Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

KATUHANAN YANG BERKEBUDAYAAN

Alam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat suatu pengakuan yang


rendah hati dan penuh rasa syukur bahwa kemerdekaan indonesia bisa di capai "atas berkat
rahamat Allah Yang Maha Kuasa". Kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam sejarah
perkembangan kebangsaan Indonesia menyiratkan suatu sikap kejiwaan yang berbeda dengan
perkembangan nasionalisme di Eropa. Dalam lintasan sejarah Nusantara, agama tidak pernah
sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Secara historis,
hidup religius dengan kerelaan menerima ke- ragaman telah lama diterima sebagai kewajaran
oleh penduduk Nusantara.

PERSPEKTIF HISTORIS

Sejak zaman batu Nusantara telah mengembangkan sistem kepercayaan tersendiri,


yang secara umum lazim disebut bercorak animisme dan dinamisme. Animisme (dari bahasa
Latin anima atau "roh") adalah kepercayaan bahwa setiap benda di bumi ini (seperti petir,
pohon, kawasan tertentu, pokok, atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar
roh di balik benda tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari roh
jahat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sekitar abad ketiga dan keempat masehi, mulai
masuk peng- aruh agama sejarah dari India (Hindu dan Buddha), disusul oleh pengaruh Islam
dari Timur Tengah yang dibawa masuk oleh para pedagang dari pelbagai ras (Arab, India,
China, dan lain-lain) mulai sekitar abad ke-7 dan tersebar luas setidaknya sejak abad ke-13.
Pada (hampir) semua sistem religio-politik tradisional di muka bumi, agama memiliki peran
sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial. komunitas agama berperan penting
sebagai pemasok wahana, isi, dan tujuan kegiatan publik. Situasi demikian juga merupakan
gambaran umum yang berlaku di Nusantara sebelum terjadinya proses modernisasi melalui
intervensi Belanda ke dalam bidang keagamaan.

NEGOSIASI ANTARA SEKULARISASI DAN RELIGIOSASI NEGARA

Otoritas VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie yang mengontrol bagian-bagian


Kepulauan Nusantara selama hampir 200 tahun (1602-1800), perasaan superioritas yang
bersejalan dengan asumsi evolusi modernisme yang dianut oleh orang Belanda saat itu:
bahwa saat masyarakat modern pasang, kepercayaan dan ketaatan keagamaan akan surut.
terdapat ketegangan antara pandangan sekuler pemerintah kolonial dengan upaya pemerintah
kolonial untuk melumpuhkan potensi-potensi perlawanan yang berbasis keagamaan. politik
"netralitas" terhadap agama berdiri di atas landasan yang rapuh. Konsolidasi pemerintahan
kolonial sangat berkepentingan untuk melucuti peran sosial-politik keagamaan (terutama
Islam). respons. terhadap penjajahan dan intervensi pemerintah kolonial terhadap kehidupan
keagamaan juga mengarah pada politisasi agama yang membangkitkan usaha-usaha
"religiosasi" ruang publik.

SEKULARISASI POLITIK INDONESIA

Muncullah wacana kemajuan yang berorientasi Eropa yang diartikulasikan oleh kaum
inteligensia, sebagai elite baru- Bumiputera keluaran pendidikan modern, yang menjadi
pesaing kaum ulama tradisional. Kalangan progresif dari kaum inteligensia cenderung
mengambil posisi "mimicry" yang mengandung kemungkinan olok-olok (mockery) dan
sekaligus ancaman (menace). Peralihan ke pendudukan Jepang tidak mencegah proses
sekularisasi. Meskipun terkesan lebih akomodatif terhadap Islam, sejauh menyangkut politik
Islam, pemerintahan Jepang meniru sikap kolonial sebelumnya. Hal ini tampak dalam
penyusunan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang
pendiriannya dispon- sori pemerintahan Jepang pada 29 April 1945. Dari 63 (kemudian
bertambah menjadi 69) anggota BPUPK, hanya sekitar 13 orang wakil golongan Islam.

