Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

“GANGGUAN PADA ANAK-ANAK”

(Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Psikologi Abnormal)

DISUSUN OLEH:

1. FEBBY PUTRI LESTARI 2131060027


2. GALUH MAHARANI 2131060093
3. NUFAISAH ANDINI PUTRI 2131060200
4. SOVI OKTALIA 2131060084

KELAS A

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UIN RADEN INTAN LAMPUNG

1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Gangguan Pada Anak-Anak
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Dosen pada Psikologi Abnormal. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang Gangguan Pada Anak-Anak
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Erwanto, S. Psi, M. Psi
selaku Dosen Psikologi Abnormal yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima
demi kesempurnaan makalah ini.

Lampung, 07 Maret 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 5
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 6
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 7
2.1 Gangguan Cacat Mental ............................................................................. 7
2.1.1 Pengertian Gangguan Cacat Mental ....................................................... 7
2.1.2 Penyebab Gangguan Cacat Mental ......................................................... 9
2.1.3 Treatment Gangguan Cacat Mental ...................................................... 17
2.2 Gangguan Kesulitan Belajar .................................................................... 19
2.2.1 Pengertian Gangguan Kesulitan Belajar ............................................... 19
2.2.2 Penyebab Gangguan Kesulitan Belajar................................................. 21
2.2.3 Klasifikasi Gangguan Kesulitan Belajar ............................................... 23
2.2.4 Treatment Gangguan Kesulitan Belajar ................................................ 25
2.3 Gangguan Berbahasa ................................................................................ 26
2.3.1 Pengertian Gangguan Berbahasa .......................................................... 26
2.3.2 Penyebab Gangguan Berbahasa ............................................................ 26
2.3.3 Bentuk Gangguan Berbahasa ................................................................ 27
2.3.4 Gejala Gangguan Berbahasa ................................................................. 31
2.3.5 Treatment Gangguan Berbahasa ........................................................... 31
2.4 School phobia ............................................................................................. 32
2.4.1 Pengertian School phobia ..................................................................... 32
2.4.2 Tingkatan School phobia ...................................................................... 33
2.4.3 Penyebab School phobia ....................................................................... 33
2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi School phobia ......................................... 34
2.4.5 Treatment School phobia ...................................................................... 37
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 39

3
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 39
3.2 Saran ............................................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 40

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak merupakan individu yang tumbuh dan berkembang, baik dalam
bidang somatis, maupun dalam bidang psikologis. Anak bukan merupakan orang
dewasa dalam bentuk “mini”. Karena memang prosesnya yang berlainan. Dengan
demikian, maka tidak boleh dilupakan bahwa gangguan jiwa pada anak bisa
timbul sewaktu kepribadiannya sedang berkembang serta gangguan jiwa itu
mungkin merupakan refleksi penyimpangan dalam perkembangan itu sendiri
(Willy F & Maramis, 2009).
Anak paling aktif pada saat masa perkembangan karena kepribadian
sedang dalam pembentukan dan di dalamnya banyak sekali terjadi perubahan atau
modifikasi perilaku, maka perlu untuk mengetahui gejala patologis berupa
masalah atau gangguan pada perkembangan seorang anak (Hassan & Husein
Alatas, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gangguan cacat mental?
2. Apa saja penyebab gangguan cacat mental?
3. Bagaimana treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan cacat
mental?
4. Apa pengertian gangguan kesulitan belajar?
5. Apa saja penyebab gangguan kesulitan belajar?
6. Bagaimana treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan
kesulitan belajar?
7. Apa pengertian gangguan kesulitan bahasa?
8. Apa saja penyebab gangguan kesulitan bahasa?
9. Bagaimana treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan
kesulitan bahasa?
10. Apa pengertian gangguan school phobia?
11. Apa saja penyebab gangguan school phobia

5
12. Bagaimana treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan school
phobia?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengertian gangguan cacat mental
2. Menjelaskan penyebab gangguan cacat mental
3. Menjelaskan reatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan cacat
mental
4. Menjelaskan pengertian gangguan kesulitan belajar
5. Menjelaskan penyebab gangguan kesulitan belajar
6. Menjelaskan treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan
kesulitan belajar
7. Menjelaskan pengertian gangguan kesulitan bahasa
8. Menjelaskan penyebab gangguan kesulitan bahasa
9. Menjelaskan treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan
kesulitan bahasa
10. Menjelaskan pengertian gangguan school phobia
11. Menjelaskan penyebab gangguan school phobia
12. Menjelaskan treatment yang dilakukan untuk anak dengan gangguan
school phobia

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Cacat Mental


2.1.1 Pengertian Gangguan Cacat Mental
Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah
suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat
perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah
intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo =
kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental. Keadaan tersebut ditandai
dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berprilaku
adaptif.
Retardasi mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi
mental merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan
gambaran keterbatasan terhadap intelektualitas dan fungsi adaptif. Retardasi
mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa maupun gangguan fisik
lainnya.
Pada kenyataannya IQ (Intelligence Quotient) bukanlah merupakan satu-
satunya patokan yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya retardasi
mental, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik
yang berbeda. Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi
yang tersedia, termasuk temuan klinis, prilaku adaptif dan hasil tes psikometrik.
Untuk diagnosis, yang jelas harus terdapat penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial biasa sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan
retardasi mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik,
misalnya perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali, dan sindrom
Down. Wajah pasien dengan retardasi mental sangat mudah dikenali seperti
hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar serta gangguan pertumbuhan gigi.
Sebagai kriteria dan bahan pertimbangan dapat dipakai juga kemampuan untuk

7
dididik atau dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya mulai dari
taraf yang ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Retardasi mental 1,5 kali lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Seseorang dikatakan retardasi mental bila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. Fungsi intelektual umum dibawah normal
2. Terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial
3. Gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan
yaitu :
• Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50- 69
• Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20- 34
• Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20
Penjelasan:
 Retardasi mental rendah
Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat
dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu
menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik.
Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan,
mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun
tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan
utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang
bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang
memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika
ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka
mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau
mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya.
 Retardasi mental sedang
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat
dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan

8
perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya
terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor
juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan
pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih
bisa belajar dasardasar membaca, menulis dan berhitung.
 Retardasi mental berat
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental
sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang
terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya
mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.
 Retardasi mental sangat berat
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi.
Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada
bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.
Angka harapan hidup untuk anak-anak dengan retardasi mental mungkin
lebih pendek, tergantung kepada penyebab dan beratnya retardasi mental.
Biasanya, semakin berat derajat keparahan retardasi mentalnya maka semakin
kecil angka harapan hidupnya.
2.1.2 Penyebab Gangguan Cacat Mental
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang
seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak
pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan
sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan
lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu)
dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai
penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.

Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

• Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)

o Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)

9
o Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara
teratur, pengobatan sederhana, dan lain lain)

o Papan (pemukiman yang layak)

o Higiene, sanitasi

o Sandang

o Kesegaran jasmani, rekreasi

• Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih). Pada tahun-tahun pertama kehidupan


hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat
mutlak untuk menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis,
mental maupun sosial.

• Kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Merupakan cikal bakal proses


pembelajaran (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
membantu perkembangan mental- psikososial (kecerdasan, ketrampilan,
kemandirian, kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya).
Perkembangan ini pada usia balita disebut sebagai perkembangan psikomotor.

Kelainan/penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi akibat


gangguan pada interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga kebutuhan
dasar anak tidak terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan morbiditas anak,
bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kalaupun kematian dapat diatasi,
sebagian besar anak yang telah berhasil tetap hidup ini mengalami akibat menetap
dari penyimpangan tersebut yang dikategorikan sebagai kecacatan, termasuk
retardasi mental. Jelaslah bahwa dalam aspek pencegahan terjadinya retardasi
mental praktek pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.

Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal
dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000
macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat
dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab
biologis dan psikososial. Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental
tipe klinis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

10
 Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat

 Tampak sejak lahir atau usia dini

 Secara fisis tampak berkelainan/aneh

 Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal

 Tidak berhubungan dengan kelas sosial

Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai


ciri-ciri sebagai berikut

 Biasanya merupakan retardasi mental ringan

 Diketahui pada usia sekolah

 Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium

 Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)

 Ada hubungan dengan kelas sosial

Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah


masih merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan bahwa
retardasi mental di Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-kultural.

Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biological dapat dibagi dalam

1. Penyebab pranatal

 Kelainan kromosom

 Kelainan genetik /herediter

 Gangguan metabolik

 Sindrom dismorfik

 Infeksi intrauterin

 Intoksikasi

2. Penyebab perinatal

11
 Prematuritas

 Asfiksia

 Kernikterus

 Hipoglikemia

 Meningitis

 Hidrosefalus

 Perdarahan intraventrikular

3. Penyebab postnatal

 Infeksi (meningitis, ensefalitis)

 Trauma

 Kejang lama

 Intoksikasi (timah hitam, merkuri)

A. Penyebab Pranatal
Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah
sindrom Down. Disebut demikian karena Langdon Down pada tahun 1866 untuk
pertama kali menulis tentang gangguan ini, yaitu bayi yang mempunyai
penampilan seperti mongol dan menunjukkan keterbelakangan mental seperti
idiot. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar dari golongan ini
termasuk retardasi mental sedang. Sindrom Down merupakan 10-32% dari
penderita retardasi mental. Diperkirakan insidens dari sindrom Down antara 1-1,7
per 1000 kelahiran hidup per tahun. Risiko timbulnya sindrom Down berkaitan
dengan umur ibu saat melahirkan. Ibu yang berumur 20-25 tahun saat melahirkan
mempunyai risiko 1:2000, sedangkan ibu yang berumur 45 tahun mempunyai
risiko 1:30 untuk timbulnya sindrom Down. Analisis kromosom pada sindrom
Down 95% menunjukkan trisomi –21, sedangkan 5% sisanya merupakan mosaik
dan translokasi .

12
Kelainan kromosom lain yang bermanifestasi sebagai retardasi mental
adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13 atau sindrom Patau,
sindrom Cri-du- chat, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner. Berdasarkan
pengamatan ternyata kromatin seks, yang merupakan kelebihan kromosom -X
pada laki-laki lebih banyak ditemukan di antara penderita retardasi mental
dibandingkan laki-laki normal. Diperkirakan kelebihan kromosom-X pada laki-
laki memberi pengaruh tidak baik pada kesehatan jiwa, termasuk timbulnya
psikosis, gangguan tingkah laku dan kriminalitas.

Kelainan kromosom-X yang cukup sering menimbulkan retardasi mental


adalah Fragile-X syndrome, yang merupakan kelainan kromosom-X pada band
q27. Kelainan ini merupakan X-linked, dibawa oleh ibu. Penampilan klinis yang
khas pada kelainan ini adalah dahi yang tinggi, rahang bawah yang besar, telinga
panjang, dan pembesaran testis. Diperkirakan prevalens retardasi mental yang
disebabkan fragile-X syndrome pada populasi anak usia sekolah adalah 1 : 2610
pada laki-laki, dan 1: 4221 pada perempuan.

Kelainan Kromosom

Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah


Phenylketonuria (PKU), yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak
mampu mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin karena defisiensi enzim
hidroksilase. Penderita laki-laki tenyata lebih besar dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 2:1. Kelainan ini diturunkan secara autosom resesif.
Diperkirakan insidens PKU adalah 1:12 000-15 000 kelahiran hidup. Penderita
retardasi mental pada PKU 66,7% tergolong retardasi mental berat dan 33,3%
retardasi mental sedang.

Galaktosemia adalah suatu gangguan metabolisme karbohidrat disebabkan


karena tubuh tidak mampu menggunakan galaktosa yang dimakan. Dengan diet
bebas galaktosa bayi akan bertambah berat badannya dan fungsi hati akan
membaik, tetapi menurut beberapa penulis perkembangan mental tidak
mengalami perubahan. Penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy adalah
suatu gangguan metabolisme lemak, dimana tubuh tidak bisa mengubah zat-zat
pralipid menjadi lipid yang diperlukan oleh sel-sel otak. Manifestasi klinis adalah

13
nistagmus, atrofi nervus optikus, kebutaan, dan retardasi mental sangat berat.
Hipotiroid kongenital adalah defisiensi hormon tiroid bawaan yang disebabkan
oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar tiroid, defek pada sekresi TSH atau TRH,
defek pada produksi hormon tiroid). Kadang-kadang gejala klinis tidak begitu
jelas dan baru terdeteksi setelah 6-12 minggu kemudian, padahal diagnosis dini
sangat penting untuk mencegah timbulnya retardasi mental atau paling tidak
meringankan derajat retardasi mental. Gejala klasik hipotiroid kongenital pada
minggu pertama setelah lahir adalah miksedema, lidah yang tebal dan menonjol,
suara tangis yang serak karena edema pita suara, hipotoni, konstipasi, bradikardi,
hernia umbilikalis. Prevalens hipotiroid kongenital berkisar 1:4000 neonatus di
seluruh dunia.

Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan retardasi mental


baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Diperkirakan 600 juta
sampai 1 milyar penduduk dunia mempunyai risiko defisiensi yodium, terutama di
negara sedang berkembang. Penelitian WHO1 mendapatkan 710 juta penduduk
Asia, 227 juta Afrika, 60 juta Amerika Latin, dan 20-30 juta Eropa mempunyai
risiko defisiensi yodium. Akibat defisiensi yodium pada masa perkembangan otak
karena asupan yodium yang kurang pada ibu hamil meyebabkan retardasi mental
pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini timbul bila asupan yodium ibu hamil
kurang dari 20 ug ( normal 80-150 ug) per hari. Dalam bentuk yang berat kelainan
ini disebut juga kretinisme, dengan manisfestasi klinis adalah miksedema,
kelemahan otot, letargi, gangguan neurologis, dan retardasi mental berat. Di
daerah endemis, 1 dari 10 neonatus mengalami retardasi mental karena defisiensi
yodium.

