Anda di halaman 1dari 32

AKHLAK AL-MAHMUDAH DAN

AKHLAK AL-MAZMUMAH

Yang dimaksud dengan “Akhlaqul mahmudah” ialah segala tingkah laku yang
terpuji (yang baik) yang biasa juga dinamakan “fadilah” (kelebihan). Imam al-Ghazali
menggunakan guna perkataan “munjiyat” yang berarti segala sesuatu yang memberikan
kemenangan atau kejayaan. Sebagai kebalikan akhlaqul mahmudah ialah “akhlaqul
mazmumah” yang berarti tingkah laku yang tercela atau akhlak yang jahat (qabillah)
yang menurut istilah al-Ghazali disebutnya “muhlikat” artinya sesuatu yang
membinasakan atau mencelakakan. Akhlak mahmudah dilahirkan oleh sifat-sifat
mahmudah dan akhlak yang mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat mazmumah pula. Oleh
karena itu, maka dalam pembahasan fadlilah dan qabihah dititik beratkan pada
pembahasan sifat-sifat yang terpendam dalam jiwa manusia yang menelorkan perbuatan-
perbuatan lahiriah. Tingkah laku lahir dilahirkan tingkah laku batin, berupa sifat dan
kelakuan batin yang juga dapat berbolak balik yang mengakibatkan berbolak baliknya
perbuatan jasmani manusia. Oleh karena tindak tanduk batin (hati) itupun dapat berbolak
balik, maka tepatlah dengan do’a :”Wahai Allah yang memalingkan segala hati,
palingkanlah kalbu kami kepada mematuhi Engkau”.

Dalam hubungan ini jika diumpamakan sifat-sifat mahmudah itu laksana vitamin
dan mineral untuk membangun jasmani yang sehat maka sifat-sifat qabihah itu dapat
diumpamakan sebagai virus dan bakteri penyakit yang merusak tubuh. Jika kita
berkewajiban membangun visik kita dengan vitamin serta zat-zat lain yang diperlukan
sebagaimana halnya harus berusaha mengusir penyakit dan kuman-kuman perusak, maka
demikian juga kewajiban kita membina pribadi melalui akhlak atau sifat-sifat mahmudah
dan jiwa harus pula dikosongkan dari segala sifat-sifat qabihah.

Manakah yang harus didahulukan, mengosongkan pribadi kah lebih dahulu dari
segala sifat qabihah (jelek) kemudian mengisi kekosongan itu dengan sifat-sifat
mahmudah ataukah dengan sebaliknya? Diantara kaum Sufi ada yang mempunyai teori
“Takhliyah” yang berarti mengosongkan atau membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu
sebelum di isi dengan sifat-sifat terpuji. Setelah jiwa hampa dari sifat-sifat qabihah
barulah diisi dengan sifat-sifat fadlilah dan mahmudah. Teori ini seolah-olah memberikan
gambaran sebuah gelas yang akan di isi dengan air minum yang bening, harus
dibersihkan lebih dahulu dari segala kotoran dan noda yang terdapat di dalamnya.

Hal ini mungkin dapat dicapai oleh segolongan kecil manusia seperti kaum sufi
yang sudah terlatih dalam mengosongkan diri (bertakhliyah) dari sifat-sifat qabihah,
namun realisasinya tidaklah semudah yang digariskan itu. Sifat-sifat qabihah dapat diusir
seketika berbarengan dengan pembinaan sifat-sifat mahmudah dengan tidak perlu
menunggu berapa lama dan sampai kapan jiwa menjadi kosong. Perumpamaannya dapat
digambarkan seperti memasukkan vitamin dan obat antibiotic sekaligus ke dalam tubuh
yang mempunyai pengaruh efektif memusnahkan bakteri-bakteri penyakit yang merusak
jaringan-jaringan tubuh. Bakteri-bakteri penyakit tidak akan musnah tanpa dimatikan
oleh sesuatu kekuatan yang menjadi lawannya yakni vitamin dan antibiotic. Maka untuk
membangun pribadi yang sehat tidak perlu menunggu kosongnya qalbu dari sifat-sifat
qabihah, melainkan perlu segera menempuh jalan menginjeksikan sifat-sifat fadlilah yang
berfungsi laksana vitamin dan antibiotic yang mengusir dan mematikan bibit penyakit.
Dengan terbinanya fadlilah dalam jiwa, maka otomatis akan terusirlah qabihah yang
bersarang di dalamnya.

Boleh dikata, dokter-dokter dalam usahanya memerangi dalam tubuh pasien,


disamping memasukkan kekuatan pembunuh bakteri berupa antibiotic, juga memasukkan
kekuatan pembangun berupa vitamin dan sebagainya. Maka demikianlah sifat-sifat
mahmudah (fadlilah) itu selain sebagai “kekuatan pembunuh”qabihah juga sebagai
kekuatan pembangun akhlaqul mahmudah.

Jika hati dikotori oleh gangguan oleh syaitan maka segera dilawan dalam dzikir
dan ta’awwudz. Kita diperintahkan mendirikan shalat, karena kebaikan menghapuskan
kejahatan. (QS.Hud (11):114.

‫َﺎت ﻳُ ْﺬ ِﻫ ْﺒ َﻦ‬
ِ ‫ﺴﻨ‬َ ‫َوأَﻗ ِِﻢ اﻟﺼﱠﻼةَ ﻃََﺮﻓَ ِﻲ اﻟﻨﱠـﻬَﺎ ِر َوُزﻟَﻔًﺎ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ إِ ﱠن اﻟْ َﺤ‬
‫ِﻚ ِذ ْﻛﺮَى ﻟِﻠﺬﱠاﻛِﺮِﻳ َﻦ‬
َ ‫َﺎت ذَﻟ‬
ِ ‫ﺴﻴﱢﺌ‬
‫اﻟ ﱠ‬
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.

Jadi untuk mengusir sifat-sifat qabihah itu haruslah ada kekuatan penolak yang
dapat mengusirnya yakni fadlilah atau sifat-sifat mahmudah, dan tidak dapat dikosongkan
begitu saja tanpa membangun kekuatan yang menjadi lawannya. Adapun akhlak atau
sifat-sifat mahmudah yang dikemukakan oleh ahli-ahli akhlak dan tasawuf meliputi :
setia (al-amanah), pemaaf (al-afwu), benar (ash-shidiq), menepati janji (al-wafa), adil (al-
adl), memelihara kesucian diri ( al-ifafah), malu (al-haya’), berani (as-syaja’ah), kuat (al-
quwwah), shabar (as-shabru), kasih sayang ( ar-rahmah), murah hati (as-sakha’u), tolong
menolong (at- ta’aun), damai (al-ishlah), persaudaraan (al-ikha’), shilaturahmi, hemat (al-
iqtishad), menghormati tamu (adl-dliyafah), merendah diri (at-tawadlu’), menundukkan
diri kepada Allah (al-khusu’), berbuat baik (al-ihsan), berbudi tinggi (al-muru’ah),
memelihara kebersihan badan (an-nadhafah), selalu cenderung kepada kebaikan (as-
shalihah), merasa cukup dengan apa yang ada (al-qana’ah), tenang (as-sakinah), lemah
lembut (ar-rifqu) dan lain-lain sifat dan sikap yang baik.

Adapun yang termasuk akhlaqul mazmumah atau qabihah ialah setiap sikap dan
sifat yang meliputi : egoistis (ananiah) lacur (al-baghyu), kikir (al-bukhlu), dusta (al-
buhtan), minum khamar (al-khamru), khianat (al-khianah), aniaya (adl-dhulmu), pengecut
(al-jubn), perbuatan dosa besar (al-fawahisy), amarah (al-ghadhab), curang dan culas (al-
ghasysyu), mengupat (al-ghibah), adu domba (an-namimah), menipu daya (al-ghurur),
dengki (al-hasad), dendam (al-hiqdu), berbuat kerusakan (al-ifsad), sombong (al-istikbar),
mengingkari nikmat (al-kufran), homo sexual (al-liwath), membunuh (qatlunnafsi),
makan riba (ar-riba), ingin dipuji (ar-riya’), ingin didengar kelebihannya (as-sum’ah),
berolok-olok (as-sikhririyah), mnecuri (as-srqah), mengikuti hawa nafsu (as-syahawat),
boros (at-tabzir), tergopoh-gopoh (al-‘ajalah) dan lain-lain sifat dan sikap yang jelek.

1. Al-Amanah

Al-Amanah menurut arti bahasa ialah : kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan


(tsiqah) atau kejujuran. Kebalikannya ialah khianat. Yang dimaksud amanah disini ialah
suatu sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang
dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia atau tugas kewajiban. Pelaksanaan
amanat dengan baik dapat disebut “al-Amin” yang berarti : yangndapat dipercaya, yang
jujur, yanag setia, yang aman.

Sebagai contoh :

Pada diri manusia dianugerahi Allah sejumlah perlengkapan jasmaniah dan ruhaniah
tersebut dipergunakan sebagaimana mestinya, maka berarti orang itu bersifat atau meiliki
sifat amanah. Jika anggota-anggota tubuhnya dipergunakan kepada maksiat berarti dia
khianat terhadap amanah yang diberikan Allah kepadanya. Kewajiban memilki sifat dan
sikap al-Amanah ini, (QS. An-Nisa’ (4): 58.

‫ﱠﺎس‬
ِ ‫َﺎت إِﻟَﻰ أَ ْﻫﻠِﻬَﺎ َوإِذَا َﺣ َﻜ ْﻤﺘُ ْﻢ ﺑَـ ْﻴ َﻦ اﻟﻨ‬
ِ ‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣ ُﺮُﻛ ْﻢ أَ ْن ﺗـ َُﺆدﱡوا اﻷﻣَﺎﻧ‬
‫ْل إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻧِ ِﻌﻤﱠﺎ ﻳَ ِﻌﻈُ ُﻜ ْﻢ ﺑِ ِﻪ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻛَﺎ َن َﺳﻤِﻴﻌًﺎ ﺑَﺼِﻴﺮًا‬
ِ ‫أَ ْن ﺗَ ْﺤ ُﻜﻤُﻮا ﺑِﺎﻟْ َﻌﺪ‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.
Suatu amanah sebenarnya adalah suatu tugas yang berat dipikul, kecuali bagi
orang yang memiliki sifat al-Amanah tersebut. Dikemukakan QS.al-Ahzab (33): 72.

‫َﺎل ﻓَﺄَﺑَـ ْﻴ َﻦ أَ ْن‬


ِ ‫ْﺠﺒ‬
ِ ‫ْض وَاﻟ‬
ِ ‫َات وَاﻷر‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎو‬
‫ﺿﻨَﺎ اﻷﻣَﺎﻧَﺔَ َﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠ‬
ْ ‫إِﻧﱠﺎ َﻋ َﺮ‬
‫ﻳَ ْﺤ ِﻤ ْﻠﻨَـﻬَﺎ َوأَ ْﺷ َﻔ ْﻘ َﻦ ِﻣ ْﻨـﻬَﺎ َو َﺣ َﻤﻠَﻬَﺎ اﻹﻧْﺴَﺎ ُن إِﻧﱠﻪُ ﻛَﺎ َن ﻇَﻠُﻮﻣًﺎ َﺟﻬُﻮﻻ‬
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat lalim dan amat bodoh,

Jabatan kepengurusan khalifah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung,
namun takut memikul tanggung jawab itu, karena menurut keadaan fitrahnya tidak akan
sanggup menjalankan amanah itu. Adapun manusia mau memikulnya karena memiliki
kekuatan jasmani dan rohani, sehingga mereka merasa adanya kesanggupan guna
mengemban amanah kepengurusan bumi. Namun sedikit sekali diantara manusia
memenuhi tanggung jawab itu dengan sempurna, sehingga tidaklah mereka laksanakan
amanah itu dengan baik. Karena itu keberanian manusia menerima amanah yang ternyata
kemudian tidak dapat dilaksanakannya adalah suatu kedzaliman dan kebodohan atas
dirinya sendiri.

