Laporan Khusus - Putri Noviayu
Laporan Khusus - Putri Noviayu
Oleh
Putri Noviayu Salsabila Hendri (1907110101)
Pembimbing
Chairul, ST., MT.
Dr. Ir. Semuel Pati Senda, M.Sc.ES.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
3
DAFTAR TABEL
3
DAFTAR GAMBAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
3
2
kadar COD (Chemical Oxygen Demand), kadar minyak (oil content), dan kadar
TSS (Total Suspended Solid). Dalam kegiatan kerja praktek ini akan dilakukan
analisis mengenai pengaruh perubahan temperatur reaktor dan temperature
lingkungan terhadap produksi biogas.
1.2 Permasalahan
Keberhasilan proses produksi biogas dipengaruhi oleh kinerja bakteri di
dalam CSTR untuk memproduksi biogas. Kinerja bakteri dipengaruhi oleh
temperatur agar bakteri dapat bekerja secara optimum. Kondisi CSTR dan
lingkungan juga dapat mempengaruhi hasil produksi dari biogas, seperti mengalami
kenaikan atau penurunan temperatur. Maka dari itu, perlu untuk dilakukan
pemantauan kondisi POME di reaktor dan lingkungan untuk mengetahui agar
POME dapat menghasilkan biogas dengan laju alir sesuai standar untuk dialirkan
ke boiler.
1.3 Tujuan
Berikut ini tujuan yang ingin dicapai :
1. Melakukan analisa parameter temperatur reaktor dan temperatur lingkungan
dalam memproduksi biogas.
2. Mengevaluasi kondisi temperatur terhadap pengkonversian biogas di dalam
CSTR.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
POME sebagai limbah cair hasil pengolahan TBS menjadi CPO masih
mengandung berbagai jenis senyawa organik seperti serat, karbohidrat, protein,
minyak dan lain-lain. Kandungan bahan organik dalam POME dapat dilihat pada
Tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Komponen dalam Limbah POME
Komponen Rata-rata (mg/L)
Minyak 4.000
BOD (Biological Oxygen Demand) 25.000
COD (Chemical Oxygen Demand) 50.000
TS (Total Solid) 40.500
TSS (Total Suspended Solid) 18.000
VS (Volatile Solid) 34.000
Nitrogen 750
(Sumber : Suryani dkk, 2018)
POME sebagai limbah dengan kandungan bahan organik yang tinggi seperti
pada data di Tabel 2.1, sebaiknya dilakukan pengolahan lebih lanjut sehingga dapat
dimanfaatkan dengan lebih baik dan tidak menyebabkan pencemaran pada
lingkungan. Salah satu metode pengolahan POME adalah dengan melakukan
penguraian secara anaerobik. Pengolahan POME menggunakan proses penguraian
secara anaerobik telah banyak dilakukan untuk memperoleh biogas yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar terbarukan (Rahayu dkk, 2015).
2.2 Biogas
Biogas merupakan hasil pengolahan bahan-bahan organik yang diperoleh
dari aktivitas hidup mikroorganisme. Biogas terbentuk ketika mikroorganisme,
khususnya bakteri, menurunkan kadar zat organik pada kondisi anaerobik (tanpa
oksigen). Pada produksi biogas di PTPN V Kebun/PKS Sei Pagar, proses
berlangsung secara anaerob di dalam bioreaktor dengan kapasitas 2000 m3. Biogas
yang dihasilkan akan dialirkan ke dalam gas holder lalu ke burner kemudian ke
boiler untuk dilakukan pembakaran agar diperoleh energi yang cukup untuk
produksi steam. Biogas terdiri dari 50% - 75% metana (CH4), 25% - 45% karbon
5
dioksida (CO2) dan sejumlah kecil gas lainnya. Berikut ini pada Tabel 2.2 terdapat
komposisi lengkap dari biogas :
Tabel 2.2 Komposisi Biogas
Unsur Rumus Konsentrasi (%Volume)
Metana CH4 50 – 75
Karbon dioksida CO2 25 – 45
Uap air H2O 2–7
Oksigen O2 <2
Nitrogen N2 <2
Hidrogen sulfide H2S <2
Ammonia NH3 <1
Hidrogen H2 <1
(Sumber :Rahayu dkk, 2015)
Biogas memiliki berat sekitar 20% lebih ringan dibandingkan udara dan
memiliki suhu nyala antara 650°C - 750°C. Secara fisik, biogas merupakan gas
yang tidak memiliki bau dan tidak berwarna yang apabila dibakar dapat
menghasilkan api berwarna biru seperti warna api dari hasil pembakaran gas LPG
(Liquefied Petroleum Gas). Biogas dapat dibakar dengan efisiensi sebesar 60%
dalam tungku biogas konvensional yang memiliki nilai kalor 20 MJ/Nm3. Total
biogas yang dihasilkan biasanya dihitung dalam satuan Normal meter kubik (Nm3)
yaitu volume gas pada suhu 0°C dan tekanan atmosfer (Rahayu dkk, 2015).
