Anda di halaman 1dari 31

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DALAM

DUNIA ISLAM

Makalah

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Wajib umum (MKWU) Agama

Dosen Pengampu : Dr. Diauddin, S.Ag., MM., M.Pd.

oleh :

Asyifa Nurul Qamara (P00820723054)

Rajabul Aqmal (P00820723055)

Riyan Hidayat (P00820723056)

PRODI D-III KEPERAWATAN ACEH UTARA

POLTEKKES KEMENKES ACEH

2023/2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
KATA PENGANTAR........................................................................................................2
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................................4
A. PENGERTIAN ILMU KALAM.............................................................................4
B. SEJARAH ALIRAN ILMU KALAM....................................................................7
C. TIMBULNYA ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM.............................................8
D. ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM.......................................................9

a. Aliran Khawarij...........................................................................................9
b. Aliran Syiah................................................................................................12
c. Aliran Jabbariyah.....................................................................................14
d. Aliran Qaddariyah...................................................................................16
e. Aliran Mu’tazillah....................................................................................17
f. Aliran Asy’riyyah.....................................................................................18
g. Aliran Maturidiyyah...............................................................................19
h. Aliran Murji’ah.........................................................................................20
i. Aliran Salawiyah.......................................................................................21
j. Aliran Wahabiyah.....................................................................................23
E. VALIDITAS KEBENARAN DALAM ILMU KALAM......................................25
BAB III : KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30

1
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang
dengan rahmat dan hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga
makalah ini dapat di selesaikan. Selanjutnya, Sholawat dan Salam penulis kepada
junjungan alam Rasulullah SAW yang telah membimbing manusia menuju jalan
kebenaran, Rahmatan lil ‘Alamin.

Makalah yang berjudul “ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DALAM


DUNIA ISLAM” ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Wajib
umum (MKWU) Agama.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Diauddin, S.Ag.,


MM., M.Pd. sebagai dosen pengampu. Semoga nasihat, bimbingan, dan motivasi
dari Bapak serta teman-teman menjadi kebaikan dan diridhai Allah SWT.

2
BAB I

PENDAHULUAN

Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga
komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu yaitu, nuthqun bi al-lisani
(mengucapkan dengan lisan), amalun bi al-arkani (melaksanakan sesuai dengan
rukun-rukun), dan tashiqun bi al-qalbi (membenarkan dengan hati).
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya
memahami kerangka berpikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran
teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi
yang dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi
psikologis secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan
kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu
objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Aliran kalam lebih merupakan bentuk segregasi komitas dalam tubuh umat
Islam yang terbentuk karena adanya perbedaan pandangan dalam beberapa
persoalan teologi Islam. Perbedaan pandangan dalam beberapa persoalan teologi
Islam. Perbedaan ini juga terjadi dalam satu komunitas yang mengklaim menganut
aliran kalam tertentu. Fenomena inilah yang lazim terjadi dalam tradisi pemikiran
kalam, hingga setiap aliran kalam masih memiliki golongan-golongan yang
berbeda satu sama lain. Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan
berpandangan ekstrem pada satu sisi dan ada juga yang moderat dalam satu aliran
pemikiran kalam yang sama. Melihat ilmu dari sisi epistemology, secara umum
akan ditemukan tiga persoalan pokok, yaitu tentang sumber-sumber ilmu kalam
itu, bagaimana pengetahuan itu dapat diketahui dan apa ukuran suatu pengetahuan
itu disebut benar atau valid. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga, sejarah telah
mencatat bahwa di antara para penganut aliran-aliran kalam yang ada selalu meng-
klaim bahwa aliran yang dianutnya adalah benar sementara aliran yang lain adalah
salah. Maka dalam Makalah ini penulis akan mencoba melihat kembali aliran-
aliran kalam yang ada.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang tergolong eksklisif di kalangan umat Islam,
itupun hanya terbatas pada perguruang tinggi keagamaan Islam (PTKI) saja, yang
merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa. Tidak banyak orang yang tau
mengenai seluk beluk ilmu yang langka ini. Kebanyakan para intelektual Muslim,
lebih memilih filsafat sebagai pembentuk pola pikir, yang dijadikan sebagai dasar
sebagai penentuan segala sesuatu dalam bidang keilmuan. Padahal dalam Islam,
kerangka berfikir yang mirip, bahkan lebih kokoh sandarannya, telah tercipta jauh
sebelum keilmuan lain dalam Islam itu terbentuk, yaitu ilmu kalam.

Secara harfiyah, kalam mempunyai beberapa makna, di


antaraya adalah:

1. Berbicara.

Makna kalam yang berarti berbicara ini sebagaimana yang


terdapat dalam Surat al-A’raf ayat 144: Artinya: “Allah berfirman: “Hai Musa,
sesungguhnya Aku memilih kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk
membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu
berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”

Kalam dalam arti berbicara ini juga terdapat dalah Surat anNisa’
ayat 164: Artinya: ”Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh
telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak
Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada
Musa dengan langsung.”

2. Hukum.

Makna kalam yang berarti hukum ini sebagaimana yang terdapat


dalam Surat al-Baqarah ayat 75: Artinya: ”Apakah kamu masih mengharapkan
mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka

4
mendengar hukum Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahuinya.”

3. Din Islam

Makna kalam yang berarti Din Islam ini sebagaimana yang


terdapat dalam Surat al-Taubah ayat 6: Artinya: ”Dan jika seseorang di antara
orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia
supaya ia sempat mendengar agama Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat
yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui”

Secara tata bahasa, kalam adalah kata benda umum tentang perkataan,
sedikit atau banyak, yang dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan; atau
ekspresi suara berturut-turut hingga pesan pesan suara itu jelas maksudnya.
Meskipun secara bahasa kalam berarti perkataan atau pembicaraan, namun sebagai
istilah, kalam tidaklah dimaksudkan ”perkataan” atau ”pembicaraan” dalam
pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar
dengan menggunakan logika. Oleh karena itu, kalam berarti alasan atau argumen
rasional untuk memperkuat pernyataan (Nurcholish Madjid, 1995: 203). Istilah ini
merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan
Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar. Para
pendukungnya, yang disebut dengan istilah mutakallimin, adalah orang-orang yang
menjadikan dogma atau persoalan-persoalan teologis kontroversial sebagai topik
diskusi dan wacana dialektik, dengan menawarkan bukti-bukti spekulatif untuk
mempertahankan pendirian mereka (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam IV, t.t :
117).

