Anda di halaman 1dari 2

Nama : Selvia Nuralita

NIM : 154220141
Kelas : HM-H
Mata Kuliah : Media Baru
Tugas Individu 3
Baca tiga buku: Kebijakan media baru di Indonesia (Hermin Indah Wahyuni, 2020, UGM Press), Aku
klik maka aku ada (Budi Hardiman, 2021) dan Jagat Digital (Agus Sudibyo, 2019) dan berikan ulasan
dan kritik terhadap topik yang didiskusikan pada buku tersebut:
Informasi Umum

 Judul Buku : Aku Klik maka Aku Ada Manusia dalam Revolusi Digital
 Pengarang : F.Budi Hardiman
 Penerbit : PT. Kanisius
 ISBN : 978-979-21-7039-9
 Halaman : 279
 Tahun : 2021
Orientasi
Buku Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital karya Francisco Budi Hardiman ini
membahas secara filsafat keberadaan manusia di tengah budaya digital (homo digitalis) yang telah
membuat perubahan besar di berbagai aspek kehidupan saat ini. Banyak pihak telah memperingati
dampak yang akan ditimbulkan dari perkembangan teknologi. Semua kegiatan masyarakat yang
dulunya bisa dilakukan secara luring (offline) kini beralih menjadi daring (online). Budi Hardiman
mencoba menganalisis pemikiran para filsuf tentang hakikat keberadaan manusia di era digital dengan
menggunakan pendekatan epistemologis, estetis, antropologis, ontologis, politis, dan psikologis.
Ulasan dan Kritik
Di abad ke-21 ini, Ego manusia merasa bahwa eksistensi hadir bukan dari dalam diri melainkan dari
citra. Hal ini dibuktikan dengan tindakan dalam mengklik apa saja agar tetap update dan si ego exists
dalam media-media sosial. Eksistensi si ego tidak ditentukan oleh pemikiran, melainkan oleh
kepastiannya, bahwa dia telah mem-post, membalas chat, mendapat likes, atau mendapatkan sejumlah
besar followers. Fenomena seperti itu telah merubah homo sapiens menjadi homo digitalis dan
menggeser kepastian-realitas menjadi kepastian layar. “Digital” berasal dari kata latin “ digitalis” yang
artinya jari. Jari disini sebagai simbol karena alat teknologi digital dikendalikan oleh jari. Homo
digitalis atau ‘manusia jari’ tidak lagi mengandalkan otaknya untuk berpikir tetapi ia mengandalkan
mesin pencari seperti Google lewat jari yang mengklik.
Ketika populasi lebih mengarahkan mata mereka ke layar gadget daripada ke lingkungan nyata, kuasa
dunia digital mulai menjadi aturan sehari-hari. Decentering of subject yang menjadi obsesi filsafat
kontemporer mendapat wujud konkret dalam komunikasi digital yang memang subjectless. Apa yang
berlangsung dalam dunia digital dan apa yang terjadi di dunia nyata berhubungan dialektis dan
membuat dunia kita menjadi post-modern, post-struktural, konstruktivistis, dan dekonstruktivistis.
Para pengguna internet tidak dapat menghindari paradoks komunikasi digital: mereka merasa bebas
berkomunikasi, tetapi sesungguhnya data diri mereka semakin “diketahui” oleh sistem algoritma
media yang pada suatu saatnya akan berbalik menjadi kontrol pada perilaku mereka.
Buku ini menjelaskan tentang kebingungan yang timbul akibat revolusi digital yang menentang
penyingkapan realitas baru oleh teknologi. Di era digital, ketika TV, radio, pos, internet digabungkan
dalam satu alat yang dapat kita genggam dan mengkoneksi penggunanya dengan dunia, “kuasa
pikiran” tidak lagi terbendung, dan kita dipaksa untuk berenang atau bahkan tenggelam dalam
konstruksi pikiran yang kian sulit dibedakan dari fakta. Pandemi COVID-19 adalah contoh konkret
dari itu. Berbulan-bulan penyakit ini telah merenggut jutaan nyawa manusia, tetapi masih banyak
orang yang beranggapan bahwa COVID-19 tidak ada karena disinformasi masuk ke kepala mereka
lewat berita dari layar ponsel.
Analisis fenomena buku ini memperhatikan tiga hal berikut: pertama, pendekatan fenomena
komunikasi digital tidak hanya secara empiris, lebih daripada itu melibatkan dimensi-dimensi yang
mendasar seperti epistemologis, antropologis, ontologis dan etis. kedua, untuk menjalankan fenomena
kita harus dapat membedakan antara dunia kehidupan yang taken for granted dan struktur-struktur
makna yang dihasilkan lewat interaksi sosial, sehingga komunikasi digital menampakkan diri bukan
sebagai dunia apa adanya, melainkan sebagai dunia struktural. ketiga, kompleksitas femonena yang
akan didekati menentukan tingkat kesulitan kompleksitas deskripsi fenomenologisnya.
Bab 1 membahas tentang revolusi digital yang mengubah kondisi antropologis manusia atau yang
disebut sebagai homo digitalis. Bab 2 meng-highlight masalah yang muncul sebagai akibat dari
pemakaian teknologi digital, yaitu fanatisme. Bab 3 membahas masalah politik yang khas di era
digital, yaitu politik pasca kebenaran. Masalah ini muncul ketika media sosial tidak berfungsi sebagai
sarana komunikasi, melainkan sebagai sarana propaganda yang menghasilkan brutalitas. Bab 4
merupakan refleksi antara masalah kebenaran vs hoax dan pemaparan argumentasi tentang pentingnya
kebenaran. Bab 5 dan 6 merupakan premis pemikiran dari Walter Benjamin dalam era reproduksi
digital karya seni dan juga pemikiran Martin Heidegger dalam konteks komunikasi digital. Bab 7
adalah gambaran dari eksistensi pandemic COVID-19 yang telah memaksa dunia untuk banyak
menggunakan komunikasi digital.

Anda mungkin juga menyukai