Anda di halaman 1dari 14

Hukum Internasional

Sumber-Sumber Hukum Internasional

Dosen Pengampu:

Dr. lrawati Handayani, S.H., LL.M.

Anggota Kelompok:

Maximilian Feivel Yudha (110110220085)

Kezia Beryl Josephine(110110220092)

Arif Fadhillah Siregar(110110220097)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN
Nomor 1
a.Jelaskan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional dan elemen-elemen
pembentuknya!
Definisi perjanjian internasional menurut VLCT 1969 “an international agreement
concluded between states in written form and governed by international law, whether
embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation” yang berarti Perjanjian antar negara dalam bentuk tertulis dan yang
pasti diibentuk dan diatur oleh hukum internasional, selain itu perjanjian ini bisa saja dalam
bentuk instrument yang single atau lebih dan mungkin penyebutannya akan berbeda - beda
tetapi tetap dikategorikan sebagai perjanjian internasional selama dalam bentuk tertulis dan
diatur oleh hukum internasional.

Berdasarkan praktik beberapa negara kita dapat membedakan perjanjian itu dalam
dua golongan. Pada satu pihak terdapat perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga
tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi, dan pada pihak lain
perjanjian yang hanya melewati 2 tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya
perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga
memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian
(treaty making power), sedangkan perjannjian golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya
diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang
cepat seperti misalnya perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Golongan pertama
dapat digunakan kata perjanjian internasional atau traktat sedangkan untuk golongan kedua
dapat digunakan kata persetujuan.1

Sutau penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan perjanjian


internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty
contract dan law making treaties. Treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu
kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban
antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contohnya perjanjian mengenai
perjanjian perbatasan, .Law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakkan
ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

1
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, 2003, Pengantar HUkum Internasional, PT ALUMNI, Bandung, hal
119-120
Contohnya ialah Konvensi tahun 1040 mengenai Perlindungan Korban Perang. Perbedaanya
ialah tampak bila dilihat dari pihak yang tidak turut serta pada perundingan yang melahirkan
perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract
yang diadakan antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu semula. Pihak ketiga yang
tidak berkepentingan tidak akan dapat turut serta dalam suatu perjanjian mengenai
pemberantasan penyelundupan dan bajak laut antara Philipina dan Indonesia. Sebaliknya,
suatu perjanjian dinamakan law making treaty selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya
tidak turut serta dalam perjanjian, karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan
masalah umum mengenai semua anggota masyarakat internasional.2

“sebuah perjanjian internasional yang disepakati negara-negara dalam bentuk


tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik terwujud dalam satu instrument atau
dalam dua atau lebih instrument terkait dan apapun namanya.”3

1. To be a treaty an agreement has to have an International Character4

Yang artinya dalam perjanjian harus ada sebuah kesepakatan yang harus
memiliki karakter internasional. Praktik beberapa negara membagi perjanjian ke
dalam berbagai kategori seperti antar-negara, antar-pemerintah, antar-mentri atau
administrative. Adapun perjanjian plurilateral adalah perjanjian yang dibuat antara
sejumlah negara untuk kepentingan khusus dan ada perjanjian konstituen yang
mendirikan organisasi internasional

2.Treaties can be bilateral or multilateral (between three or more parties). Most of the
Convention applies to both types.5

Yang artinya perjanjian bersifat bilateral atau multilateral (antara tiga pihak
atau lebih). Sebagian besar konvensi berlaku untuk kedua jenis.

2
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, 2003, Pengantar HUkum Internasional, PT ALUMNI, Bandung, hal
121-124
3
Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press : eBook (NetLibrary), 2007, hal
16
4
ibid, hal 17
5
ibid
3. The International Law Commission’s Commentary makes it clear that the definition of
treaty includes those international agreements which by the 1960s were increasingly being
drafted in a less formal manner (‘in sim-plified form’).6

Yang artinya komentar komisi hukum internasional menjelaskan bahwa


definisi perjanjian mencakup perjanjian internasional pada tahun 1960 semakin
sering dirancang dalam cara yang kurang formal (dalam bentuk yang
disederhanakan).

4. A treaty can be concluded between a state and another subject of inter-national law,14 in
particular an international organisation, or between international organisations.7

Yang artinya sebuah perjanjian dapat disimpulkan antara satu negara dan
subjek hukum internasional lainnya, terutama sebuah organisasi internasional atau
antara organisasi internasional.

