Anda di halaman 1dari 13

QUEENDIRA LINTANG [167-225]

Proses negosiasi dan persilangan budaya antarperadaban itu mengarah pada


penguatan komitmen bersama pada pembebasan ketika dihadapkan pada situasi kesengsaraan
ekonomi dan penindasaan politik yang makin mencengkeram. Memburuknya perekonomian
Hindia pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an
menyediakan lahan yang subur bagi merajalelanya radikalisme. Di tengah meluasnya
semangat perlawanan politik, pemerintah kolonial berusaha mengekang potensi
ketidakpatuhan ini dengan mengencangkan rezim rust en orde (ketenteraman dan ketertiban)
yang bersifat respresif. Peluang ke arah penciptaan komunitas politik bersama buka oleh
penggunaan kode "Indonesia sebagai kode kebang baru yang dipopulerkan oleh para aktivis
mahasiswa Indones di Belanda Hal ini ditandai oleh perubahan nama perhimpu mahasiswa
Hindia di negeri itu, dari Indonesische Vereeniging pada 1922, dan seiring dengan kesadaran
nasionalisme baru, diubah lagi menjadi "Perhimpunan Indonesia" (PI) pada 1924; dan,
majalahnya berganti, dan Hind Poetra menjadi Indonesia Merdeka.
Salah seorang tokoh yang paling menonjol dari Pl adalah Mohammad Hatta. Dalam
sebelas tahun masa studinya di Belanda (1921-1932), dia mempelajari aneka pemikiran,
ideologi, dan pergerakan dunia semasa, terlibat dalam wacana publik, mengurus organisasi,
berceramah di berbagai perkumpulan di Eropa, dan ikut serta dalam gerakan internasional
menentang kolonialisme.
Dengan menolak ideologi Islam, komunisme, dan nasionalisme kesukuan (etno-
nasionalisme) sebagai basis bagi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia, Pl mengajukan
konsepsi ideologi dengan berusaha mencari sintesis antarperadaban. Menurut konsepsi PI
tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip yaitu persatuan nasional,
solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian (self-help). Persatuan nasional berarti keharusan
untuk melakukan pengikatan bersama dari ragam ideologi dan identitas (etnis, agama, dan
kelas) ke dalam front perjuangan bersama untuk melawan kolonial. Solidaritas berarti
menghapuskan perbedaan-perbedaan di antara rakyat Indonesia dan lebih menghiraukan
konflik-konflik kepentingan antara pihak penjajah dan rakyat yang terjajah. Non-kooperasi
berarti keharusan untuk mencapai kemerdekaan melalui usaha-usaha bangsa Indonesia
sendiri karena pihak penjajah memang tidak akan pernah mau memberikannya secara
sukarela. Kemandirian berarti keharusan untuk membangun sebuah struktur nasional, politik,
sosial, ekonomi, dan hukum alternatif yang berakar kuat dalam masyarakat pribumi yang
sejajar deng- an struktur pemerintahan kolonial (Ingleson, 1979: 5). Konsepsi ideologis Pl ini
pada kenyataannya merupakan sebuah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan
nasional merupakan tema utama dari Indsiche Partij, non-kooperasi merupakan platform
politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Sarikat Islam. Sementara,
solidaritas hanya merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama tersebut.
Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat
“nasionalistis, islamistis, dan marxistis". Dalam kaitan ini, "Islam yang sejati tidak anti-
nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis" "Kita sama sekali tidak
mengatakan yang Islam itu setuju pada materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak
melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, supernasional. Kita hanya mengatakan, bahwa
Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-
kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajiban nasionalis pula." Itulah sebabnya, di Dunia
Islam muncul tokoh- tokoh Islam yang menjadi penggerak nasionalisme. Selain itu, dikatakan
bahwa kaum marxis pun bisa memiliki komitmen pada persatuan nasional.
Solidaritas internasional ini pada awal pertumbuhannya terutama dipertautkan dengan
bangsa-bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan terdekat, dengan
mengembangkan perasaan senasib-sepenanggungan dalam kerangka "Revolusi Asia" atau
"Pan-Asiatisme. Dalam tulisannya, "Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia" (1923/1998:
25-32). Sejalan dengan itu, Soekarno dalam tulisannya di Suluh Indonesia Muda (1928),
"Indonesianisme dan Pan-Asiatisme", menyatakan bahwa, "paham Pan-Asiatisme ini pasti
dapat hidup dan bangkit di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara bangsa-
bangsa Asia pastilah melahirkan persatuan perangai; persatuan nasib pastilah melahirkan
persatuan rasa."
Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit, ia bukanlah nasionalisme yang
timbul dari kesombongan bangsa belaka, ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme
yang timbul dari pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat. Nasionalisme kita adalah
nasionalisme yang di dalam kelembagaan dan keleluasaannya memberi tempat cinta pada
lain-lain bangsa, seperti lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang
perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Hubungan simbiosis antara internasionalisme
dan nasionalisme ini memperoleh dimensi baru selama pendudukan Jepang, pada masa
Perang Dunia II (1942-1945). Dalam perkembangannya, peralihan kekuasaan dari penjajah
lama ke penjajah baru memang tidak ubahnya bak sebuah peribahasa: "Lepas dari mulut
buaya, masuk ke mulut haraimau".
Dengan "janji” memberikan hak pemerintahan sendiri kepada bangsa Indonesia di
kemudian hari, Jepang mensponsori pendirian sebuah payung organisasi nasionalis yang
inklusif pada 9 Maret 1943, bernama Pusat Tenaga Rakjat (Putera). Gerakan ini menyatukan
seluruh perhimpunan politik maupun non-politik terdahulu di Jawa dan Madura, dan
dipimpin oleh empat serangkai. Soekarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakil ketua, dengan
Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan seorang pemimpin reformis- modernis
Muslim terkemuka, Mas Mansur, sebagai anggota. Di bawah naungan Putera, pihak Jepang
membentuk sejumlah organisasi militer dengan sistem hierarki komando menurut garis
kewibawaan tradisional, yang berorientasi memperkuat semangat kekeluargaan yang
bersumbu pada prinsip penghormatan kepada senioritas. Salah satu yang terpenting ialah
Sukarela Tentara Pembela Tanah Air (Peta), yang didirikan pada bulan September 1943. Yang
terpilih sebagai para komandan batalion (daidancho) kebanyakan adalah orang-orang yang
lebih tua yang dipercaya pihak Jepang memiliki pengaruh di kalangan pemuda.
Melalui struktur barisan-barisan militer seperti Barisan Pelopor (sejak September
1944) sebagai laskar (garda pembela) dari Djawa Hôkôkai,181 dan Hizbullah (sejak
Desember 1944) sebagai laskar dari Masyumi. Propaganda nasionalisme (yang disponsori
Jepang) oleh para pemimpin nasionalis turut berperan dalam meruntuhkan batas-batas sosial.
Namun, yang menjadi sebab utamanya ialah berlangsungnya komunikasi antara pemuda
terpelajar dan non- terpelajar yang sama-sama menjadi anggota laskar tertentu, yang
memungkinkan ideologi nasionalis mencapai makna konkretnya. Jejak jejak terakhir warisan
Jepang dalam konstruksi kebangsa dan kemerdekaan Indonesia adalah perannya dalam
mensponso pembentukan BPUPKI dan PPKI. Pada BPUPKI, ada 8 orang perwakilan Jepang
satu orang sebagai Wakil Ketua dan tujuh orang sebaga anggota istimewa.
Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Dalam bayang-bayang Pengaruh Jepang, Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua
BPUPKI pada upacara pembukaan (28 Mei 1945) menyatakan, "Kita percaya sedalam-
dalamnya dengan tiada ragu-ragu bahwa kemenangan akhir pasti jatuh di pihak kita, karena