Komponen utama dari biogas merupakan metana. Metana dalam biogas
akan dibakar dengan oksigen sehingga dapat dihasikan keluaran berupa energi.
Biogas yang dihasilkan akan dialirkan menuju Gas holder dan burner, dengan
minimal pengirimangas ke dalam Gas holder sebanyak 20 Nm3. Kemudian biogas
akan dialirkan menuju burner untuk dibakar dengan udara di dalam boiler.
Penggunaan biogas di PTPN V Kebun/PKS Sei pagar dapat mengurangi pemakaian
cangkang dan serat (fiber) sebagai bahan bakar boiler. Komponen dalam biogas
harus diuji setiap hari menggunakan gas analyzer seperti pada Gambar 2.2 berikut
ini :
6
2. Karbon Dioksida
Karbon dioksida merupakan senyawa kimia yang terdiri dari dua atom
oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon.Keberadaan gas
karbon dioksida dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan ozon, menyebabkan
efek rumah kaca dan pemanasan global.Berdasarkan komposisi biogas pada Tabel
2.1 maka komposisi karbon dioksida berada pada rentang 25-45%. Apabila ditinjau
hasil produksi biogas berdasarkan gambar 2.1, maka kadar karbon dioksida dalam
biogas sudah berada pada standar komposisi (Chusna dkk, 2020).
7
1. Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis, air bereaksi dengan polimer organik rantai panjang
seperti polisakarida, lemak dan protein untuk membentuk polimer rantai pendek
yang terlarut, seperti gula, asam lemak rantai panjang, dan asam amino. Selulase,
amilase, lipase atau protease (enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme)
melakukan proses ini. Bakteri yang bekerja pada tahap hidrolisis (bakteri hidrolitik)
memiliki kondisi proses fakultatif atau obligat anaerob dengan pH optimum 6,0-
7,5. Bakteri hidrolitik diantaranya adalah Clostridium, Bacilus, Cellulomonas dan
Bacteriodes Ruminocuccus (Winanti dkk, 2019).
2. Asidogenesis
Selama fase asidogenesis, oksidasi anaerobik memanfaatkan gula, asam
lemak rantai panjang dan asam amino yang terbentuk dari proses hidrolisis sebagai
substrat. Berbagai bakteri yang berbeda melakukan proses asidogenesis.
Asidogenesis sering kali merupakan langkah tercepat untuk konversi zat organik
kompleks selama penguraian dalam fase cair.Dalam digester anaerobik yang stabil,
alur degradasi utama adalah melalui asetat, karbon dioksida dan hidrogen. Bakteri
bereaksi terhadap peningkatan konsentrasi hidrogen pada cairan dengan
memproduksi laktat, etanol, propionat, butirat dan volatile fatty acid (VFA) yang
digunakan oleh mikroorganisme metanogenik sebagai substrat. Bakteri yang
bekerja pada tahap asidogenesis (bakteri asidogenik) memiliki kondisi proses
fakultatif atau obligat anaerob dengan pH optimum 6,0-7,5. Bakteri asidogenik
diantaranya adalah Clostridium, Lactobacillus, Selenomonas dan Bacteriodes
Ruminococcus (Winanti dkk, 2019).
3. Asetogenesis
Pada tahap asetogenesis, bakteri asetogenik yang memproduksi hidrogen
mengkonversi asam lemak dan etanol atau alkohol menjadi asetat, karbon dioksida
dan hidrogen.Konversi lanjutan ini sangat penting bagi keberhasilan produksi
biogas, karena bakteri metanogenik tidak bisa menggunakan senyawa asam lemak
dan etanol secara langsung. Asetogenik tumbuh lambat dan bergantung pada
tekanan parsial hidrogen yang rendah untuk degradasi asetogenik yang
menghasilkan energi. Asetogenik sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti
perubahan pH dan suhu, mereka membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
9
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Kemudian bakteri yang
bekerja pada tahap asetogenesis (bakteri asetogenik) memiliki kondisi proses
fakultatif atau obligat anaerob dengan pH optimum 6,5-7,5. Bakteri asetogenik
diantaranya adalah Desulfomonas, Desulfotomaculum dan Desulfovibrio (Winanti
dkk, 2019).
