Anda di halaman 1dari 6

Jika kalian berfikir kalau yang paling menyakitkan adalah mencintai seseorang tanpa adanya timbal balik,

kalian salah. Karena, sesungguhnya yang paling menyakitkan di hidup ini adalah ketika kita memberikan
segala perhatian dan prioritas kita kepada sosok malaikat, yang tak pernah menganggap kita ada. Aku
tau hal tersebut bukan dari banyaknya cerita yang kudengar. Namun, diriku sendiri pernah
merasakannya. Menjadi boneka yang selalu dikendalikan oleh ego ibu. Wadah tempat menampung
seluruh impian dan ambisi ibu yang tidak sempat terwujud.

Ayah telah lama tidak hadir di keluarga ini. Ibu selalu membagi kamarnya dengan ayah. Aku juga selalu
menurut. Tapi entah kenapa, ayah lebih suka tidur di dalam tanah yang gelap sendirian. Pikiran orang
dewasa memang sulit untuk ditebak.

Ibu, satu kata yang dapat menggambarkan sosok orang yang sangat luar biasa. Sebuah kata, yang dapat
membuat kita membayangkan kisah balas budi tanpa bisa dibalas. Aku yang selalu berjuang demi ibuku,
tanpa peduli jika tidak akan pernah sepadan.

Bodohnya, aku kecanduan.

Aku candu untuk membuat ibu bangga. Aku candu memberikan semua nilai terbaikku kepada ibu. Aku
candu membiarkan melihat senyum jarang milik ibu.

Kurasa, rasa candu ini tidak akan bisa hilang. Dan parahnya, semakin bertambah. Aku merelakan seluruh
anggota tubuhku terkena tendangan darinya tanpa pernah merasa sakit. Otak yang selalu meminta
istirahat, tak pernah ku pedulikan. Senyum puas ibu lebih berharga, dari apapun. Warna wajah yang
lebih dominan pucat daripada seharusnya. Mungkin, tengkorak kepalaku sudah tak sanggup bertahan
lebih lama.

Tapi, akhir-akhir ini, hariku terasa sunyi. Berbeda dengan hatiku, yang sedang bersorak senang didalam
sana. Ibu memang jarang ada dirumah. Namun, tetap saja, ini adalah rumahnya. Walau bukan untuk
diriku, ia akan selalu pulang kesini.

Ke rumah penuh kenangannya.

Aneh. Semua tetangga tak berhenti untuk menatapku. Apa yang aneh dariku? Aku masih menjadi
tempat pelampiasan ibu seperti biasa. Apa yang perlu mereka khawatirkan? Lagi pula, mereka kan tidak
pernah mengkhawatirkan ku. Lebih sibuk, ikut menyudutkan ku.

Aku memasuki rumah tempat ibu selalu pulang. Menatap ruang tamu tempat ibu selalu menghabiskan
waktunya dengan cahaya laptop dan kopi kesukaannya. Aku masuk lebih dalam. Ruang keluarga ini,
menjadi saksi bisu tubuhku yang dihantam mati-matian oleh kaki ibu. Tentu saja, dengan mata menahan
tangis dan kepala yang tak sanggup terangkat.

Kini, semua kenangan itu tak akan bisa terulang kembali.

Memang tak ada kenangan yang indah bersama ibu. Tapi, luka yang ia berikan jauh lebih berkesan.
Kesunyian ini, dimulai sejak dua Minggu yang lalu. Awal dari semua penyesalanku. Rasa bersalah karena
lebih mementingkan ego tak berguna ku. Ketika, aku mengutamakan hak asasi ku daripada harapan
menyiksanya. Kekesalan sementara yang berhasil menguasai akal sehatku dalam sekejap.

Ayah, ibu. Maaf. Ini semua, gara-gara aku.

...

Aku tidak bisa berfikir jernih untuk saat ini. Ibu selalu saja menyuruhku untuk memenuhi ambisinya. Aku
tau itu. Aku sudah terbiasa, bahkan candu untuk melakukannya.

Masalahnya, aku hanya mengajukan sebuah permintaan kecil yang tidak pernah ku minta. Bukan
permintaan aneh seperti remaja seusiaku. Tak pernah terlintas di pikiranku, kalau ibu akan menolaknya.
Ibu, sangat marah pada saat itu. Berbeda dengan kemarahan yang ia keluarkan seperti biasanya.

Aku hanya meminta sebuah pelukan.

Tidak masalah apakah itu pelukan kaku ataupun terpaksa. Aku hanya menginginkan sebuah pelukan
darinya. Sebuah permintaan yang ku pendam selama bertahun-tahun. Hanya karena aku menunggu
waktu yang tepat. Dan juga, aku takut ibu akan menolaknya.