Nomor 1b

- Siapakah para pihak dari kasus tersebut?

Pihak yang bersengketa dalam kasus North Sea Continental Shelf adalah Jerman melawan
Belanda dan Denmark.

- Permasalahan hukum apakah yang muncul dari kasus tersebut?

Berdasarkan Hukum Internasional, bagian landas kontinen yang berbatasan dengan garis
pantai suatu negara dianggap sebagai perpanjangan alami dari wilayah daratannya. Hal
tersebut memberikan negara hak eksklusif atas bagian landas kontinen tersebut dan sumber
daya alam yang dikandungnya, namun negara-negara pantai yang bertetangga satu sama
lain, sering kali mengajukan klaim yang tumpang tindih.8

6
Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press : eBook (NetLibrary), 2007, hal
17
7
ibid7, hal 18
8
NORTH SEA CONTINENTAL SHELF CASES, Judgment of 20 February 1969
Dalam kasus tersebut terjadi persengketaan batas landas kontinen di Laut Utara.
Sebelumnya 1964 terjadi suatu perjanjian internasional antara Jerman dengan Denmark dan
pada tanggal 9 Juni 1965 terjadi suatu perjanjian internasional antara Jerman dengan
Belanda. Kedua perjanjian ini mengatur tentang perbatasan wilayah kekuasaan ketiga negara
tersebut yang ditentukan dari batas pantai ketiga negara tersebut. Pada tahun 1966 Belanda
dan Denmark melakukan pengaturan ulang dalam mengatur luas perbatasan di landas
kontinen di lau utara. Belanda dan Denmark menandatangani persetujuan, yakni konvensi
Jenewa tentang Landas Kontinen di laut utara. Dampaknya ialah terjadi negosiasi antara
negara Belanda dan Denmark dengan negara Jerman untuk membahas konvensi tersebut.
Sebab Jerman merasa dirugikan. Akhirnya negosiasi antara negara tersebut pun dilakukan.
Belanda dan Denmark mengajukan sebuah argumennya berdasarkan Pasal 6 Konvensi
Jenewa pada tahun 1958 yang mana menerapkan prinsip sama jarak (equidistance) dan
memperhatikan keadaan khusus dalam mengukur landas kontinen apabila memang tidak
ada kesepakatan antara kedua negara tersebut. Dalam kasus tersebut, Jerman tidak
meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1958. Akan tetapi Belanda dan Denmark tetap
berpandangan bahwa apabila ada negara yang tidak ikut Konvensi ini, maka hukum
kebiasaan internasional dapat diterapkan. Jerman berpendapat bahwa konsep tersebut
justru akan terjadi beberapa ketimpangan, sehingga Jerman menolak hal tersebut. Sebab
perhitungan model dengan menerapkan prinsip equidistance akan memberi jerman ha katas
wilayah yang lebih kecil secara tidak proporsional dibandingkan dengan metode deliminasi
alternative. Akhirnya setelah negosiasi tersebut gagal, negara-negara tersebut menyerahkan
North Sea Continental Shelf kepada International Court Jenewa.9

- Bagaimana putusan hakim pada kasus tersebut? Jelaskan secara ringkas.

International Court Jenewa tidak dapat menerima pendapat mengenai teori “just and
equitable” yang diajukan oleh Jerman terutama dalam hal untuk membentuk keadaan
khusus, yang berfungsi untuk mengatur perbatasan tersebut. Doktrin tersebut tidak perlu
dilaksanakan sebab prinsip doktrin ini dapat dijalankan tanpa diperlukannya suatu ketentuan
khusus. Hak bagi negara pantai yang berhubungan dengan wilayah landas kontinen dalam

9
NORTH SEA CONTINENTAL SHELF CASES, Judgment of 20 February 1969
hal perluasan wilayah perbatasannya di bawah laut telah berlaku secara ipso facto (oleh
kenyataan itu sendiri) dan ab initio (sejak semula). ICJ memutuskan untuk menolak prinsip
equidistance yang diajukan oleh Denmark dan Belanda. Hal tersebut dikarenakan tidak ada
doktrin dasar landas kontinen dan juga penerapannya dapat mengakibatkan adanya
pencampuran antara wilayah yang diperluas daam landas kontinen dengan wilayah
kekuasaan negara lainnya. ICJ menganjurkan untuk diupayakan perundingan secara adil bagi
kasus tersebut dan disepakati oleh ketiga negara tersebut.10