peperangan kita dengan pimpinan Dai Nippon ini ialah peperangan untuk membela Keadilan
dan Kebenaran. Pandangan Radjiman itu mendapat peneguhan dalam persidangan BPUPKI.
Sejak hari pertama persidangan (29 Mei), Muhammad Yamin telah menyebutkan soal tujuan
kemerdekaan dengan salah satu dasarnya ialah "kemanusiaan" (internasionalisme). Dia juga
membayangkan "Indonesia menjadi anggota yang berkedaulatan dalam permusyawaratan
bangsa-bangsa Asia Timur Raya dan dalam persaudaraan bangsa-bangsa sedunia". Setelah
panjang lebar menguraikan urgensi prinsip kebangsaan yang dia tempatkan sebagai prinsip
pertama, Soekarno mengingatkan bahwa "prinsip kebangsaan ini ada bahayanya". "Bahaya
ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chouvinisme, sehingga berpaham
"Indonesia über Alles".
Dalam rancangan Pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan, peletakan
prinsip internasionalisme (perikemanusiaan) sebagai dasar negara itu sama seperti dalam
pidato Soekarno, yakni sebagai prinsip (sila) kedua dari Pancasila. Selanjutnya, kata
"kemanusiaan" diberi kualifikasi dengan kata sifat "adil" dan "beradab", sehingga rumusan
selengkapnya menjadi "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Alinea pertama menegaskan
komitmen bangsa Indonesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan
hak merdeka bagi segala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali. Alinea kedua
menekankan perjuangan nasional meraih kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri
(self-determination) serta idealisasi kemanusiaan di alam kemerdekaan. Alinea ketiga
mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan,
yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas, dan dengan itu, Indonesia
mendeklarasikan kemerdekaannya (declaration of independence). Alinea keempat
mengandung dua hal penting. Pertama, membawa isu-isu kemanusiaan kepada tujuan negara
dalam kerangka pemenuhan kebahagiaan dan hak kolektif maupun (implisit) perseorangan,
dalam kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu-isu kemanusiaa
pada dasar negara, khususnya dasar kedua, yaitu "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".
Indonesia mempunyai Pembukaan Konstitusi sebagai grundnorm, yang mendasarkan
negara pada hukum (rechtsstaat) atas dasar pengakuan akan kemerdekaan manusia. Hal ini
merupakan prinsip HAM yang penting, apalagi diperkuat oleh komitmen negara pada
perlindungan warga, terutama menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya yang terkandung
dalam alinea keempat. Dengan pernyataan "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial", Indonesia juga
menegaskan komitmennya pada kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa. Dalam
rancangan UUD yang serba ringkas ini, pasal-pasal tentang HAM itu memang terbatas
jumlahnya karena tekanan yang diberikan pada dasar kekeluargaan. Harap juga diingat bahwa
ketika rancangan UUD ini disusun, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
Perhatian pada isu HAM ini semula menimbulkan masalah dalam hubungannya
dengan konsepsi "negara kekeluargaan", sebagai arus utama pemikiran politik Indonesia saat
itu yang sangat mewarnai perumusan rancangan UUD. Pada Rapat Besar 11 Juli 1945,
Mohammad Yamin menyatakan bahwa tiap-tiap konstitusi dari bangsa merdeka terbentuk
atas tiga bagian: paling akhir berisi pasal-pasal, bagian tengah berisi pernyataan kemerdekaan
dan dasar negara, dan bagian awal terdapat keterangan tentang hak manusia di atas dunia
sebagai bangsa yang hendak merdeka.
Soekarno mengajukan pandangan alternatif, apakah tidak mungkin membuat
Declaration of Rights dalam "suasana kekeluargaan" ('in de damkring van kekeluargaan').
Tentang ide ini, Soepomo menyatakan mufakat dengan Declaration of Rights mengenai suatu
bangsa (namun tidak mengenai seseorang), meskipun dia merasa tidak memahami bagaimana
isinya. Pada Rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan diterimanya
rancangan Pembukaan UUD, anggota-anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah, dan
sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan (gotong-
royong). Dengan "menyetujui kata keadilan sosial dalam preambule" berarti merupakan
"protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme". Oleh karena itu, menurutnya:
betapapun dalam UUD negara merdeka, lazimnya dimasukkan apa yang disebut "les droits de
l'home et du citoyen" atau "the rights of the citizens", Indonesia akan membuat pilihannya
sendiri. "Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita
kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-royong dan keadilan
sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme dari
padanya." Mohammad Hatta tetap menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas hak
berserikat, berkumpul, berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya
penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan di kemudian hari.
perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga negara seperti hak untuk
berkumpul, bersidang, dan mengeluarkan pendapat. Sebab, selain didasarkan pada asas
kekeluargaan, negara kita juga didasarkan "kepada kedaulatan rakyat". Hatta juga
mengingatkan bahwa "dalam collectivisme ada sedikit hak bagi anggota-anggota dari
keluarga itu, mengeluarkan perasaannya untuk mengadakan, menjadikan badan collectivisme
tu dengan sebaik-baiknya." akhirnya pada tanggal 15 Juli juga Soepomo bersedia menempuh
pilihan kompromistis. Menurutnya, dengan tidak dimasukkannya persoalan kemerdekaan
warga itu ke dalam sistematik kekeluargaan, sesungguhnya "tidak berarti rakyat tidak akan
mempunyai kemungkinan bersidang atau berkumpul dan lain-lain", karena dalam negara
modern hal itu dengan sendiri- nya diatur dalam undang-undang."
Lepas dari persoalan sipol, sejauh menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya
(ekosob), sesungguhnya tidak ada perbantahan. Hak-hak mengenai hal ini telah diakomodasi
sejak rancang- an pertama UUD, yakni, pada pasal 28 (2) tentang "hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, yang kemudian bergeser menjadi pasal 27 (2) pada rancangan kedua
dan ketiga, pasal 30 (1) tentang "hak bela negara", yang kemudian bergeser menjadi pasal 29
(1) pada rancangan kedua, dan kembali menjadi pasal 30 (1) pada rancangan terakhir, pasal
31 (1) tentang "hak mendapat pengajaran pada rancangan pertama, yang bergeser menjadi
pasal 30 (1) pada rancangan kedua, dan kembali ke pasal 31 (1) pada rancangan terakhir,
demikian juga mengenai hak-hak ekonomi dan kesejahteraan (fakir-miskin) yang secara
implisit terkandung dalam kewajiban negara seperti pada pasal 32 dan pasal 33 pada
rancangan pertama, yang kemudian bergeser menjadi 31 dab 32 pada rancangan kedua, dan
akhirnya menjadi pasal 33 dan 34 pada rancangan terakhir. Hak asasi manusia (HAM) yang
tercantum dalam Undang-Undang Dasar, yang kemudian dikenal dengan UUD 1945, tidak
termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama antara
pasal 27-34.
Tiga generasi Hak Asasi Manusia, yaitu :
1. Generasi pertama : hak sipil dan hak politik
Generasi pertama hak asasi manusia ini amat terkait dengan hak sipil, yang
berhubungan langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan juga konteks habeas
corpus yang menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut
hak hidup, hak kebebasan beragama dan/atau berkepercayaan, hak untuk diproses
secara hukum dengan seadil-adil nya, hak mengemukakan pendapat (freedom of
speech) dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan bersama (voting
rights).