Sebagian manusia berambisi mencapai kedudukan pemimpin hanya karena


memikirkan kenikmatannya saja tanpa memikirkan konsekuensinya yang sewaktu-waktu
membuat menyesal di kemudian hari, sebagaimana dikemukakan Rasulullah SAW ketika
Abu Dzar meminta sesuatu jabatan :

“Hai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanah yang pada
hari kiamat akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali bagi orang-orang yang
dapat melaksanakan tugas kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya”. (HR.
Muslim).

Juga Rasulullah SAW menandaskan, kewajiban memelihara amanah dengan memiliki


sifat dan sikap amanah,: “ Tunaikanlah amanah kepada orang yang beramanah
kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat
kepadamu”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Sabda Nabi ini dibuktikan sendiri, sehingga orang-orang tidak khawatir


menitipkan amanah kepada beliau. Itulah sebabnya maka beliau sejak mudanya digelar
“Al-Amin” karena beliau seorang yang terpercaya dan memiliki kejujuran dan
memelihara amanah.
- Khianat

Dengan Hadits tersebut diatas, jelaslah bahwa sebagai kebalikan dari sifat amanah
itu ialah khianat, mungkar atau tidak setia kepada yang dipercayakan kepadanya. Khianat
adalah salah satu gejala munafik, sebagaimana sabda Rasul :

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : apabila berkata dia dusta, apabila berjanji
dia ingkar dan jika di percaya (diamanati) dia khianat”. (HR. Muslim). Betapa
pentingnya sifat dan sikap amanah ini dipertahankan sebagai akhlak masyarakat,
karena jika sifat dan sikap amanah itu telah hilang dari suatu umat, maka hancurlah
yang bakal terjadi bagi umat itu. Jelas tandas sabda Rasulullah SAW ketika seorang
sahabat menanyakan kapan datangnya saat kehancuran : “Apabila hilang amanah
(kesetiaan), maka tunggulah datangnya kehancuran”. (HR. Bukhari).

2. Benar (ash-Shidqah)

Salah satu sifat dan sikap yang termasuk fadlilah ialah ash-Shidqah yang berarti
benar, jujur. Yang dimaksud disini ialah berlaku benar dan jujur baik dalam perkataan
maupun perbuatan. Kewajiban bersifat dan bersikap ini, (QS. At-Taubah (9) : 119).

‫ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا اﺗﱠـﻘُﻮا اﻟﻠﱠﻪَ َوﻛُﻮﻧُﻮا َﻣ َﻊ اﻟﺼﱠﺎ ِدﻗِﻴ َﻦ‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar.

Sikap benar ini adalah salah satu fadlilah yang menentuka status dan kemajuan
perseorangan dan masyarakat. Menegakkan prinsip kebenaran adalah salah satu sendi
kemaslahatan dalam hubungan antara manusia dengan manusia dan antara satu golongan
dengan golongan lainnya. Abdullah bin Mas’ud r.a. memberitahukan bahwa Nabi SAW
bersabda : “Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepadaa kebaikan, dan kebaikan
itu membawa ke surge. Seseorang yang membiasakan diri berkata benar hingga
tercatat di sisi Allah sebagai shiddiq (orang yang benar). (Muttafaq ‘Alaih).

Abu Muhammad (al-Hasan) bin Abi Thalib ra. berkata bahwa ia telah menghafal
dari ajaran Rasulullah SAW : “Tinggalkanlah yang engkau ragukan kepada apa yang
tidak engkau ragukan. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada ketenangan dan
dusta itu membawa? Menimbulkan keraguan”. (HR. at-Tirmidzi).

Dalam pribahasa sering disebutkan :”Berani karena benar, takut karena


salah”. Betapa kebenaran itu menimbulkan ketenangan daripadanya melahirkan
keberanian. Rasulullah SAW telah memberikan contoh betapa beraninya berjuaang
karena beliau berjalan di atas prinsip-prinsip kebenaran. Ketika surat Rasulullah SAW
diterima oleh Heraclius, Raja Rum dari Baitul Muqaddas, ia panggil orang-orang Arab
yang berasal dari Mekkah yang kebetulan berdagang kesitu untuk ditanyai mengenai diri
Nabi. Dalam percakapan tersebut, Heraclius berkata:”……. Aku bertanya tadi, adakah
kamu tuduh Muhammad pernah berdusta sebelum ia mengaku menjadi Nabi? Lantas
kamu jawab : Tidak! Maka aku berpendapat, bahwa orang yang tidak berdusta kepada
manusia tidak bisa jadi berdusta atas nama Allah”.

- Dusta menimbulkan kerusakan

Sebagai kebalikan dari kebenaran dan kejujuran adalah dusta dan curang. Sifat
dan sikap ini membawa kepada bencana dan kerusakan bagi pribadi dan masyarakat.

Sabda Rasul :

“Sesungguhnya dusta membawa keburukan dan keburukan itu membawa ke neraka.


Dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan dirinya berdusta niscaya tercatat di
sisi Allah sebagai tukang dusta”. (Muttafaq ‘Alaih).

Dalam masyarakat yang sudah merajalela dusta dan kecurangan maka akibatnya
akan kacau dan kalut. Kecurangan dan keculasan dalam segala bidang pergaulan
termasuk dalam bidang administrasi hanya akan mempercepat kehancuran masyarakat itu
sendiri. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ialah dengan mengembalikan keadaan itu
kepada prinsip-prinsip kebenaran. Dapatlah dibayangkan akibat-akibat yang bakal terjadi
jika kebohongan dan keculasan telah membudaya dalam masyarakat. Misalnya sukatan
dan timbangan dikurangi. Manipulasi dalam jual beli dan lain-lain yang menjadi sumber
dan terbukanya pintu-pintu korupsi, semua itu menimbulkan bencana dan kerusakan.

Demikianlah Allah dalam pelbagai keterangannya dalam Al Qur’an


memperingatkan bahaya dan dosa kecurangan dan keculasan seperti mengurangi sukatan
dan timbangan. Allah menunjukkan jalan yang lurus, jalan yang aman, berkah dan
tentram yakni kejujuran dan kebenaran baik perkataan maupun dalam perbuatan,
menegakkan neraca dengan jujur dan apabila dilakukan hutang piutang, maka hendaklah
ditulis (dicatat) dengan saksi-saksi yang jujur. Jikalau prinsip kebenaran dan kejujuran ini
telah membudaya, maka akan tegaklah suatu masyarakat yang harmonis, aman dan
sentosa seperti halnya pribadi mukmin yang hatinya selalu merasa aman dan damai
karena berkata dan bertingkah laku yang benar, (QS. Ibrahim (14): 27.

‫اﻵﺧ َﺮِة‬
ِ ‫ِﺖ ﻓِﻲ اﻟْ َﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوﻓِﻲ‬
ِ ‫ْل اﻟﺜﱠﺎﺑ‬
ِ ‫ﱢﺖ اﻟﻠﱠﻪُ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﺑِﺎﻟْﻘَﻮ‬
ُ ‫ﻳـُﺜَﺒ‬
ُ‫ﻀ ﱡﻞ اﻟﻠﱠﻪُ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴ َﻦ َوﻳَـ ْﻔ َﻌ ُﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎء‬
ِ ُ‫َوﻳ‬
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu
dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang
lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki

3. Menepati Janji (al-Wafa’)

Sebagai rangkaian dari sifat amanah dan benar tersebut diatas adalah al-Wafa’
(menepati janji), sebagaimana dalam QS. Al-Ahzab (33): 23.

‫ﺻ َﺪﻗُﻮا ﻣَﺎ ﻋَﺎ َﻫﺪُوا اﻟﻠﱠﻪَ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ ﻓَ ِﻤ ْﻨـ ُﻬ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﻗَﻀَﻰ‬


َ ‫َﺎل‬
ٌ ‫ِﻣ َﻦ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨِﻴ َﻦ ِرﺟ‬
‫ﻧَ ْﺤﺒَﻪُ َوِﻣ ْﻨـ ُﻬ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﻳَـ ْﻨﺘَ ِﻈ ُﺮ َوﻣَﺎ ﺑَ ﱠﺪﻟُﻮا ﺗَـ ْﺒﺪِﻳﻼ‬
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah
(janjinya),

4. Keadilan (al-Adl)

Prinsip keadilan ditegaskan dalam QS.an-Nahl (16): 90.

‫ِﻚ َﺷﻬِﻴﺪًا‬
َ ‫َﺟ ْﺌـﻨَﺎ ﺑ‬
ِ ‫ُﺴ ِﻬ ْﻢ و‬
ِ ‫َﺚ ﻓِﻲ ُﻛ ﱢﻞ أُﱠﻣ ٍﺔ َﺷﻬِﻴﺪًا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـﻔ‬
ُ ‫َوﻳـ َْﻮَم ﻧَـ ْﺒـﻌ‬
ً‫َﻲ ٍء َو ُﻫﺪًى َوَر ْﺣ َﻤﺔ‬
ْ ‫َﺎب ﺗِْﺒـﻴَﺎﻧًﺎ ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ﺷ‬
َ ‫ْﻚ اﻟْ ِﻜﺘ‬
َ ‫َﻋﻠَﻰ ﻫَﺆُﻻ ِء َوﻧَـ ﱠﺰﻟْﻨَﺎ َﻋﻠَﻴ‬
‫َوﺑُ ْﺸﺮَى ﻟِﻠْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤِﻴ َﻦ‬
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi
atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.

Sifat dan sikap adil ada dua macam, adil yang berhubungan dengan perseorangan
dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan pemerintah.
Adil perseorangan ialah tindakan memberi hak kepada yang mempunyai hak. Bila
seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain
tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tindakan adil. Adil dalam segi
kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-
orang yang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika
hakim menegakkan neraca keadilannya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil
dan dia berat sebelah dikatakanlah atau dipandanglah dia dhalim. Pemerintah dipandang
adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota tau di
desa-desa, itu diingatkan Tuhan dalam QS. Al-Maidah (5): 8

‫ْﻂ وَﻻ ﻳَ ْﺠ ِﺮَﻣﻨﱠ ُﻜ ْﻢ‬


ِ ‫ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﻛُﻮﻧُﻮا ﻗـَﻮﱠاﻣِﻴ َﻦ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ُﺷ َﻬﺪَاءَ ﺑِﺎﻟْ ِﻘﺴ‬
‫َب ﻟِﻠﺘﱠـﻘْﻮَى وَاﺗﱠـﻘُﻮا اﻟﻠﱠﻪَ إِ ﱠن‬
ُ ‫ُﻮ أَﻗْـﺮ‬
َ ‫َﺷﻨَﺂ ُن ﻗـَﻮٍْم َﻋﻠَﻰ أَﻻ ﺗَـ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ا ْﻋ ِﺪﻟُﻮا ﻫ‬
‫اﻟﻠﱠﻪَ َﺧﺒِﻴ ٌﺮ ﺑِﻤَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Sebagai pelopor dari keadilan yang menjadi uswatun hasanah adalah pribadi Nabi
kita Muhammad SAW dimana semua gerak geriknya, perkataan dan keputusannya semua
memancar dari mata air keadilan. Sebagai contoh keadilan beliau ialah apabila dalam
perjalanan, beliau turut bekerja mengurus makanan dan keperluan bersama sahabat-
sahabatnya. Dalam pembangunan masjid, beliau turut mengangkat batu dan turut
menggali pasir dan dalam peperangan Khandaq beliau turut serta menggali parit. Sebagai
suami dalam hubungan dengan istri-istrinya, beliau tunjukkan keadilan yang sempurna
baik nafkah lahir maupun nafkah batin (pembagian giliran). Kalau ingin pergi jauh,
beliau undi antara istri-istrinya, siapa yang kena undian itulah yang dibawanya. Sebagai
kepala Negara dan hakim beliau tegakkan neraca keadilan itu dengan betul, hingga beliau
pernah menyatakan : “Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku
potong tangannya”. (HR. Bukhari).