Para Pihak memiliki kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa sehingga dalam kasus
tertentu, dengan mempertimbangkan semua keadaan, prinsip-prinsip yang adil diterapkan.
Tidak ada pertanyaan tentang keputusan Pengadilan yang berdasarkan ex aequo et bono. Ini
adalah tepatnya aturan hukum yang meminta penerapan prinsip-prinsip yang adil, dan
dalam kasus seperti yang saat ini, metode equidistance tanpa ragu dapat menyebabkan
ketidakadilan. Metode lain ada dan bisa digunakan, baik sendiri maupun kombinasi, sesuai
dengan wilayah yang terlibat.

Dengan semua alasan tersebut, Pengadilan menemukan dalam setiap kasus bahwa
penggunaan metode pembatasan equidistance tidak wajib antara para pihak, bahwa tidak
ada metode pembatasan tunggal lain yang dalam semua keadaan wajib. bahwa pembatasan
harus dilakukan melalui kesepakatan sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan
mempertimbangkan semua keadaan yang relevan, dengan cara yang memungkinkan
masing-masing pihak mempertahankan sebanyak mungkin bagian dari landas kontinen yang
merupakan perpanjangan alami dari wilayah daratnya, tanpa melanggar perpanjangan alami
wilayah darat Pihak lain; dan bahwa jika pembatasan semacam itu menghasilkan area
tumpang tindih, mereka harus dibagi antara para Pihak dalam proporsi yang disepakati.11

- Apakah negara yang tidak terikat pada suatu perjanjian internasional (Dalam kasus ini
negara Jerman) harus tunduk pada perjanjian terkait (Geneva Convention on the
Continental Shelf of 1958)?

Dari jurnal Malcolm N. Shaw - International Law 8th Edition-Cambridge University Press
(2017) disebutkan bahwa sudah aturan umum dan diilustrasikan dalam kasus laut utara

10
ibid
11
NORTH SEA CONTINENTAL SHELF CASES, Judgment of 20 February 1969
(North Sea Continental Shelf) di mana Jerman Barat tidak meratifikasi konvensi yang relevan
dan oleh karena itu tidak berkewajiban untuk mematuhi peraturannya. Namun jika traktat
mencerminkan hukum kebiasaan, maka negara - negara atau pihak yang tidak terikat pada
suatu perjanjian internasional akan terikat bukan karena itu adalah ketentuan traktat, tetapi
karena itu mengkonfirmasi kembali suatu aturan atau aturan hukum internasional kebiasaan.
Demikian pula, negara - negara yang tidak terikat mungkin akan menerima bahwa ketentuan
dalam traktat tertentu dapat menghasilkan hukum kebiasaan, tergantung pada sifat
perjanjian, jumlah peserta, dan faktor - faktor relevan lainnya. 12

Kemungkinan bahwa ketentuan dalam traktat dapat membentuk dasar aturan bersama
dengan opinio juris, dapat menyebabkan pembentukan hukum kebiasaan yang mengikat
semua negara, bukan hanya pihak yang terlibat dalam traktat asli, dipertimbangkan oleh
mahkamah internasional dalam kasus laut (North Sea Continental Shelf) dan dianggap
sebagai salah satu metode yang diakui dalam merumuskan aturan - atura baru dari hukum
internasional kebiasaan. Tepatnya hal ini berarti mungkin akan bervariasi tergantung pada
waktu dan temat, tetapi ini mengonfirmasi bahwa ketentuan traktat dapat mengarah pada
pembentukan hukum kebiasaan asalkan negara - negara lain, baik pihak yang terlibat
maupun yang tidak dalam traktat, memenuhi kondisi - kondisi perilaku yang kompatibel dan
opinio juris yang diperlukan. Pengadilan menyimpulka bahwa akan jelas bahwa hukum
internasional kebiasaan terus ada dan berlaku secara terpisah dari hukum traktat
internasional, bahkan ketika kedua kategori hukum memiliki konten yang identik.

Nomor 1 C

Apakah yang menjadi kriteria dari suatu perjanjian internasional dapat dibatalkan,jelaskan
kriteria-kriteria tersebut!

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengakhiri atau menangguhkan
suatu perjanjian. Pengakhiran tersebut berdasarkan ketentuan atau Persetujuan Perjanjian

12
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017 hlm 71
untuk dapat diakhiri atau ditangguhkan sesuai dengan ketentuan khusus dalam perjanjian
tersebut.