Bukan, bukan keberanianku yang akut takutkan akan menghilang. Tapi hatiku. Aku takut semua emosi
yang ku punya menghilang. Aku takut menjadi orang yang tidak berperasaan hanya karena luka yang aku
terima dari malaikatku. Cukup aku saja yang menerimanya dari ibu. Jangan orang lain. Karena, tidak
semua anak di dunia dapat bertahan dengan luka yang diterima terus-menerus.

Penyebab terbesar bunuh diri pada remaja adalah adanya masalah keluarga, beban pendidikan, hingga
perundungan. Pokok masalahnya disini, aku telah mengalami semuanya. Dan itu semua, berasal dari ibu.
Aku takut penolakan ibu akan menjadikan sifatku sepertinya. Hanya karena rasa tak terima ku, aku akan
melakukan hal yang sama seperti ibu.

Aku tidak ingin tingkat bunuh diri di negara ini bertambah. Oleh karena itu, aku masih bisa bertahan.

"HAH?! PELUKAN?! KAMU YANG SUDAH SEBESAR INI MASIH MEMINTA PELUKAN?! BERSIKAPLAH
DEWASA!" Ibu memarahiku. Ia menolak permintaan sepele namun berarti milikku.

Aku hanya menunduk tidak berani menatap wajahnya. Ini sudah biasa. Tapi kenapa hatiku terasa sakit?
Kecewa? Tentu saja. Perasaan yang tercabik? Biasa, namun ini lebih menyakitkan. Menatap wajah
marah ibu? Meneteskan air mata saja, aku sudah tidak berani.

Lawanlah...

Kepalaku sakit. 'Tidak, ayah tolong datang sekarang. Bisikan ini menyiksaku'

"KAMU BISA MEMELUK DIRIMU SENDIRI! KENAPA HARUS DARI SAYA?! DENGAN NILAI RENDAH ITU
KAMU MEMINTA PELUKAN DARI SAYA?! BERKACALAH TERLEBIH DAHULU!"
Lawanlah sayang, perasaanmu lebih berharga...

"SAMPAI SEMUA HARAPAN SAYA UNTUK KAMU TERWUJUD, SAYA TIDAK AKAN PERNAH MEMELUK
KAMU!"

Jangan diam saja, tunjukkan rasa keberatan mu...

Kamu punya hak sebagai anak...

Hanya sebuah pelukan dan ibumu tak mengabulkan?

Kamu tak pernah melawannya...

Kamu selalu mengabulkan permintaannya...

Kenapa ibumu tak bisa?

Lawanlah sayang...

Ibumu harus menurunkan egonya...

Ungkapkan perasaanmu...

Ibumu tak pernah menganggap mu bukan?

Kenapa kamu terus berjuang untuknya?

"Ibu, aku hanya meminta sebuah pelukan"

Ini rekor untukku. Pertama kali seumur hidup, aku mengangkat kepalaku. Pertama kalinya, aku melawan
ucapan ibu. Ya tuhan, tolong lindungi aku.

"PELUKAN?! HANYA PELUKAN KATAMU?! TIDAK! SAMPAI KAPANPUN SAYA TIDAK AKAN MEMELUK
KAMU!"

"Tapi kenapa ibu? Itu sangat berarti untukku. Tolong ibu, hanya sekali ini saja. Aku tidak akan meminta
hal lain lagi"

"TIDAK! JANGAN PERNAH MEMANGGIL SAYA IBU! SAYA TIDAK SUDI UNTUK MEMELUK KAMU! UNTUK
APA SAYA MEMELUK KAMU YANG TIDAK PERNAH SAYA HARAPKAN?! APA UNTUNGNYA UNTUK SAYA
HAH?!"

Sakit. Ayah, ini sangat menyakitkan.

Aku terdiam. Mataku menatap wajah ibu yang memerah. Tidak ada raut menyesal sama sekali
dimatanya. Tanpa kusadari, air mataku menetes dengan sendirinya. Pandangan ibu masih mengunci
tatapanku. Tersirat rasa senang didalam matanya.
"Kenapa?! Kamu memang tak pernah saya harapkan di dunia ini! Semua permasalahan yang terjadi
gara-gara kamu!"

Aku tak bisa bertahan. Ucapannya tidak sekeras tadi. Tapi menusuk lebih dalam di hatiku.

Ayah, tolong aku.

"Bahkan, ayahmu meninggal karena kamu!"

Lawanlah sayang, tidak ada ibu seperti itu di dunia ini...

"LANTAS KENAPA ANDA MELAHIRKAN SAYA?! SAYA JUGA TIDAK INGIN LAHIR DI DUNIA JIKA MEMILIKI
ORANG TUA SEPERTI ANDA! KENAPA ANDA MEMBESARKAN SAYA JIKA SEPERTI INI AKHIRNYA?!"

Teruskan sayang...

"BERANI KAMU MEMBENTAK SAYA?!"

Dia harus ikut merasakan sakitnya...