- Pelbagai faktor keadilan

Untuk menegakkan neraca keadilan dalam diri pribadi dan masyarakat, maka ada
beberapa factor yang perlu diperhatikan :
a. Tenang dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan karena
pengaruh hawa nafsu, angkara murka atau karena kecintaan kepada seseorang.
Rasulullah dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim
memutuskan perkara dalam keadaan amarah. Emosi yang tidak stabil biasanya
membuat seseorang tidak adil dalam putusan
b. Memperluas pandangan dan melihat soalnya secara obyektif. Mengumpulkan data
dan fakta, sehingga dalam putusan nanti dapat seadil mungkin

Keadilan adalah sendi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu
jika prinsip keadilan ini ditegakkan, niscaya akan terwujudlah kesejahteraan dan
keamanan.

- Kedhaliman sebagai sifat qabihah

Jika adil adalah sifat dan sikap fadlilah, maka sebagai kebalikannya yang
dimaksudkan dalam qabihah adalah sifat dan sikap dhalim. Dhalim berarti menganiaya,
tidak adil dalam memutuskan perkara, berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak
orang lebih dari batasnya atau memberikan hak orang kurang dari semestinya.

Sifat dhalim ini diancam dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mu’min (40):
18.

‫َﺎﺟ ِﺮ ﻛَﺎ ِﻇﻤِﻴ َﻦ ﻣَﺎ ﻟِﻠﻈﱠﺎﻟِﻤِﻴ َﻦ‬


ِ ‫ُﻮب ﻟَﺪَى اﻟْ َﺤﻨ‬
ُ ‫َوأَﻧْ ِﺬ ْرُﻫ ْﻢ ﻳـ َْﻮ َم اﻵ ِزﻓَ ِﺔ إِ ِذ اﻟْ ُﻘﻠ‬
ُ‫ِﻴﻢ وَﻻ َﺷﻔِﻴ ٍﻊ ﻳُﻄَﺎع‬
ٍ ‫ِﻣ ْﻦ َﺣﻤ‬
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat, yaitu) ketika hati
(menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang
lalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang
pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.

Juga Rasulullah peringatkan dengan sabdanya:

“Peliharalah dirimu daripada kedhaliman. Karena dhalim itu merupakan


kegelapan di hari qiamat”. (HR. Muslim).

Sementara itu Aisyah memberitahukan, bahwa Nabi pernah bersabda : “Siapa


yang mengambil hak orang lain, walaupun sejengkal tanah, akan dikalungkan pada
hari qiamat hingga tujuh petala langit”. (Muttafaq ‘Alaih).

Demikianlah sifat dan sikap dhalim sebagai qabihah yang merusak hidup dan
kehidupan manusia. Jika sifat dan sikap dhalim itu telah membudaya dalam diri manusia
dan masyarakat, maka akan timbullah kekacauan, kekusutan dan bencana. Dapat
dibayangkan jika berat sebelah ini dipraktekkan dirumah dengan melakukan pemberian
yang tidak adil kepada anak-anak, niscaya akan menumbuhkan kegelisahan. Anak yang
biasa diperlakukan tidak adil akan rebut dan menimbulkan protes kepada orangtuanya.

Dalam hubungan ini ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong


seseorang berlaku dhalim atau berat sebelah, yaitu:

a. Cinta dan benci : Barang siapa yang mencintai orang biasanya ia berlaku berat
sebelah kepadanya. Misalnya orangtua yang karena cintanya kepada anak-anaknya,
maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada
seseorang, menimbulkan suatu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu,
tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b. Kepentingan diri sendiri : karena perasaan egois dan individualis, maka keuntungan
pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah, curang dan culas
c. Pengaruh luar : Adanya pandangan yang menyenangkan keindahan pakaian,
kewibawaan, kefasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang
berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukan
perasaan hingga langkahnya tidak obyektif.

Demikianlah maka dalam menegakkan keadilan dengan jujur dan lurus dalam
segala hal, baik yang menyangkut urusan perseorangan maupun kemasyarakatan,
hendaklah membebaskan diri dari pengaruh dalam, berupa hawa nafsu dan pengaruh luar
yang dapat menjerumuskan kepada kedhaliman dalam tindakan dan keputusan.

5. Memelihara Kesucian Diri (al-Ifafah)

Al-Ifafah (memelihara kesucian diri) termasuk dalam rangkaian fadlilah atau


akhlaqul karimah yang dituntut dalam ajaran Islam. Menjaga diri dari segala keburukan
dan memelihara kehormatan hendaklah dilakukan pada setiap waktu. Dengan penjagaan
diri secara ketat, maka dapatlah diri dipertahankan untuk selalu berada pada status
kesucian. Hal ini dilakukan mulai dari memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat
rencana dan angan-angan yang buruk. Perhatikan QS. As-Syams (91): 9.

‫ﻗَ ْﺪ أَﻓْـﻠَ َﺢ َﻣ ْﻦ َزﻛﱠﺎﻫَﺎ‬


Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,

Demikian juga memelihara lidah dan anggota dari segala perbuatan yang tercela,
karena sadar bahwa gerak gerik itu tidak lepas dari penglihatan Allah, termasuk akhlak
luhur. Perhatikan QS. As-Syu’ara (26): 218-219,
‫ﱠﺎﺟﺪِﻳ َﻦ‬
ِ ‫َﻚ ﻓِﻲ اﻟﺴ‬
َ ‫َاك ِﺣﻴ َﻦ ﺗَـﻘُﻮﻣ َُﻮﺗَـ َﻘﻠﱡﺒ‬
َ ‫اﻟﱠﺬِي ﻳَـﺮ‬
Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula)
perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.

QS. Al-Hadid (57): 4,

‫ﱠﺎم ﺛُ ﱠﻢ ا ْﺳﺘـَﻮَى َﻋﻠَﻰ‬


ٍ ‫ْض ﻓِﻲ ِﺳﺘﱠ ِﺔ أَﻳ‬
َ ‫َات وَاﻷر‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎو‬
‫ُﻮ اﻟﱠﺬِي َﺧﻠَ َﻖ اﻟ ﱠ‬
َ‫ﻫ‬
‫ﺴﻤَﺎ ِء‬
‫ج ِﻣ ْﻨـﻬَﺎ َوﻣَﺎ ﻳَـﻨْﺰ ُِل ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ‬
ُ ‫ْض َوﻣَﺎ ﻳَ ْﺨ ُﺮ‬
ِ ‫ﺞ ﻓِﻲ اﻷر‬
ُ ِ‫ْش ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ ﻳَﻠ‬
ِ ‫اﻟْﻌَﺮ‬
‫ُﻮ َﻣ َﻌ ُﻜ ْﻢ أَﻳْ َﻦ ﻣَﺎ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ وَاﻟﻠﱠﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن ﺑَﺼِﻴ ٌﺮ‬
َ ‫ج ﻓِﻴﻬَﺎ َوﻫ‬
ُ ‫َوﻣَﺎ ﻳَـ ْﻌ ُﺮ‬
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian
Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan
QS. Qaf (50): 16.

‫َب إِﻟَْﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ‬


ُ ‫ﺴﻪُ َوﻧَ ْﺤ ُﻦ أَﻗْـﺮ‬
ُ ‫س ﺑِ ِﻪ ﻧَـ ْﻔ‬
ُ ‫َوﻟََﻘ ْﺪ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ اﻹﻧْﺴَﺎ َن َوﻧَـ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ ﺗـ َُﻮ ْﺳ ِﻮ‬
‫َﺣﺒ ِْﻞ اﻟ َْﻮرِﻳ ِﺪ‬
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,

Berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan mencatat segala gerak tingkahnya,


maka orang yang beriman selalu waspada jangan sampai terjerumus ke dalam
kemaksiatan yang dimurkai Allah SWT. Sebagai kebalikan dari sikap tersebut ialah sikap
memperturutkan panggilan hawa nafsu. Orang yang demikian itu telah menjadi budak
dan tawanan hawa nafsunya, sehingga hilanglah kesucian dirinya dan jatuhlah martabat
kemuliaannya dan akhirnya akan memperoleh kesesatan dan kerugian yang nyata.
HR. at-Tirmidzi :

“Seorang yang sempurna akal ialah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan
beramal sebagai bekal untuk mati. Dan orang yang rendah itu ialah orang yang selalu
menurutkan hawa nafsunya, di sampung itu mempunyai angan-angan (yang bukan-
bukan kepada Allah)”.

6. Malu (al-Haya’)

Sebagai rangkaian dari sifat dan sikap al-Ifafah ialah al-Haya’ (malu). Yang
dimaksud disini ialah malu terhadap Allah dan malu terhadap diri sendiri dikala akan
melanggar peraturan-peraturan Allah. Perasaan ini dapat menjadi pembimbing kepada
jalan keselamatan dan mencegah diri dari perbuatan nista. Dari Muttafaq ‘Alaih: “Imam
itu mempunyai 60 cabang, sedangkan malu adalah salah satu cabang dari pada iman”.
Juga dalam hal itu dikemukakan : “Malu itu tidak membuahkan kecuali kebaikan”.
(Muttafaq ‘Alaih). HR. Bukhari :”Jika engkau tidak malu, berbuatlah apa yang
engkau kehendaki”.

7. Keberanian (as-Syaja’ah)

Syaja’ah atau sifat berani termasuk sebagai fadlilah dalam akhlaq. Syaja’ah
bukanlah semata-mata keberanian berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental
dimana seseorang dapat menguasai jiwanya yang berbuat menurut semestinya. Orang
yang dapat menguasainya (jiwanya) pada masa-masa kritis ketika bahaya di ambang
pintu, itulah yang berani. “Bukanlah yang dinamakan pemberani orang yang kuat
bergulat, sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai hawa
nafsunya di kala marah”. (Muttafaq ‘Alaih).

Dengan demikian rahasia keberanian itu terletak pada kesanggupan


mengendalikan diri dari mental tetapi stabil dalam cuaca bagaimanapun dan tetap tenang
menghadapi segala sesuatu dalam keadaan darurat. Al Qur’an mengungkapkan sikap
berani Rasulullah SAW dan para sahabat, ketika bahaya penyerangan musuh di ambang
pintu. (QS.Ali Imran (3): 173-174.

‫ﱠﺎس ﻗَ ْﺪ َﺟ َﻤﻌُﻮا ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺧﺸ َْﻮ ُﻫ ْﻢ ﻓَـﺰَا َد ُﻫ ْﻢ‬


َ ‫س إِ ﱠن اﻟﻨ‬
ُ ‫َﺎل ﻟَ ُﻬ ُﻢ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻗ‬
‫إِﻳﻤَﺎﻧًﺎ َوﻗَﺎﻟُﻮا َﺣ ْﺴﺒُـﻨَﺎ اﻟﻠﱠﻪُ َوﻧِ ْﻌ َﻢ اﻟ َْﻮﻛِﻴ ُﻞ‬
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-
orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan
untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."

