Anda di halaman 1dari 5

Salah satu aspek yang berfungsi dan berperan dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM)

yang berkualitas adalah pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan memiliki peran strategisuntuk
menciptakan SDM yang berkualitas. Namun demikian, pendidikan di Indonesia belum
sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Salah satu permasalahannya adalah rendahnya
kualitas proses dan hasil pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan yang ada.Berbagai
upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Salah satunya
adalah dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dalam praktiknya lebih
dikenal sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara umum,
MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi yang lebih besar kepada
sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional (Nurkolis, 2003:9).
Secara konseptual MBS atau MPMBS dipahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk
mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan
sekolah sebagai unit utama peningkatan. Konsep ini menempatkan redistribusi kewenangan para
pembuat kebijakan sebagai elemen paling mendasar, untuk meningkatkan kualitas hasil
pendidikan. Pada sisi ini MBS merupakan cara untuk memotivasi kepala sekolah untuk lebih
bertanggung jawab terhadap kualitas peserta didik. Untuk itu sudah seharusnya kepala sekolah
mengembangkan program-program kependidikan secara menyeluruh untuk melayani segala
kebutuhan peserta didik di sekolah (A. Malik Fadjar, 2002:xv-xvi). Lebih lanjut dikemukakan,
semua personel sekolah harus berperan serta merumuskan program yang lebih operasional, karena
merekalah pihak yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya.
Di Indonesia, pendekatan MBS di samping diposisikan sebagai alternatif, juga sebagai kritik atas
penyelenggaraan pendidikan yang selama ini tersentralisasi. Pendidikan sentralistis tidak mendidik
manejemen sekolah untuk belajar mandiri, baik dalam hal manajemen kepemimpinan maupun
dalam pengembangan institusional, pengembangan kurikulum, penyediaan sumber belajar, alokasi
sumber daya dan terutama membangun partisipasi masyarakat untuk memiliki sekolah.
Peningkatan pengaruh sekolah, perlu dukungan para stakeholder yang meliputi pemerintah daerah,
komite sekolah (kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat), serta siswa.
Pengambilan putusan bersama di kalangan stakeholder pada level sekolah merupakan kunci utama
dalam melaksanakan MBS (A. Malik Fadjar, 2002:xvi).
Kekuatan manajemen pendidikan diarahkan untuk lebih memberdayakan sekolah sebagai unit
pelaksanaan terdepan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar
sekolah lebih mandiri dan bersikap kreatif, dapat mengembangkan iklim kompetitif antarsekolah
di wilayahnya, serta bertanggung jawab terhadap stakeholders pendidikan, khususnya orang tua
dan masyarakat yang di era otonomi ini akan menjadi dewan sekolah. Dalam pelaksanaannya,
manajemen pendidikan harus lebih terbuka, accountable, mengoptimalkan partisipasi orang tua
dan masyarakat, serta dapat mengelola semua sumber daya yang tersedia di sekolah dan
lingkungannya untuk digunakan seluas-luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu
pendidikan pada umumnya(Indra Djati Sidi, 2001: 19-20)
Pelaksanaan MBS secara efektif dan efisien menuntut seorang kepala sekolah yang memiliki
pandangan luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus
ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja,
keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif.
Kepala sekolah dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai manajer sekolah dalam meningkatkan
proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, membina, dan memberikan saran-
saran positif kepada guru. Di samping itu, kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran,
sumbang saran, dan studi banding antarsekolah untuk menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari
kepala sekolah lain.
Pelaksanaan MBS juga menuntut guru untuk berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas.
Guru adalah teladan dan panutan langsung peserta didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu siap
dengan segala kewajiban, baik manajemen maupun persiapan isi materi pelajaran. Guru juga harus
mengorganisasikan kelasnya dengan baik mulai jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik,
kebersihan dan ketertiban kelas, pengaturan tempat duduk peserta didik dan penempatan media
pembelajaran pada tempatnya.
Pada sisi lain, pelaksanaan MBS yang ideal harus sesuai dengan karakteristik MBS dan harus
melalui tahap-tahap pelaksanaan MBS. Perencanaan dan persiapan yang baik dalam pelaksanaan
MBS akan membantu keberhasilan program tersebut. Hal itu akan menghasilkan mutu pendidikan
yang semakin baik, ada kepedulian warga sekolah dan tanggung jawab sekolah pun akan
semakinmeningkat.
Dari beberapa hasil studi MBS Bank Dunia di beberapa negara (dalam Nurkolis, 2003:251-256)
diperoleh kesimpulan antara lain: (1) hasil studi di India, Papua Nugini, dan Chicago
menunjukkan bahwa MBS dengan partisipasi masyarakatnya meningkatkan kehadiran siswa, dan
(2) studi di Nikaragua menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan motivasi guru karena
keterlibatannya dalam pengambilan keputusan di MBS. Selain itu, kehadiran guru dan siswa
secara reguler meningkatkan perubahan positif terhadap pengalaman belajar para siswa. Menurut
Fullan dan Watson seperti dikutip Nurkolis (2003:256), terdapat bukti yang nyata bahwa
keterlibatan orang tua dan masyarakat berpengaruh terhadap pembelajaran siswa, namun pada
sekolah-sekolah yang belum maju pengaruhnya masih terbatas.
Sedangkan, hasil studi di Indonesia yang dilaksanakan oleh Subakir dan Sapari (dalam Nurkolis,
2003:248-249) mengenai pelaksanaan MBS di Jawa Timur, ditemukan beberapa sumber daya
masyarakat maupun pendidik. Namun demikian, secara umum pelaksanaan uji coba MBS di Jawa
Timur berhasil dan sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Manajemen sekolah khususnya
manajemen keuangan pada umumnya sudah terbuka dan transparan walaupun partisipasi
masyarakat masih beragam. Dalam pembelajaran terjadi perubahan yang cukup mendasar pada
teknik dan metode pembelajaran.
Berangkat dari hasil-hasil penelitian yang cukup beragam tersebut, menimbulkan rasa ingin tahu
peneliti tentang bagaimana pelaksanaan MBS di SDN 1 Talaga Kecamatan Bintauna Kabupaten
Boloaang Mongondow Utara. Sebagaimana telah diuraikan bahwa dari beberapa hasil studi
mengenai MBS, terlihat pelaksanaan MBS yang masih beragam dan dari hasil observasi
sementara peneliti di lapangan, hal tersebut dikarenakan permasalahan yang diidentifikasikan
sebagai berikut ada kecenderungan kurangnya pengetahuan kepala sekolah, guru, orang tua murid,
dan masyarakat tentang pelaksanaan MBS. Kurangnya pengetahuan tersebut mengakibatkan
rendahnya partisipasi warga sekolah da