RELIGIOSASI POLITIK INDONESIA

Dalam situasi ketika kehidupan corporate (masyarakat sipil) dalam artian Eropa-
belum berkembang di Nusantara, kebutuhan akan adanya sebuah komunitas, ajaran moral dan
panduan kehidupan publik dipenuhi terutama oleh jaringan komunitas epistemik keagamaan.
Dengan kemunculan inteligensia sebagai elite baru pada awal abad ke-20, yang disusul oleh
pergeseran dari gerakan mileniaris- me menuju gerakan ideologis, peran politik agama
tidaklah surut. Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, "ulama-intelek" dan "intelek
ulama (dari kalangan modernis dan tradisionalis) memainkan peran penting dalam
mengembangkan ruang publik modern di Nusantara. Beberapa monumen terpentingnya
adalah Sarekat Dagang Islam (SDI, berdiri 1908/1909) untuk pergerakan ekonomis
Muhammadiyah (berdiri 1912) yang disusul oleh Nahdlatul Ulama (1926) untuk pergerakan
pendidikan; dan Sarekat Islam (SI, berdiri 1911/1912) untuk pergerakan politik. nilai-nilai
egalitarianisme Islam memberi andil pula bagi bangkitnya kesadaran protonasionalisme.

Seperti dinyatakan dengan baik oleh vonder Mehden (1963: 17). paruh kedua 1920-
an, pelbagai organisasi pergerakan dari berbagai latar keagamaan mulai mengintegrasikan
diri ke dalam keindonesiaan dengan membubuhkan kata "Indonesia" dalam namanya. Sarekat
Islam, setelah beberapa kali ganti nama, pada akhirnya menjadi Partai Sjarikat Islam
Indonesia (PSII) pada 1929. Komunitas Kristen-Katolik pribumi mulai melepaskan diri daya
bayang-bayang Eropa. Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada Juli 1938. Komunitas
Protestan mulai mendirikan Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI) di Jakarta pada 1930,58
lantas muncul Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia (FPKI) di Yogyakarta pada 1939,59
sebagai ancangan bagi berdirinya sebuah partai politik Kristen Indonesia (Pringgodigdo,
1964: 126-128).

KETUHANAN DALAM PERUMUSAN PANCASILA DAN KONSUTUSI

Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik
bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak
terlepas dari Ketuhanan. Golongan kebangsaan tergabung dalam Jawa Hokokai, 63
sedangkan golongan Islam tergabung dalam Masyumi. Kedua golongan ini bersepakat dalam
memandang pentingnya nilai-nilai Ketuhanan dalam negara Indonesia merdeka, namun
berselisih mengenai hubungan negara dan agama. Golongan Islam berpandangan bahwa
"negara" tidak bisa dipisah- kan dari "agama". Sedangkan golongan kebangsaan
berpandangan bahwa negara hendaknya "netral" terhadap agama. Namun demikian, di dalam
masing-masing golongan ini pun, terdapat nuansa perbedaan pandangan. Di dalam golongan
Islam, tidak semua menghendaki penyatuan sepenuhnya antara agama dan negara (Negara
Islam) Demikian pula halnya dalam golongan kebangsaan. Ada golongan kebangsaan yang
sepenuhnya menghendaki pemisahan urusan negara dan urusan agama, dan golongan yang
tidak sepenuhnya 66 memisahkan urusan negara dan urusan agama.

Pandangan yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, seperti tercemin dari
pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo 71 (31 Mei), Pokok argumennya, antara lain, bahwa "agama
merupakan pangkal persatuan", "Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan
keadilan, berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama", "Islam
tidak bertentangan, bahkan sangat sesuai dengan kebangsaan kita", "Islam merupakan ajaran
lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam", dan
selama periode kolonial, "kaum imperialis senantiasa berusaha melenyapkan agama Islam
dan hukum Islam". Perbedaan pandangan antara dua kubu tersebut, selain karena perbedaan
latar pergerakan, hingga taraf tertentu mencerminkan perbedaan lingkungan pengetahuan
(epistemic community). Mereka yang menyuarakan ide negara Islam pada umumnya berasal
dari lingkungan pendidikan Islam yang kurang bersentuhan dengan diskursus negara modern
dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism). sulit menemukan kemungkinan lain dalam
melihat hubungan negara dan agama di luar pola "penyatuan" (fusion) dan "pemisahan"
(separation).