4. Metanogenesis
Pada tahap metanogesis, metana dibentuk melalui dua reaksi utama. Pada
reaksi primer, fermentasi dilakukan dari produk yang berasal dari tahap
pembentukan asam yakni asam asetat yang diubah menjadi metana dan karbon
dioksida. Bakteri yang mengubah asam asetat adalah bakteri asetoklastik atau
astofilik. Bakteri metanogenik diantaranya adalah Methanobacterium,
Methanococcus, Methanosarcine dan Methanospirillium (Winanti dkk, 2019).
Reaksi yang terjadi secara keseluruhan adalah sebagai berikut ini:
CH3COOH → CH4 + CO2 …………… (1)
suhu termofilik memerlukan kendali sistem suhu yang lebih ketat. Pada suhu
mesofilik, suhu optimal diperoleh sebesar 35-37°C. Apabila proses berjalan pada
suhu 20-25°C maka akan terjadi penurunan aktivitas dari mikroorganisme, namun
apabila proses berlangsung pada suhu > 40°C, maka mikroorganisme akan mati
(Ecody, 2021).
b. pH
Setiap kelompok mikroba yang terlibat dalam degradasi secara anaerobik
memiliki rentang pH tertentu untuk pertumbuhan yang optimal. Untuk bakteri
asidogen, pH optimalnya sekitar 6, sedangkan untuk bakteri asetogen dan
metanogenik, pH yang optimal sekitar 7. Nilai pH yang optimal untuk pengolahan
secara anaerobik berada pada rentang 6,8-7,2 akan menghasilkan kinerja dan
stabilitas dalam sistem anaerobik yang baik. Apabila pH berada pada nilai < 6,5
maupun > 7,5 maka akan terjadi penurunan aktivitas mikroorganisme dan proses
penguraian bahan organik tidak akan terjadi secara maksimal (Ecody, 2021).
Pada kondisi tertentu diperlukan tambahan bahan kimia ke dalam proses
produksi biogas, yaitu saat kondisi pH di dalam reaktor mengalami penurunan
secara drastis. Seperti yang pernah terjadi pada proses pengolahan POME menjadi
biogas di Pilot Co-firing Plant Biogas Sei Pagar PTPN V. Untuk mengembalikan
kondisi pH optimal yaitu pada rentang 6,8-7,2 dilakukan dengan penambahan
natrium karbonat (soda ash). Natrium karbonat (juga dikenal sebagai soda cuci dan
soda abu), Na2CO3, adalah garam natrium dari asam karbonat yang mudah larut
dalam air. Natrium karbonat murni merupakan bubuk yang berwarna putih dan
membentuk larutan alkali yang kuat.
Penggunaan natrium karbonat dalam produksi biogas adalah untuk
meningkatkan pH pada reaktor, sehingga dapat tercapai kondisi lingkungan yang
optimal bagi kelangsungan hidup dan reproduksi dari mikroorganisme. Rentang pH
yang optimal bagi kelangsungan hidup mikroorganisme adalah sebesar 6,8-7,2
(Ecody, 2021). Berikut ini reaksi kimia yang terjadi saat dilakukan penambahan
natrium karbonat ke dalam reaktor hingga diperoleh larutan alkali yang kuat (Putri
dkk, 2018):
𝑁𝑎2 𝐶𝑂3 + 2𝐻2 𝑂 → 𝐻2 𝐶𝑂3 + 2𝑁𝑎𝑂𝐻 …………... (1)
2𝑁𝑎𝑂𝐻 → 2𝑁𝑎 + + 2𝑂𝐻 − …………... (2)
11
e. Nutrisi
Biodegradasi yang efisien membutuhkan nutrisi seperti nitrogen, fosfor dan
unsur-unsur lainnya dalam jumlah yang cukup (mikronutrisi). Nutrisi membangun
sel-sel yang membentuk mikroorganisme dan menghasilkan biogas. Unsur-unsur
kimia yang membentuk mikroorganisme antara lain karbon (50%), oksigen (20%),
hidrogen (8%), fosfor (2%), sulfur (1%) dan kalium (1%). Proses pembentukan
biogas membutuhkan rasio karbon terhadap nitrogen minimal 25:1 (Rahayu dkk,
2015). Makronutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme seperti C, H, O, N, S,
P, K, Ca, Mg sebagai sumber makanan bagi bakteri dan mikronutrisi seperti Fe, Ni,
Zn, Mn, Mo dan Co untuk tetap menjaga bakteri agar tetap sehat (Ecody, 2021).
