perempuan,
keluarga dan komunitasnya.
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang dapat dilakukan secara
mandiri, kolaborasi atau rujukan.
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari.

B. SEGI PANDANG AYAT AL- QUR’AN

Sebuah dilema etis adalah masalah moral dengan pilihan antara potensi benar dan
salah. Dalam praktik kebidanan seringkali bidan dihadapkan pada beberapa permasalahan
yang dilematis, artinya pengambilan keputusan yang sulit berkaitan dengan etik. Dilema
muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan batin atau pertentangan antara
nilai-nilai yang diyakini bidan dengan kenyataan yang ada. Dalam segala macam
permasalahan yang dihadapi oleh manusia Al-Qur’an adalah petunjuk yang sudah tidak
bisa diragukan lagi kebenarannya.
Sebagaimana tertera dalam Al Qur’an Al Baqarah ayat 2:
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa”.
Maksud dari ayat di atas bahwa sebagai manusia tidak sepantasnya meragukan
kebenaran Al – Qur’an karena Al – Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Dan sepatutnya
manusia menjadikan Al –Qur’an itu sebagai pedoman dan petunjuk dalam hidupnya.

BAB III
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN

A. CONTOH KASUS

Bidan Pustu Diduga Lakukan Malpraktek


Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/06/05/30027/Bidan.Pustu.Diduga.
Lakukan.Malpraktek

Palembang, CyberNews. Bidan Puskesmas Pembantu (Pustu) Kelurahan 5 Ulu,


Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang, Sumatra Selatan, Yt, diduga melakukan
malpraktik sehingga mengakibatkan seorang bayi pasiennya meninggal dunia setelah
diobati.

Informasi dari Pustu itu, Jumat, menyebutkan, dugaan telah terjadi malpraktik
dilakukan bidan Yt, karena setelah memberi obat pasiennya, Paris (27 hari), justru
mengalami kejang-kejang dan tubuhnya membiru.

Kondisi tersebut terjadi sekitar setengah jam, usai Paris diberi dua macam obat
oleh bidan tersebut.

Kendati bayi itu sempat dibawa ke RSUD Bari Kota Palembang untuk
mendapatkan pertolongan, namun tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Orang tua bayi itu, Santi (45), membenarkan kejadian yang dialami anaknya
tersebut.

Namun menurut Kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang, Gema Asiani, obat
yang diberikan kepada Paris oleh bidan Yt sesuai standar.

Menurut Gema, dengan penyakit panas yang diderita pasien itu, bidan
bersangkutan memberikan obat yang sesuai, yaitu pil CTM, Paracetamol.

Belum diketahui kemungkinan kasus ini akan dituntut keluarga pasien atau tidak,
sehingga dapat diproses lebih lanjut atau kedua orang tuanya telah menerima keadaan
tersebut.

Di Sumsel saat ini telah berjalan program pengobatan gratis, khususnya


diperuntukkan bagi warga kurang mampu di daerah ini, sehingga mendorong optimalisasi
fungsi puskesmas dan puskesmas pembantu maupun RS pemerintah dan RS swasta
jejaring layanan gratis tersebut.
B. PEMBAHASAN

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering proffesional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
proffesion with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to
those entitled to rely upon them”.

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu
kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan ( Sampurna, Budi, ).

Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam


bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta
hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal,
euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran yang belum teruji/ diterima, berpraktik tanpa SIP,
berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper. Misfeasance berarti
melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error
(mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur
kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung
menimbulkan dampak buruk .

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian
terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan
situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang
per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan
oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Kasus malpraktik umumnya dipicu oleh ketidakhati-hatian. Kewaspadaan tenaga


medis menjadi factor utama terjadinya malpraktik. Kesalahan fatal tersebut umumnya
terjadi pada saat diagnose, terapi, pemberian obat sampai operasi. Malpraktik tidak hanya
dapat mengarah pada penurunan derajat kesehatan klien, namun juga dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup. Kasus kesalahan tindakan medis
bukan hanya terjadi di Indonesia yang saat ini kualitas pelayanan kesehatannya masih
rendah, namun masih sering terjadi di Negara maju. Sementara itu, kasus malpraktik di
Indonesia masih sangat sedikit yang terungkap. Kebanyakan klien atau keluarganya
memilih untuk tidak mengungkapkan pendertitaannya. Umumnya, mereka tidak
mengetahui bahwa kasus malpraktik dapat diajukan ke meja hijau dan sebagian memilih
untuk pasrah dan enggan terlibat dalam konflik hokum yang biasanya sangat melelahkan.

Kasus malpraktik di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang-undang.


Undang-undang kesehatan belum dilengkapi dengan aturan teknis yang mengatur secara
khusus mengenai malpraktik. Biasanya, jika kasus malpraktik diajukan ke pengadilan,
aturan yang digunakan adalah aturan pidana dan para politisi sebenarnya telah lama
mendesak agar departemen kesehatan segera merumuskan aturan malpraktik secara
gambling. Oleh karena itu, bidan harus selalu waspada terhadap segala bentuk isu etik
yang banyak berkembang di dunia kesehatan dan harus menyikapinya secara bijak
sehinggat tidak akan terjadi penyimpangan kewenangan dan setiap tindakan sesuai
dengan etika profesi kebidanan.