Infeksi

Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan


anomali pada janin yang dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin
berkurang bila infeksi timbul pada triwulan kedua dan ketiga. Manifestasi klinis
rubela kongenital adalah berat lahir rendah, katarak, penyakit jantung bawaan,
mikrosefali, dan retardasi mental.

14
Infeksi cytomegalovirus tidak menimbulkan gejala pada ibu hamil tetapi
dapat memberi dampak serius pada janin yang dikandungnya. Manifestasi klinis
antara lain hidrosefalus, kalsifikasi serebral, gangguan motorik, dan retardasi
mental.

Intoksikasi

Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan


intoksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum minuman yang
mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama. Di negara Amerika Serikat
FAS merupakan penyebab tersering dari retardasi mental setelah sindrom Down.
Insidens FAS berkisar antara 1-3 kasus per 1000 kelahiran hidup. Pada populasi
wanita peminum minuman keras insidens FAS sangat meningkat yaitu 21-83
kasus per 1000 kelahiran hidup, padahal di Eropa dan Amerika 8% wanita
merupakan peminum minuman keras.

B. Penyebab Perinatal

Koch menulis bahwa 15-20% dari anak retardasi mental disebabkan


karena prematuritas. Penelitian dengan 455 bayi dengan berat lahir 1250 g atau
kurang menunjukkan bahwa 85% dapat mempelihatkan perkembangan fisis rata-
rata, dan 90% memperlihatkan perkembangan mental rata-rata. Penelitian pada 73
bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang menunjukkan IQ yang
bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata 94. Keadaan fisis anak-anak tersebut
baik, kecuali beberapa yang mempunyai kelainan neurologis, dan gangguan mata.
Penulis-penulis lain berpendapat bahwa semakin rendah berat lahirnya, semakin
banyak kelainan yang dialami baik fisis maupun mental. Asfiksia, hipoglikemia,
perdarahan intraventrikular, kernikterus, meningitis dapat menimbulkan
kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab timbulnya retardasi
mental.

C. Penyebab Postnatal

Faktor-faktor postnatal seperti infeksi, trauma, malnutrisi, intoksikasi,


kejang dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan
retardasi mental.

15
D. Etiologi pada Kelompok Sosio-Kultural

Proses psikososial dalam keluarga dapat merupakan salah satu penyebab


retardasi mental. Sebenarnya bermacam-macam sebab dapat bersatu untuk
menimbulkan retardasi mental. Proses psikososial ini merupakan faktor penting
bagi retardasi mental tipe sosio-kultural, yang merupakan retardasi mental ringan.

16
2.1.3 Treatment Gangguan Cacat Mental
1. Tatalaksana Medis

Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental


adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin)
dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin,
dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang
dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada
umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat,
gamma aminobutyric acid (GABA).

2. Rumah Sakit/Panti Khusus

Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar:


kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat
retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas
perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk membimbing orangtua dan
sosialisasi anak.

Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental adalah


kurangnya stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain dan
kurangnya variasi lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.

3. Psikoterapi

Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada


orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental
tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap,
tingkah laku dan adaptasi sosialnya.

4. Konseling

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan


ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi
mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga,
kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan pranatal.

17
5. Pendidikan

Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun


bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini.
Terdapat empat macam tipe pendidikan untuk retardasi mental, yaitu: kelas
khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa, sekolah luar biasa C, panti khusus,
pusat latihan kerja (sheltered workshop).

6. Pencegahan

Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi


mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental).
Sebabsebab retardasi mental yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma,
intoksikasi, komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme, kelainan genetik.

18
2.2 Gangguan Kesulitan Belajar
2.2.1 Pengertian Gangguan Kesulitan Belajar
Definisi yang dikutip dari Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985):
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses
psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau
tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan
mendengarkan , berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja , atau berhitung.
Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gannguan perseptual, luka
pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup
anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari
adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan
karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan
lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Menurut Hammill (1981) kesulitan belajar adalah beragam bentuk
kesulitan yang nyata dalam aktivitas mendengarkan, bercakap-cakap, membaca,
menulis, menalar, dan/atau dalam berhitung. Gangguan tersebut berupa gangguan
intrinsik yang diduga karena adanya disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan
belajar bisa terjadi bersamaan dengan gangguan lain (misalnya gangguan sensoris,
hambatan sosial, dan emosional) dan pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan
budaya atau proses pembelajaran yang tidak sesuai). Gangguan-gangguan
eksternal tersebut tidak menjadi faktor penyebab kondisi kesulitan belajar,
walaupun menjadi faktor yang memperburuk kondisi kesulitan belajar yang sudah
ada.

ACCALD (Association Committee for Children and Adult Learning


Disabilities) dalam Lovitt, (1989) mengatakan bahwa kesulitan belajar khusus
adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber dari masalah neurologis, yang
mengganggu perkembangan kemampuan mengintegrasikan dan kemampuan
bahasa verbal atau nonverbal. Individu berkesulitan belajar memiliki inteligensi
tergolong rata-rata atau di atas rata-rata dan memiliki cukup kesempatan untuk
belajar. Mereka tidak memiliki gangguan sistem sensoris. Sedangkan NJCLD
(National Joint Committee of Learning Disabilities) dalam Lerner, (2000)
berpendapat bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum untuk berbagai jenis

19
kesulitan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Kondisi
ini bukan karena kecacatan fisik atau mental, bukan juga karena pengaruh faktor
lingkungan, melainkan karena faktor kesulitan dari dalam individu itu sendiri saat
mempersepsi dan melakukan pemrosesan informasi terhadap objek yang
diinderainya. Kesulitan belajar adalah kondisi dimana anak dengan kemampuan
intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun memiliki ketidakmampuan atau
kegagalan dalam belajar yang berkaitan dengan hambatan dalam proses persepsi,
konseptualisasi, berbahasa, memori, serta pemusatan perhatian, penguasaan diri,
dan fungsi integrasi sensori motorik (Clement, dalam Weiner, 2003). Berdasarkan
pandangan Clement tersebut maka pengertian kesulitan belajar adalah kondisi
yang merupakan sindrom multidimensional yang bermanifestasi sebagai kesulitan
belajar spesifik (spesific learning disabilities), hiperaktivitas dan/atau
distraktibilitas dan masalah emosional. Kelompok anak dengan Learning
Dissability (LD) dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang
menyertainya. Menurut Cruickshank (1980) gangguan-gangguan tersebut adalah
gangguan latarfigure, visual-motor, visual-perceptual, pendengaran, intersensory,
berpikir konseptual dan abstrak, bahasa, sosio-emosional, body image, dan konsep
diri.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar


merupakan beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis,
dan berhitung karena faktor internal individu itu sendiri, yaitu disfungsi minimal
otak. Kesulitan belajar bukan disebabkan oleh faktor eksternal berupa lingkungan,
sosial, budaya, fasilitas belajar, dan lain-lain. Tidak seperti cacat fisik, kesulitan
belajar tidak terlihat dengan jelas dan sering disebut “hidden handicap”.
Terkadang kesulitan ini tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya anak
yang mengalami kesulitan belajar sering diidentifikasi sebagai anak yang
underachiever, pemalas, atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami perasaan
frustrasi, marah, depresi, cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, 2001).