Persoalan-persoalan teologis itu antara lain menyangkut dasar-dasar


keimanan yang mengarahkan pembahasan tentang Tuhan dan berbagai derivasinya
yang meliputi sifat-sifat tuhan, kitab suci, nabi-nabi, malaikat, kiamat, surga,
pahala dan siksa, serta masalah taqdir. Semua masalah ini didiskusikan dan
dipertahankan dengan bantuan argumen-argumen rasional. Dalam perkembangan
berikutnya sistem pemikiran tersebut menjadi disiplin ilmu tersendiri yang
kemudian disebut Ilmu Kalam.

Dengan demikian, Ilmu Kalam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berisi
alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaankepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng.
5
Ada pula yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam ialah ilmu yang
membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
(agama Islam) dengan bukti-bukti yang meyakinkan (A. Hanafi, 1990: 3).
Dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Kalam juga berbicara tentang berbagai
masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah
iman, kufur, musyrik, murtad; masalah kehidupan akhirat dengan berbagai
kenikmatan dan penderitaannya; hal-hal yang membawa kepada semakin tebal dan
tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni alQur’an;
status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya (Abuddin Nata, 2002: 222).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang
secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang
berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian
seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk
memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak
hilang atau rusak (Abuddin Nata, 2002: 222).

Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri disebutkan untuk
pertama kali pada masa al-Makmun, setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari
buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Ensiklopedi
Islam, 2002: 346). Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak
mengembangkan Ilmu kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan
hal ini, Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Nurchalish Madjid,
mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ulama’ yang
disebutnya Imam Abdullah ibn al-Mubarak. Menurut ibnu Taimiyyah ulama’
tersebut menyatakan demikian: ”Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits,
kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum
Mu’tazilah...”Karena itu ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah bahwa Ilmu Kalam
adalah keahlian Khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran
Mu’tazilah adalah rasionalitas dan paham Qadariyah (Nurcholish Madjid, 1995:
206).

Peran Mu’tazilah yang besar dalam mengembangkan Ilmu Kalam ini


tentunya tidak terlepas dari dukungan Dinasti Abbasiyah pada waktu itu. Pada
masa Abbasiyah di bawah pengaruh Persi, para penguasanya cenderung lebih suka
dengan aliran teologi yang rasional dan filosofi. Puncaknya pada masa al-Makmun,
penguasa menjadikan Mu'tazilah, aliran teologi yang rasional dan filosofis,
sebagai mazhab resmi negara (Harun Nasution, 1978: 61).

6
Adapun alasan mengapa disiplin ilmu ini disebut dengan Ilmu Kalam
adalah:

1. Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad


permulaan Hijriyah ialah kalam Allah (al-Qur’an). Pembicaraan
tentang al-Qur’an ini pernah menimbulkan pertentanganpertentangan keras di
kalangan umat Islam di abad ke Sembilan dan ke sepuluh Masehi, sehingga timbul
penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesame muslim di waktu itu
(Harun Nasution, 1978: vi).

2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini
nampak jelas dalam pembicaraan-pembicaraan para mutakallimin. Dalil al-Quran
dan Sunnah baru dipakai setelah mereka menetapkan kebenaran suatu persoalan
dari segi akal pikiran.

3. Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai


logika dan filsafat (Ensiklopedi Islam II, 2002: 346).

Ilmu kalam berasal dari dua kata yaitu, Ilmu dan Kalam. Prasa ini ingin
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah ilmu tentang kalam. Ilmu kalam
merupakan suatu cabang ilmu yang merupakan bagian dari displin ilmu-ilmu
berlatar Islam sebelum terlampau jauh membicarakan tentang ilmu ini.
Kata Ilmu merupakan kata yang salah satu nama-Nya. Al-Ilmu juga berarti
maha mengetahui. Kata ilmu berakar dari 3 huruf. Sedangkan kata kalam
merupakan kata yang penuh makna. Kalam berarti pengucapan atau ucapan.

Ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar di dalam agama Islam. Ajran-


ajaran dasar itu menyangkut wujud Allah, Kerasulan Muhammad, dan Al-Quran,
serta orang yang percaya dengan tiga hal itu, yakni orang muslim dan mukmin,
serta orang yang tidak percaya, yakni kafir dan musyrik, soal surga dan neraka,
dll.

B. Sejarah Aliran Ilmu Kalam

Utsman bin Affan adalah khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab.
Sepeninggal Utsman bin Affan, tampuk kepemimpinan umat Islam beralih kepada
Imam Ali bin Abi Thalib. Seperti yang termaktub dalam buku-buku sejarah bahwa
7
meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan dikarenakan ketidakpuasan sebagian
umat Islam pada waktu itu sehingga menyebabkan terjadinya pemberontakan
terhadap pemerintahannya. Pada masa Khalifah Ali pun terjadi Perang Unta dan
Shiffin. Perang Shiffin yang diakhiri dengan tahkim atau arbitrase telah
menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut)
Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral.
Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik
akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau
ilmu kalam.
Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam.
Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap mukmin dan bukan kafir.
Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas.Orang
yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir (al-
manzilah bain al-manzilatain).
Lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama
Qadariyah dan Jabariah. Qadariyah berpendapat bawah manusia memiliki
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sedang Jabariyah sebaliknya
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.

C. Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Perang yang diakhiri dengan tahkim (arbitrase) ini telah menyebabkan


munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij
dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan
dalam bidang politik akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya
masalah teologi atau ilmu kalam. Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat
salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase itu.
Menurut mereka penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu
bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44: “Dan
barangsiapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”.
Dengan landasan ayat al-Quran tersebut, mereka menghukum semua orang
yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir.Kafir dalam arti
telah keluar dari Islam.Orang yang keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang
murtad halal darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan
untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa. Dan yang berhasil
8
dibunuh hanya Imam Ali. Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu
Kalam dalam Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.

2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan
kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-
manzilatain (posisi di antara dua posisi).

Setelah ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang
terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia
memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak
dan perbuatannya.

Dari paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim
berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu
Kalam.Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah merupakan aliran yang pertama sekali
muncul dalam sejarah peradaban Islam.Kemudian muncul aliran Qadariyah dan
Jabariyah.Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk
aliran tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai
aliran. Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran
Ilmu Kalam yang ada.

D. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam

a. Aliran Khawarij

Khawarij adalah suatu nama yang mungkin diberikan oleh kalangan


lapangan di sana karena tidak mau menerima arbitrase dalam pertempuran
siffin yang terjadi wantara Ali dan Mu‟awiyah dalam upaya penyelesaian
persengketaan antara keduanya tentang masalah khalifah.
Khawarij berasal dari kata kharaja, artinya ialah keluar, dan yang
9
dimaksudkan disini ialah mereka yang keluar dari barisan Ali sebagai
diterimanya arbitse oleh Ali. Tetapi sebagaian orang berpendapat bahwa nama
itu diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka

Berdasarkan ayat tersebut, maka kaum khawarij memandang kaum


khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah
atau kampung halamannya untuk berjihad.

Bila di masa Rasulullah kafir hanya untuk mereka yang tidak memeluk
Islam tapi kaum Khawarij memperluas pengertiannya dengan memasukkan
orang-orang yang telah masuk Islam. Yakni orang Islam yang bila ia
menghukum, maka yang digunakan bukanlah hukum Allah.

Ajaran Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur.


Kufur (orang-orang kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orang
yang dikatakan mukmin) berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu
termanifestasi secara tajam sekali, yakni orang yang telah percaya kepada
Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang
tidak percaya kepada Allah tersebut. Dengan kata lain, mukmin adalah orang
yang telah memeluk agama Islam sedangkan kafir adalah orang yang belum
memeluk agama Islam.

Bila pada masa Rasulullah term kafir hanya dipakai untuk mereka yang
belum memeluk Islam, kaum Khawarij memperluas makna kafir dengan
memasukkan orang yang telah beragama Islam ke dalamnya. Yakni orang
Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakannya bukanlah hukum
Allah. Secara umum, konsep mereka tentang iman bukan pembenaran dalam hati
semata-mata. Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl) menurut mereka, mestilah
disempurnakan dengan menjalankan perintah agama. Seseorang yang telah
memercayai bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah,
tapi ia tidak melakukan kewajiban agama, berarti imannya tidak benar,
maka ia akan menjadi kafir.

Pengikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara
berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima
perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di luar
kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula
yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte. Berbeda dengan
kelompok Sunni dan Syi‟ah, mereka tidak mengakui hakhak istimewa orang atau
kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.
10
Khawarij tidak memandang kepala negara sebagai orang yang sempurna. Ia
adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Karenanya,
mereka menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan. Kalau ternyata kepala Negara menyimpang dari semestinya, dia
dapat diberhentikan atau dibunuh.

Tokoh-tokoh Dalam Aliran Khawarij;

- Abdullah bin Wahab


- Urwah bin Hudair
- Mustarid bin Sa'ad
- Hausarah al-Asadi
- Quraib bin Maruah
- Nafi' bin al-Azraq
- Abdullah bin Basyir
- Zubair bin Ali
- Qathari bin Fujaah
- Abd al-Rabih
- Abd al Karim bin Ajrad
- Zaid bin Asfar
- Abdullah bin Ibad

Sekte-Sekte Aliran Khawarij;

 Al-Muhakkimah
 Al-Azariqah
 Al-Najdat
 Al-Baihasyiah
 Al-Ajaridah
 Al-Sa’Alibah
 Al-Ibadiah
 Al-Sufriyah

Doktrin-Doktrin Khawarij
 Khalifah harus dipilih bebas seluruh umat Islam
 Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab
 Dapat dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat Islam. Ia dijatuhkan bahkan dibunuh apabila
melakukan kedzaliman.
11
 Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh Ustman
dianggap menyeleweng. Dan khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi
arbitrase (tahkim), ia dianggap menyeleweng.
 Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy‟ari juga dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir. Pasukan perang jamal yang melawan
Ali kafir.
 Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus
dibunuh dan seseorang muslim dianggap kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lainnya yang telah dianggap kafir.
 Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.
 Seseorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng.
 Orang yang baik harus masuk surge dan orang yang jahat masuk ke neraka.
 Qur‟an adalah makhluk
 Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan

b. Aliran Syiah

Syiah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok
atau pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser
mempunyai pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syiah, maka
asosiasi pikiran orang tertuju kepada syiah-ali, yaitu kelompok masyarakat
yang amat memihak Ali dan dan memuliakannya beserta keturunannya.
Kelompok tersebut lambat laun membangun dirinya sebagai aliran dalam
Islam. Adapun ahl al-bait adalah “family rumah nabi”. Menurut syiah yang
dinamakan ahl bait itu adalah Fatimah, suaminya Ali, Hasan dan Husein anak
kandungnya, menantu dan cucu-cucu Nabi, sedang isteri-isteri nabi tidak
termasuk Ahl alBait.

Asal-Usul Syiah dan Perkembangan Syiah

Sejak jaman Rasulullah serta khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab,
belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama
yang memiliki banyak pengikut, memiliki karakter dan identitas khusus dan
memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada masa Khalifah
Utsman. Mereka adalah orang-orang yang setia pada Ali, yang menganggap
bahwa kekhalifahan Ali berdasarkan Nash Al-quran dan wasiat dari Rasulullah
SAW, baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Menurut mereka

12
seharusnya tampuk kepemimpinan diduduki oleh Ali dan keturunannya, serta tidak
boleh lepas darinya. Para ulama masih berbeda pendapat mengenai asal-usul Syiah
dan perkembangannya.

Menurut Prof. Walhus, akidah Syiah banyak terpengaruh oleh ajaran


Yahudi, bukan persia karena mengingat pendirinya adalah Abdullah bin Saba yang
berasal dari Yahudi. Sementara pendapat Prof. Dawzi cenderung pada pendapat
yang menyatakan bahwa pendiri Islam adalah orang Persia, karena orang Arab
bebas memeluk agama.

Menurut Prof. Ahmad Amin, Syiah sudah muncul sebelum orang-orang


Persia masuk Islam, tetapi masih belum ekstrim seperti sekarang. Mereka
hanya berpendapat bahwa Ali lebih utama dari sahabat lainnya.
Kemudian pemahaman Syiah ini berkembang seiring perkembangan zaman dan
adanya kasus pembunuhan-pembunuhan yang mengatas namakan Syiah.