Hatta melancarkan kritik bahwa kebanyakan argumen tidak mampu melepaskan


pandangannya dari bayang-bayang persoalan 'Kerk en Staat' (gereja dan negara) sebagaimana
yang didapati dalam sejarah hukum negara-negara Barat. dia mengemukakan bahwa dalam
sejarah Islam, memang tidak dikenal pemisahan atau pertentangan antara agama (sebagai
gereja) dengan negara, karena Islam memang tidak mengenal kependetaan. Paling-paling,
pertentangan terjadi dalam perjuangan memperebutkan jabatan kepala negara. Meski agama
dan negara tidak terpisah, otoritas negara dan otoritas agama dalam Islam bisa dibedakan.
Kenyataan empiris menunjukkan bahwa khalif setelah Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar,
Umar, Usman, dan Ali) bukanlah kepala agama, melainkan semata-mata kepala negara untuk
mengembangkan urusan dunia. Dengan pemindahan pusat kekuasaan Islam dari Madinah ke
Damaskus, terjadilah permisahan antara urusan agama yang tinggal di Madinah dan urusan
dunia yang berpusat di Syria, meskipun memang khalif kerapkali meng- gunakan agama
sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. pada 1 Juni, ketika menguraikan apa yang disebutnya
sebagai "philosofische grondslag", dia tidak men- dukung gagasan Islam sebagai dasar
negara, tetapi memberi petuang bagi golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara
politik yang akan memengaruhi keputusan-keputusan politik di lembaga perwakilan.

Sebagian golongan Islam berkeberatan dengan peletakan prinsip Ketuhanan pada sila
terakhir, karena memandang urutan itu dalam skala prioritas. seperti dijelaskan belakangan
oleh Roeslan Abdoelgani, urutan sila-sila dalam Pidato Soekarno itu hanyalah mengikuti
sistematik penjelasan saja. Malahan, menu- rutnya, "penyebutan dalam bagian akhir itu,
hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci di dalam kekuasaan keempat dasar"
sebelumnya. Dalam penjelasannya di kemudian hari, dalam buku Pantja Sila sebagai Dasar
Negara, jilid IV-V (1958: 3), dia menyatakan sebagai berikut:

Urut-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Panca Sila itu
ialah: Ke-Tuhanan yang Maha Esa; Ke- bangsaan nomor dua; Peri-Kemanusiaan nomor tiga;
Kedaulat- an Rakyat nomor empat; Keadilan sosial nomor lima. Ini sekedar urut-urutan
kebiasaan saja. Ada kawan-kawan yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila
Peri-Kemanusiaan sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya
prinsipiil, tidak ada keberatan untuk mengambil urut-urutan itu. Dari pertemuan tersebut,
Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk Panitia Kecil ("tidak
resmi"), yang beranggotakan 9 orang (dikenal sebagai Panitia Sembilan).

Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar,


yang di dalamnya termuat Dasar Negara. Karena penghormatan Soekarno pada golongan
Islam, komposisi Panitia Sembilan ini lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan
resmi BPUPK), yakni terdiri dari 5 orang wakil golongan kebangsaan dan 4 orang wakil
golongan Islam, kendati jumlah wakil golongan Islam di BPUPK maupun dalam pertemuan
ini kurang dari 25 persen total anggota/peserta pertemuan. Rancangan Pembukaan UUD ini
mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan. Ujung kompromi
bermuara pada alinea terakhir, yang mengan- dung rumusan dasar negara berdasarkan
prinsip-prinsip Pancasila. Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip
Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, "ideologi negara tidak berubah
karenanya, melainkan negara dengan ini, memperkokoh fundamennya, negara dan politik
negara mendapat dasar moral yang kuat. Dengan demikian, fundamen moral menjadi
landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan kelima). Hasil rumusan
Piagam Jakarta itu mendapat tanggapan yang tajam dari Latuharhary.

Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan keberatan atas "tujuh kata" sebagai
anak kalimat dari Ketuhanan. Dalam rapat besar Panitia Perancang Hukum Dasar yang
dipim- pin oleh Soekarno, pada 13 Juli, perdebatan sengit seputar ikutan "tujuh kata" Piagam
Jakarta kembali mencuat, dipicu oleh pernya- taan K.H. Wachid Hasjim yang mengusulkan
agar "Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam." Pada 14 Juli, giliran Ki
Bagoes Hadikoesoemo yang melakukan gugatan. Menurutnya, kata-kata "bagi para
pemeluknya" (di belakang kalimat "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam") sepatutnya dihapus saja, karena hal itu berarti bahwa dalam satu negara "akan
diadakan dua peraturan, satu untuk umat Islam, dan yang satu lagi untuk yang bukan Islam".
Pada 15 Juli, Abdoelrachim Prataly- krama, dari golongan kebangsaan (pangreh praja),
mengusulkan kembali agar "Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam". 16
Juli setelah Soekarno dengan berlinang air mata mengimbau agar yang tidak setuju dengan
hasil rumusan Panitia bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya demi persatuan
Indonesia. hasil rumusan Piagam Jakarta itu bisa dipertahan- kan hingga akhir masa
persidangan kedua (17 Juli 1945).

Namun demikian, ketidaksetujuan atas perlakuan khusus bagi umat Islam dalam suatu
hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan tetap mengendap di hati
elemen-elemen golongan kebangsaan. Panitia ini didi- rikan pada 12 Agustus 1945, yang
bertugas untuk mempercepat upaya persiapan terakhir bagi pembentukan sebuah pemerintah-
an Indonesia merdeka, termasuk penetapan konstitusi. awalnya, PPKI terdiri dari 21 anggota
yang diketuai (lagi- lagi) oleh Soekarno dengan Mohammad Hatta dan Radjiman. Pertemuan
pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. suasana kebatinan dan situasi politik
Indonesia telah berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus. tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI
menyetujui naskah "Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali "tujuh kata" di
belakang sila Ketuhanan, yang telah memunculkan kontroversi terpanas dalam sesi terakhir
persidangan BPUPK, dicoret lantas di ganti dengan kata kata "Yang Maha Esa".

Tercegatnya aspirasi politik Islam dalam PPKI berlanjut dengan penolakan awal
terhadap gagasan pembentukan departemen agama. Pandangannya itu mendapatkan
dukungan dari sembilan belas anggota PPKI (Anderson, 1972: 87- 90) sehingga mulai dari
Kabinet Presidensial Soekarno pertama (31 Agustus-14 November 1945) sampai Kabinet
Parlementer Sjahrir pertama (14 November 1945-12 Maret 1946), departemen agama tidak
ada. Departemen ini baru dibentuk pada Kabinet Sjahrir kedua (Maret 1946) sebagai usaha
meredam kekecewaan politik para pemimpin Islam dalam rangka meraih dukungan politik
mereka terhadap pemerintahan selama masa revolusi kemerdekaan-yang memberi nuansa lain
dalam relasi antara negara dan agama di luar kerangka 'penyatuan' (fusion) dan 'pemisahan'
(separation). Kekecewaan yang muncul lebih merefleksikan masih menggelo- ranya
semangat "politik identitas", yang pada umumnya lebih di- definisikan oleh ingatan pedih ke
belakang, ketimbang oleh visi ke depan. Seperti tersirat dari pernyataan Prawoto
Mangkoesasmito, "kubu Islam sesungguhnya sepakat dengan semua sila Pancasila, namun
tetap menuntut agar "tujuh kata" dipertahankan kerena hal itu menandai hal yang penting
bahwa Islam yang selama zaman kolonial terus dipinggirkan, akan mendapat tempat yang
layak da- lam negara Indonesia merdeka (Al-Ghazali, 1998b: 19-33).