20
2.2.2 Penyebab Gangguan Kesulitan Belajar
Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab kesulitan belajar
sebagai berikut:

1. Faktor Disfungsi Otak

Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika


Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak
dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut ke
area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak.
Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan
kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan otak
berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori termasuk
melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas non verbal.
Temuan Harness, Epstein, dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa
anak-anak dengan kesulitan belajar (learning difficulty) menampilkan kinerja
yang lebih baik daripada kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan
berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari anak yang
termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk &
Ghallager, 1986).

2. Faktor Genetik

Hallgren melakukan penelitian di Swedia dan menemukan bahwa, yang


faktor herediter menentukan ketidakmampuan dalam membaca, menulis dan
mengeja diantara orang-orang yang didiagnosa disleksia. Penelitian lain dilakukan
oleh Hermann (dalam Kirk & Ghallager, 1986) yang meneliti disleksia pada
kembar identik dan kembar tidak identik yang menemukan bahwa frekwensi
disleksia pada kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik
sehingga ia menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan
menulis adalah sesuatu yang diturunkan.

21
3. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi

Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia


awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang dapat
menyebabkan munculnya kesulitan belajar pada anak. Cruickshank dan Hallahan
(dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada
hubungan yang jelas antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada
usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta
berkembang anak.

4. Faktor Biokimia

Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan


belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan
Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam
jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian
penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang
sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi,
perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan
menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan
makanan buatan kepada anakanak yang mengalami kesulitan belajar. Pada
sebagian anak, diet ini berhasil namun ada juga yang tidak cukup berhasil.
Beberapa ahli kemudian menyebutkan bahwa memang ada beberapa anak yang
tidak cocok dengan bahan makanan. Mulyono Abdurrahman mengatakan bahwa
prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor
Internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab
utama problema belajar adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi
pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi faktor neurologis yakni :

1. Faktor genetik

2. Luka pada otak (kekurangan Oksigen)

3. Faktor Biokimia

22
4. Pencemaran Lingkungan

5. Gizi yang tidak memadai (Nutrisi)

6. Pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan anak.

2.2.3 Klasifikasi Gangguan Kesulitan Belajar


Menurut Kirk & Gallagher (1986), kesulitan belajar dapat dikelompokan
menjadi dua kelompok besar yaitu developmental learning disabilities dan
kesulitan belajar akademis. Komponen utama pada developmental learning
disabilities antara lain perhatian, memori, gangguan persepsi visual dan motorik,
berpikir dan gangguan bahasa. Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk
ketidakmampuan pada membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik.

1. Developmental Learning Disabilities

a. Perhatian (attention disorder).

Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus


yang banyak. Anak ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat
mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar dan tidak dapat
mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu hal.

b. Memory Disorder

Memory disorder adalah ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah


dilihat atau didengar ataupun dialami. Anak dengan masalah memori visual dapat
memiliki kesulitan dalam secara visual. Hal serupa juga dialami oleh anak dengan
masalah pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa
lisannya.

c. Gangguan persepsi visual dan motorik

Anak-anak dengan gangguan persepsi visual tidak dapat memahami


ramburambu lalu lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual
yang lain. mereka tidak dapat menangkap arti dari sebuah gambar atau angka atau
memiliki pemahaman akan dirinya. Contohnya seorang anak yang memiliki
penglihatan normal namun tidak dapat mengenali teman sekelasnya. Dia hanya

23
mampu mengenal saat orang ybs berbicara atau menyebutkan namanya. Pada anak
dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami orientasi
kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi spasial serta pembelajaran
secara motorik.

d. Thinking disorder

Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan


masalah pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat
dengan gangguan dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap
237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan
bahwa mereka memperlihatkan kemampuan yang normal dalam tes visual dan
motorik namun berada di bawah rata-rata pada tes persepsi auditori, ekspresi
verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.

e. Language Disorder

Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak


prasekolah. Biasanya anak-anak ini tidak berbicara atau berespon dengan benar
terhadap instruksi atau pernyataan verbal.

2. Academic Learning Disabilities

Academic learning disabilities adalah kondisi yang menghambat proses


belajar yaitu dalam membaca, mengeja, menulis, atau menghitung.
Ketidakmampuan ini muncul pada saat anak menampilkan kinerja di bawah
potensi akademik mereka.

24
2.2.4 Treatment Gangguan Kesulitan Belajar
Penanganan yang diberikan pada kasus anak dengan kesulitan belajar
tergantung pda hasil pemeriksaan yang komprehensif dari tim kerja. Penanganan
yang diberikan pada anak dengan kesulitan belajar meliputi :

1. Penatalaksana dibidang Medis

a. Terapi Obat

Pengobatan yang diberikan adalah sesuai dengan gangguan fisik atau


psikiatrik yang diderita oleh anak, misalnya:

 Berbagai kondisi depresi dapat diberikan dengan obat golongan antidepresan

 GPPH diberikan obat golongan psikostimulansia, misalnya Ritalin, dll

b. Terapi Perilaku

Terapi perilaku yang sering diberikan adalah modifikasi perilaku. Dalam


halini anak akan mendapatkan penghargaan langsung jika dia dapat memenuhi
suatu tugas atau tanggung jawab atau perilaku positif tertentu. Di lain pihak, ia
akan mendapatkan peringatan jika jika ia memperlihatkan perilaku negative.
Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung ini maka diharapkan anak
dapat mengontrol perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di sekolah
maupun di rumah.

c. Psikoterapi Suportif

Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk


memberi pengertian dan pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga
dapat menimbulkan motivasi yang konsisten dalam usaha untuk memerangi
kesulitan ini.

d. Pendekatan Psikososial Lainnya

 Psikoedukasi orang tua dan guru

 Pelatihan keterampilan social bagi anak

25
2. Penatalaksana di bidang Pendidikan

Dalam hal ini terapi yang paling efektif adalah terapi remedial, yaitu
bimbingan langsung oleh guru yang terlatih dalam mengatasi kesulitan belajar
anak. Guru remedial ini akan menyusun suatu metoda pengajaran yang sesuai bagi
setiap anak. Mereka juga melatih anak untuk dapat belajar baik dengan teknik-
teknik pembelajaran tertentu (sesuai dengan jenis kesulitan belajar yang dihadapi
anak) yang sangat bermanfaat bagi anak dengan kesulitan belajar.