Tokoh-tokoh Aliran Syiah;

- Jalaludin Rakhmat
- Haidar Bagir
- Haddad Alwi
- Nashr bin Muzahim
- Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asyari
- Abu Dzar al Ghiffari
- Miqad bin al Aswad
- Ammar bin Yasir

Pokok-pokok Pikiran Syiah;

1. al Tauhid
2. al ‘Adl
3. al Nubuwwah
4. al Imamah
5. al ma’ad

13
Doktrin-doktrin Syiah
 Kepala negara diangkat dengan persetujuan rakyat melalui lembaga ahl al-
hall wa al-‘aqd.
 Kepala negara atau imam berkuasa seumur hidup, bahkan mereka meyakini
kekuasaan imam mereka ketika ghaibdan baru pada akhir jaman kembali
kepada mereka.
 Kepala negara (imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik
berdasarkan petunjuk Allah dan wasiat Nabi.
 Kepala negara memegang otoritas sangat tinggi

c. Aliran Jabbariyah

Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan
mengharuskannya melaksanakan sesuatu atau secara harfiah dari lafadz aljabr
yang berarti paksaan. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Aljabbar (dalam
bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Selanjutnya kata jabara
setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu aliran. Lebih lanjut Asy-
Syahratsan menegaskan bahwa paham Al jabr berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah,
Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Secara istilah, jabbariyah berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah
SWT. Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al-kalam
yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah
SWT semata.

Menurut Harun Nasution, jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa


segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Allah.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendaknya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena
tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah
aliran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya.

Asal-usul Jabariyah

Aliran Jabbariyah ini sebenarnya sudah ada di kalangan bangsa Aeab


sebelum Islam. Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali
menampilkan paham jabbariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja‟d Ibn

14
Dirham. Pandangan-pandangan Ja'ad bin Dirham ini kemudian disebar
luaskan oleh pengikutnya, seperti Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam
sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran
jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Surai bin Al hariz
dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah.
Namun dalam perkembangannya paham Jabariyyah juga dikembangkan
oleh tokoh lainnya diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar dan
Ja‟ad bin Dirrar. Paham Jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama
Islam datang kemasyarakat Arab.

Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah
memberi pengaruh besar dalam ke dalam cara hidup mereka. Dan
dihadapkan alam yang begitu ganas, alam yang indah tetapi kejam,
menyebabkan jiwa merasa dekat dengan Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan suasana alam yanga demikian menyebabkan mereka
tidak punya daya dan kesanggupan apa-apa, melainkan semata-mata patuh,
tunduk dan pasrah kepada kehendak Tuhan, dan dalam al-Qur'an sendiri
banyak memuat ayat-ayat yang membawa kepada timbulnya paham
Jabariyah. "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" {QS
AshShaffat: 96}.Selain ayat-ayat Al Quran diatas, benih-benih paham al-jabar
juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah: Suatu ketika Nabi
menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai
takdir.
Adanya paham jabar telah mengemukakan ke permukaan pada masa bani umayyah
yang tumbuh berkembang di Syria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari
pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah pandangan mengatakan
bahwa aliran jabar muncul karena adanya pengaruh dari pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama yahudi bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab
Yacobit.

Tokoh-tokoh Aliran Jabbariyah;

- Al-Ja’ad bin Dirham


- Jahm bin Sofwan
- Adh-Dhirar
- Husain bin Muhammad al-Najjar

15
Doktrin-doktrin jabbariyah
 Manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
 Kalam Tuhan adalah makhluk
 Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat
 Surga Neraka tidak kekal

d. Aliran Qaddariyah

Qadariyah berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan


kemampuan dan memiliki kekuatan, sedangkan sebagai aliran dalam ilmu
kalam. Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk salah satu aliran yang
memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia
dipandang mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk kepada Qadar atau pada Tuhan.
Adapun menurut pengertian terminologi Qodariyyah adalah suatu aliran
yang mempercayai bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, qodariyyah merupakan
nama suatu aliran yang memberikan suatu penekanan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum qodariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan
tetapi bukan berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar
dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk
kebaikan dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah.

Asal Usul Aliran Qadariyah

Sekilas pemahaman Qadariyah ini sangat ideal dan sesuai dengan ajaran
Islam. Di samping benar menurut logika, juga didasarkan pada ayat-ayat alqur‟an
Dan hadis yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan
menentukan perbuatannya sendiri. Akan tetapi jika kita mendalami ajaran
Al-quran dan Hadis secara komprehensif serta memerhatikan realitas
kehidupan sehari-hari, maka akan tampak jelas bahwa paham Qadariyah yang

16
tidak mempercayai adanya takdir adalah mengandung berbagai kelemahan dan
telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Tokoh-tokoh Aliran Qadariyah;

- Ma’bad al-Jauhani dan;


- Ghailan al-Dimasyqi.

Doktrin-doktrin Aliran Qadariyah


 Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan tindakannya sendiri
 Dalam memahami takdir aliran Qadariyah terlalu Liberal
 Aliran Qadariyah mengukur keadilan Allah dengan barometer keadilan
manusia
 Paham ini tidak percaya jika ada takdir dari Allah.

e. Aliran Mu’tazillah

Kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala dengan makna yang berarti
menjauhkan atau memisahkan diri dari sesuatu. Kata ini kemudian menjadi
nama sebuah aliran di dalam ilmu kalam yang para sarjana menyebutnya
sebagai Mu’tazillah berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Washil ibn Atha
(80 H/699 M- 131 H/748 M) dan Amr ibn Ubayd dengan al-Hasan al-Bashri.
Dalam majlis pengajian al-Hasan al-Bashri muncul pertanyaan tentang orang
yang berdosa besar bukanlah mu‟min dan juga bukanlah orang kafir, tetapi
berada diantara dua posisi yang istilahnya al Manzillah bayn al-manzilatayn.

Dalam uraian di atas bisa dipahami pemimpian tertua di aliran


Mu’tazillah adalah Washil ibn Atha. Ada kemungkinan washil ingin
mengambil jalan tengah antara khawarij dan murjiah, melainkan berada di dua
posisi. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa orang yang berdosa besar itu
masih ada imannya tetapi tidak pula dapat dikatakan mu‟min karena ia telah
berdosa besar. Orang yang serupa itu apabila meninggal dunia maka ia akan
kekal di dalam neraka, hanya azabnya saja yang lebih ringan dibandingkan
orang kafir. Itulah pemikiran Washil yang pertama sekali muncul.