‫ﺴ ْﺴ ُﻬ ْﻢ ﺳُﻮءٌ وَاﺗﱠـﺒَـﻌُﻮا ِرﺿْﻮَا َن اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


َ ‫ْﻞ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ْﻤ‬
ٍ ‫ﻓَﺎﻧْـ َﻘﻠَﺒُﻮا ﺑِﻨِ ْﻌ َﻤ ٍﺔ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻓَﻀ‬
‫ِﻴﻢ‬
ٍ ‫ْﻞ َﻋﻈ‬
ٍ ‫وَاﻟﻠﱠﻪُ ذُو ﻓَﻀ‬
Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka
tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar

Bukti keberanian Nabi dan para sahabat Nampak jelas, ketika mereka digertak
oleh pihak lawan untuk dibinasakan. Dalam keadaan genting itu, mereka tunjukkan
ketenangannya dan sebagai buah dari syaja’ahnya, mereka gondola piala kemenangan
gilang gemilang. Jika kita berbicara tentang keberanian Rasulullah sebagai uswatun
hasanah, terdapat banyak contoh yang menjadi bukti syaja’ahnya. Beliau tidak dapat
digertak dan ditakut-takuti, karena yang ditakutinya hanyalah Allah. Sahabat-sahabat
Nabi sama mengakui bahwa tiada manusia yang lebih berani dari Rasulullah SAW yang
berkali-kali diuji dalam keadaan gawat dan genting, namun belum pernah menunjukkan
rasa takut dan cemas. Memang itulah identitas pembawa amanah Allah, sebagaimana
dalam QS. Al-Ahzab (33): 39.

َ‫َﺎﻻت اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻳَ ْﺨﺸ َْﻮﻧَﻪُ وَﻻ ﻳَ ْﺨﺸ َْﻮ َن أَ َﺣﺪًا إِﻻ اﻟﻠﱠﻪ‬
ِ ‫اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳـُﺒَـﻠﱢﻐُﻮ َن ِرﺳ‬
‫َﺴﻴﺒًﺎ‬
ِ ‫َوَﻛﻔَﻰ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ﺣ‬
yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-
Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan
cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.

Contoh-contoh keberanian

Seperti diuraikan tadi, maka sifat berani bukan hanya ditunjukkan dalam medan
perang, melainkan banyak perbuatan sehari-hari yang membutuhkan keberanian yang
tidak kurang dari keberanian tentara di medan perang, misalnya :

a. Para pelaut yang mengarungi samudra dan tidak takut menghadapi topan dan badai di
lautan
b. Para petugas pemadam kebakaran yang melaksanakan tugasnya dengan tabah ketika
api sedang mengamuk
c. Dokter dan juru rawat yang tenang menghadapi pasien yang gawat
d. Para pemimpin yang berani mengambil keputusan penting dimana perlu
e. Para mubaligh yang berani mengemukakan yang benar itu benar, dan yang salah itu
salah
f. Para sarjana yang berani mengemukakan ide-ide baru dari hasil daya cipta dan
ijtihadnya

Dan banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa sifat-sifat syaja’ah itu
meliputi segala macam medan dan medan dimana Allah menentukan bagi seseorang
menjadi profesinya.

- Gejala keberanian

Sesuai dengan diatas tadi maka dapatlah disimpulkan bahwa gejala keberanian itu
adalah sebagai berikut :

a. Tetapnya pikiran dan stabilnya perasaan ketika bahaya datang


b. Tetap melakukan pekerjaannya dengan hati yang teguh dan akal yang waras
c. Tidak gentar dari segala ancaman dan celaan, sebagai konsekuensi dari tindakannya

Ketika sebuah kapal mengalami kebocoran besar, sehingga dalam waktu singkat
air telah memenuhi ruangan dalam, maka kapten kapal dengan hati teguh dan air muka
tiada berubah menurunkan skoci. Para penumpanag kemudian diturunkan ke atas skoci
itu, yang setelah segalanya beres, kapal itupun mencebur ke atas lautan. Itulah contoh
keberanian sang kapten yang tidak kehilangan akal ketika marabahaya datang.

- Keberanian jasmaniah dan peradaban

Ahli-ahli etika memperkatakan adanya dua macam keberanian, yaitu :

a. Keberanian jasmaniah : seperti keberanian pahlawan dalam medan pertempuran


b. Keberanian peradaban (rohaniah) : suatu keberanian yang titik beratnya pada
fikiran dan melahirkan pendapat yang diyakininya benar, sekalipun menghadapi
selaan dan amarah penguasa. Ia tidak takut menanggung malapetaka akibat
membela pendiriannya yang diyakininya abenar. Hal ini sejalan dengan ungkapan
hadits :”Sebaik-baik jihad ialah berkata benar kepada penguasa yang dhalim”.
Keberanian semacam ini telah ditunjukkan oleh para Rasul dan Nabi, para
shiddiqin dan syuhada, para ulama dan sejumlah ahli fikir. Ketika Rasulullah
dibujuk untuk meninggalkan dakwahnya, beliau dengan tandas menyatakan
:”Sekalipun matahari diletakkan di pundak kananku dan rembulan di pundak
kiriku, saya tidak akan meninggalkannya, sehingga Allah menampakkannya atau
saya mati di dalamnya”. Ahli fikir Islam Ibnu Rusydi demikian juga ulama besar
Ibnu Taimiyah tidak merasa takut mendekam di dalam penjara karena membela
pendiriannya. Ahli fikir Yunani Socrates memilih hukuman mati daripada hidup
dipaksa menyembah berhala. Semua itu menunjukkan contoh keberanian dalam
peradaban

- Pengecut (al-Jubn)

Sebagai kebalikan dari sifat syaja’ah ialah al-Jubn sifat pengecut yang termasuk
dalam rangkaian akhlaqul mazmumah. Sifat ini selalu membuat sifat pribadi ragu-ragu
sebelum memulai sesuatu langkah yang berarti dan menyerah sebelum berjuang. Sifat
pengecut dipandang sebagai sifat yang hina dan akan membawa manusia kepada
kerendahan dan kemunduran.

Perasaan takut kepada sesuatu memang pada dasarnya ada pada setiap manusia
yang normal. Di sini ada takut yang wajar membuat seseorang berhati-hati dalam
tindakan agar jangan terjerumus ke dalam bahaya, misalnya takut kepada anjing gila yang
sedang mengamuk sehingga mencari jalan menghindarinya. Tetapi ada pula yang takut
berlebih-lebihan, cemas yang tiada beralasan sebagai penjelmaan dari sifat pengecut.
Misalnya takut naik pesawat terbang karena khawatir mengalami kecelakaan, tidak mau
berdagang karena takut merugi.

Untuk mengobati penyakit takut ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu :

a. Salah satu sumber ketakutan adalah kebodohan. Maka obatnya adalah dengan
menghilangkan kebodohan itu. Misalnya seseorang takut kepada sesuatu bayangan di
malam gelap sehingga menjadi gemetar. Setelah diketahui barang yang ditakutinya
itu sebenarnya adalah sebuah batu biasa, maka hilanglah takutnya.
b. Salah satu sumber ketakutan adalah karena tidak biasa. Contohnya seorang yang takut
naik perahu, karena tidak biasa naik perahu. Seorang yang takut naik ke podium
berbicara karena tidak biasa. Obat takut yang semacam ini ialah dengan jalan
membiasakan melakukan sesuatu perbuatan.
c. Salah satu obat takut ialah dengan ikhtiar memperkecil kesulitan yang
digambarkannya. Seorang pedagang yang takut rugi, dapat memperkecil rasa
takutnya melalui managerial skill, menggunakan tenaga dan keterampilannya untuk
menutup segala pintu-pintu kerugian
d. Dan bagi orang yang beriman, obat takut yang paling utama adalah tawaqal,
penyerahan diri kepada Allah seraya berikhtiar semaksimal mungkin.
- Hikmah Keberanian

Perlu diketahui bahwa keberanian yang dimaksud disini bukanlah keberanian


membabi buta, melainkan keberanian yang didukung oleh pertimbangan dan fikiran yang
sehat. Ada peribahasa mengatakan :”Pemberani mati satu kali tetapi pengecut mati seribu
kali”. Hal ini menunjukkan bahwa keberanian itu membuahkan hikmah besar dalam
kehidupan manusia. Riwayat hidup orang-orang besar dan mulia dihayati oleh semangat
keberanian dalam perjuangan mereka. Mereka tidak akan maju mencapai keutamaan,
sekiranya mereka penakut.

Diantara buah dari sifat dan sikap syaja’ah itu adalah sebagai berikut :

a. Keberanian adalah hiasan pribadi yang mendorong manusia mencapai kemajuan,


sebagaimana yang telah dibuktikan oleh orang-orang yang berjasa bagi bangsanya,
agamanya dan kemanusiaan
b. Keberanian menimbulkan ketentraman, sebagaimana halnya sifat pengecut
menimbulkan kegelisahan dan keragu-raguan
c. Keberanian menghilangkan kesulitan dan kepahitan. Perasaan sulit sebenarnya
berakar pada rasa takut (cemas). Maka jika keberanian timbul, hilanglah rasa
kesulitan. Seorang yang takut menghadapi urusan, begitu sulit dirasakannya. Tetapi
jika dia berani menghadapi urusan itu, maka seketika itu hilanglah kesulitannya.
d. Keberanian membuahkan pelbagai kreasi yang produktif atau daya cipta yang
berguna. Jika dipelajari riwayat hidupo Edison penemu listrik dan Einstein dalam
ilmu atom, dapatlah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang berani mencari
sesuatu rahasia (misteri) yang terpendam. Dengan kata lain bahwa wajah dunia ini di
rubah oleh orang-orang berani.

8. Kekuatan (al-Quwwah)

Al-Quwwah (sifat kuat) atau izzatunnafs (jiwa takut) termasuk dalam rangkaian
fadlilah. Kekuatan pribadi manusia dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu :

a. Kekuatan fisik atau kekuatan jasmaniah yang meliputi otot


b. Kekuatan jiwa atau semangat
c. Kekuatan akal fikiran atau kecerdasan

Ada yang beranggapan bahwa kekuatan ada hubungannya dengan keturunan. Dari
orangtua yang kuat akan melahirkan keturunan yang kuat pula dan dari orang yang lemah
akan melahirkan keturunan yang lemah pula. Sekalipun demikian factor lingkungan,
pendidikan dan latihan yang diterimanya turut menentukan matang tidaknya kekuatan
yang diwariskan. Seseorang yang memiliki persediaan otot yang kuat jika dilatih dan
dikembangkan maka otot itu aka bertambah kuat, dan jika tidak dilatih maka persediaan
otot itu tidak bertumbuh.
Ada orang yang mungkin memiliki persediaan semangat yang lemah, tetapi
karena ditempa dan digembleng, maka persediaan yang sedikit itu efektif malahan
menjadi kuat. Demkian juga kecerdasan dapat dibina dan dikembangkan melalui
pendidikan dan latihan keterampilan

Kekuatan sebagai fadlilah (keutamaan) difahamkan dari berbagai dalil, antara


lain: QS.Ali Imran (3): 139,

‫وَﻻ ﺗَ ِﻬﻨُﻮا وَﻻ ﺗَ ْﺤ َﺰﻧُﻮا َوأَﻧْـﺘُ ُﻢ اﻷ ْﻋﻠ َْﻮ َن إِ ْن ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﻣ ُْﺆِﻣﻨِﻴ َﻦ‬
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.

QS. An-Nisa’(4): 97.