2.3 Gangguan Berbahasa


2.3.1 Pengertian Gangguan Berbahasa
Gangguan bahasa sering juga disebut sebagai gangguan perkembangan
bicara dan bahasa ekspresif. Kelainan atau gangguan bahasa merupakan salah satu
jenis kelainan dalam komunikasi dengan indikasi seseorang mengalami gangguan
dalam proses simbolis. Kesulitan ini mengakibatkan seseorang tidak mampu
untuk memberikan simbol atau lambang yang diterima dan sebaliknya tidak
mampu mengubah konsep pengertian menjadi simbol-simbol yang dapat
dimengerti oleh orang lain. Jika seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan
sesamanya secara sempurna, mereka dapat dikatakan mengalami gangguan atau
kelainan bahasa. Gangguan bahasa dapat terjadi jika komunikasi seseorang
menyimpang jauh dari bahasa yang digunakan oleh anak normal.

2.3.2 Penyebab Gangguan Berbahasa


Penyebab gangguan bicara dan bahasa sangat banyak dan luas, semua
gangguan mulai dari proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otak, otot atau
organ pembuat suara. Beberapa penelitian menunjukkan penyebab gangguan
bicara adalah adanya gangguan hemisfer dominan. Menurut Efendi yang dikutip
Nurhidayati, dkk (2013:4) ada beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan
bicara adalah sebagai berikut.

a. Faktor Medis

Faktor medis yang paling banyak berperan dalam kesulitan belajar bahasa
adalah tidak atau kurang berfungsinya sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh
adanya cidera atau memar. Dalam kaitan ini dikenal afasia, yaitu hilangnya

26
kemampuan bicara karena gangguan pada syaraf pusat. Cidera atau memar pada
otak dapat terjadi karena berbagai kejadian seperti trauma ketika ibu sedang
mengandung, penggunaan obat berlebihan, kelahiran muda (premature), benturan
fisik, struk, dan keracunan.

b. Kondisi Fisiologis

Yang dimaksud dengan kondisi fisiologis adalah kemampuan dari organ-


organ yang terkait dalam menjalankan fungsinya untuk mendukung terhadap
kelancaran anak dalam meniti tugas perkembangan bicara dan bahasanya. Organ-
organ tersebut meliputi susunan syaraf (syaraf senso-motoris ), kondisi organ
pendengaran dan organ bicara.

c. Kondisi Lingkungan

Lingkungan keluarga hendaknya menciptakan situasi yang kondusif, untuk


memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bicara dan bahasa anak. Peran
aktif orang tua atau keluarga dalam memberikan stimulasi verbal, dapat
mendorong anak untuk lebih meningkatkan kualitas atau kuantitas kemampuan
bicara dan bahasanya.

2.3.3 Bentuk Gangguan Berbahasa


Gangguan bahasa merupakan salah satu bentuk kelainan atau gangguan
dalam komunikasi dengan indikasi klien mengalami kesulitan atau kehilangan
dalam proses simbolisasi. Kesulitan simbolisasi ini mengakibatkan seseorang
tidak mampu memberikan simbol yang diterima dan sebaliknya tidak mampu
mengubah konsep pengertiannya menjadi simbol-simbol yangdapat dimengerti
oleh orang lain dalam lingkungannya. Menurut Tarmansyah yang dikutip
Nurhidayati, dkk (2013:5—10) “ada bentuk gangguan bahasa diantaranya
keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan afasia”.

1. Keterlambatan dalam Perkembangan Bahasa

Suatu bentuk kelainan bahasa yang ditandai dengan kegagalan klien dalam
mencapai tahapan perkembangan bahasanya sesuai dengan perkembangan bahasa
anak normal seusianya. Kelambatan perkembangan bahasa di antaranya
disebabkan keterlambatan mental intelektual, ketunarunguan, congenital aphasia,

27
nutisme, disfungsi minimal otak dan kesulitan belajar. Anakanak yang mengalami
kesulitan tersebut di atas terlambat dalam kemampuan perkembangan bahasa,
dapat terjadi pada fonologis, semantik, dan sintaksisnya, sehingga anak
mengalami kesulitan dalam tranformasi yang sangat diperlukan dalam kegiatan
berkomunikasi. Selain adanya gangguan transformasi maupun simbolisasi juga
disertai gangguan tingkah laku. Gangguan tingkah laku tersebut sangat
memengaruhi proses perolehan bahasa di antaranya kurang perhatian dan minat
terhadap rangsangan yang ada di sekelilingnya, perhatian yang mudah beralih,
konsentrasi yang kurang baik, tampak mudah bingung, cepat putus asa.

2. Afasia

Afasia adalah satu jenis kelainan bahasa yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada pusatpusat bahasa di Cortex Cerebri. Adanya lesi di pusat-pusat
bahasa di Cortex cerebri menyebabkan klien mengalami kesulitan dan atau
kehilangan kemampaun dalam simbolisasi baik secara aktif maupun pasif.
Apabila dikaji afasia tersebut secara klinis, dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu afasia sensoria, afasia motoris, afasia konduktif, dan afasia amnesik.
a. Afasia Sensoria

Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam memberikan rangsangan


yang diterimanya. Bicara spontan biasanya lancar hanya kadang-kadang kurang
relevan dengan situasi pembicaraan atau konteks komunikasi.

b. Afasia Motoris

Istilah lain dari afasia motoris adalah afasia ekspresif nonfluent aphasia,
atau Broca Aphasia. Klien yang mengalami afasia motoris kesulitan dalam
mengoordinasi atau menyusun pikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol-
simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Suatu hal yang perlu
diperhatikan bahwa mereka mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan
yang diterima, hanya untuk mengekspresikan mengalami kesulitan. Jenis afasia
motorik bisa terjadi, yaitu dia mengalami kesulitan pada cara menulis/grafis, jenis
ini disebut dengan agrafia. Seperti telah diuraikan di atas bahwa kelainan ini dapat
dialami baik oleh anak-anak maupun orang dewasa. Hal tersebut terjadi karena

28
adanya kerusakan pada pusat broca di lobus temporalis interior, lobus parietalis
interior atau lobus prontalis posterior.

c. Afasia Konduktif

Istilah lain untuk afasia konduktif adalah dynamik aphasia, atau


ranscorticak sensory aphasia. Klien ini ditandai dengan kesulitan dalam meniru
pengulangan bunyi-bunyi bahasa. Umumnya kemampuan untuk pemahaman
rangsangan relatif baik, tetapi kadang-kadang terjadi gangguan. Pada saat
berbicara cukup lancar terutama pada kalimat-kalimat pendek, tetapi pada
kalimat-kalimat yang lebih panjang kelancarannya terganggu. Afasia ini terjadi
disebabkan oleh adanya kerusakan pada fasiculus arcuatus serta di bagian dalam
gyrus supramarginal di lobus temporalis superior.