Asal-Usul Aliran Mu’tazillah

Pembina pertama aliran Mu‟tazilah ini adalah Wasil bin Ata‟.


Sebagaimana telah dikatakan oleh Al-Mas‟udi, Wasil bin Ata‟ adalah syaikh

17
Al-Mu‟tazilah wa qadimuha, yaitu kepala Mu‟tazilah yang tertua. Ia dilahirkan
di Madinah pada tahun 81 H dan meninggal di Basrah pada tahun 131 H. Di
Madinah ia berguru pada Hasyim, Abd bin Muhammad bin Hanafiyah
kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan Al-Basri.
Kemunculan aliran Mu‟tazilah untuk pertama kalinya pada masa dinasti
Umayyah berada diambang kehancuran, yakni dimasa pemerintahan Abd AlMalik
bin Marwan dan Hisyam bin Abd Al-Malik. Dan ketika Dinasti Umayyah jatuh ke
tangan abbasiyah, golongan Mu‟tazillah mendapatkan tempat yang amat baik di
dalam pemerintahan. Bahkan di masa peerintahan AlMa‟mun teologi Mu‟tazillah
secara resmi dijadikan ideology bangsa.

Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazillah;

- Washil bin Atha’


- Abu Huzail al-Allaf
- An-Nazzam
- Al-Jubba’i

Pokok-pokok Ajaran Mu’tazillah;

1. al Tauhid
2. al ‘adl
3. al Wa’d wa al Wa’id
4. al Manzilah bain al Manzilatain
5. amar mauruf dan Nahi mungkar

Doktrin-doktrin Aliran Mu’tazillah


 Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas Waktunya
 Akal yang menetukan perlu tidaknya dibentu negara

f. Aliran Asy’riyyah

Asy’riyah adalah nama aliran di dalam islam, nama lain dari aliran ini
adalah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Aliran Asy’riyyah adalah aliran teologi
yang dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Islmail alAsy’ari.
Ia dilahirkan di Bashrah, besar dan wafat di Baghdad (260-324H). Ia berguru pada
Abu Ali al-Jubbai, salah seorang tokoh Mu’tazillah yang setia selama 40 tahun.
Setelah itu ia keluar dari Mu’tazillah dan menyusun teologi baru yang berbeda
dengan Mu’tazillah yang kemudian dikenal dengan sebutan Asy’ariyyah, yakni
18
aliran atau paham Asy’ari. Kasus keluarnya Asy’ari ini menurut suatu pendapat
karena ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata kepadaya, bahwa
Mu’tazillah itu salah dan yang benar adalah pendirian al-Hadis.

Menurut aliran Asy’riyyah, Allah mempunyai beberapa sifat dan sifat-


sifat itu bukan zat-Nya dan bukan pula selain zat-Nya, namun ada pada zatNya.
Meskipun penjelasan Asy‟ariyyah itu mengandung kontradiksi, hanya
dengan itulah aliran tersebut dapat melepaskan diri dari paham ta’addud al-

Asal Usul Aliran Asy’riyah

Asy‟ariyah dan maturidiyah muncul secara bersama yang dikenal


dengan nama aliran Ahl al-Sunnah wal Jama‟ah yang secara populer disebut
dengan Sunni. Pada waktu yang bersamaan Syi‟ah sebagai aliran memainkan
peranannya dalam masyarakat Islam dengan pandangan-pandangan rasional
dengan berpegang teguh pada ajaran Imamah yang sangat memuliakan Ahlu albait.
Tidak dipungkiri bahwa sejak lama kaum muslimin di Indonesia
menganut madzhab fiqih Syafi‟iyyah. Secara aqidah, banyak yang mengikuti
paham Asy‟ariyah, secara tasawuf merujuk pada ajaran-ajaran shufi Imam Abu
Hamid Al-Ghazali.

Tokoh-tokoh Aliran Asy’riyah;

- Al-Baqillani
- Al-Juwaini
- Al-Ghazali

Doktrin-doktrin Aliran Asy’riyah


 Tuhan dan Sifat-sifatnya
 Kebebasan dalam berkehendak
 Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk

g. Aliran Maturidiyyah

Nama Maturidiyyah diambil dari nama tokoh pertama yang tampil


mengajukan pemikiran sendiri. Nama lengkapnya adalah Abu Mansur
Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di Samarkand pada
pertengahan kedua abad kesembilan Masehi kedua abad ke-9 M dan meninggal
tahun 944 M. Aliran Maturidiyyah yang dikatakan tampil sebagai reaksi terhadap
19
pemikiran-pemikiran mu‟tazzilah yang rasional itu, tidaklah seluruhnya sejalan
dengan pemikiran yang yang diberikan oleh al-asy‟ari. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa pemikiran teologi asy‟ari sangat banyak menggunakan
makna teks nash agama (Quran dan Sunnah), maka Maturidiyyah dengan latar
belakang mazhab Habafi yang dianutnya banyak menggunakan takwil.

Asal Usul Aliran Maturidiyyah

Tokoh pertama dari aliran Maturidiyah adalah al-Maturidi sendiri.


Sebagai pemikir yang tampil dalam menghadapi pemikiran Muktazilah, almaturidi
banyak menyerang pemikiran mu‟tazillah. Namun karena ia
memiliki latar belakang intelektual pandangan-pandangan rasional Abu
Hanifahm dicelah-celah perbedaan itu terdapat pula kesamaan.
Murid terpenting dari Al-Maturidi adalah Abu al-Yusuf Muhammad alBazdawi. Ia
dilahirkan pada tahun 421H dan meninggal pada tahun 439 H.
Sebagai diketahui bahwa nenek Al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi.
Al-Bazwadi sendiri mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Agaknya pewarisan paham yang sudah melalui tiga jenjang terhadap AlBazdawi
sendiri tidak urung membuatberbagai perbedaan antara al-bazdawi dengan
al-maturidi.