‫ُﺴ ِﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻓِﻴ َﻢ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ُﻛﻨﱠﺎ‬


ِ ‫إِ ﱠن اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﺗـ ََﻮﻓﱠﺎ ُﻫ ُﻢ اﻟْﻤَﻼﺋِ َﻜﺔُ ﻇَﺎﻟِﻤِﻲ أَﻧْـﻔ‬
‫َﺎﺟﺮُوا‬
ِ ‫َاﺳ َﻌﺔً ﻓَـﺘُـﻬ‬
ِ ‫ض اﻟﻠﱠ ِﻪ و‬
ُ ‫ْض ﻗَﺎﻟُﻮا أَﻟَ ْﻢ ﺗَ ُﻜ ْﻦ أَ ْر‬
ِ ‫ﻀ َﻌﻔِﻴ َﻦ ﻓِﻲ اﻷر‬
ْ َ‫ُﻣ ْﺴﺘ‬
‫َت َﻣﺼِﻴﺮًا‬
ْ ‫ِﻚ َﻣﺄْوَا ُﻫ ْﻢ َﺟ َﻬﻨﱠ ُﻢ َوﺳَﺎء‬
َ ‫ﻓِﻴﻬَﺎ ﻓَﺄُوﻟَﺌ‬
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya
diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
(Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali,

Kekuatan itu hendaklah dibina dan diikhtiarkan supaya bertambah dalam diri
yang dengannya dapat dipergunakan meningkatkan amal kebaikan. Tambahan kekuatan
itu dapat diperoleh selain berusaha menurut fitrah atau jalan-jalan yang wajar juga
memohon kepada Allah SWT. Perhatikan QS.al-Isra’ (17): 80,

‫ْق وَا ْﺟ َﻌ ْﻞ ﻟِﻲ‬


ٍ ‫ﺻﺪ‬
ِ ‫ْق َوأَ ْﺧ ِﺮ ْﺟﻨِﻲ ُﻣ ْﺨ َﺮ َج‬
ٍ ‫ﺻﺪ‬
ِ ‫ْﺧ ْﻠﻨِﻲ ُﻣ ْﺪ َﺧ َﻞ‬
ِ ‫َب أَد‬
‫َوﻗُ ْﻞ ر ﱢ‬
‫ْﻚ ُﺳ ْﻠﻄَﺎﻧًﺎ ﻧَﺼِﻴﺮًا‬
َ ‫ِﻣ ْﻦ ﻟَ ُﺪﻧ‬
Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang menolong.

QS.Hud (11): 52.

‫ﺴﻤَﺎءَ َﻋﻠَﻴْ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﺪرَارًا‬


‫ْﺳ ِﻞ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫َوﻳَﺎ ﻗـَﻮِْم ا ْﺳﺘَـﻐْ ِﻔﺮُوا َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ﺛُ ﱠﻢ ﺗُﻮﺑُﻮا إِﻟَْﻴ ِﻪ ﻳـُﺮ‬
‫َﻮﻟﱠﻮْا ُﻣ ْﺠ ِﺮﻣِﻴ َﻦ‬
َ ‫َوﻳَ ِﺰ ْد ُﻛ ْﻢ ﻗـ ﱠُﻮةً إِﻟَﻰ ﻗـ ﱠُﻮﺗِ ُﻜ ْﻢ وَﻻ ﺗَـﺘـ‬
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah
kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan
menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan
berbuat dosa."

Sikap kuat termasuk dalam fadlilah dan sebaliknya dilarang bersifat lemah karena
dengan kekuatan itulah seorang mukmin akan bekerja lebih banyak dan lebih produktif,
sedangkan orang-orang yang lemah tidak dapat diharapkan berbuat apa-apa untuk
kemajuan dan perkembangan.

HR.Muslim :”Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dikasihi Allah azza
wajalla daripada mukmin yang lemah, sekalipun masing-masing ada kebaikannya.
Rajinlah berbuat apa-apa yang mendatangkan manfaat bagi kamu dan mintalah bantuan
kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah”. Karena itulah maka ketiga jenis
kekuatan yang dianugrahkan Allah yakni: jasmani, rohani (semangat) dan fikiran
hendaklah dibina dengan sebaik-baiknya karena hal itu merupakan alat yang ampuh
untuk berbuat lebih banyak dalam kebajikan. Sebaliknya sikap lemah diri hendaknyalah
dijauhkan karena hal itu membuat manusia mundur dan tidak produktif.

Untuk terhindar dari sikap lemah, perhatikan HR. Abu Daud: “Ya Allah, Aku
mohon perlindungan kepada Engkau daripada gelisah dan dukacita, dan aku mohon
perlindungan kepada Engkau daripada kelemahan dan kemalasan, dan aku mohon
perlindungan kepada Engkau daripada sifat pengecut dan kikir, dan aku mohon
perlindungan kepada Engkau daripada tumpukan hutang dan tekanan orang”.

Manusia-manusia mulia, utama dan berjasa yang dipandang sebagai orang-orang


besar dalam dunia ini adalah manusia kuat yang secara efektif telah mengarahkan dan
menggerakkan kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam diri pribadinya. Sebaliknya
manusia-manusia lemah diri, adalah orang-orang mundur yang tidak dapat berbuat
sesuatu, malahan mereka dapat menjadi tertindas dan terjajah di muka bumi.
9. Kesabaran (as-Shabr)

Ada peribahasa menyatakan bahwa kesabaran itu pahit laksana jadam, namun
akibatnya lebih manis daripada madu. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah
kesabaran sebagai fadlilah. Kesabaran dapat dibagi kepada dua kategori, yaitu:

1. Kesabaran ketika ditimpa musibah (tabah)


2. Kesabaran dalam mengerjakan sesuatu (rajin, tekun, istiqamah)

- Kesabaran sebagai fadlilah

Sabar ketika ditimpa musibah atau malapetaka, dipandang sebagai fadlilah, lihat
QS.al-Baqarah (2): 155-156.

‫ُﺲ‬
ِ ‫َال وَاﻷﻧْـﻔ‬
ِ ‫ْﺺ ِﻣ َﻦ اﻷﻣْﻮ‬
ٍ ‫ُﻮع َوﻧَـﻘ‬
ِ ‫ْف وَاﻟْﺠ‬
ِ ‫َﻲ ٍء ِﻣ َﻦ اﻟْﺨَﻮ‬
ْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠ َُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺸ‬
‫ﺸ ِﺮ اﻟﺼﱠﺎﺑِﺮِﻳ َﻦ‬
‫َات َوﺑَ ﱢ‬
ِ ‫وَاﻟﺜﱠ َﻤﺮ‬
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar

‫َاﺟﻌُﻮ َن‬
ِ ‫اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ إِذَا أَﺻَﺎﺑَـ ْﺘـ ُﻬ ْﻢ ُﻣﺼِﻴﺒَﺔٌ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ ر‬
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"

Sabar dalam mengerjakan sesuatu berarti tekun , rajin, dan ulet. Juga dimasukkan
sebagai istiqamah. Lurus pantang mundur dan belok dari melaksanakan kewajiban. Sikap
ini jelas masuk dalam fadlilah (lihat QS. Fussilat (41): 30.

‫ﱠل َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟْﻤَﻼﺋِ َﻜﺔُ أَﻻ‬


ُ ‫إِ ﱠن اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻗَﺎﻟُﻮا َرﺑﱡـﻨَﺎ اﻟﻠﱠﻪُ ﺛُ ﱠﻢ ا ْﺳﺘَـﻘَﺎﻣُﻮا ﺗَـﺘَـﻨَـﺰ‬
‫ْﺸﺮُوا ﺑِﺎﻟْ َﺠﻨﱠ ِﺔ اﻟﱠﺘِﻲ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﺗُﻮ َﻋﺪُو َن‬
ِ ‫ﺗَﺨَﺎﻓُﻮا وَﻻ ﺗَ ْﺤ َﺰﻧُﻮا َوأَﺑ‬
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa
sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan
Allah kepadamu".

- Faktor-faktor Kesabaran

Kesabaran itu tidak dapat dipaksakan begitu saja dalam pribadi seseorang,
melainkan ada beberapa faktornya, yaitu :

a. Syaja’ah atau keberanian : seseorang dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam
jiwanya ada keberanian menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan
sesuatu. Dari seorang pengecut sukar diharapkan padanya sikap sabar
b. Al-Quwwah atau kekuatan : Seseorang dapat bersabar terhadap segala sesuatu jika
dalam dirinya cukup tersimpan sejumlah kekuatan sebagaimana pernah diuraikan.
Dari orang yang lemah kepribadiannya sukar diharapkan kesabarannya menghadapi
sesuatu
c. Kesadaran dan pengetahuan : Kesadaran adalah sumber kesabaran. Jika seseorang
tahu dan sadar akan manfaat sesuatu pekerjaan barulah dia dapat bersabar dalam
mengerjakannya. Hal ini diingatkan oleh Khidr as. kepada Nabi Musa as. (QS. Al-
Kahfi: 68).

‫ﻂ ﺑِ ِﻪ ُﺧ ْﺒـﺮًا‬
ْ ‫ُﺤ‬
ِ ‫ﺼﺒِ ُﺮ َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻟَ ْﻢ ﺗ‬
ْ َ‫ْﻒ ﺗ‬
َ ‫َوَﻛﻴ‬
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

- Buah kesabaran

Memang kesabaran lebih pahit dari jadam, tetapi buahnya lebih manis dari madu.
Adapun manfaat dari kesabaran itu dapat dinikmati setelah orang lulus daripadanya,
dengan memperoleh kemenangan.

a. Memperoleh rahmat dan kegembiraan (QS. Al-Baqarah (2):155

‫ُﺲ‬
ِ ‫َال وَاﻷﻧْـﻔ‬
ِ ‫ْﺺ ِﻣ َﻦ اﻷﻣْﻮ‬
ٍ ‫ُﻮع َوﻧَـﻘ‬
ِ ‫ْف وَاﻟْﺠ‬
ِ ‫َﻲ ٍء ِﻣ َﻦ اﻟْﺨَﻮ‬
ْ ‫َوﻟَﻨَْﺒـﻠ َُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺸ‬
‫ﺸ ِﺮ اﻟﺼﱠﺎﺑِﺮِﻳ َﻦ‬
‫َات َوﺑَ ﱢ‬
ِ ‫وَاﻟﺜﱠ َﻤﺮ‬
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar,

b. Memperoleh pertolongan dan kemenangan (QS. Al-Anfal (8): 65


‫َﺎل إِ ْن ﻳَ ُﻜ ْﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻋ ْﺸﺮُو َن‬
ِ ‫ﱢض اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨِﻴ َﻦ َﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻘﺘ‬
ِ ‫ﻳَﺎ أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ َﺣﺮ‬
‫ﺻَﺎﺑِﺮُو َن ﻳَـﻐْﻠِﺒُﻮا ﻣِﺎﺋَـﺘَـ ْﻴ ِﻦ َوإِ ْن ﻳَ ُﻜ ْﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻣِﺎﺋَﺔٌ ﻳَـﻐْﻠِﺒُﻮا أَﻟْﻔًﺎ ِﻣ َﻦ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ‬
‫َﻛ َﻔﺮُوا ﺑِﺄَﻧﱠـ ُﻬ ْﻢ ﻗـ َْﻮٌم ﻻ ﻳَـ ْﻔ َﻘﻬُﻮ َن‬
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka
dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir
itu kaum yang tidak mengerti.

c. Memperoleh kesenangan dan kebhagiaan (QS. Ar-Ra’du (13): 24

‫ﺻﺒـ َْﺮﺗُ ْﻢ ﻓَﻨِ ْﻌ َﻢ ﻋُ ْﻘﺒَﻰ اﻟﺪﱠا ِر‬


َ ‫ﺳَﻼ ٌم َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺑِﻤَﺎ‬
(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.