f. Toksisitas
Berdasarkan seluruh mikroorganisme yang terdapat dalam penguraian
anaerobik, bakteri metanogenik umumnya dianggap paling sensitif terhadap
toksisitas. Toksisitas NH3, H2S dan VFA (Volatile Fatty Acids) tergantung pada
nilai pH. Dalam kultur bakteri yang tidak dikondisikan, tingkat NH3 sekitar 150
mg/l dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Bakteri metanogenik dapat
menoleransi konsentrasi yang lebih tinggi. Jika kultur tersebut telah melalui masa
adaptasi. NH3 menjadi racun pada tingkat pH lebih dari 7. H2S dan VFA beracun
pada kondisi tingkat pH kurang dari 7. Konsentrasi H2S hingga 200 mg/l tidak
menghambat pertumbuhan mikroba, namun dapat mengeluarkan bau menyengat
yang berasal dari hidrogen sulfida. Bakteri metanogenik juga sensitif terhadap
oksigen. Pada kultur campuran di dalam digester anaerobik, bakteri anaerob
fakultatif membentuk beberapa bakteri hidrolisis dan asidogenik yang
mengkonsumsi oksigen yang ada di dalam digester (Ecody, 2021).
dahulu dilakukan pretreatment di dalam equalization tank, cooling tower dan buffer
tank untuk menjaga suhu dan pH POME sehingga sesuai dengan standar, agar
proses degradasi anaerobik di dalam reaktor dapat berlangsung secara optimal
(Valentino dkk, 2018). Berikut ini Gambar 2.3 diagram alir proses produksi biogas
dari limbah POME di Pilot Co-firing Plant Biogas Sei Pagar PTPN V:
Gambar 2.3 Diagram Alir Proses Produksi Biogas dari POME PTPN V
Kebun/PKS Sei Pagar
1. Fat pit
Fat pit merupakan sebuah kolam penampungan sementara limbah cair
(POME) dari proses pengolahan TBS (Gambar 2.4). Pada kolam ini terjadi
pemisahan minyak yang masih terdapat pada POME secara gravitasi. Minyak akan
terakumulasi di permukaan cairan dikarenakan massa jenisnya yang lebih kecil dari
pada air. Sehingga POME yang keluar dari fat pit memiliki konsentrasi minyak
yang rendah.
14
Pada proses produksi Biogas di Pilot Co-firing Plant Biogas Sei Pagar PTPN V,
bahan baku POME diambil dari drab separator. Namun untuk meningkatkan
konsentrasi COD dalam POME, aliran dari drab separator dapat dicampur dengan
POME dari fat pit dalam sebuah bak kecil disebelah fat pit. Campuran POME ini
nantinya akan dikirim ke equalization tank menggunakan sebuah pompa.
2. Equalization tank
Equalization tank atau biasa disingkat EQT adalah sebuah tangki
berpengaduk yang diberfungsi untuk meratakan campuran POME seperti pada
Gambar 2.8.Kapasitas EQT adalah 98 m3 dengan dimensi 7𝑚 × 7 𝑚 × 2 𝑚.
Terdapat sebuah agitator bertipe slow speed agitator dengan kapasitas 5 HP.
Impeller yang digunakan adalah tipe 3 blade hydrofoil. Pengadukan pada
equalization tank dilakukan untuk menghomogenkan umpan POME yang berasal
dari fat pit, karena karakteristik POME (suhu, pH dan COD) pada penampungan fat
pit yang relatif berubah-ubah (Aznury dkk, 2018). EQT juga dilengkapi dengan
sensor level untuk menunjukan ketinggian cairan di dalam tangki.