D. Afasia amnestik

Istilah lain untuk afasia amnestik ini disebut juga nominal afasia, atau
anomia. Klien ini ditandai dengan kesulitan dalam memilih dan menggunakan
simbol-simbol yang tepat. Umumnya simbol-simbol yang sulit dipilih adalah yang
berhubungan dengan nama, aktivitas, situasi yang berhubungan dengan aktivitas
kehidupan. Afasia ini terjadi karena adanya kerusakan pada gyrus angularis di
lobus temporalis kamisfer kiri. Selain keterlambatan perkembangan bahasa dan
afasia, juga terdapat beberapa bagian mengenai letak kerusakan syaraf pada anak
berkesulitan bahasa.

3. Kelainan Organ Bicara

Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan mandibula
(rahang bawah), kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft palate), deviasi
septum nasi, adenoid atau kelainan laring. Pada lidah pendek terjadi kesulitan
menjulurkan lidah sehingga kesulitan mengucapkan huruf [t, n, dan l]. Kelainan
bentuk gigi dan mandibula mengakibatkan suara desah seperti [f, v, s, z, dan th].
Kelainan bibir sumbing bisa mengakibatkan penyimpangan resonansi berupa
rinolaliaaperta, yaitu terjadi suara hidung (sengau) pada huruf bertekanan tinggi
seperti [m, n, ny, ng, s, k, dan g].

29
4. Gangguan Pendengaran

Anak yang mengalami gangguan pendengaran kurang mendengar


pembicaraan di sekitarnya. Gangguan pendengaran selalu harus dipikirkan bila
ada keterlambatan bicara. Ada beberapa penyebab gangguan pendengaran, bisa
karena infeksi, trauma atau kelainan bawaan. Infeksi bisa terjadi bila mengalami
infeksi yang berulang pada organ dalam sistem pendengaran. Kelainan bawaan
biasanya karena kelainan genetik, infeksi ibu saat kehamilan, obat-obatan yang
dikonsumsi ibu saat hamil, atau bila terdapat keluarga yang mempunyai riwayat
ketulian. Gangguan pendengaran bisa juga saat bayi mengalami infeksi berat,
infeksi otak, pemakaian obat-obatan tertentu atau kuning yang berat
(hiperbilirubin). Pengobatan dengan pemasangan alat bantu dengar akan sangat
membantu bila kelainan ini terdeteksi sejak awal. Pada anak yang mengalami
gangguan pendengaran, tetapi kepandaian normal, perkembangan berbahasa
sampai 6—9 bulan tampaknya normal dan tidak ada kemunduran. Kemudian
menggumam akan hilang disusul hilangnya suara lain dan anak tampaknya sangat
pendiam. Adanya kemunduran ini juga seringkali dicurigai sebagai kelainan saraf
degeneratif.

5. Gangguan Emosi dan Perilaku

Gangguan bicara biasanya menyerta pada gangguan disfungsi otak


minimal, gejala yang terjadi sangat minimal sehingga tidak mudah untuk dikenali.
Biasanya diserta kesulitan belajar, hiperaktif, tidak terampil, dan gejala tersamar
lainnya.

6. Autisme

Gangguan bicara dan bahasa yang berat dapat disebabkan oleh autism.
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial. Dalam buku Children With Starving Brains
karangan Jaquelyn Mecandless menyebutkan bahwa autis merupakan masalah
genetika pencernaan dan sistem imun tubuh, invasi virus, jamur dan bakteri
patogen lainnya.

30
2.3.4 Gejala Gangguan Berbahasa
Gejala anak mengalami gangguan berbicara ditinjau dari segi klinis, gejala
kelainan bicara dalam hubungannya dengan penyebab kelainannya dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis.

a. Disaudia

Disaudia dalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan


pendengaran. Bagi anak tunarungu konsep bicara yang digunakan dalam
mengadakan interaksi komunikasi dengan lingkungannya, misalnya kata “kopi” ia
dengar “topi”, kata “bola ia dengar “pola”. Beberapa karakteristik bicaranya
adalah terdapat kesalahan pengucapan baik dalam mekanisme pergerakan titik
artikulasi maupun dalam pengucapannya. Kesalahan dalam penggunaan fonasi
yang berhubungan dengan alat ucap, intensitasnya semakin lama semakin
berkurang, nadanya cenderung tinggi tidak jarang mengalami pitch break atau
perubahan nada yang terjadi secara tiba-tiba. Umumnya klien disaudia dalam
berkomunikasi cenderung menggunakan bahasa isyarat yang telah dikuasainya.

b. Dislogia

Dislogia diartikan sebagai satu bentuk kelainan bicara yang disebabkan


karena kemampuan kapasitas berpikir atau taraf kecerdasan yang di bawah
normal. Pola kemampuan berpikirnya sederhana dan umumnya terbatas pada
objek yang bersifat konkret dan rutin. Rendahnya kemampuan mengingat hal ini
juga akan mengakibatkan penghilangan fonem, suku kata atau kata pada waktu
pengucapan kalimat. Misalnya “makan” diucapkan “kan”, “ibu memasak di
dapur” diucapkan “bu..sak... pur”.

c. Distartia

2.3.5 Treatment Gangguan Berbahasa


Penanganan gangguan bicara diawali dengan identifikasi pasien (Sastra,
2011:30) seperti, riwayat kesehatan, kemampuan berbicara, kemampuan
mendengar, kemampuan kognitif, dan kemampuan berkomunikasi. Kemudian

31
penanganan dilanjutkan dengan diagnosis gangguan yang dialami pasien. Setelah
hasil diagnosis didapat, barulah diterapkan terapi yang tepat untuk pasien.

a. Terapi Bicara.

Terapi bicara biasanya menggunakan audio atau video dan cermin. Terapi
bicara anak-anak biasanya menggunakan pendekatan bermain, boneka, bermain
peran, memasangkan gambar atau kartu. Terapi bicara orang dewasa biasanya
menggunakan metode langsung, yaitu melalui latihan dan praktik. Terapi
artikulasi pada orang dewasa berfokus untuk membantu pasien agar dapat
memproduksi bunyi dengan tepat, meliputi bagaimana menempatkan posisi lidah
dengan tepat, bentuk rahang, dan mengontrol nafas agar dapat memproduksi
bunyi dengan tepat.

b. Terapi Oral Motorik.

Terapi ini menggunakan latihan yang tidak melibatkan proses bicara,


seperti minum melalui sedotan, meniup balon, atau meniup terompet. Latihan ini
bertujuan untuk melatih dan memperkuat otot yang digunakan untuk berbicara.

c. Terapi Intonasi Melodi.

Dalam Terapi intonasi melodi kita dapat diterapkan pada penderita stroke
yang mengalami gangguan berbahasa. Musik atau melodi yang digunakan
biasanya yang bertempo lambat, bersifat lirik, dan mempunyai tekanan yang
berbeda.