PENDAHULUAN
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Dan Kecerdasan Emosi Guru Dalam Meningkatkan Kinerja Guru Sekolah Dasar Negeri 15
Baruga?”
D.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dan Kecerdasan Emosi Guru Dalam Meningkatkan Kinerja Guru Sekolah Dasar
Negeri 15 Baruga

Education And Healthy Live

telusuri
Beranda
NOV
6
CONTOH PROPOSAL TESIS

BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang masalah


Globalisasi pada hakekatnya ialah suatu fenomena perubahan peradaban manusia dengan
lingkungan dunia. Didalam prosesnya terjadi interaksi global dari berbagai aspek kehidupan,
dimana ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan prasyarat yang menghantarkan bagi
munculnya pandangan-pandangan baru yang berskala dunia. Dunia pendidikan Indonesia saat ini
setapak demi setapak menata diri untuk menembus batas toleransi kompetitif global sehingga apa
yang dikatakan oleh Rana Baskara Heryana salah seorang Dosen jurusan elektro Fakultas
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan IKIP Bandung bahwa globalisasi menimbulkan
kecendrungan yang bersifat global sehingga menuntut orientasi berfikir yang bersifat global pula
(R. Baskara, 1991). Mungkinkah kita akan mengikuti kecenderungan global atau memainkan
momentum globalisasi sebagai sebuah penguatan potensi untuk meraih perubahan dan
menggenggamnya bukan suatu yang absurd ?.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa.
Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih
kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba
mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya dirasakan
oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang mulai melirik dunia pendidikan dalam
mengembangkan usahanya. Sarana
untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih dirasakan sangat kurang
dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Hal ini terlihat dengan semakin
menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan
tinggi. Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas
Modernisasi tidak dapat dipisahkan dari pendidikan. Upaya bertahan hidup (survival) ditentukan
oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang menyertainya. Dari yang dikemukakan di atas,
pendidikan merupakan faktor terpenting untuk proses pembentukan dan pemantapan identitas
nasional dan kesadaran nasional serta memformulasikan mindset bangsa. dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran. “jaman dahulu kala” sebagai anak lulusan yang memang mau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebik tinggi, kita cuma di hadapkan pada very limited
pilihan yang bisa kita ambil:
Masuk sekolah negri yang lebih “bergengsi” dengan biaya murah
Masuk sekolah swasta yang cukup bergengsi tapi mahal
Masuk sekolah swasta ‘ecek-ecek’ yang kurang bergengsi dengan biaya lumayan murah , atau
Bagi yang beruntung dan memungkinkan : masuk sekolah di luar negeri yang jelas-jelas biayanya
jauh lebih mahal tapi punya ‘nilai jual’ yg tinggi.

Pilihan mana yang kita ambil, biasanya berdasarkan banyak pertimbangan. Yang jelas minat &
bakat kita dulu yang pasti jadi pertimbangan pertama orang tua kita, kemudian mutu sekolahnya
dan yang terakhir biaya atau point2 itu bisa dibolak balik sesuai dengan kondisi masing2 keluarga.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut. : apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita sehingga pola
pembelajaran absurb berkonotasi pada dekadensi moral?
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi hanya meneliti pole pembelajran yang di lakukan di
SMPK Indriyasana VII Surabaya khususnya kelas VII karena kelas tersebut merupakan kelas
pembentuk karakter seorang siswa saat menginjak remaja.
D. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah di kemukakan di atas maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui :
a. Untuk mengetahui penyebab sistem pola pembelajaran yang absurb
b. Untuk mengetahui implikasi dari sistem pola pembelajaran yang absurb berkonotasi pada
dekadensi moral
E. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan pada guru pada umumnya dan guru SMPK Indriyasana VII khususnya
2. Dengan penelitian ini semoga bermanfaat sebagai bahan informasi dan referensi bagi peneliti
selnajutnya
3. Bagi pembaca untuk menambah ilmu pengetahuan
BAB II

BAB III

Daftar Pustaka

Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.
Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.
De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.
Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL).
Jakarta.:Depdiknas.
Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran biologi. Bandung: JICA-FPMIPA.
Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic
Bools.
Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism, Wonder: Verso.

Diposkan 6th November 2011 oleh Anonymous

0 Tambahkan komentar

Memuat

Anda mungkin juga menyukai