2. Generassi kedua : hak demokratis


Generasi kedua hak asasi manusia terkait dengan proses sebuah negara
membuahkan kebijakan dan kondisi yang memungkinkan suatu kehidupan
semakin manusiawi. Termasuk dalam hak ini adalah hak atas layanan kesehatan,
hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan sosial. Generasi kedua
ini sesungguhnya terintegrasi dengan hak sipil dan hak politik.

3. Generasi ketiga : hak ekonomi-sosial-kultural-kolektif


Generasi ketiga ini adalah bagian dari pengakuan akan perlindungan keseluruhan
kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan datang, baik di satu
komunitas maupun antarkomunitas. Ada suatu pemahaman bahwa kehidupan
dipengaruhi oleh dimensi masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang.

Kebanyakan hak dasar yang terkandung dalam UUD 1945 adalah hak dasar warga
negara. Kandungan hak asasi manusia yang bersifat universal, yang berlaku juga bagi non-
warga negara, hanya terkandung pada pasal 28 dan 29. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengakuan akan HAM itu diletakkan dalam suasana kekeluargaan. Alhasil, walau dalam
rumusan yang supel, secara substant cakupan dan komitmen HAM dalam UUD 1945 telah
merefleksikan tuntutan modern atas perlindungan hak-hak asasi manusia, mampu
mengantisipasi apa yang kemudian akan tertuang dalam daftar hak-hak asasi (bill of human
rights) dari PBB. Berdasarkan kenyataan ini, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945
bukanlah negara integralistik dalam bayangkan Soepomo yang melemahkan individu, bukan
pula negara liberal yang melemahkan kolektivitas. Negara Indonesia adalah negara
kekeluargaan yang menghormati hak-hak asasi warga negara dan manusia umumnya, sebagai
individu maupun kelompok.

Penghormatan negara kekeluargaan Indonesia pada kemanusiaan universal dan HAM


ini semakin jelas sosoknya pada Konstitus Republik Indonesia Serikat 1950 (Konstitusi RIS)
dan Undang Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Komitmen untuk memuliakan
HAM mendapatkan kerangka pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Dalam kedua
Konstitusi tersebut isu-isu menyangkut hak dasar warga negara dan manusia termuat dalam
suatu piagam (bagian) tersendiri, yakni pada Bab 1, Bagian V, "Hak-hak dan Kebebasan-
kebebasan Dasar Manusia. Terdiri dari 27 pasal (pasal 7-33) pada Konstitusi RIS, serta 28
pasal (pasal 7-34) dalam UUDS 1950, yang secara mendetail meliputi tiga generasi hak asasi
manusia. Pengaturan tentang HAM ini bergandengan dengan pengaturan tentang asas-asas
kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak warga tersebut. Hal ini termuat pada Bab I,
Bagian VI, "Asas-asas Dasar". Terdiri dari 8 pasal (pasal 34-41) dalam Konstitusi RIS serta 9
pasal (pasal 35-43) pada UUDS 1950. Meski demikian, setidaknya ada tiga perbedaan
mendasar dalam persoalan HAM antara Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Pertama klausul
"kebebasan bertukar agama atau keyakinan", yang tertuang dalam pasal 18 Konstitusi RIS,
ditiadakan dalam UUDS 1950. Kedua, sebaliknya, "hak berdemonstrasi dan mogok" yang
diakui dalam pasal 21 UUDS 1950, belum tercantum dalam Konsitutusi RIS. Ketiga
kandungan pasal 33 UUD 1945 (mengenai dasar perekonomian), ditiadakan dalam Konstitusi
RIS, namun dicantumkan kembali dalam UUDS 1950, pada bagian "Asas-asas Dasar", pasal
38. Pasal 37 (3) UUDS 1950 bahkan melarang "organisasi-organisasi yang bersifat monopoli
partikelir yang merugikan ekonomi nasional". Seturut dengan itu, hak miliki pribadi
dipersoalkan melalui pasal 26 (3) yang menegaskan bahwa "hak milik itu adalah suatu fungsi
sosial".

Komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada sidang Konstituante. Seperti
dicatat oleh Adnan Buyung Nasution (1995), "Konstituante memberi perhatian besar pada
pertanyaan konkret, misalnya mengenai HAM di dalam UUD baru dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam UUD sebelumnya; kedua, golongan mana yang
akan memerlukan perlindungan hak-hak asasi khusus; dan, ketiga, cara-cara procedural apa
yang dapat ditetapkan untuk memberi jaminan hukum bagi penghormatan HAM Dalam
perkembangannya, nyaris tidak ada kesulitan berarti dalam mencari permufakatan antarblok
politik menyangkut ketentuan-ketentuan HAM ini.

Sementara itu, beberapa orang mengkritik UUD sebelumnya yang (dalam judul
bagian tentang HAM) hanya menyebut hak, seraya tidak menyebut kewajiban. Tahir
Abubakar (PSI) menyodorkan perspektif Islam yang tidak memisahkan antara orang dan
negara, seperti dibuktikan oleh hukum dan praktik Islam yang mengakui adanya fardhu
kifayah (kewajiban sosial) dan fardhu ain (kewajiban pribadi). Hal ini didukung oleh partai
nasionalis yang menyesalkan tidak adanya kewajiban warga negara. Sabilal Rasjad
menyatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai hak, maka tidak boleh dilupakan adanya
kewajiban yang timbul akibat hak-hak itu.

Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil melengkapi keputusan


mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai HAM, hak dan kewajiban warga negara,
yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan kewajiban dari daftar: a) Delapan belas (18) hak
dan kewajiban warga negara; b) Tiga belas (13) hak warga negara yang dapat dipeluas hingga
mencakup orang yang bukan warga negara sebagai HAM; dan c) Lima (5) hak yang masih
tersisa dari daftar 24 hak asasi manusia yang belum diajukan ke sidang pleno untuk
diputuskan melalui pemungutan suara. Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai
keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru, Tiga belas hak dan
kewajiban lainnya masih terdapat perbedaan karena Koalisi Pancasila dan Islam di dalam
panitia tersebut masih mempertahankan pasal-pasal konstitusional versi masing-masing.
Akan tetapi, kedua versi mengenai 13 hak dan kewajiban itu secara substantif tidaklah jauh
berbeda dan tidak mengancam hakikat hak- hak perorangan, oleh karena itu tidak akan
menghalangi tercapainya kompromi. Akan tetapi, jalan sejarah berbicara lain. Dekrit Presiden
5 Juli 1959, mengembalikan ketentuan mengenai HAM seperti terkandung dalam UUD 1945
(Nasution, 1995: 216-258).
Tetapi dengan UUD 1945 pun, secara substantif tidak mengurangi komitmen bangsa
Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak-hak asasi manusia.
Bukan saja karena UUD ini pun telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi juga
tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis, berupa fakta historis terjadinya kemajuan
yang terus-menerus dalam pengakuan konstitusional terhadap HAM.

Perspektif Teoretis-Komparatif

Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil


dan beradab itu menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Pentingnya merawat persaudaraan antarbangsa terbukti dari andil bangsa-bangsa
lain dalam mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure.
Dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer
Belanda I (21 Juli 1947-5 Agustus 1947). Dengan agresi itu, pengakuan de facto atas
Indonesia justru berdatangan mengalir dari negara-negara sahabat seperti Afghanistan,
Birma, Arab Saudi, Yaman, dan Rusia.

Setelah tercapainya kesepakatan mengenai resolusi Dewan Keamanan, perhatian


sidang lalu terfokus pada dua hal: (1) kehadiran Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan,
(2) badan arbitrase yang akan dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata di
antara kedua belah pihak. Ketua delegasi Indonesia, Sutan Sjahrir, tampil ke depan podium
guna menjelaskan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Naskah pidato Sjahrir, yang
sudah disiapkan secara bersama-sama beberapa hari sebelumnya, dikemukakan pada 14
Agustus 1947. Uraian Sjahrir tidak terbatas pada keadaan Pulau Sumatera dan Jawa-Madura
saja. Dia memberi gambaran yang jauh lebih luas dari yang disangka anggota Dewan
Keamanan. Dengan latar belakang inilah, keinginan Indonesia untuk diakui sebagai sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat semakin dipahami oleh masyarakat Internasional.

Di sinilah terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan Belanda. Rakyat


Indonesia menganggap daerah bekas jajahan Belanda ini sebagai milik mereka sebenarnya.
Maka, diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bila Indonesia
ini memang milik Belanda, tutur Sjahrir, seharusnya mereka mempertahankannya dari
serangan siapa pun yang hendak mengambil alih kepulauan ini. Tetapi, itu tidak pernah
mereka lakukan. Pertikaian di antara kedua pihak agaknya akan berakhir dengan
tercapainya Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947. Namun, akibat berbagai perbedaan
penafsiran, telah memperbesar perselisihan dan menimbulkan Agresi Militer Belanda.
Walaupun kelihatannya pasukan Belanda telah mengalami kemenangan, itu tidak akan
pernah tercapai keamanan dan ketentraman di kalangan mereka

Di akhir ulasannya, Sjahrir menekankan agar Dewan Keamanan melakukan


pengawasan terhadap pelaksanaan gencatan senjata. Mengingat Dewan Keamanan baru
pertama kali membahas kasus seperti yang dialami oleh Indonesia ini, masih banyak yang
belum mengetahui wewenang Dewan Keamanan dalam menyelesaikan sengketa semacam
itu. Saat dilakukan pemungutan suara, Sumitro berusaha menghitung. Dalam
perkembangannya, perintah gencatan senjata dan penciptaan perdamaian itu diabaikan
Belanda. Pada 19 Desember 1948, sekali lagi Belanda melancarkan agresi militer II. Agresi
ini menimbulkan kecaman dunia internasional, seperti Amerika Serikat, atas Belanda;
sebaliknya, semakin memperkuat dukungan internasional atas kedaulatan Indonesia.
Berkaitan dengan hal itu, perlawanan gigih tentara rakyat Indonesia melalui perang gerilya
juga membuat Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali kembali ke meja perundingan.
Konferensi Meja Bundar digelar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Hasilnya, pada 30 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin

Dalam latar internasional, kemerdekaan dan kedaulan Republik Indonesia itu bertaut
dengan gelombang dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika, pasca-Perang Dunia II.
Periode dekolonisas yang sangat aktif terutama terjadi antara 1945 sampai 1960.
Gelombang demokratisasi ini berdampingan dengan peningkatan kesadaran akan hak-hak
asasi manusia (HAM) pasca PD II, dimulai dengan kemunculan Piagam PBB sejak 26 Juni
1945 dan menemukan momentumnya setelah Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) pada 10 Desember 1948.
Namun demikian, gelombang dekolonisasi, demokratisasi, dan perhatian
internasional pada HAM ini menemukan sandungannya ketika dunia segera memasuki
suasana Perang Dingin. Setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) bersekutu dan
berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berselisih paham dalam usaha
membangun kembali dunia, khususnya Eropa, pasca perang.
Periode ini dikenal sebagai era Perang Dingin, yang menampilkan persaingan sengit
antara kedua blok di pelbagai bidang kehidupa koalisi militer; ideologi, psikologi, dan telik
sandi; militer, industri dan pengembangan teknologi: pertahanan; perlombaan nuklir dan
persenjataan: dan banyak lagi. Konflik antara kedua blok ini lantas menyebar ke seluruh
dunia ketika AS membangun pertahanan terhadap komunisme dengan membentuk sejumlah
aliansi dengan berbagai negara, terutama dengan negara di Eropa Barat Timur Tengah, dan
Asia Tenggara. Selama Perang Dingin, pelaksanaan proyek HAM PBB mengalami
hambatan yang serius. Sesuai dengan pasal 1 dan 2 Piagam PBB tujuan lembaga ini adalah
untuk memelihara perdamaian dunia membangun relasi bersahabat antarnegara yang
didasarkan pada penghormatan kesetaraan hak dan penentuan nasib sendiri dan untuk
menjalin kerjasama guna memecahkan masalah internasional dalam hal ekonomi, sosial,
budaya, dan kemanusiaan (humanitarian), dan dalam mempromosikan dan mendorong
penghormatan hak asasi manusia.

Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin

Memasuki suasana Perang Dingin, ketika poros-poros ketegangan menghadirkan


tekanan hitam-putih, "apakah bersama kami atau bersama mereka", yang mengarah pada
permusuhan dan peperangan antarbangsa, Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab dalam pergaulan antarbangsa.
Prinsip kemanusiaan menurut alam pemikiran Pancasila menjadi sintesis antara
pendukung ajaran Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis. Dalam
pidato Soekarno di PBB, pada 30 September 1960, "To Build the World Anew", yang
memperkenalkan Pancasila kepada dunia, dia menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris,
Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ajaran itu. "Sesuatu itu kami
namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami.
Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-
abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat
kelemahan nasional" (Soekarno, 1960, 1989: 63-64).
Pilihan posisi Indonesia untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana
perang dingin itu dirumuskan oleh Mohammad Hatta derman prinsip politik luar negeri bebas
aktif. Dalam pidatonya, Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan di hadapan
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Bung Hatta menangkap
potensi konflik internal antarkelompok elite sebagai luberan konflik eksternal setelah perse-
tujuan Linggarjati dan Renville. Dia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua
persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan
Belanda itu gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan
politik antara dua adikuasa, AS dan US. Bung Hatta mulai memformulasikan adagium politik
luar negeri yang bebas seraya tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan dalam pergaulan antarbangsa. Dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal
internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, April 1953), politik luar negeri bebas aktif.
Pemerintah berpendapat bahwa posisi yang harus diambil Indonesia tidaklah sepatutnya
menjadi pihak yang pasif dalam arena politik internasional tetapi menjadi agen aktif yang
berhak menentukan pendiriannya. Kebijakan Republik Indonesia harus didasarkan pada
kepentingannya sendiri dan harus dilak- sanakan sesuai dengan situasi dan fakta yang
dihadapi. pernyataan Bung Hatta tersebut merupakan awal dari suatu formulasi penuh tentang
kebijakan luar negeri yang independen (independent foreign policy), suatu kebijakan non-
blok dalam tatanan dunia yang diwarnai blok-blok kekuatan (power blocs).
Pilihan untuk mendayung di antara dua karang ini mendorong Indonesia untuk
berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok. Istilah "non-blok" diperkenalkan
oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lan- ka,
namun Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) sendiri bermula dari konferensi Tingkat
Tinggi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada 1955. Dalam konferensi, yang diikuti 29
negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia saat itu, negara-negara yang
tidak berpihak pada blok tertentu mendekLarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat
dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari gerakan ini adalah lima pemimpin
dunia: Soekarno (Presiden Indonesia), Josep Broz Tito (Presiden Yugoslavia), Gamal Abdul
Nasser (Presiden Mesir), Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), dan Kwame
Nkrumah (Perdana Menteri Gana).
Gerakan Non-Blok didirikan berdasarkan sepuluh prinsip dasar yang disepakati dalam
KTT Asia-Afrika yang dikenal dengan sebut- an Dasasila Bandung. Kesepuluh prinsip itu
adalah:
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang
termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar
maupun kecil.
4. Tidak melakukan campur tangan atau intevensi dalam soalan-soalan dalam negeri
negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara
sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. (a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk
bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, (b) Tidak
melakukan campur tangan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan
terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti
perundingan, persetujuan, arbitrasi, atau penyelesaian masalah hukum, ataupun lain-
lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan
Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Pilihan Indonesia atas politik luar negeri bebas aktif itu menem- patkannya dalam
perpaduan antara perspektif teori "idealisme politik" (political idealism) dan "realisme
politik" (political realism) dalam hubungan internasional. Keyakinan Indonesia, seperti
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa serta
kemungkinan menjalin kerjasama internasional dalam mengupayakan kemerdekaan,
kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan bersama, membawa politik bebas aktif
bertautan dengan ideal-ideal para pendukung perspektif "idealisme politik".
Politik luar negeri bebas aktif bisa berjalan terus justru karena setiap saat bisa
didefinisikan kembali, diaktualisasikan kembali sesua dengan arah yang hendak dituju oleh
pemimpin negeri ini da tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan yang ditempuhnya
Realitas internasional juga memengaruhi kontekstualisasi ide-ide demokrasi dan hak-hak
asasi manusia di negeri ini. Indonesia bereksperimen menjalankan demokrasi konstitusional
dengan berusaha memadukan unsur-unsur terbaik dari sistem pemerintahan presidensial dan
parlementer yang berkembang di dunia yang disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Akan tetapi, kondisi-kondisi pasca-kolonial yang bertaut dengan ketegangan dan
rebutan pengaruh antarblok kekuatan internasional membawa kesulitan dan ketegangan
dalam lingkungan kehidupan nasional, yang menimbulkan rintangan dalam perkembangan
demokrasi dan pemuliaan HAM. Sebagaimana negara-negara yang baru merdeka lainnya,
ketika dekolonisasi berakhir, Indonesia memerlukan waktu untuk mengembangkan kultur