3. Cooling Tower
Cooling tower adalah unit proses yang berfungsi untuk menurunkan suhu
POME. Cooling tower yang digunakan adalah tipe induced draft–cross flow seperti
pada Gambar 2.7. Pada unit ini sebagian besar proses perpindahan panas terjadi
secara konveksi. Untuk meningkatkan laju perpindahan panasnya maka digunakan
kipas (fan) dengan kapasitas motor 3 KW. Sehingga terjadi penurunan suhu POME
sebelum masuk ke buffer tank. Cooling tower pada proses produksi biogas di Pilot
Co-firing Plant Biogas Sei Pagar PTPN V didesain untuk dapat menurunkan suhu
POME dari 70oC menjadi 40-50oC dengan kapasitas laju alir maksimal 10 m3/jam.
4. Buffer tank
Buffer tank (Gambar 2.8) merupakan sebuah tangki penampungan
conditioned POME sebelum diumpankan ke dalam CSTR. POME yang ditampung
di unit ini harus sudah memenuhi karakteristik yang sesuai dengan parameter
POME pada desain reaktor (Valentino dkk., 2018). Parameter uji yang perlu
dianalisis adalah suhu, pH, COD, TSS, VSS dan kandungan minyak. Buffer tank
memiliki kapasitas 90 m3 dengan dimensi 6 𝑚 × 6 𝑚 × 2,5 𝑚. Pada buffer tank
terdapat 3 pipa inlet yaitu dari effluent cooling tower, recycle dari lamela clarifier
dan sirkulasi dari Reaktor. Selain itu juga terdapat pipa sirkulasi pompa untuk
menghindari beban kerja berlebih pada pompa. Selanjutnya keluaran dari buffer
tank dialirkan ke reaktor untuk proses konversi. Sama halnya dengan EQT, buffer
tank juga dilengkapi dengan sensor level untuk mengetahui ketinggian cairan
didalam tangki tersebut. Kemudian aliran umpan menuju CSTR dikendalikan
dengan menggunakan butterfly valve.
keluar dari reaktor melalui pipa over flow. Limbah cair ini secara visual berwarna
lebih gelap dengan padatan tersuspensi yang lebih banyak. Sedangkan gas yang
dihasilkan akan dialirkan menuju gas holder untuk ditampung ataupun dilakukan
proses flaring melalui pipa keluaran gas di atas reaktor. Selanjutnya dilakukan
proses treatment sebelum POME dapat dibuang ke kolam limbah.
Dikarenakan adanya produksi gas di dalam reaktor maka peningkatan
konsentrasi gas akan meningkatkan tekanan. Saat terjadi peningkatan tekanan yang
tidak normal maka diperlukan mekanisme pelepasan tekanan. Oleh karena itu pada
unit CSTR dipasang peralatan vakum dan pressure breaker seperti pada Gambar
2.12. Alat ini berfungsi sebagai mekanisme keamaanan saat terjadi permasalahan
pada tekanan dalam CSTR. Pressure breaker akan melepaskan tekanan saat
tekanan gas dalam reaktor di atas 300 mmWc.
scum agar tidak keluar dari bak melalui kanal-kanal di permukaan lamela clarifier
seperti pada Gambar 2.14. Lamela clarifier memiliki 2 pipa keluaran yaitu pipa
untuk over flow yang akan dialirkan ke kolam 2 dan pipa effluen di dasar
lamelaclarifier yang akan dialirkan kembali ke reaktor.
Proses pemisahan antara sludge, air, dan foam dan scum terjadi secara
natural oleh gaya gravitasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan massa jenis
antara slugde, air dan foam atau scum. Air akan keluar dari lamela clarifier melalui
kanal-kanal kecil di permukaan lamela clarifier yang selanjutnya mengalir ke
kolam limbah PKS. Air limbah yang dikeluarkan sudah mengalami penurunan TSS,
COD dan suhu. Sedangkan pH dari air keluaran lamela clarifier sudah mendekati
pH 7. Sedangkan sludge yang keluar dari bawah akan disirkulasi kembali ke dalam
CSTR menggunakan pompa. Foam dan scum harus dikeluarkan secara manual
setiap hari.
8. Flare Stack
Flare Stack adalah unit proses yang berfungsi untuk membakar biogas saat
tidak dipengiriman ke burner yang ditampilkan pada Gambar 2.19. Biogas akan
dibakar jika produksinya rendah atau saat boiler 2 tidak beroperasi. Sebelum
dibakar, biogas dikontakkan ke dalam air dalam seal drum agar mengurangi kadar
H2S. Selain itu proses ini juga bertujuan untuk faktor keamanan. Api yang menyala
pada ujung flare tidak akan merambat ke unit proses lain karena adanya air di dasar
flare stack (Gambar 2.20). Sedangkan gas dapat tetap keluar dan terbakar.