Material Breach

Jika suatu negara melanggar suatu ketentuan penting dalam suatu perjanjian tersebut,
bukanlah suatu hal yang wajar jika negara lain yang bersangkutan menganggap perjanjian
tersebut telah berakhir. Fakta bahwa suatu perjanjian dapat diakhiri jika perjanjian itu
dilanggar satu pihak dapat menjadi penghambat bagi pihak mana pun yang ingin melakukan
pelanggaran terhadap salah satu pihak. Apabila pelanggaran tersebut terjadi dalam
perjanjian bilateral, maka berdasarkan pasal 60(1) pihak yang tidak bersalah dapat
menjadikan pelanggaran tersebut sebagai dasar untuk mengakhiri perjanjian atau
menangguhkan operasinya keseluruhan atau sebagian. Mahkamah Internasional telah
menegaskan bahwa hal tersebut hanyalah pelanggaran material terhadap perjanjian
perjanjian itu sendiri, oleh negara pihak pada perjanjian tersebut, yang memberikan hak
kepada pihak lain untuk bergantung pada perjanjian tersebut dengan alasan pengakhiran.13

Terdapat situasi yang agak berbeda dalam kasus perjanjian multilateral karena beberapa hal
pihak-pihak yang tidak bersalah terlibat dan mungkin tidak ingin perjanjian tersebut dikecam
oleh salah satu dari mereka karena pelanggaran yang dilakukan oleh negara lain. Untuk
mengatasi situasi seperti ini, pasal 60(2) mengatur hal tersebut pelanggaran material
terhadap perjanjian multilateral oleh salah satu pihak berhak:14

a. pihak-pihak lain dengan kesepakatan bulat untuk menunda berlakunya perjanjian tersebut
secara keseluruhan atau sebagian sebagian atau menghentikannya:

I. dalam hubungan antara mereka dan negara yang melakukan wanprestasi, atau
II. antara semua pihak;

b. pihak yang secara khusus terkena dampak pelanggaran tersebut untuk menjadikannya
sebagai dasar untuk menangguhkan pengoperasian perjanjian tersebut secara keseluruhan
atau sebagian dalam hubungan antara perjanjian tersebut dengan negara yang melakukan
wanprestasi;

13
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 718
14
ibid, hal 719
c. pihak mana pun selain negara yang melakukan wanprestasi untuk meminta pelanggaran
tersebut sebagai dasar untuk menangguhkan berlakunya perjanjian tersebut secara
keseluruhan atau sebagian terhadap dirinya sendiri jika perjanjian tersebut bersifat seperti
itu bahwa pelanggaran material terhadap ketentuan-ketentuan yang dilakukan oleh satu
pihak secara radikal akan mengubah posisi setiap pihak sehubungan dengan pelaksanaan
lebih lanjut kewajibannya berdasarkan perjanjian.15

Perubahan Keadaan yang Mendasar

Doktrin rebus sic stantibus merupakan asas dalam hukum kebiasaan internasional yang
mengatur hal tersebut apabila telah terjadi perubahan keadaan yang mendasar sejak suatu
perjanjian dibuat, salah satu pihak dalam perjanjian itu dapat menarik diri atau
mengakhirinya. Hal ini dibenarkan oleh fakta bahwa beberapa perjanjian mungkin tetap
berlaku untuk jangka waktu yang lama, dan selama periode tersebut mungkin terjadi
perubahan mendasar telah terjadi. Perubahan tersebut mungkin mendorong salah satu
pihak untuk mengambil tindakan drastis menghadapi penolakan umum untuk menerima
perubahan ketentuan perjanjian.16

Pasal 62 Konvensi Wina, yang disetujui oleh Mahkamah Internasional banyak hal sebagai
kodifikasi hukum adat yang ada, menyatakan bahwa:

1. Perubahan mendasar atas keadaan yang terjadi pada keadaan yang ada pada saat itu
waktu berakhirnya suatu perjanjian, dan yang tidak diperkirakan sebelumnya oleh para
pihak, tidak dapat dimintai pendapat sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari
perjanjian kecuali:

a. adanya keadaan tersebut merupakan dasar penting dari persetujuan pihak-pihak


yang terikat pada perjanjian; Dan
b. dampak perubahan tersebut secara radikal mengubah cakupan kewajiban yang
masih harus dilaksanakan di bawah perjanjian.

