Anda di halaman 1dari 2

LI ASMA

Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot bantu napas.

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan
VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedang
penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi, baik pada saluran napas besar, sedang maupun
kecil. Gejala mengi (wheezing) menandakan adanya penyempitan disaluran napas besar,
sedangkan penyempitan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.

Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut :

1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas.

2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas.

3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu.

4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin.

Prognosis

Asma tidak terkontrol atau asma eksaserbasi adalah kondisi mengancam jiwa dan
menyebabkan kematian. Namun, asma yang terkontrol dengan baik umumnya memiliki
prognosis yang baik. Evaluasi rutin gejala, penggunaan obat, komorbid, serta faktor pencetus
asma adalah beberapa indikator prognosis asma pada pasien.

Angka kematian akibat asma semakin menurun dalam beberapa dekade terakhir, sejak
ditemukannya terapi pemberian kortikosteroid inhalasi sebagai terapi pengontrol pada pasien
asma. Namun demikian, pemberian kortikosteroid, walaupun dalam dosis kecil, terapi
memiliki risiko komplikasi.

Sullivan et al pada studinya membandingkan kelompok tanpa paparan kortikosteroid


oral, kortikosteroid dosis rendah, dan kortikosteroid dosis tinggi. Setiap kelompok studi
diikuti selama 2–10 tahun dan didapatkan hasil bahwa paparan kortikosteroid jangka panjang
berhubungan dengan adanya risiko osteoporosis, hipertensi, obesitas, diabetes mellitus tipe 2,
katarak, ulkus gaster, hingga fraktur. Oleh sebab itu, walaupun pemberian kortikosteroid
mampu menurunkan mortalitas pasien asma, dokter perlu memperhatikan risiko efek samping
penggunaan kortikosteroid.

Anda mungkin juga menyukai