23
9. Burner
Burner merupakan unit yang akan mengkonversi gas hasil produksi menjadi
energi. Energi ini yang dihasilkan digunakan untuk membantu pembentukan steam
di boiler. Untuk mengoperasikan burner, dibutuhkan laju alir biogas >50 Nm3/jam.
Sehingga produksi biogas di CSTR harus >70 Nm3/jam. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi penyusutan volume gas pada gas holder. Biogas dikirim ke burner
menggunakan blower yang akan mengalirkan biogas melalui pipa. Burner juga
membutuhkan beberapa peralatan pendukung seperti kompresor, katup pengendali
(Gambar 2.18), cyclone, instrumen pengukuran tekanan (Gambar 2.16), instrumen
pengukuran laju alir (Gambar 2.17) dan lain-lain. Burner dapat dioperasikan
melalui panel yang berada di stasiun boiler.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
64
62
60
58
56
54
52
50
36,4 37 37 36,8 36,7 36 36,7 36,4 36,8 37,3 36,1 36,7 37,5 37,4 37,7 37,9
Suhu (oC)
27
28
64
62
60
58
56
54
52
50
37,5 36,9 37,6 38,2 38,6 37,1 35,9 35,3 36,7 34,2 28,6 37,9 38,5 38,8 39,8 41,2
Suhu (oC)
68 45
Kadar Gas Metana (%)
66 40
Temperatur (oC)
64 35
62 30
60 25
58 20
56 15
54 10
52 5
50 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Waktu Analisis (hari)
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa temperatur reaktor dan temperatur
lingkungan cenderung stabil. Temperatur saja tidak dapat memberikan pengaruh
langung terhadap produksi metana namun temperatur berpengaruh terhadap
aktivitas mikroorganisme saat mengonversi POME menadi biogas. Fluktuasi
produksi metana dapat disebabkan oleh penurunan atau kenaikan temperatur yang
drastis atau parameter lain yang memengaruhi kadar gas metana. Produksi metana
tertinggi yakni pada 65,8% dengan temperatur reaktor 36,7oC dan temperatur
lingkungan 38,6oC. Hasil produksi gas metana dapat terjadi karena reaktor bekerja
dalam rentang suhu optimal yaitu sebesar 36-37°C (Ecody, 2021). Bedasarkan teori
bahwa degradasi zat organik yang semakin mudah menguap seiring meningkatnya
suhu dapat mengakibatkan meningkatnya laju produksi biogas. Salah satu faktor
penurunan laju produksi biogas adalah temperatur lingkungan yang turun akibat
kondisi lingkungan yang hujan (Irawan et al., 2015). Kadar gas metana menurun
hingga 55,7% saat temperatur lingkungan 28,6 oC.
30
20000
COD (ppm)
15000
10000
5000
0
0 2 4 6 8 10
Hari Pengamatan
17500
TSS (ppm)
17000
16500
16000
15500
0 5 10 15 20
Hari Pengamatan
Perubahan nilai TSS terjadi karena perubahan sumber umpan POME. Jumlah
TSS standar yaitu sebesar 20.000 – 21.000 mg/L (Ecody, 2021). Secara umum
kadar TSS dalam reaktor CSTR ini tergolong rendah, hal ini cukup baik karena
apabila kadar TSS dalam reaktor CSTR sangat tinggi, maka bahan organik yang
terkandung dalam POME akan sangat sulit untuk didegradasi. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Valentino et al. (2018) bahwa semakin tinggi nilai
TSS maka bahan organik akan membutuhkan lebih banyak oksigen untuk dapat
terdegradasi.
0,9
0,8
0,7
VFA/ALK (ppm)
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0 5 10 15 20
Hari Pengamatan
Gambar 4.5 Rasio Kadar VFA dan Alkalinitas POME dalam Reaktor
37,5
Suhu (⁰C)
37
36,5
36
35,5
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Hari Pengamatan
7,1
7,05
7
pH
6,95
6,9
6,85
6,8
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Hari Pengamatan
5.1 Kesimpulan
` Berdasarkan hasil kegiatan Kerja Praktek yang dilaksanakan selama periode
10 Juli s/d 12 Agustus 2023 dengan pengujian temperatur proses di stasiun reaktor
dan temperatur lingkuungan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Suhu POME dalam reaktor harus dipantau untuk menjaga kestabilan
kualitas biogas yang dihasilkan.