politik demokratis. Ketika hak asasi manusia yang tertuang dalam konstitusi tidak
menemukan basis dukungan budaya dan praktik demokratis, praksis politik sering berubah ke
arah otoritarian, tidak mampu memastikan mekanisme akomodasi secara damai bagi aneka
perbedaan, partisipasi luas dan efektif, serta penciptaan keadilan sosial.
Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme Versus Partikularisme
Kesulitan dan masalah yang melanda Indonesia itu merefleksikan kecenderungan
umum negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami hambatan yang serius untuk
melaksanakan HAM dan demok rasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan
Timur- Barat serta kesenjangan Utara-Selatan. Kesulitan ini menimbulkan perbedaan
perspektif dalam konsepsi tentang HAM, terutama dalam kaitannya dengan negara-negara
Dunia Ketiga. Ada dua narasi besar, universalisme dan pertikularisme (relativism cultural),
yang karena perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman
atas (1) karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik), (2) pentingnya individu
sebagai lawan hak masyarakat, (3) penentuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan
penegakannya (Hernandez. 1995: 3-4). Semua titik divergensi itu, dengan potensinya untuk
disimpangkan, dalam perkembangan selanjutnya memunculkan rasa tidak percaya dan
ekspresi permusuhan.
Kaum universalis menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. HAM berasal
dari "konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia me- miliki hak alamiah tertentu
untuk hidup, bebas dan punya kepemi- likan" (Hernandez, 1995: 4). Juga, "untuk memiliki
HAM, seseorang haruslah dipandang sebagai manusia (human being)" (Preis, 1996: 288). Hal
tersebut berlaku secara universal tanpa memandang di mana manusia itu berada. Karena
HAM itu hak alami, tidak ada alasan bagi negara atau penguasa untuk mengasingkan HAM
dari warga negaranya. kaum partikularis (kultural relativis) memersepsi bahwa norma-norma
HAM tidak muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman
masyarakat tertentu. Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya tersendiri, hanya
aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu dan akan berbeda
dari suatu masayarakat ke masyarakat yang lain (Hernandez, 1995: 5).
Dalam perspektif kaum partikularis, doktrin liber HAM tidak berbicara mengenai
pandangan dunia manusia. Fondasi ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan keterkaitan
individu dengan individu lain dan masyarakat, dalam beberapa hal berbeda secara signifikan
(Pollis, 1996: 316). negara-negara Dunia Ketiga lebih memerhatikan kedaulatan nasionalnya
serta tantangan dalam negen dibandingkan dengan agenda internasional (Deklarasi
AntarPemerintah Bangkok dalam (Pollis, 1996: 331). Meminjam ungkapan Kausikan,
negara-negara Dunia Ketiga "tetap menempatkan HAM di bawah kepentingan nasional lain
yang penting, seperti integritas wilayah negara atau sistem politik mereka" (Kausikan, 1993:
26).
Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status komparat hak individu dan hak
kolektif, karena kaum universalis (Barat) lebih menekankan pada hak individu sedang kaum
partikularis (negara Dunia Ketiga) lebih menekankan pada hak kolektif. Kaum universalis
cenderung menekankan HAM individu dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban individu
pada kelompok yang lebih besar Pada sisi lain, kaum partikularis mengajukan konsepsi anti-
tesis. Mereka menyatakan bahwa "manusia tidak merumuskan diri mereka dalam posisi
sebagai individu otonom, namun mereka lebih mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang
memiliki “status turunan" (ascribed status) sebagai anggota kelompok yang lebih besar atau
komunitas seperti keluarga, suku, kelas, bangsa, atau kelompok lain" (Brems, 1997: 145).
Oleh karena itu, mereka menyarankan harus lebih memerhatikan hak kolektif, dan
menempatkan pembatasan hak individu untuk mengembangkan hak kolektif, dan juga
menekankan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban (Brems, 1997: 146).
Pada sisi lain, kaum partikularis sepakat bahwa meski HAM itu menyeluruh dan utuh,
HAM mesti dipandang dalam konteks satu proses dinamis negera-negara tertentu (Pollis,
1996: 331). Dengan nada yang sama, "Dokumen Akhir" KTT Gerakan Non-Blok X di Jakarta
(September 1992), menunjukkan:
Para kepala negara atau pemerintahan lebih menekankan pada watak HAM yang utuh,
yang mencakup hak-hak sipil, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Mereka mengungkapkan
perhatian pada kecenderungan untuk memandang aspek-aspek HAM secara selektif, yang
sering demi motif politik yang tidak saling berhubungan, dan guna mengabaikan hak-hak
sosial, ekonomi, dan budaya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atas pangan,
papan dan perawatan kesehatan serta untuk menghi- langkan kemiskinan dan buta huruf.
(Wayarabi, 1992: 10-11).
Kaum universalis (Barat) menuduh pemerintah negara Dunia Ketiga mengeksploitasi
argumen partikularis untuk membenarkan "kuatnya" negara sehinggga melahirkan kebijakan
represif dan menerapkan tujuan-tujuan nasional demi kesejahteraan masyarakat (Cohen,
1996). "Menyelimuti dirinya dalam aura modernitas, yang dimodifikasi oleh perbedaan, elite
sering menunjukkan kekuasaannya dengan sewenang-wenang dan represif" (Pollis, 1996:
329). Sementara itu, kaum partikularis (pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga)
mengklaim bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah Barat sebagai senjata
politik guna menekan daya kompetitif ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Mereka juga
menuduh pemerintah negara-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan standar ganda
dalam menerapkan prinsip-prinsip HAM yang universal.
Lebih jauh lagi, kaum partikularis (Dunia Ketiga) juga sering menunjukkan
pembusukan masyarakat Barat dalam bentuk peningkatan kejahatan, meningkatnya
ketimpangan ekonomi, kemerosotan moral, keterasingan dari proses politik, dan substansi-
substansi lain yang berbahaya (Hernandez, 1995: 7; Bell, 1996: 654).