"KENAPA SAYA HARUS TAKUT? BAHKAN ANDA TIDAK MENGANGGAP SAYA ANAK MELAINKAN WADAH
UNTUK MEMUASKAN SETIAP AMBISI ANDA! JIKA ANDA TERUS SEPERTI INI! SAMPAI MATI PUN ANDA
TIDAK AKAN PERNAH PUAS!"

Dia tidak menganggap mu ada...

"KAMU BERHARAP SAYA MATI?!"

Dia tak berhak untuk menyepelekan mu...

"JIKA ITU YANG ANDA PIKIRKAN! MAKA IYA! MULAI DETIK INI SAYA AKAN MENGHARAPKAN KEMATIAN
UNTUK ANDA"

Ibu menamparku. Mulutku tertutup seketika. Ujung mataku takut menatap ke arahnya. Apa yang baru
saja ku katakan? Perempuan dihadapan ku adalah ibuku. Kenapa aku mengharapkan kematiannya?
Sudah cukup ayah saja yang pergi.

"PERGI KAMU DARI SINI!"

"Ibu, maaf" aku menangis sesenggukan. Tanganku refleks memeluk kakinya, meminta permohonan
maaf.

Ibu menendang ku. Tubuhku terhempas. Tanpa sepatah kata pun, ibu meninggalkanku. Membiarkan ku
terduduk sendiri dengan perasaan bersalah. Aku menangis sejadi-jadinya.

Ini semua salahku.

...
Aku pergi ke kantor ibu. Setelah pertengkaran kami minggu kemarin, aku pergi tak tentu arah. Berjalan
ditengah gelapnya malam sendirian. Berkali-kali menyalahkan diri sendiri. Mata sembab karena banyak
menangis.

Kali ini, aku akan meminta maaf kepadanya. Lagi.

Aku telah membuatkan makanan kesukaan ibu tadi saat aku pulang ke rumah. Tentunya, saat ibu telah
berangkat kerja. Kakiku baru akan memasuki pintu kantor ibu, ketika aku merasakan cipratan air. Itu
mengotori baju bagian belakangku. Aku membalikkan badan, berharap mengerti dari mana asal cipratan
ini.

Dan akhirnya, aku tau.

Aku terdiam kaku. Kotak makanan yang kubawa, jatuh begitu saja. Orang-orang telah berlari menuju
sumber cipratan air tadi. Ini bukan air. Tapi, darah.

Darah milik ibu.

Aku berteriak. Kakiku berlari kencang. Dengan sekuat tenaga, aku menerobos kerumunan orang
disekitar tubuh ibu. Aku tersungkur tepat di hadapan ibu. Tanganku memeluk erat tubuh yang sudah
remuk itu. Wajah penuh darahnya masih terlihat cantik. Orang-orang sibuk menenangkan ku. Berusaha
memisahkan aku dari ibu. Aku memeluk ibu semakin erat.

Ini semua salahku. Andai saja aku tidak memintanya. Andai saja aku tidak melawannya. Andai saja aku
tidak membentaknya. Andai saja aku menuruti semua kemauannya. Andai saja aku bisa lebih bersabar.
Berbagai ungkapan andai mengisi pikiranku.

Karena setitik ke keegoisanku, aku kehilangan pelukan pertama dan terakhir darinya.

Karena permintaan sepele ku, aku kehilangan orang tuaku lagi.

...

Aku menatap makam ibu kosong. Bersandingan langsung dengan makam ayah. Tidak ada lagi air mata
yang bisa ku keluarkan. Tubuhku sudah lama tak ku urus. Untuk apa? Aku hanya ingin dengan cepat
menyusul ayah dan ibu. Walau ibu sudah tiada, aku masih terjebak.

Ayah, ibu. Tolong aku.

Hatiku telah mati. Begitu juga dengan otakku. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka
semua bergerak tanpa bisa ku kendalikan. Aku tidak bisa berpikir apapun.

Aku benar-benar sendirian. Tidak ada yang ingin berteman denganku. Semua orang menjauhiku. Mereka
mengatakan aku gila.

Ayah, ibu. Aku tidak gila kan?


Anakmu satu-satunya ini, masih waras kan?

Lantas, kenapa mereka semua menjauhiku?

Padahal, aku sedang sedih tinggal sendirian. Kenapa tidak ada yang ingin menemaniku? Apa aku
memang tidak diharapkan di dunia ini? Mereka semua kan, tidak pernah merasakan rasanya kehilangan.

Atau, aku harus membuat mereka semua merasakannya?

Ah, tidak. Walau otak dan hatiku sudah tidak berfungsi. Setidaknya, aku masih memiliki setitik hati
nurani. Tidak seperti manusia kebanyakan. Dengan otak yang berfungsi, namun hati telah lama mati.

Anda mungkin juga menyukai