2. Perubahan keadaan yang mendasar tidak dapat dijadikan dasar untuk mengakhiri atau
menarik diri dari suatu perjanjian:

15
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 720
16
ibid, hal 720
a. jika perjanjian menetapkan batas; atau
b. apabila perubahan mendasar tersebut merupakan akibat dari pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak yang meminta salah satu dari suatu kewajiban berdasarkan
perjanjian atau kewajiban internasional lainnya yang harus dibayar kepada pihak lain
mana pun perjanjian.17

2. Hukum Kebiasaan Internasional (Customary International Law):

a. Siapakah para pihak dalam kasus ini dan apakah permasalahan utama dari kasus ini?
Jelaskan!

Pihak yang terkait didalam kasus ini adalah britania raya dan irlandia utara melawan
norwegia, atau bisa kita sebut dengan negara inggris melawan vs norwegia18. Adapun
permasalahan utama yang dimulai sebelum abad-abad sebelumnya yaitu pada saat nelayan
britania raya atau inggris pernah melakukan ekspidisi di perairan dekat pantai norwegia.
Namun, terdapat keluhan dari raja norwegia yang akhirnya nelayan inggris atau britania raya
berhenti pada awal abad ke-17. Dan setelah 300 tahun, tepatnya pada tahun 1906
kapal-kapal britania raya atau inggris muncul kembali dan mereka adalah trawler yang
dilengkapi dengan peralatan yang lebih baik dan kuat. Sehingga membuat penduduk sekitar
menjadi khawatir dan menyebabkan negara norwegia menentukan batas-batas
penangkapan ikan dilarang bagi orang asing. Tepatnya pada tanggal 12 Juli 1935, pemerintah
Norwegia mengatur zona perikatan dengan dekrit. Sehingga ada sejumlah trawler Britania
Raya atau Inggris yang ditangkap dan dihukum pada tahun 1948 dan 1949. Dan pada saat
itulah pemerintah Britania Raya Mengajukan gugatan ke pengadilan.

Inti dari permasalahan Anglo Norwegian Fisheries Case Britania Raya atau inggris
meminta pengadilan untuk menyatakan apakah pembatasan ini melanggar hukum
internasional atau tidak, secara tidak langsung membahas penetapan base line zona
perikanan norwegia.19 Dikarenakan menurut inggris penetapan garis Norwegia tidak sesuai
dengan hukum internasional. Karena pada hakikatnya norwegia menarik garis batasnya dari

17
N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017, hal 721
18
“Judgement of 18 December 1951”
19
“Judgement of 18 December 1951”
Skjaergaard “Benteng Karang” yaitu sangat berlubang oleh fjord dan teluk, dipenuhi oleh
pulau-pulau, pulau kecil, dan karang-karang yang tak terhitung jumlahnya.20

b.Apakah yang menjadi unsur-unsur pembentuk hukum kebiasaaan internasional dan


secara khusus dalam kasus ini!

Unsur - unsur pembentuk hukum kebiasaan internasional yaitu ada dua yaitu unsur
material dan unsur psikologis. Unsur material yaitu berlangsung lama yang berarti memiliki
pola yang rangkaiannya serupa, selain itu juga bersifat umum, tindakan yang harus dilakukan
secara umum. Yang kedua adalah unsur psikologis atau sense of obligations bahwa
kebiasaan internasional itu dapat diterima sebagai hukum apabila negara - negara
menyatakan itu menjadi suatu aturan hukum yang mengikat dan tidak ada keberatan
terhadap kebiasaan tersebut.21

Unsur material yaitu berlangsung lama yang memiliki rangkaian yang serupa dan
harus dilakukan secara umum, unsur materiil ini telah terpenuhi oleh negara Norwegia yang
dimana negara Norwegia telah melaksanakan kebiasaan sejak abad ke ke 17 sebagai sumber
mata pencaharian bagi nelayan-nelayan Norwegia adapun hak lainnya yang dapat dikaitkan
dengan sejarah yaitu hak Lopphavet yaitu hak ekslusif untuk memancing dan berburu ikan
paus pada abad-17 juga kebada subjek Norwegia yang menandakan perairan ini dianggap
secara ekslusif berada dalam kedaulatan norwegia

Unsur psikologis atau sense of obligations bahwa kebiasaan internasional itu dapat
diterima sebagai hukum apabila negara - negara menyatakan itu menjadi suatu aturan
hukum yang mengikat dan tidak ada keberatan terhadap kebiasaan tersebut. Unsur ini dapat
terlihat pada pada penetapan garis yang ditarik dari Skaejgaard yaitu bergunung-gunung
sepanjang seluruh panjangnya, sangat berlubang oleh fjord dan teluk, dipenuhi oleh
pulau-pulau, pulau kecil, dan karang-karang yang tak terhitung jumlahnya dan
mengakibatkan adanya hubungan territorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara
yuridiksi masih menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Sehingga dapat disimpulkan
Skajgaard di negara Norwegia dapat dianggap sebagai daratan.