- Putus asa dan kemalasan

Sebagai kebalikan dari sifat sabar adalah sikap putus asa yakni ketidak mampuan
seseorang menanggung derita atas musibah dan kemalasan yakni ketidak sanggupan
seseorang bertekun dalam suatu kewajiban. Putus asa adalah cirri kelemahan mental dan
dalam beberapa ayat Al Qur’an ditegaskan bahwa sikap tersebut hanyalah pantas bagi
kaum kafir. Demikian juga sifat malas digolongkan sebagai akhlaq mazmumah.

10. Kasih sayang (ar-Rahmah)

Pada dasarnya sifat kasih sayang (ar-rahmah) adalah fitrah yang dianugrahkan
Allah kepada pelbagai makhluk. Pada hewan misalnya kita perhatikan begitu kasihnya
kepada anaknya, sehingga rela berkorban jika anaknya diganggu. Naluri inipun ada pada
manusia, dimulai dari kasih sayang orangtua kepada anaknya, dan sebaliknya kecintaan
anak kepada orangtuanya, hingga dalam lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan
keluarga, tetangga, kampong, bangsa dan yang amat luas adalah kasih sayang antara
manusia.

Akan tetapi naluri kasih sayang ini dapat tertutup jika terdapat hambatan-
hambatan misalnya karena pertengkaran, permusuhan, kerakusan, kedengkian, dan lain-
lain qabihah. Islam menghendaki agar kasih sayang dan sifat belas kasih dikembangkan
secara wajar, sejak kasih sayang dalam lingkungan keluarga sampai kepada kasih sayang
yang lebih luas dalam bentuk kemanusiaan , malahan lebih luas lagi belasan kasih kepada
hewan-hewan sekalipun. Jika diperinci maka ruang lingkup ar-Rahmah ini dapat
diutarakan dalam beberapa tingkatan, yaitu :

1. Kasih sayang dalam lingkungan keluarga: kasihnya orangtua kepada anak, kasihnya
suami istri, kasihnya antara orang yang bersaudara dan berkeluarga\
2. Kasih sayang dalam lingkungan tetangga dan kampong: suatu pertalian kasih sayang
yang timbul dan tumbuh karena hidup bersama dalam suatu lingkungan tetangga dan
kampong
3. Kasih saying dalam lingkungan bangsa: perasaan kasih dan simpati yang timbul
akibat persamaan rumpun, suku bangsa, rasa senasib, baik dalam perjuangan yang
menyangkut kenegaraan
4. Kasih sayang dalam lingkungan keagamaan : Mencintai dan mengasihi sesama orang
yang seagama, karena memandang saudara dalam aqidah dan keyakinan
5. Kasih sayang dalam bentuk prikemanusiaan: Mencintai sesama manusia atas dasar
pengertian bahwa manusia adalah sama-sama berasal dari satu keturunan , asalnya
satu bapak dan satu ibu
6. Kasih sayang kepada sesama makhluk (universal) : Misalnya mengasihi hewan dan
tumbuh-tumbuhan.

- Prinsip-prinsip kasih sayang dalam Islam

Allah mengajarkan bahwa Dialah yang Maha Pengasih (ar-Rahman) atau paling
luas dan agung belas kasihnya. Tercermin dalam do’a para malikat, (lihat QS.al-Mu’min
(40): 7,

‫ﺴﺒﱢﺤُﻮ َن ﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪ َرﺑﱢ ِﻬ ْﻢ َوﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮ َن ﺑِ ِﻪ‬


َ ُ‫ْش َوَﻣ ْﻦ ﺣ َْﻮﻟَﻪُ ﻳ‬
َ ‫اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳَ ْﺤ ِﻤﻠُﻮ َن اﻟْﻌَﺮ‬
‫َﻲ ٍء َر ْﺣ َﻤﺔً َو ِﻋ ْﻠﻤًﺎ ﻓَﺎ ْﻏﻔ ِْﺮ‬
ْ ‫ْﺖ ُﻛ ﱠﻞ ﺷ‬
َ ‫َﺳﻌ‬
ِ ‫َوﻳَ ْﺴﺘَـﻐْ ِﻔﺮُو َن ﻟِﻠﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا َرﺑﱠـﻨَﺎ و‬
‫َﺤ ِﻴﻢ‬
ِ ‫َاب اﻟْﺠ‬
َ ‫َﻚ َوﻗِ ِﻬ ْﻢ َﻋﺬ‬
َ ‫ﻟِﻠﱠﺬِﻳ َﻦ ﺗَﺎﺑُﻮا وَاﺗﱠـﺒَـﻌُﻮا َﺳﺒِﻴﻠ‬
(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan malaikat yang berada di sekelilingnya
bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan
ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami,
rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada
orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari
siksaan neraka yang menyala-nyala,
QS.al-A’raf (7): 156,

‫َﺎل‬
َ ‫ْﻚ ﻗ‬
َ ‫اﻵﺧ َﺮِة إِﻧﱠﺎ ُﻫ ْﺪﻧَﺎ إِﻟَﻴ‬
ِ ‫ﺴﻨَﺔً َوﻓِﻲ‬
َ ‫ُﺐ ﻟَﻨَﺎ ﻓِﻲ َﻫ ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َﺣ‬
ْ ‫وَا ْﻛﺘ‬
‫ﺴﺄَ ْﻛﺘُﺒُـﻬَﺎ‬
َ َ‫َﻲ ٍء ﻓ‬
ْ ‫ﺖ ُﻛ ﱠﻞ ﺷ‬
ْ ‫َﺳ َﻌ‬
ِ ‫ِﻴﺐ ﺑِ ِﻪ َﻣ ْﻦ أَﺷَﺎءُ َوَر ْﺣ َﻤﺘِﻲ و‬
ُ ‫َﻋﺬَاﺑِﻲ أُﺻ‬
‫ﻟِﻠﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳَـﺘﱠـﻘُﻮ َن َوﻳـ ُْﺆﺗُﻮ َن اﻟ ﱠﺰﻛَﺎةَ وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ُﻫ ْﻢ ﺑِﺂﻳَﺎﺗِﻨَﺎ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮ َن‬
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya
kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan
Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala
sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang
menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami".

QS.al-An’am (6): 54.

‫َﺐ َرﺑﱡ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ‬


َ ‫َك اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳـ ُْﺆِﻣﻨُﻮ َن ﺑِﺂﻳَﺎﺗِﻨَﺎ ﻓَـ ُﻘ ْﻞ ﺳَﻼ ٌم َﻋﻠَﻴْ ُﻜ ْﻢ َﻛﺘ‬
َ ‫َوإِذَا ﺟَﺎء‬
‫َﺎب ِﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌ ِﺪ ِﻩ‬
َ ‫ْﺴ ِﻪ اﻟ ﱠﺮ ْﺣ َﻤﺔَ أَﻧﱠﻪُ َﻣ ْﻦ َﻋ ِﻤ َﻞ ِﻣﻨْ ُﻜ ْﻢ ﺳُﻮءًا ﺑِ َﺠﻬَﺎﻟَ ٍﺔ ﺛُ ﱠﻢ ﺗ‬
ِ ‫ﻧَـﻔ‬
‫ﺻﻠَ َﺢ ﻓَﺄَﻧﱠﻪُ ﻏَﻔُﻮٌر رَِﺣﻴ ٌﻢ‬
ْ َ‫َوأ‬
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu,
maka katakanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya
kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara
kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan
mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Dari contoh-contoh ayat diatas itu Allah memerintahkan pula agar hendaknya manusia
memilki sifat kasih sayang dalam diri pribadinya: QS. Al-Balad (90): 17.

‫ﺼ ْﺒ ِﺮ َوﺗـَﻮَاﺻَﻮْا ﺑِﺎﻟْﻤ َْﺮ َﺣ َﻤ ِﺔ‬


‫ﺛُ ﱠﻢ ﻛَﺎ َن ِﻣ َﻦ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا َوﺗـَﻮَاﺻَﻮْا ﺑِﺎﻟ ﱠ‬
Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan
saling berpesan untuk berkasih sayang.
H.R. Bukhari : “Tidaklah (dipandang) beriman seseorang dari kalian, sehingga
disukainya untuk saudaranya apa yang disukainya untuk dirinya sendiri”.

Juga dari H.R. Bukhari : “siapa yang tidak berbelas kasih kepada manusia, niscaya
Allah tidak berbelas kasih pula kepadanya”.

H.R. Thabrani: “Siapa yang tidak bersifat belas kasih kepada yang ada di bumi, diapun
tidak dikasihi oleh yang ada di langit”.

- Pelbagai sifat yang lahir dari sifat ar-Rahmah

Manakala sifat ar-rahmah ini terhunjam kuat dalam diri pribadi seseorang, niscaya
akan lahirlah pelbagai sikap mahmudah lainnya, antara lain :

1. Pemurah (as-Sakha’) : yaitu sifat suka mengulurkan tangan kedermawanan kepada


orang lain yang menghajadkannya. Di sini lahir sifat infaq, yakni rela membelanjakan
harta bagi kepentingan keluarga dan amal social. Betapa sikap ini termasuk akhlaqul
mahmudah, karena Al Qur’an menerangkan hal tersebut
2. Tolong menolong (at-Ta’awun): yaitu sikap yang senang menolong orang lain, baik
dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga atau moril sekalipun. (QS. Al-
Maidah (5): 2.

‫ي‬
َ ‫ﺸﻬ َْﺮ اﻟْ َﺤﺮَا َم وَﻻ اﻟْ َﻬ ْﺪ‬
‫ُﺤﻠﱡﻮا َﺷﻌَﺎﺋَِﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ وَﻻ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫أَﻳﱡـﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﻻ ﺗ‬
‫ْﺖ اﻟْ َﺤﺮَا َم ﻳَـ ْﺒﺘَـﻐُﻮ َن ﻓَﻀْﻼ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢ ِﻬ ْﻢ َوِرﺿْﻮَاﻧًﺎ‬
َ ‫وَﻻ اﻟْﻘَﻼﺋِ َﺪ وَﻻ آﻣﱢﻴ َﻦ اﻟْﺒَـﻴ‬
‫ﺻﺪﱡوُﻛ ْﻢ َﻋ ِﻦ‬
َ ‫ﺻﻄَﺎدُوا وَﻻ ﻳَ ْﺠ ِﺮَﻣﻨﱠ ُﻜ ْﻢ َﺷﻨَﺂ ُن ﻗـَﻮٍْم أَ ْن‬
ْ ‫َوإِذَا َﺣﻠَ ْﻠﺘُ ْﻢ ﻓَﺎ‬
‫َﺎوﻧُﻮا‬
َ ‫َﺎوﻧُﻮا َﻋﻠَﻰ اﻟْﺒ ﱢِﺮ وَاﻟﺘﱠـﻘْﻮَى وَﻻ ﺗَـﻌ‬
َ ‫َام أَ ْن ﺗَـ ْﻌﺘَﺪُوا َوﺗَـﻌ‬
ِ ‫ْﺠ ِﺪ اﻟْ َﺤﺮ‬
ِ ‫اﻟْ َﻤﺴ‬
‫َﺎب‬
ِ ‫َﻋﻠَﻰ اﻹﺛ ِْﻢ وَاﻟْﻌُﺪْوَا ِن وَاﺗﱠـﻘُﻮا اﻟﻠﱠﻪَ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﺷﺪِﻳ ُﺪ اﻟْ ِﻌﻘ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-
binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan
keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.