Akan tetapi, munculnya revolusi teknologi komunikasi, yang menimbulkan


globalisasi kehidupan ekonomi, politik, dan kehidupan sosial kontemporer mengakibatkan
interpenetrasi pengalaman budaya dan kecenderungan, yang disebut Vattimo sebagai
"hibridisasi" antartradisi (Smart, 1997: 417). Dalam perubahan cepat dunia posmodern,
asumsi kaum partikularis bahwa "kultur" itu statis, homogen, integral, koheren, dan entitas
yang terikat menjadi masalah serius (Preis, 1996: 288-89). Dalam konteks seperti itu,
mempersepsi nilai-nilai HAM sebagai nilai-nilai eksklusif eksotis "yang lain" kehilangan
dasarnya. Totalisasi HAM sebagai relativitas budaya mengabaikan fakta meningkatnya
apresiasi dan komitmen HAM di kalangan masyarakat negara Dunia Ketiga. HAM jadi
"diuniversalkan" sebagai subjek nilai untuk ditafsirkan, dinegosiasi, dan diakomodasi. HAM
jadi sebuah "budaya" baru. (Preis, 1996: 290). Kecenderungan terhadap mun- culnya budaya
HAM global diakui Direktur Biro Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri Singapura
Bilahari Kausikan (Kausikan, 1993: 24).

Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi

Globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi


antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama
dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4
Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, "Sputnik 1", diluncurkan oleh Uni Soviet.
Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Soviet dan Amerika. Pada
31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya, "Explorer 1". Pada Juni 1961,
Angkatan Udara Amerika menggunakan berbagai fasilitas dari Jaringan Mata-mata Angkasa
Amerika (the United States Space Surveillance Network) untuk mengatalogkan sejumlah 115
satelit yang mengorbit bumi. Globalisasi dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), "adalah
intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan
sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa
yang terjadi jauh di seberang dan begitu pun sebaliknya". Revolusi di bidang teknologi
informasi dan telekomunikasi membawa "distansiasi ruang-waktu" (time-space distanciation)
sekaligus "pemadatan ruang waktu (time-space compression) yang merobohkan batas-batas
ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989).

Anda mungkin juga menyukai