2. Produksi metana tertinggi yakni pada 65,8 % dengan suhu 36,7oC.
3. Perubahan temperatur dalam reaktor memberikan perubahan yang tidak
terlalu signifikan terhadap kadar metana yang dihasilkan selama proses
berlangsung dalam rentang suhu optimal reaktor yaitu sebesar 36 – 37°C.
4. Suhu POME di reaktor CSTR PTPN V Sei Pagar berkisar antara 36,0 –
37,9°C, ph POME berkisar antara 6,86 – 7,09, TSS POME berkisar antara
15.600 – 17.600, COD POME berkisar antara 17.800 – 23.288, dan rasio
VFA/ALK berkisar antara 0,2 – 0,77.
5.2 Saran
Pengamatan parameter pada reaktor harus dilakukan saat reaktor dalam
keadaan menyala dan pada waktu yang sama setiap hari.
35
DAFTAR PUSTAKA
Aznury, M., dkk. 2018. Produksi Biogas dari Air Limbah Industri Minyak Kelapa
dengan Penambahan Pengadukan Biogas. Jurnal Kinetika. 9(03), hal. 12–
16.
Black, J.M., dan Hawks, J.H. 2005. Medical Surgical Nursing. New York. Elsevier.
Chusna, F. M. A., Mellyanawaty, M. dan Nofiyanti, E. 2020. Peningkatan Produksi
Biogas dari Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan Fluidisasi Media Zeoilit
Termodifikasi pada Sistem Batch. Jurnal Rekayasa Proses. 14(1), hal. 91–
100.
Ecody. 2021. Program Training Pekerjaan Pembangunan Biogas Cofiring PKS
LDA PTPN V.
Rahayu, A. S., dkk. 2015. Konversi POME Menjadi Biogas. Indonesia.
Rama, J. B. dan Ardhiya. 2015. Pengaruh Proses Acid Gas Removal dan Dehidrasi
Biogas Terhadap Efisiensi Overall Mesin Konversi Biogas – Listrik. ITS.
Surabaya.
Shakib, N. dan Rashid, M. 2019. Biogas Production Optimization from POME by
Using Anaerobic Digestion Process. Journal of Applied Science and
Process Engineering.6(2), hal.369–377.
Suryani, F., Homsah, O. F. dan Basuki, M. 2018. Analisis pH dan Pengadukan
terhadap Produksi Biogas dari Limbah Cair Kelapa Sawit. Jurnal Riset
Sains dan Teknologi, 2(1), hal. 1–7.
Valentino, N., dkk. 2018. Perencanaan Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent
untuk Pembangkit Listrik : Studi Kasus Pabrik Kelapa Sawit Sei Pagar.
Perencanaan Produksi, hal. 81–86.
Winanti, W. S., Prasetiyadi dan Wiharja. 2019. Pengolahan Palm Oil Mill Effluent
( POME ) menjadi Biogas dengan Sistem Anaerobik Tipe Fixed Bed tanpa
Proses Netralisasi. Jurnal Teknologi Lingkungan. 20(1), hal. 143–150.
36
LAMPIRAN A
HASIL ANALISIS
37
LAMPIRAN B
38
LAMPIRAN C
METODOLOGI ANALISIS
39
40
14. Sampel dititrasi hingga larutan berubah warna menjadi merah muda.
15. Catat jumlah larutan NaOH yang digunakan. Hitung kadar VFA sampel.
Keterangan:
f= recovery factor
a = konsentrasi volatile acid yang direcovery di distilat (mg/l)
b = konsentasi volatile acid sebagai larutan standar yang digunakan (mg/l)
Keterangan :
N= Normalitas NaOH
f = Recovery factor
Dimana:
b adalah berat kertas saring + residu kering (mg)
a adalah berat kertas saring (mg)
46
HASIL ANALISIS
48
LAMPIRAN E
1. Pengambilan POME
49
50
Gambar 3.1 Sampel Uji Alkalinitas Gambar 3.2 Rangkaian Alat Titrasi
10 mL untuk Uji Alkalinitas
Gambar 7.3 Alat Analisa COD Gambar 7.4 Hasil Analisa COD