Doktrin-Doktrin Aliran Maturidiyah


 Orang Mukmin melakukan dosa besar tetap Mukmin
 Janji dan ancaman tuhan tidak boleh tidak mesti berlaku kelak

h. Aliran Murji’ah

Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau


penangguhan. Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang
dapat diistilahkan sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa
dosa besar merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan
bahwa hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia
menunda atau menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini.
Hal ini mendorong mereka untuk tidak ikut campur masalah politik. Satu
diantara doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan seorang imam yang
diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh kalangan islam sunni
namun tidak untuk kalangan syiah.
20
Asal Usul Aliran Murji’ah

Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi dari aliran kharjiyyah yang


memandang perbuatan dosa sebagai quasi absolut dan merupakan sifat
penentu, murji‟ah lebih cenderung sebagai reaksi terhadap kharijiyyah daripada
terhadap aliran mayoritas. Sangat kontras dengan aliran kharjiyyah
yang mirip sekali dengan ajaran yang mirip sekali dengan ajaran St. John
tentang “dosa yang dihukum mati”. Aliran Murji‟ah muncul dengan mengusung
keyakinan lain mengenai dosa besar. Masalah yang mulanya hanya bersifat politis
akhirnya berkembang menjadi masalah teologis. Lantara dua aliran tersebut
muncul mendahului aliran Mu‟tazillah, maka tidak salah pula jika Wolfson
menyebut bahwa keduanya sebagai aliran pra-Mu‟tazilah dalam teologi islam.

Doktrin-doktrin Aliran Murji’ah


 Orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran
secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena kufur dan iman letaknya di hatiku
 Menurut murjiah ekstrem ini, iman adalah mengetahui Tuhan dan Kufur
tidak tahu pada Tuhan. Sejalan dengan itu shalat bukan merupakan ibadat
bagi mereka, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti
mengetahui Tuhan.

i. Aliran Salawiyah

Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah Secara bahasa salafiyah


berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud terdahulu disini
adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para tabi’in,
dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.

Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul
SAW wafat, yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al
Qur’an dan hadits tanpa ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud
tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak
layak bagi Allah SWT.

Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum
tahun 300 hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori
khalaf.

21
Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah;

- Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya,
Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan
tokoh mazhab Hambali. .
- Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas
Ahmad bin Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin
Taimiyah al Hambali, atau yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah.
Beliau merupakan seorang teolog dan ahli Hukum yang banyak
menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.

Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini,
selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam
Muhammad bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara
Spodaris.

Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya


adalah Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :

Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan
jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada
ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi.
Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah
sebelumnya. Perlawanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik,
ekonomi, maupun kebudayaan. Pengakuan terhadap keunggulan barat dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam


rumusan pahamnya yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai
mana terlihat pada komponen 2 dan 3 diatas.

22
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha
adalah murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan
guru berbeda dalam banyak hal mereka sama.

j. Aliran Wahabiyah

Banyak yang berpendapat bahwa aliran wahabi sebenarnya merupakan kelanjutan


dari aliran salaf yang berpangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hanbal yang
mendasarkan hukum kepada Al-Quran dan sunah Rasul.

Dalam bidang aqidah Abdul Wahab banyak mempelajari pendapat-pendapat Ibnu


Taimiyah yang sudah barang tentu antara wahabi dan Ibnu Taimiyah memiliki
beberapa kesamaan, di samping ada perbedaan dalam cara melaksanakan dan
menafsirkan beberapa persoalan tertentu.

Abdul Wahab sendiri setelah mempelajari pikiran-pikiran Ibnu Taiminyah dalam


bidang aqidah tertariklah ia dan kemudian mendalaminya serta merealisasikannya
dari sekedar teori sehingga menjadi suatu gerakan yang nyata. Meskipun tak jarang
pengikut salafi sendiri ada yang menolak dikaitkan dengan wahabisme lantaran
mereka beranggapan bahwa istilah wahabisme berkonotasi melecehkan.

Ciri-Ciri Wahabi ;

1. Meninggalkan Qunut Ciri-ciri aliran wahabi pertama adalah meninggalkan


bacaan Qunut. Namun, bukan berarti semua orang yang meninggalkan
bacaan Qunut sebagai Wahabi, tetapi bagi umat yang menyerupakan Allah
SWT dengan makhluk-Nya dan mensifatkan-Nya dengan anggota maka
tidak diragukan lagi bahwa ia adalah Wahabi.
2. Meninggalkan Sholat Sunnah Qabliyah Ciri-ciri aliran wahabi selanjutnya
ialah mereka yang meninggalkan Sholat Sunnah Qabliyah sebelum Jumat.
Namun, bukan semua individu yang meninggalkan sholat tersebut sebagai
Wahabi. Melainkan siapa saja yang mengkafirkan al-Asy’ariyyah dan al-
Maturidiyyah serta menghalalkan darah mereka itu maka tidak diragukan
lagi ia adalah Wahabi.

23
3. Siapa Saja yang Mengkafirkan Umat Islam Bertawassul dengan Rasulullah
SAW Bukan semua individu yang tidak mengumandangkan azan sebanyak 2
kali pada hari Jumat itu dikira sebagai Wahabi, tetapi siapa saja yang
mengkafirkan umat Islam yang bertawassul dengan Rasulullah SAW dan
menghalalkan darah serta harta mereka maka tidak diragukan lagi ia adalah
Wahabi.
4. Menganggap Taqlid Kepada Imam-Imam Mazhab adalah Syirik Bukan
semua individu yang mendakwa dan mendengungkan dia mengikut Alquran
dan as-Sunnah itu dikira sebagai Wahabi. Namun, siapa saja yang
mengkafirkan orang yang mengikut mazhab-mazhab yang muktabar (seperti
madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam
Hanbali), menghalalkan darah mereka serta menganggap taqlid kepada
imam-imam mazhab itu adalah syirik maka tidak diragukan lagi ia adalah
Wahabi.
5. Siapa Saja yang Mengharamkan Bacaan Alquran Kepada Orang yang Telah
Meninggal Tidak semua individu yang tidak mengamalkan membaca
Alquran Surah Yasin (Yasinan) pada malam Jumat adalah Wahabi. Namun,
siapa saja yang mengharamkan bacaan Alquran kepada orang yang telah
meninggal dunia maka tidak diragukan lagi dia adalah Wahabi.
6. Siapa Saja yang Mengharamkan Maulid Nabi Ciri-ciri aliran wahabi lainnya
adalah mereka yang mengharamkan majelis Maulid Nabi dan mengkafirkan
pelakunya maka tidak diragukan lagi ia adalah Wahabi.
7. Siapa Saja yang Mengharamkan Ziarah Ciri-ciri aliran wahabi berikutnya
adalah mereka melarang atau mengharamkan perjalanan dengan tujuan
untuk menziarahi makam Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam itu, maka tidak diragukan lagi ia adalah Wahabi.
8. Siapa saja yang mensifati Allah SWT dengan duduk bersemayam, menetap,
bergerak, dan berpindah-randah Ciri-ciri aliran wahabi selanjutnya yang
mudah dikenali adalah kerap meninggalkan majelis Tahlil kepada mayyit.
Namun, bukan berarti bahwa semua individu yang meninggalkan majelis
Tahlil (Tahlilan) kepada si mayyit itu dikira sebagai Wahabi, tetapi siapa
saja yang mensifati Allah SWT dengan duduk bersemayam, menetap,
bergerak, dan berpindah-randah maka tidak diragukan lagi ia adalah Wahabi.
Tokoh-tokoh Aliran Wahabiyah;
- Muhammad bin Abdul Wahab
- Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