2.4 School phobia


2.4.1 Pengertian School phobia
Menurut Davies (2004) school phobia adalah suatu ketakutan emosional
yang menyebabkan anak menjadi sangat takut untuk berangkat ke sekolah.
Kondisi ini berbeda jauh dari ketakutan anak yang lain. Kondisi ini dapat menjadi
serius karena dapat menyebabkan anak mengalami kegagalan akademik.
Sedangkan menurut Sutadi, dkk (1996) school phobia adalah kecemasan tidak
menyentuh pada anak di karakteristik kan oleh ketakutan yang hebat untuk masuk
sekolah.

32
Setzer (2003) berpendapat school phobia adalah suatu istilah yang
digunakan untuk mendeskripsikan suatu situasi di mana anak anak menolak untuk
pergi ke sekolah atau ketakutan emosional yang menyebabkan anak menjadi takut
berlebihan untuk pergi sekolah, biasanya dinyatakan dengan gejala fisik misalnya
mual, tidak mau makan, dan sedikit demam. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
ketakutan anak lain tetapi dapat menjadi serius karena dapat menyebabkan anak
tertinggal dalam akademiknya.

2.4.2 Tingkatan School phobia


Menurut Jacinta (2003) Ada beberapa tingkatan school phobia mulai dari
yang ringan sampai yang berat, yaitu:

a. Initual school refusal behavior adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung
dalam waktu yang sangat singkat atau secara tiba-tiba yang berakhir dengan
sendirinya tanpa perlu penanganan.

b. Substantial school refusal behavior adalah sikap penolakan yang berlangsung


selama minimal dua minggu.

c. Acute school refusal behavior adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung
selama dua minggu atau sampai satu tahun, dan selama itu anak mengalami
masalah setiap kali hendak berangkat sekolah.

d. Chronic school refusal behavior adalah sikap penolakan yang berlangsung


lebih dari setahun, bahkan sama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

2.4.3 Penyebab School phobia


Menurut Handayani (2006) terdapat beberapa penyebab yang membuat
anak seringkali menjadi fobia sekolah, diantaranya:

1. Separation anxietu (kecemasan untuk berpisah)

Umumnya dialami anak berusia 18-24 bulan tetapi juga bisa terjadi pada
anak usia preschooler. TK hingga awal SD. Bagi mereka sekolah berarti pergi dari
rumah dalam jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa
rindu dengan orang tua, rumah ataupun mainannya, akan tetapi mereka juga

33
merasa cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru, dan tekanan-tekanan
yang dijumpai di luar rumah.

Hal ini dapat muncul ketika anak anak selesai menjalani masa liburan
panjang ataupun mengalami sakit serius sehingga tidak bisa masuk sekolah dalam
jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan kuantitas kedekatan
dan interaksi anak dengan orang tua tentu lebih tinggi daripada ketika masuk
sekolah. Di situasi inilah tentunya membuat anak merasa aman dan nyaman
sehingga pada waktu sekolah tiba, anak merasa cemas, takut dan enggan.

2. Pengalaman negatif di sekolah atau lingkungan

Penolakan anak untuk sekolah bisa saja disebabkan oleh anak merasa
kesal, takut dan malu setelah mendapat semua cemoohan, Ejekan ataupun
gangguan dari teman teman sekolahnya. Selain itu juga dapat disebabkan anak
merasa takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Persepsi terhadap
keberadaan guru yang galak, seram dan dipilih kasih juga memicu anak menjadi
takut dan cemas menghadapi guru dan pelajarannya. Hal ini dapat menimbulkan
stres dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, gelisah dan
mulai mereka tidak mau sekolah ketika mendekati waktu keberangkatan.

3. Problem dalam keluarga

Sikap anak untuk menolak untuk berangkat sekolah juga bisa disebabkan
oleh problem yang sedang dialami orang orang tua ataupun keluarga secara
keseluruhan. Misalnya anak sering mendengar bahkan melihat orang tuanya itu
bertengkar. Hal tersebut tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu
konsentrasi belajar anak di sekolahnya. Sakitnya salah satu anggota keluarga baik
orang tua, kakak atau adik juga dapat menyebabkan anak merasa enggan untuk
pergi ke sekolah.

2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi School phobia


Menurut Hurlock (1996) terdapat dua hal yang mempengaruhi terjadinya
school phobia, yaitu faktor internal dan eksternal.

34
a. Faktor internal

• Intelegensi, Harstein (2010) mengatakan bahwa anak yang mengalami school


phobia kebanyakan memiliki tingkat Intellegency di atas rata rata. Hal ini
disebabkan karena anak memiliki perhatian lebih terhadap hasil pekerjaan atau
tugas sekolah mereka. Anak merasakan tekanan untuk melakukan yang terbaik di
sekolah dan rasa takut untuk gagal.

• Kondisi fisik, menurut Maldonado (2010) beberapa keadaan yang dapat menjadi
faktor presipitasi pada anak yang dapat memicu timbulnya school phobia antara
lain gangguan kondisi fisik seperti penyakit Minore atau mayor yang
menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dalam waktu cukup lama,
misalnya kecelakaan, dan operasi.

b. Faktor Eksternal

• Lingkungan

Sebanyak 63 psikolog di Amerika serikat yang menangani kasus School


phobia mengatakan bahwa 25% kasus yang dilaporkan, sebesar 12,2%
diantaranya menunjukkan kesulitan dalam mengerjakan tugas yang diberikan
merupakan salah satu alasan untuk menghindari sekolah, Kearney & Beastly
(1994) dalam Witts & Houlihan (2007).

• Pola asuh orang tua

Menurut Hurlock (1997), pola asuh orang tua terbagi menjadi tiga yaitu:

a. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua pada anaknya memberi
kebebasan pada anak untuk berkreasi dan bereksplorasi se berbagai hal sesuai
dengan kemampuan anak dengan sensor batas dan pengawasan yang baik dari
orang tua. Pada pola asuh ini, orang tua melatih anak anak untuk mengeksplorasi
apa yang ada pada dirinya sehingga terjadi interaksi dua arah yang saling ber
Kesinambungan. Anak yang di asuh dengan pola asuh demokratis ini,
menghasilkan anak yang mempunyai harga diri tinggi, rasa ingin tahu yang besar,
puas, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan

35
menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik dan dapat
berinteraksi dengan anak anak lain. Orang tua yang demokratis selalu
memperhatikan perkembangan anak, tidak hanya sekedar mampu memberikan
nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan keluhan anak dan
berkaitan dengan persoalan nya.

b. Pola asuh primitif

Pola asuh Primitif adalah pola asuh di mana orang tua kurang atau tidak
pernah mengontrol pembuatan anaknya orang tua memberi kesempatan pada anak
seluas luasnya dengan pertimbangan bahwa orang tua adalah sumber informasi
bagi anak bukan sebagai role mode, dengan begitu anak berkembang menjadi
anak yang kurang perhatian, anak tidak disiplin, tidak hormat, tidak sensitif dan
umumnya anak menentang keinginan orang tua, merasa rendah diri, memiliki
kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruh, kurang menghargai orang
lain.