Jika sikap tolong menolong telah terhunjam dalam diri pribadi, maka setiap ada
seseorang dalam kesulitan, selalu tergugah untuk bangkit memberikan
pertolongannya.

3. Pemaaf (al-Afwu): yaitu sifat pemaaf yang tumbuh karena sadar bahwa manusia
bersifat dlalif tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Dengan rahmat dari Allah,
maka Rasulullah SAW berlapang dada memaafkan sahabat-sahabatnya yang pernah
bersalah. (QS. Ali-Imran (3): 159.

‫ﻓَﺒِﻤَﺎ َر ْﺣ َﻤ ٍﺔ ِﻣ َﻦ‬
‫ْﻒ َﻋ ْﻨـ ُﻬ ْﻢ وَا ْﺳﺘَـﻐْﻔ ِْﺮ ﻟَ ُﻬ ْﻢ َوﺷَﺎ ِو ْرُﻫ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻣ ِﺮ ﻓَِﺈذَا‬
ُ ‫ِﻚ ﻓَﺎﻋ‬
َ ‫ِﻣ ْﻦ ﺣ َْﻮﻟ‬
‫َﻮﱢﻛﻠِﻴ َﻦ‬
َ ‫ﺐ اﻟْ ُﻤﺘـ‬
‫ُﺤ ﱡ‬
ِ ‫َﻮﱠﻛ ْﻞ َﻋﻠَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳ‬
َ ‫ْﺖ ﻓَـﺘـ‬
َ ‫َﻋ َﺰﻣ‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

4. Damai (al-Ishlah): orang yang jiwanya penuh kasih sayang akan memancarkan pula
daripadanya sikap suka kepada perdamaian dan perbaikan. Ia selalu cenderung
mengulurkan tangan perdamaian kepada orang yang memusuhinya, dan tidak ingin
mencari-cari permusuhan dengan seseorang. Selama masih ada jalan perdamaian,
ditempuhnya jalan itu. Jika ada diantara orang yang bersengketa, sdikapnya selalu
cenderung untuk mendamaikan atau mencari perbaikan. Sikap ini termasuk fadlilah
sebagaimana dalam QS.al-Hujarat (49): 9,

‫َﺖ‬
ْ ‫ﺻﻠِﺤُﻮا ﺑَـ ْﻴـﻨَـ ُﻬﻤَﺎ ﻓَِﺈ ْن ﺑَـﻐ‬
ْ َ‫َوإِ ْن ﻃَﺎﺋَِﻔﺘَﺎ ِن ِﻣ َﻦ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨِﻴ َﻦ اﻗْـﺘَﺘَـﻠُﻮا ﻓَﺄ‬
‫إِ ْﺣﺪَا ُﻫﻤَﺎ َﻋﻠَﻰ اﻷ ْﺧﺮَى ﻓَـﻘَﺎﺗِﻠُﻮا اﻟﱠﺘِﻲ ﺗَـ ْﺒﻐِﻲ َﺣﺘﱠﻰ ﺗَﻔِﻲءَ إِﻟَﻰ أَ ْﻣ ِﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
‫ﺐ‬
‫ُﺤ ﱡ‬
ِ ‫ْﺴﻄُﻮا إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳ‬
ِ ‫ْل َوأَﻗ‬
ِ ‫ﺻﻠِﺤُﻮا ﺑَـ ْﻴـﻨَـ ُﻬﻤَﺎ ﺑِﺎﻟْ َﻌﺪ‬
ْ َ‫َت ﻓَﺄ‬
ْ ‫ﻓَِﺈ ْن ﻓَﺎء‬
‫ْﺴﻄِﻴ َﻦ‬
ِ ‫اﻟْ ُﻤﻘ‬
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

QS.Hud (11): 88.

‫ﺴﻨًﺎ‬
َ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ ﺑَـﻴﱢـﻨَ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢﻲ َوَرَزﻗَﻨِﻲ ِﻣ ْﻨﻪُ ِر ْزﻗًﺎ َﺣ‬
ُ ‫َﺎل ﻳَﺎ ﻗـَﻮِْم أَ َرأَﻳْـﺘُ ْﻢ إِ ْن ُﻛﻨ‬
َ‫ﻗ‬
‫ح ﻣَﺎ‬
َ ‫َوﻣَﺎ أُرِﻳ ُﺪ أَ ْن أُﺧَﺎﻟَِﻔ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ ﻣَﺎ أَﻧْـﻬَﺎ ُﻛ ْﻢ َﻋ ْﻨﻪُ إِ ْن أُرِﻳ ُﺪ إِﻻ اﻹﺻْﻼ‬
‫ِﻴﺐ‬
ُ ‫ْﺖ َوإِﻟَْﻴ ِﻪ أُﻧ‬
ُ ‫ْﺖ َوﻣَﺎ ﺗـ َْﻮﻓِﻴﻘِﻲ إِﻻ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ ﺗـ ََﻮﱠﻛﻠ‬
ُ ‫ا ْﺳﺘَﻄَﻌ‬
Syuaib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang
nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik
(patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu
(dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik
bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.

5. Persaudaraan (al-Ikha’): Dari jiwa yang penuh kasih sayang mudah diperoleh
semangat persaudaraan . (QS.al-Hujarat (49):10.

‫َﻮﻳْ ُﻜ ْﻢ وَاﺗﱠـﻘُﻮا اﻟﻠﱠﻪَ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗـ ُْﺮ َﺣﻤُﻮ َن‬


َ ‫ﺻﻠِﺤُﻮا ﺑَـ ْﻴ َﻦ أَﺧ‬
ْ َ‫اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨُﻮ َن إِﺧ َْﻮةٌ ﻓَﺄ‬
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat
6. Membnagun persaudaraan hanya mungkin dilakukan jika dalam jiwa masing-masing
terhunjam rasa kasih sayang kepada sesama muslim atau mukmin
7. Menghubungkan tali kekeluargaan (silaturahmi): dari pelbagai sifat dan sikap
mahmudah tersebut, maka seorang muslim tidak akan senang memutuskan tali
persaudaraan (kekeluargaan), melainkan akan terus membinanya melalui berbagai
jalan dan cara.
Dari Muttafaq ‘Alaih: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian,
maka hendaklah dia hubungkan tali kekeluargaannya”.
H.R. Dailami: “Dua orang yang Allah tidak indahkan dia di hari kiamat, pemutus
tali kekeluargaan dan tetangga yang jahat”.

- Berbagai sifat dan sikap qabihah

Jika sifat dana sikap tersebut di atas termasuk fadlilah, maka sebagai
kebalikannya ditemukan sifat dan sikap qabihah yang meliputi : angkara murka,
kebencian, egoism, individualisme, bakhil, dendan kesumat, adu domba dan sebagainya.

11. Hemat (al-Iqthishad).

Salah satu factor yang menyebabkan banyak manusia menderita kerugian adalah
pemborosan, yang meliputi: pemborosan harta benda, waktu dan tenaga. Sebaliknya
beruntunglah manusia yang memiliki sifat dan sikap hemat (al-Iqthishad) dalam segala-
galanya, , yang segala langkahnya diukur berdasarkan garis-garis ketentuan syara’.

Yang dimaksud hemat (al-Iqtishad) ialah menggunakan segala sesuatu yang


tersedia berupa harta benda, waktu dan tenaga menurut ukuran keperluan, mengambil
jalan tengah, tidak kurang dan tidak berlebihan.

- Penghematan harta benda

Penghematan harta benda menurut garis-garis ketentuan Islam dinyatakan pada


QS.al-Furqan (25): 67

‫ِﻚ ﻗـَﻮَاﻣًﺎ‬
َ ‫وَاﻟﱠﺬِﻳ َﻦ إِذَا أَﻧْـ َﻔﻘُﻮا ﻟَ ْﻢ ﻳُ ْﺴ ِﺮﻓُﻮا َوﻟَ ْﻢ ﻳَـ ْﻘﺘُـﺮُوا َوﻛَﺎ َن ﺑَـ ْﻴ َﻦ ذَﻟ‬
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.

dan dengan pengambilan jalan tengah antara boros dan kikir adalah sifat yang
terpuji, akhlaqul mahmudah. Itulah yang dimaksud dengan penghematan, karena
membelanjakan harta benda dengan sebaik-baiknya dengan cara yang wajar dan pantas.
Lihat QS.al-Lail (92):8-10,
‫ﺴ ُﺮﻩُ ﻟِﻠْﻌُ ْﺴﺮَى‬
‫ﺴﻨُـﻴَ ﱢ‬
َ ‫ﱠب ﺑِﺎﻟْ ُﺤ ْﺴﻨَﯩ َﻔ‬
َ ‫َﺨ َﻞ وَا ْﺳﺘَـﻐْﻨَﯩ َﻮَﻛﺬ‬
ِ ‫َوأَﻣﱠﺎ َﻣ ْﻦ ﺑ‬
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan
pahala yang terbaik , maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.

QS.al-Isra’(17): 29,

‫ْﻂ ﻓَـﺘَـ ْﻘﻌُ َﺪ‬


ِ ‫ﺴﻄْﻬَﺎ ُﻛ ﱠﻞ اﻟْﺒَﺴ‬
ُ ‫ِﻚ وَﻻ ﺗَـ ْﺒ‬
َ ‫َك َﻣﻐْﻠُﻮﻟَﺔً إِﻟَﻰ ﻋُﻨُﻘ‬
َ ‫وَﻻ ﺗَ ْﺠ َﻌ ْﻞ ﻳَﺪ‬
‫َﻣﻠُﻮﻣًﺎ َﻣ ْﺤﺴُﻮرًا‬
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.

bahwa Allah memperingatkan akibat yang bakal diderita oleh orang yang boros
dan kikir.

Oleh karena itu jalan yang paling baik ialah memelihara harta benda yang
dianugrahkan Allah dengan mengambil sikap jalan tengah, dengan berhemat yang
memungkinkan manusia terpelihara dari kehinaan dan penderitaan, (QS.at-Talaq (65): 7.

‫ﻟِﻴُـ ْﻨ ِﻔ ْﻖ ذُو َﺳ َﻌ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َﺳ َﻌﺘِ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ ﻗُ ِﺪ َر َﻋﻠَﻴْ ِﻪ ِر ْزﻗُﻪُ ﻓَـ ْﻠﻴُـﻨْ ِﻔ ْﻖ ِﻣﻤﱠﺎ آﺗَﺎﻩُ اﻟﻠﱠﻪُ ﻻ‬
‫ﱢﻒ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧَـ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ﻣَﺎ آﺗَﺎﻫَﺎ َﺳﻴَ ْﺠ َﻌﻞُ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑَـ ْﻌ َﺪ ﻋُ ْﺴ ٍﺮ ﻳُ ْﺴﺮًا‬
ُ ‫ﻳُ َﻜﻠ‬
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
(sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.