24
- Muhammad bin Shalih Al-utsmainin
- Muhammad Nashiruddin Al-Bani
- Shalih bin Fauzan bin Abdullah
- Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin

E. Validitas Kebenaran dalam Ilmu Kalam

Ada perbedaan mendasar dan bersifat umum antara epistemologi dalam wacana
filsafat dan wacana kalam adalah mengenai penggunaan istilah pengetahuan
dharuri di kalangan para teolog. Term dharuri di kalangan filosof bertolak dari
prinsip kausalitas tentang hubungan sebab-akibat, serta keterkaitan premis-
konklusif dalam logika. Atas dasar ini, menurut al-Jabiri ada empat prinsip dalam
kepastian logika dalam pandangan filosof yaitu prinsip kediaan (huwiyyah) yang
memperlakukan fakta sebagaimana adanya dan hal yang fundamental yang
terdapat padanya, prinsip tidak adanya kontradiksi, prinsip ketidakmungkinan
menyimpulkan dari dua hal yang kontradiktif, dan prinsip kausalitas (M. Abid
AlJabiri, 1991: 217-218).

Secara umum, dalam kajian filsafat ilmu dikenal tiga teori klasik tentang
kebenaran.

Pertama, teori kebenaran korespondensi, maksudnya ialah kesesuaian atau


kesepadanan antara pernyataan (ide) dengan kenyataan (realitas). Teori ini
menekankan bahwa kebenaran ialah saling kesesuaian antara ide atau kepercayaan
dengan realitas atau fakta, yakni dengan membandingkan atau menyamakan
dengan realitas. Teori ini bersifat empiris, karena suatu ide dianggap benar jika ia
cocok dengan realitas, bukan realitas yang harus sesuai dengan ide. Teori ini juga
telah lama diperkenalkan oleh Ibnu Sina, menurutnya, suatu perkataan dianggap
benar jika perkataan dan keyakinan itu sesuai dengan kenyataannya.

Kedua, teori kebenaran koherensi. Pengetahuan yang memiliki kebenaran


koherensi adalah pengetahuan yang diperolehdengan mengikuti hukum-hukum
logika, karenanya tidak terjadi tumpang tindih dan inkonsistensi. Pengetahuan ini
tidak terdapat pertentangan dalam dirinya (contradiction in terminis), juga tidak
bertentangan dengan pengetahuan terdahulu. Pengetahuan ini menekankan pada
ketepatan berpikir.

25
Ketiga adalah teori kebenaran pragmatisme (Louis O. Kattsoff, 2004: 176-
183). Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatisme dari
Amerika, seperti Charles S. Peirce dan William James. Bagi mereka, kebenaran
sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang
benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu
memungkinkan seseorang berdasarkan ide itu melakukan sesuatu secara paling
berhasil atau tepat guna. Dengan kata lain pengetahuan dianggap benar jika
bernilai praktis.

Dari tiga macam teori klasik tentang kebenaran di atas, Ilmu Kalam sering
menggunakan teori kebenaran koherensi. Sebagian besar ulama ahli kalam
berpendapat bahwa akidah dan hukum akal harus meyakinkan dan bersifat qath’i.
Bagi kalangan rasionalis, dalam hukum akal tidak boleh ada perbedaan pendapat,
nafi dan itsbat, dengan kontradiksinya sekiranya dipertentangkan dengan
yang lainnya melalui dalil yang berbeda pada saat ditetapkan. Jika tidak dilakukan
demikian maka akan terjadi keseimbangan antara kebenaran dan kesalahan, yang
benar dan yang salah sama.

Sementara masalah yang diperselisihkan tidak mungkin mengandung


kebenaran dan kesalahan secara bersamaan.
Seperti ucapan seseorang, “Ahmad ada di dalam rumah pada jam tujuh pagi.”
Kemudian ada orang lagi yang berkata, “Ahmad tidak ada di dalam rumah pada
jam tujuh pagi.” Kedua pernyataan tersebut tidak mungkin benar semua.
Kebenaran koherensi ini mengharuskan adanya konsistensi berpikir logik.
Teori koherensi ini menjadi alur yang cukup kuat dalam sistem berpikir kaum
Mu’tazilah. Seperti ‘Abd al-Jabar dengan penekanannya pada konsistensi antara
premis mayor (mujmal), premis minor (mufashshal), dan konklusi (ta’amul). Ia
memiliki system berpikir logika yang sangat ketat.

Contohnya:
(a) Berbuat dzalim adalah jahat (premis mayor);
(b) Perbuatan ini adalah dzalim (premis minor);
(c) Jadi perbuatan ini adalah jahat (konklusi).