c. Pola asuh otoriter

Pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana
orang tua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak anaknya
tanpa mau mengetahui perasaan anak. Hal ini menyebabkan komunikasi hanya
berjalan satu arah tanpa ada Timbal balik dalam mengasuh anak orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri sifat kaku, tegas dan suka
menghukum dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak anak untuk Patuh
terhadap aturan tersebut, orang tua tidak menjelaskan pada anak mengapa ia harus
patuh pada aturan tersebut anaknya diberi pola asuh otoriter cenderung bersifat
curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa
canggung berhubungan dengan teman sebaya, jagung menyesuaikan diri pada
awal masa sekolah dan memiliki prestasi belajar nya rendah dibandingkan dengan
anak anak lain. Adapun dampak nya pada perkembangan motorik nya adalah anak
cenderung agresif, implusif pemurung dan kurang mampu berkonsentrasi.

36
2.1.2 Gejala School phobia
Menurut Sutadi, dkk (1996) gejala school phobia antara lain, anak sering
melihat ke arah orang tuanya, mengeluh sakit selama berada di sekolah.
Penolakan di manifestasi kan dalam bentuk menarik diri dari Pergaulan teman
temannya, apatis, selalu merasa murung, susah memusatkan perhatian pada tugas
atau permainan yang diberikan oleh guru bila tidak dekat dengan orang tuanya.
Anak mengalami perubahan Raut muka. Bukan menjadi merah., Pupil mata
membesar, terdapat gerakan gerakan pada otot mata, perubahan gerak gerik tubuh,
otot otot menjadi kaku, gelisah, aktivitas berlebihan, atau anak tiba tiba membisu
dan gagap. Takut sekolah dapat diwujudkan oleh anak dengan menggigit kuku,
menghisap jempol, sering Gemetar bisa disuruh ke depan kelas dan sering
memperlihatkan sikap putus asa.

Sedangkan Schaefer, dkk (1997) mengatakan anak yang mengalami


kecemasan pada saat sekolah dapat mengalami kemunduran perilaku seperti:
menghisap jempol oma bicara seperti anak kurang dari usianya, mengompol,
merengek dan merangkak. Mereka menarik diri dari lingkungan sosial dan
menjadi pencet perut serta pendiam selain itu anak rewel menjelang berangkat
sekolah.

Anak yang mengalami school phobia biasanya merasa cemas dengan sikap
mudah tersinggung dan mudah marah sehingga akan menghambat fungsi
kehidupan anak sehari-hari dan anak anak dapat merasa tersiksa dan terganggu
seperti selalu mimpi buruk setiap malam.

2.4.5 Treatment School phobia


Penanganan atau treatment pada anak-anak yang mengalami fobia sekolah
harus ditujukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawal mungkin
(Fremont, 2003). Tritmen yang efektif sebaiknya segera dilakukan untuk
mencegah permasalahan-permasalahan yang akan timbul di kemudian hari,
sehingga fobia sekolah harus ditangani sedini mungkin (Hogan, 1996). Dalam
Fremont (2003) disebutkan bahwa pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan
konsultasi, pendekatan perilaku, intervensi yang melibatkan keluarga, dan
mungkin juga dengan cara farmakoterapi.

37
Terapi dengan pendekatan educational support menunjukkan hasil yang
efektif sebagai terapi perilaku untuk manajemen fobia sekolah. Terapi yang
melibatkan sesi secara individu memasukkan latihan relaksasi (untuk membantu
anak ketika dia mendekati lingkungan sekolah atau ditanyai teman sebayanya),
terapi kognitif (untuk mengurangi kecemasan yang memunculkan berbagai
pemikiran dan menyiapkan pernyataan coping), training social skills (untuk
mengembangkan kompetensi sosial dan interaksi dengan teman sebaya), dan
desensitisasi (misalnya emotive imagery, sentisisasi yang sistematis). Intervensi
yang melibatkan orangtua dan guru merupakan faktor yang membantu untuk
mencapai tritmen yang efektif. Personil yang ada di sekolah sebaiknya merupakan
orang pertama yang dilibatkan dalam menangani permasalahan (Ampuni &
Andayani, 2007).

Penanganan dengan medikasi (medikamentosa: golongan SSRI dan


Benzodiazepin dalam jangka pendek) dan CBT juga efektif menurunkan
kecemasan (59%), dengan pilihan obat Sertralin misalnya menunjukkan
keberhasilan 54,9% (Kendal, 1994, 1997; Walkup et al., 2008; Stallard, 2013).
Sementara teknik CBT terdiri atas 1) desensitisasi sistematik, 2) terapi implosive
dan pembanjiran, 3) latihan assertive, 4) terapi aversi, 5) pengkondisian operan, 6)
positive reinforcement, 7) pembentukan respon, 8) intermiten reinforcement, 9)
penghapusan, 10) modelling/ pencontohan, 11) Token ekonomi (Corey,
diterjemahkan Koswara, 2005, dalam Ermiati & Ghozali, n.d.).

38
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah
suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat
perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama
ialah intelegensi yang terbelakang.
 Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih
proses psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa
ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam
bentuk kesulitan mendengarkan , berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja , atau berhitung.
 Kelainan atau gangguan bahasa merupakan salah satu jenis kelainan dalam
komunikasi dengan indikasi seseorang mengalami gangguan dalam proses
simbolis.
 Menurut Davies (2004) school phobia adalah suatu ketakutan emosional
yang menyebabkan anak menjadi sangat takut untuk berangkat ke sekolah.
Kondisi ini berbeda jauh dari ketakutan anak yang lain. Kondisi ini dapat
menjadi serius karena dapat menyebabkan anak mengalami kegagalan
akademik.

3.2 Saran
Pada saat pembuatan makalah kami menyadari bahwasanya banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa
dipertanggung jawabkan dari banyaknya sumber, kami akan memperbaiki
makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis harapan kritik serta sarannya mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

39
DAFTAR PUSTAKA

Indah, R. N. (2017). Gangguan Berbahasa. Malang: UIN-MALIKI Press


(Anggota IKAPI).
Masitoh. (2019). Gangguan Bahasa Dalam Perkembangan Bicara Anak. Jurnal
Elsa , 41-52.
Sularyo, T. S., & Kadim, M. (2000). Retardasi Mental. Topik Khusus , 171-176.
Suryani, Y. E. (2010). Kesulitan Belajar. Magistra , 33-46.
Urbayatun, S., Fatmawati, L., Erviana, V. Y., & Maryani, I. (2019). Kesulitan
Belajar & Gangguan Psikologis Ringan Pada Anak: Implementasi Pada
Anak Usia Sekolah Dasar. Yogyakarta: K-Media.

40

Anda mungkin juga menyukai