Dalam Konstitusi RIS, pasal 18 disebutkan: "Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran keinsyafan batin dan agama, hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau
keyakinan begitu pula kebebasan menganut agamanya atau keyakinannya...". Semangat yang
sama termaktub dalam UUDS 1950 pasal 18 dan 43. Dalam pasal 18, disebutkan, "Setiap
orang berhak atas kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran." Pada pasal ini, klausul
yang secara eksplisit menyebutkan "kebebasan bertukar agama atau keyakinan" memang
ditiadakan, akan tetapi tidak mengurangi tendensi penekanan atas egalitarianisme keagamaan.
Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi baik di sidang-sidang DPR
maupun di Dewan Konstituante. karena menyangkut penyusunan dan penetapan Konstitusi
baru yang lebih permanen bagi masa depan Republik. Status "tujuh kata" dari Piagam Jakarta
dalam rancangan Konstitusi baru kembali dipersoalkan. Bagi golongan kebangsaan, Piagam
Jakarta yang memuat "tujuh kata" hanyalah salah satu dari dokumen sejarah yang dihasilkan
dalam perjalanan sejarah rakyat Indonesia menuju kemerdekaan, oleh karena itu, tidak bisa
dan tidak boleh menjadi sebuah sumber hukum.

Setiap golongan terjadi friksi internalnya masing-masing, namun sejauh menyangkut


persoalan dasar negara, terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan. Sejak
pelantikannya pada 10 November 1956 sampai 18 Februari 1959, persidangan Konstituante
telah berhasil mencapai banyak kesepakatan hingga mampu me- nyelesaikan 90% kerjanya.
Bahkan menyangkut dasar negara pun, Komisi I yang membahas hal ini, secara substantif
telah mencapai kerangka kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa Dasar
Negara dari konstitusi baru harus memenuhi hal sebagai berikut:

1. sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia


2. dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945
3. Musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan
penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan
4. Terjaminnya kebebasan beragama dan beribadat
5. Berisikan jaminan-jaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas,
dan keadilan sosial.
Di sisi lain, golongan kebangsaan menyatakan bahwa usaha kemerdekaan merupakan
hasil jerih-payah bersama. Selain itu, dasar Islam dan sosial-ekonomi memang tidak jelek,
tetapi keduanya belum mencakup nilai-nilai yang disepakati dalam Komisi dan tidak 107 bisa
diterima begitu saja oleh golongan agama lain di Indonesia. sebagian besar masalah
ditimbulkan oleh kekaburan dalam melihat hubungan agama, Pancasila, dan negara. Roeslan
Abdoelgani merasa perlu meluruskan, "Bagi kita adalah terang, bahwa Pancasila adalah nama
bagi kelima dasar negara. tokoh-tokoh PKI, seperti Sakirman, K.H. Dasuki Siradj, Nyoto,
Jean Torey, dan Wikana, punya alasannya ter- sendiri. Dalam pandangan mereka, formulasi
"Kemerdekaan ber- agama dan berkeyakinan hidup", memang "selain lebih bersifat ilmiah"
dan "cocok dengan pengalaman serta kebutuhan hidup", juga "lebih mempunyai jiwa yang
sesuai dengan ide orisinal Bung Karno mengenai sila Ketuhanan, yakni Ketuhanan yang
hormat- menghormati satu sama lain".

Kekuatan politik sesungguhnya secara substantif memiliki titik-temu dalam meyakini,


atau setidak- nya menghargai, pentingnya dasar Ketuhanan dalam kehidupan publik, lebih
khusus lagi dalam pengelolaan negara, Indonesia. Akan tetapi, suasana ketidaksabaran dan
kegentingan dalam atmosfer politik membuka jalan bagi Soekarno untuk membubar- kan
Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang me ngembalikan Indonesia ke UUD
1945. Dalam Dekrit itu, Presiden Soekarno sekali lagi mencoba melakukan kompromi,
dengan menyebutkan di awal Dekritnya bahwa "Piagam Jakarta men- jiwai UUD 1945 dan
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi".