Menurut teori ini kebenaran suatu proposisi hanya dapat diterima jika sesuai
dengan proposisi sebelumnya yang sudah diterima kebenarannya. Sebagai contoh,
problematika kebebasan kehendak menurut aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan
prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan. Mereka memandang bahwa
keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang dituntut harus
26
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau ia dihisab
tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Keadilan Allah menuntut bahwa
manusia harus bebas berkehendak. Karena tanpa adanya kebebasan ini, kenabian
dan risalahnya tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau taklif bahkan
untuk apa pengutusan para Rasul kepada orang yang tidak mempunyai kebebasan
dalam mengikuti dan mendengarkan dakwah mereka. Masalahnya berbeda ketika
kalangan Asy’ariyah yang menekankan kekuasaan mutlak Tuhan, di mana ruang
untuk koherensi menjadi “tertutup” karena adanya keserbabolehan (sultah
al-tajwiz). Kaitannya dengan hal ini, al-Asy’ari menulis dalam alIbanah-
sebagaimana dikutip Harun Nasution, bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun,
di atas Tuhan tiada suatu Zat yang lain yang dapat membuat hokum dan dapat
menentukan apa yang tidak boleh diperbuat oleh Tuhan. Al-Ghazali, salah seorang
teolog kenamaan Asy’ariyah menyatakan bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hokum menurut kehendak-Nya, dapat
menyiksa orang yang berbuat baik jika itu yang dikendaki-Nya, dan dapat memberi
upah kepada orang kafir jika itu yang dikehendaki-Nya juga (Harun Nasution,
1985: 118119). Ini semua berdasar dari kekuasaan mutlak Tuhan.
Pada faktanya Semua aliran dalam pemikiran kalam berpegang kepada
wahyu sebagai sumber pokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung artinya memahami wahyu sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami wahyu sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran
dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Untuk kasus pertama sering
diistilahkan dengan muhkam sedang yang kedua dinamakan dengan mutasyabih.
Contoh untuk yang muhkam adalah ayat-ayat tentang halal, haram, hudud,
kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk yang mutasyabih contohnya
adalah ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatnya. Kenyataan adanya ayat
muhkam dan mutasyabih ini memberikan pengertian bahwa meski al-Qur’an
sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu dapat memberikan ketentuan hukum
pasti.

Secara hirarkis, Al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama dari semua


argumentasi dan dalil. Al-Qur’an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah
Nabi Muhammad SAW dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu
ajaran. Sumber lainnya yang diakui adalah nalar, terlepas seberapa besar nalar
digunakan tetapi memang telah terjadi, khususnya dalam kajian kalam, dialektika
antara teks dengan nalar. Menurut Qadhi Abd. al-Jabbar akal merupakan potensi
manusia untuk memperoleh pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang
kewajiban moralitas, hanya saja Abd. Al-Jabbar tidak sampai pada konsep akal
sebagai potensi nalar-spekulatif, karena keterkaitan kuatnya dengan teks-teks
27
keagamaan (Wardani, 2003: 83). Kaitannya dengan akal, al-Asy’ari menolak
sebagian besar pendapat Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa segala sesuatu
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Bahkan menurut Harun Nasution, pada
aliran ini tidak jelas apakah akal dapat mengetahui yang baik dan jahat. Memang
akal dapat mengetahui Tuhan tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui
dan berterima kasih kepadanya. Juga akal tak dapat membuat sesuatu menjadi
wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang buruk adalah wajib bagi manusia (Harun Nasution, 1985: 8182).

Memang, secara keseluruhan bangunan pemikiran Asy’ariyah sebetulnya


mencoba menciptakan suatu posisi yang moderat hampir dalam semua isu teologis
yang menjadi perdebatan pada zamannya. Asy’ariyah membuat penalaran tunduk
kepada otoritas wahyu dan secara otomatis menolak kehendak bebas manusia yang
dilakukan secara sukarela, yang menghilangkan kehendak bebas manusia yang
kreatif dan menekankan kekuasaan Tuhan dalam semua yang terjadi di belakang
ayat-ayat al-Qur’an.

Sebagaimana Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Asy’ariyah


memasukkan semua penyebab horisontal ke dalam penyebab vertikal, yakni
kehendak Tuhan, dengan cara menyederhanakan alam semesta menjadi sejumlah
atom yang bergerak dalam ruang dan waktu yang diskontinu, sehingga tak ada
sesuatupun yang memiliki sifat-sifat khusus. Tidak heran jika kemudian
Asy’ariyah menjadi bertentangan dengan filsafat Islam (Seyyed Hossein Nasr,
2006: 125-126).

28
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Ilmu kalam berasal dari dua kata yaitu, Ilmu dan Kalam. Prasa ini ingin
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah ilmu tentang kalam. Ilmu kalam
membahas ajaran-ajaran dasar di dalam agama Islam. Ajaran-ajaran dasar itu
menyangkut wujud Allah, Kerasulan Muhammad, dan Al-Quran, serta orang yang
percaya dengan tiga hal itu, yakni orang muslim dan mukmin, serta orang yang
tidak percaya, yakni kafir dan musyrik, soal surga dan neraka, dll.

Ilmu kalam memiliki banyak aliran yang diantaranya: Khawarij, Syiah,


Qadariyah, Jabariyah, Murji‟ah, Mu‟tazilah, Maturidiyyah, dan Asy‟ariyyah.
Setiap aliran-aliran yang ada di dalam ilmu kalam memiliki doktrin-doktrinnya
masing-masing yang mereka yakini dan mereka pertahankan.

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai
pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat
kita jumpai hamper di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alas an bahwa
Islam sebagaimana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami
pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah
dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.

Sekarang, bagaimana kita menanggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang


kesemua-nya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan
tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang
bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-
pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bias kita nilai sekarang. Karena
penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah SWT yang akan diberikanNya di
akhirat nanti.

Penilaian baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin


di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-
peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bias menilai baik
tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang
berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga
pendapat tersebut banyak di ikuti oleh manusia.

29
DAFTAR PUSTAKA

Susanti, Eri.2018.”ALIRAN-ALIRAN DALAM PEMIKIRAN KALAM”.Pontianak.

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Aliran+aliran+ilmu+kalam&oq=#d=gs_qabs&t=169191
6674937&u=%23p%3DSz7T9ajVGXcJ.

Zuhri, Amat.2018.”ILMU KALAM DALAM SOROTAN FILSAFAT


ILMU”.Pekalongan.

Zaini, Ahmad.2015.”MENGURAI SEJARAH TIMBULNYA PEMIKIRAN ILMU


KALAM DALAM ISLAM”.Kudus.

https://mufdil.wordpress.com/2009/08/03/aliaran-aliran-dalam-ilmu-kalam/.

https://www.merdeka.com/jabar/wahabi-adalah-salah-satu-aliran-islam-kenali-ciri-
ciri-dan-penjelasannya-kln.html.

https://www.studocu.com/id/document/institut-agama-islam-negeri-pekalongan/
ilmu-kalam/aliran-wahabi-bismillah-semoga-berkah/47250083.

30

Anda mungkin juga menyukai