Melihat kembali pada kasus di atas, hal yang wajib di lakukan bidan sebelum
melakukan tindakan adalah Informed Consent. Hal ini sangat penting di lakukan
mengingat kembali resiko yang mungkin terjadi kepada bidan. Informed Consent
merupakan salah satu cara pencegahan konflik etik. Pencegahan konflik etik, meliputi 4
hal, yaitu :

1. Informed Consent
2. Negoisasi
3. Persuasi
4. Komite etik.

Persetujuan pasien bagi setiap tindakan medic menjadi mutlak diperlukan, kecuali
dalam keadaan emergency. Persetujuan tersebut dikenal dengan informed consent.
Kesadaran hokum pasien semakin meningkat, pasien sadar akan hak dan kewajibannya
dalam arti bahwa pemberian persetujuan tanpa mengetahui tentang apa yang akan
dilakukan atas dirinya adalah bertentangan dengan prosedur pelayanan kebidanan.

Menurut Culver and Gert, ada 4 komponen yang harus dipahami pada suatu
consent atau persetujuan, yaitu:

1. Sukarela (voluntariness)
2. Informasi (information)
3. Kompetensi (competence)
4. Keputusan (decision).

Dasar hokum informed consent adalah :

 Pasal 53 pada UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan sebagai


berikut :
1. Ayat 2, Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang
berhadapan dengan pasien dalam melaksanakan tugasnya harus
menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan hak pasien adalah hak
atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran dan hak atas pendapat kedua.
 Diatur juga dalam Registrasi dan Praktik bidan pada KepMenKes No. 900/ 2002
pasal 25 ayat 2, tentang kewajiban bidan dalam menjalankan kewenangannya,
yaitu :
a. Memberikan informasi. Informasi mengenai pelayanan atau tindakan yang
diberikan dan efek samping yang ditimbulkan perlu diberikan secara jelas,
sehingga memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengambil
keputusan yang terbaik bagi dirinya.
b. Meminta persetujuan yang akan dilakukan. Pasien berhak mengetahui dan
mendapat penjelasan mengenai semua tindakan yang akan dilakukan
kepada pasien. Persetujuan dari pasien dan orang terdekat dalam keluarga
perlu dimintakan sebelum tindakan dilakukan.
 Secara hokum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8 Tahun 1981.
 Pada KepMenKes No. 900 / 2002, Bab IX, Sanksi, Pasal 42 menyebutkan bahwa
bidan yang dengan sengaja :
Melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 25 ayat (1) dan (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.

Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan


(professional misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/ kelupaan) sebagai berikut :

a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP, Pasal
360 KUHP, Pasal 361 KUHP);
b. Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa
persetujuan dari pasien ( informed consent );
c. Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347
KUHP, Pasal 348 KUHP , Pasal 349 KUHP );
d. Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, , Pasal 345 KUHP);
e. Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP);
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KASUS

Dalam syariah islam membunuh adalah tindakan yang diharamkan. Tidak


dibenarkan sebagai umat islam membunuh orang lain baik sesama muslim maupun non-
muslim. Islam telah mengatur segala permasalahan manusia di dalam Al-qur’an.
Pembunuhan secara sengaja maupun tidak sengaja telah terangkum di dalam firman
Allah. Dalil-dalil seperti dalam kasus di atas dapat kita lihat dalam Al-Qur’an.

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk


membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)”

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)”

Bidan yang melakukan tindak pembunuhan, menurut hokum pidana islam akan
dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah),
sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh (QS Al-Baqarah : 178).”

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash


(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua
pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/ menyedekahkan.

Firman Allah SWT :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah


(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) (QS Al-
Baqarah : 178)”
“Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-
Maliki, 1990: 111).”

“Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-
Maliki, 1990: 113).”

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kelalaian dari seorang tenaga kesehatan atau bidan untuk menerapkan tingkat
keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan
perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan
merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama menyebabkan
timbulnya issue etik dan pelanggaran terhadap standar pelayanan.

Seperti dalam kasus terjadinya malpraktik menyebabkan bidan harus


menyelesaikan masalahnya ke meja hijau dan membayar ganti rugi atas kesalahan yang
dilakukan, serta menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan dari masyarakat sekitar
terhadap bidan.

B. SARAN

Diharapkan bagi tenaga kesehatan khususnya bidan harus berhati-hati dan


menghindari kelalaian dalam melakukan tindakan medis, serta wajib melakukan informed
consent sebelum melakukan tindakan.

Hak pasien adalah mendapatkan pelayanan yang baik dari tenaga kesehatan, akan
tetapi bila terjadi masalah dalam mendapatkan pelayanan pasien berhak melaporkan
tenaga kesehatan kepada pihak yang berwenang ataupun membawa masalah tersebut ke
meja hijau.

DAFTAR PUSTAKA

Puji Wahyuningsih Heni. 2009, Etika Profesi Kebidanan, Fitramaya, Yogyakarta.


Zulvadi Dudi. 2010, Etika & Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu, Yogyakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebidanan

http://kamuskesehatan.com/arti/neonatus/

http://etika.lecture.ub.ac.id/2012/04/

http://muslimpinang.wordpress.com/2009/11/28/penanganan-kasus-malpraktik-medis/

Anda mungkin juga menyukai