Itulah garis pokok dalam pembuatan anggaran belanja yang hemat, yakni
menyesuaikan dengan pendapatan (income) dan jangan sampai lebih besar pengeluaran
dari pemasukan. Sesuaia dengan hal tersebut di atas, maka ada beberapa factor teknis
yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain :
a. Membelanjakan sesuatu harta dengan mendahulukan apa-apa yang paling perlu.
Yakni kebutuhan primer harus didahulukan, baru menyusul kebutuhan sekunder
b. Tidak boleh membelanjakan sesuatu yang akibatnya merugikan diri pribadi dan tidak
memberikan manfaat apa-apa, misalnya minuman keras
c. Tidak boleh memelihara sesuatu yang hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri,
tetapi merugikan kepentingan orang banyak. Misalnya membeli pangan sebanyak-
banyaknya dengan tujuan penimbunan untuk memperoleh untung besar dalam musim
paceklik. Karena hal tersebut menghalangi sampainya barang kepada orang banyak
d. Perlu diperhitungkan dengan teliti antara pemasukan dan pengeluaran keuangan.
Janganlah pasak lebih besar dari pada tiang
e. Apabila sesuatu kepentingan itu urgen sekali (amat dibutuhkan) dalam memenuhi
hajat pribadi dan keluarga, janganlah segan mengeluarkan harta (infaq) secara wajar
dan pantas, misalnya dalam urusan pengobatan keluarga yang sakit

- Bahaya Hutang

Dalam salah satu do’a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dicantumkan :
mohon perlindungan dari tumpukan hutang. Memang hutang adalah salah satu beban
yang cukup berat, yang bagi seorang mukmin jiwanya akan selalu terganggu sebelum
hutangnya dilunasi.

H.R. Ahmad dan lain-lain : “Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya;
sampai hutang itu dibayarnya”.

Ada beberapa akibat buruk yang sering ditimbulkan oleh hutang, yaitu :

a. Menggoncangkan fikiran, mengganggu ketenangan dan ketentraman jiwa


b. Merugikan keluarga, karena dikecohkan oleh tagihan-tagihan hutang
c. Bila mencapai puncaknya, hutang yang besar dapat mendorong seseorang berbuat
jahat, misalnya korupsi, mencuri, dan menipu
d. Hutang seseorang dapat merusakkan pekerjaan orang lain, misalnya sesuatu
perusahaan mengalami kebangkrutan akibat piutang yang tidak terbayar yang
meminjam.

Adapun factor-faktor yang menyebabkan seseorang berhutang, adalah :


1. Keadaan memaksa, karena kesulitan hidup. Hal yang semacam ini dapat dimaklumi.
Misalnya karena sakit yang memerlukan pembelian obat
2. Kecenderungan untuk menikmati kemewahan. Karena emlihat orang-orang mewah
maka tergiurlah hati untuk menirunya. Karena tidak cukup uang, untuk itu dilakukan
pinjaman
3. Akibat perjudihan atau kalah judi, maka seseorang berusaha menebus kekalahannya
dengan jalan meminjam uang untuk meneruskan perjudiannya. Demikianlah ajaran
Islam menegaskan bahwa judi itu adalah perbuatan tercela yang bahayanya lebih
besar dari manfaatnya.

- Penghematan tenaga

Dalam diri manusia terdapat tenaga (energy) yang betapapun kuatnya pasti
terbatas adanya. Oleh karena itu hendaklah tenaga itu dimanfaatkan secara wajar menurut
kudrat kesanggupan dan jangan diberikan beban yang berlebihan. Sebaliknya pun tenaga
yang ada jangan dibiarkan menganggur.

Jalan tengah diantara keduanya itulah yang paling baik dan itulah penghematan
yang dikehendaki dalam etika Islam. Allah mengemukakan pada QS.al-Baqarah (2): 286,
185.

‫َﺖ‬
ْ ‫ﺴﺒ‬
َ َ‫َﺖ َو َﻋﻠَ ْﻴـﻬَﺎ ﻣَﺎ ا ْﻛﺘ‬
ْ ‫ﺴﺒ‬
َ ‫ﱢﻒ اﻟﻠﱠﻪُ ﻧَـ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ُو ْﺳ َﻌﻬَﺎ ﻟَﻬَﺎ ﻣَﺎ َﻛ‬
ُ ‫ﻻ ﻳُ َﻜﻠ‬
‫ﺻﺮًا َﻛﻤَﺎ‬
ْ ِ‫َﺴﻴﻨَﺎ أ َْو أَ ْﺧﻄَﺄْﻧَﺎ َرﺑﱠـﻨَﺎ وَﻻ ﺗَ ْﺤ ِﻤ ْﻞ َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ إ‬
ِ ‫َاﺧ ْﺬﻧَﺎ إِ ْن ﻧ‬
ِ ‫َرﺑﱠـﻨَﺎ ﻻ ﺗـُﺆ‬
‫ْﻒ‬
ُ ‫َﺣ َﻤ ْﻠﺘَﻪُ َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـ ْﺒﻠِﻨَﺎ َرﺑﱠـﻨَﺎ وَﻻ ﺗُ َﺤ ﱢﻤ ْﻠﻨَﺎ ﻣَﺎ ﻻ ﻃَﺎﻗَﺔَ ﻟَﻨَﺎ ﺑِ ِﻪ وَاﻋ‬
‫ْﺖ ﻣَﻮْﻻﻧَﺎ ﻓَﺎﻧْﺼ ُْﺮﻧَﺎ َﻋﻠَﻰ اﻟْﻘَﻮِْم اﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳ َﻦ‬
َ ‫َﻋﻨﱠﺎ وَاﻏْﻔ ِْﺮ ﻟَﻨَﺎ وَا ْر َﺣ ْﻤﻨَﺎ أَﻧ‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah
kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir".

Allah sendiri tidak membebani hamba-Nya lebih dari nukuran tenaga (kudrat)
yang telah ditentukan atasnya. Barang siapa membebani diri lebih dari batas
kesanggupan, berarti menganiaya diri sendiri.

Ketika Rasulullah masuk ke dalam rumah, ada seorang wanita bernama Aisyah.
Beliau menanyakan siapa gerangan wanita itu? Aisyah menerangkan bahwa wanita itu
adalah Fulanah (si anu) yang terkenal kelebihannya (kerajinannya) dalam shalat. Maka
Nabi bersabda “Mah (kata yang menunjukkan kurang setuju). Hendaklah dikerjakan
menurut ukuran kesanggupan tenaga, dengan tidak memaksakan diri. Maka demi Allah,
tidaklah Allah akan jemu menerima amalan hingga kamu jemu beramal. Dan kelakuan
agama yang lebih disukai Allah ialah apa-apa yang dapat dikerjakan secara terus-
menerus.

Dalam salah satu riwayat, Rasulullah SAW mengingatkan agar seseorang


hendaklah memperhatika fisiknya dan janganlah dibebani lebih daripada batas
kesanggupannya. Pada suatu ketika, Rasulullah masuk masjid, ditemuinya ada tali yang
terulur diantara dua tegak. Nabi bertanya tali apakah ini? : Orang-orang menjawab itu tali
kepunyaan Zainab, jika ia merasa letih berdiri shalat berpeganglah dia pada tali itu”.
Hendaklah dalam shalat dalam keadaan tangkas cekatan, dan manakala telah letih
hendaklah pergi tidur”.

Abu Abdullah (jabir) bin Samurah r.a berkata :”Saya telah bershalat dengan Rasulullah
SAW, shalatnya sedang dan khutbahnya juga sedang”. Demikian menurut riwayat
Muslim.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penghematan tenaga ialah memanfaatkan


persediaan energy yang ada secara wajar, tidak disimpan menjadi beku dan kaku tetapi
juga tidak dieksploitir secara berlebihan. Yang paling baik ialah memelihara
kelanggengan (kontinuitas) pekerjaan melalui penghematan tenaga.

- Penghematan waktu

Memanfaatkan waktu yang tersedia dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan


produktif, efisien dan efektif itulah yang dimaksudkan sebagai penghematan waktu.
Tidak membiarkan waktu itu lolos begitu saja tanpa pengisian acara-acara yang
bermanfaat. Jika orang Barat mempunyai semboyan : “Time is money” (waktu adalah
uang), jauh sebelum itu Allah SWT telah menandaskan pada QS.al-Ashr (103):1-3.

Jika dengan falsafah Barat tidak membiarkan setiap detik dan menit lolos tanpa
menghasilkan dolar, maka seorang mukmin tidak membiarkan setiap detik dan menit
lolos tanpa menghasilkan amal kebaikan.

Adapun orang yang tidak mempergunakan waktu sebagaimana mestinya, berarti


umurnya sia-sia belaka. Seperti halnya orang yang tidak membelanjakan uangnya kecuali
untuk menutup kebutuhan perutnya adalah seorang miskin. Hendaklah disadari bahwa
persediaan waktu yang diberikan Allah amat terbatas adanya. Siang dan malam silih
berganti, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Masa hidup kita yang terbagi
kepada beberapa tahap : masa anak-anak, masa muda dan ditutup dengan masa tua
kemudian akan dikembalikan kepada Allah SWT. Setiap orang hanya mampu berbuat
menurut masanya masing-masing, bagaikan petani yang hanya sanggup menanam
menurut musim dan cuaca yang baik. Jika masa-masa yang telah berlalu itu lewat, dia
tidak dapat dikembalikan lagi meskipun kita menumpahkan air mata sebanyak-
banyaknya karena kesedihan. Di hari kemudian akan menyesallah orang-orang yang
memandang masa hidupnya puluhan tahun itu, hanya ibarat sepagi saja.

Untuk memanfaatkan waktu seproduktif mungkin maka ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan :

a. Setiap orang hendaknya mempunyai tujuan dan arah yang jelas. Tanpa tujuan yang
jelas, maka waktu itu akan lalu tanpa kesan dan makna. Sedangkan orang yang
mempunyai tujuan dan sasaran hidup tertentu, akan berusaha dan berjuang mengejar
tujuannya dengan memanfaatkan waktunya yang terbatas. Jika kita tidur lebih kurang
8 jam sehari, maka bukankah lebih kurang 30 % umur kita habiskan di atas tempat
tidur?
b. Hendaklah setiap orang mempunyai rencana kerja yang teratur dalam mencapai
tujuan itu, dimana dijelaskan acara masing-masing waktu yang tersedia. Dengan
adanya kejelasan masing-masing waktu, maka akan mudahlah tercapai penghematan
waktu dan tenaga
c. Hendaklah orang yang mempunyai tujuan dan rencana kerja itu setia (loyal) dalam
menempuh jalan yang di tetapkan. Tanpa kesetiaan kepada tujuan yang semula dan
kesetiaan kepada rencana kerja, maka hal itu akan mengakibatkan kegagalan yang
berarti pemborosan waktu
d. Janganlah menunda-nunda pekerjaan yang telah direncanakan. Penundaan berarti
kerugian, karena hilangnya beberapa menit tanpa pengisian pekerjaan yang berguna
tidak dapat dikembalikan lagi, kecuali mengambil waktu yang akan datang sebagai
gantinya.

Ketika Rasulullah SAW mengingatkan :”Jadilah engkau di dunia laksana orang


asing atau pengembara yang menempuh perjalanan”, maka Ibnu Umar memberikan
komentarnya: “Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu datangnya sore,
dan jika engkau berada di waktu sore, janganlah menunggu tibanya di waktu pagi”.
Pergunakanlah sehatmu, sebelum datang masa sakitmu, dan pergunakanlah hidupmu
sebelum datang masa kematianmu (sebagai bekal).

Dan akhirnya perlu dicatat peringatan penting Rasulullah SAW: “Segeralah


beramal kebajikan sebelum datang tujuh perkara: 1) Adakah kalian menantikan
kecuali kemiskinan yang membuat kalian lupa dari kewajiban, 2). Ataukah kekayaan
yang melahirkan rasa congkak yang melampaui batas, 3). Ataukah penyakit yang
merusak, 4). Ataukah masa ketuaan yang menimbulkan kelemahan (pikun) atau
kehabisan tenaga, 5). Ataukah kematian yang membereskan, 6). Ataukah Dajjal yang
sejahat-jahat yang dinantikan, 7). Ataukah hari qiamat yang terlebih berat dan
terlebih sukar”. (H.R. Tirmidzi).

Anda mungkin juga menyukai