20
“Judgement of 18 December 1951”
21
Dr. Irawati Handayani, Customary International Law. 2020
c. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini dengan
membenarkan tindakan Norway? Berikan pendapat sdr!

Pokok pemikiran ICJ dalam pertimbangannya adalah bahwa jalur maritim bukanlah
suatu perluasan semu terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu negara sebagai suatu
wilayah tambahan yang berdampingan di mana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan
geografis negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak berdaulat eksklusif, yang
hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing
yang dilakukan di laut teritorial. Keputusan dalam kasus The Anglo-Norwegian Fisheries saat
itu dipandang sebagai penemuan hukum yuridis namun prinsip-prinsip umum diadopsi
sebagai bagian Hukum Internasional. Pada Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial 1958,
Pasal 4 mengadopsi prinsip-prinsip yang digunakan oleh ICJ tersebut dan menetapkan
metode garis pangkal lurus dengan metode berbeda yang diizinkan dari sistem pengukuran
air laut rendah biasanya.22

Pada proses pengadilan, kedua pihak sama - sama berpegang teguh pada prinsip masing
- masing. Namun Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi - argumentasi mereka
bahwa faktor sejarah dari zona perikanan tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak
sejak berabad - abad yang lalu. Dalam kasus ini Mahkamah Internasional akhirnya memutus
perkara ini pada 18 Desember 1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan
menghasilkan keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan baseline oleh Norwegia
berdasarkan dekritnya itu sesuai dengan hukum internasional. Pertimbangan mahkamah
internasional adalah pertama, sudah menjadi hukum kebiasaan pada Norwegia sejak abad
ke - 17 daerah tersebut milik Norwegia. Kedua bahwa skaejgaard yang dimaksud masih
memiliki hubungan teritorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara yurisdiksi masih
menjadi wilayah kedaulatan Norwegia. Ketiga, bahwa wilayah tersebut memiliki kepentingan
ekonomi dari penduduk lokal Norwegia, dimana wilayah yang kaya akan sumber perikanan
tersebut dijadikan sumber mata pencaharian bagi nelayan - nelayan Norwegia, sejak abad ke
17. Yang keempat adalah melihat kondisi geografis dari Norwegia sendiri yang memang relief
negaranya merupakan gugusan pegunungan dan pantai - pantainya yang berkarang sehingga

22
Johan, Eva. “Pengukuran Lebar Laut Teritorial Menggunakan Garis Pangkal Menurut UNCLOS 1982 dan
Penerapannya dalam Hukum Indonesia” hlm 42
skaejgaard juga dianggap sebagai daratan. Pertimbangan - pertimbangan tersebut yang
diambil mahkamah internasional untuk memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh
Norwegia. Dari kasus ini general principles yang bisa diambil adalah bahwa penetapan base
line atau garis pangkal laut territorial sebuah negara pantai dapat pula diambil dari gugusan
pulau - pulau kecil yang masih mempunyai hubungan teritorial dengan daratan.
DAFTAR PUSTAKA

Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press : eBook
(NetLibrary), 2007

N. Shaw, Malcolm. International Law, New York : Cambridge University Press, 2017

Crawford, James, Brownlie Principles Of Public Internationa Law, University Of Cambridge :


Lauterpacht Centre For International Law, 2012

Friedman, Wolfgang. “The North Sea Continental Shelf Cases A Critique” The American
Journal Of International Law. 17 September 2023.
Friedmann, The North Sea Continental Shelf Cases - A Critique.pdf

“Judgement of 18 December 1951”

Johan, Eva. “Pengukuran Lebar Laut Teritorial Menggunakan Garis Pangkal Menurut UNCLOS
1982 dan Penerapannya dalam Hukum Indonesia”

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung:


Alumni, 2015.

Anda mungkin juga menyukai