PERSPEKTIF TEORETIS - KOMPARATIF

Titik kompromi dalam hubungan agama dan negara di Indonesia itu dicapai melalui
konfrontasi pemikiran yang sengit dan pengorbanan yang sulit diterima, tetapi dalam
perkembangan waktu, hal itu membawa berkah tersembunyi berupa "titik-tengah keemasan
yang memberi Indonesia prasyarat untuk menjadi negara modern demokratis. Pada
kenyataannya, hubungan agama dan negara dalam masya- rakat Barat ditandai oleh dinamika
proses negosiasi dengan hasil yang berlainan (multifaceted). Prinsip kesetaraan demokratis
dalam keagamaan belum dite- rima hingga abad ke-19, karena Orthodoksi, Katolikisme, dan
Lutheranisme memiliki prasangka yang sama: bahwa mereka yang menolak bergabung
dengan gereja tertentu dan ajarannya harus di- kucilkan dari masyarakat dan dikenakan
pelbagai hukuman. dalam suatu sistem kepartaian.
Alhasil, sekularisme tidak pernah muncul dengan menaklukkan semuanya. abad ke-20
gereja Katolik, Protestan dan Ortodoks menerima ide- ide demokrasi liberal dan hak-hak
asasi manusia yang menjamin kemerdekaan keagamaan. Dalam melihat hubungan
Kekristenan Barat dan demokrasi, Alfred Stepan juga mengingatkan setidaknya ada empat
misinterpretasi, dua diantaranya terkait langsung dengan hubungan negara dan agama.
Pertama, secara empiris, kita harus waspada terhadap pernyataan mentah mengenai adanya
"pemisahan gereja dan negara atau kenis- cayaan sekularisme. Kedua, secara normatif, kita
harus waspada ter- hadap ajaran liberal, yang merekomendasikan "pelucutan kebenaran
agama dari agenda publik".

KOREKSI TERHADAP TESIS "SEPARASI" AGAMA DAN NEGARA

Stepan menunjukkan bahwa kelatahan umum tentang keniscayaan sekularisme


(pemisahan institusi agama dan negara) bagi negara demokrasi modern tidak menemukan
bukti empiris yang kuat. Di Irlandia, Polandia, dan Belgia, perkembangan kenegaraannya
beridentifikasi dengan Katolikisme dalam menghadapi kekuatan dominan negeri tetangga
yang berbeda agama. Di Eropa secara keseluruhan, pemerintah pusat juga memberikan
subsidi negara kepada sekolah-sekolah agama seperti berlaku di Belgia, Denmark, Finlandia,
Jerman, Yunani, Islandia, Norwegia, Spanyol, Swedia, dan Swiss, selain bantuan langsung
dalam bentuk pelbagai konsesi khusus seperti diberikan di United Kingdom, Portugal, dan
Itali. Pada abad ke-20, barangkali hanya ada dua contoh kasus pemi- sahan agama dan negara
di Eropa Barat yang paling bermusuhan. Sejak 1958, pemerintah Perancis memberikan
subsidi yang substansial bagi pembiayaan sistem seko- lah dasar Katolik. "Kebanyakan
negara telah mencapai kebebasan beragama yang dinegosiasikan secara demokratis dari
intervensi negara, dan membolehkan kebebasan kelompok-kelom- pok keagamaan bukan saja
untuk beribadah secara privat, tetapi juga untuk mengorganisasikan pengelompokan dalam
civil Society maupun political society (Stepan, 2004: 8).

Dengan memerhatikan pengaturan formal (formal arrange- ments) antara agama dan
negara yang berlangsung di Eropa Barat dan Amerika Serikat, Sassoon tiba pada kesimpulan
yang berbeda dengan pandangan umum, bahwa apa yang terjadi tidak menun- jukkan indeks
pemisahan yang baik. Dengan memerhatikan trayek demokratisasi Masyarakat Eropa, Stepan
menyimpulkan bahwa kunci demokratisasi politik tersebut tidaklah terletak pada "tabir
pemisah" antara agama dan negara. ada rezim sekularis yang memisahkan agama dan negara,
seperti di Turki dan Uni Soviet, tetapi ekspresi politiknya bersifat represif. Sebaliknya, ada
negara yang memiliki gereja negara tetapi bersifat demokratis. tetapi, apa pun bentuk
penataannya, kunci menuju demokratisasi terletak pada konstruksi dan rekonstruksi politik
yang secara konstan mengembangkan apa yang disebutnya sebagai "twin tolerations"
(toleransi kembar). Tolerasi kembar adalah situasi ketika institusi agama dan negara
menyadari batas otoritasnya untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya
masing-masing. institusi-institusi agama tidak boleh memiliki rogatif instimewa secara
konstitusional yang membolehkan mereka pre- untuk memaksakan kebijakan publik atas
pemerintahan yang dipi- lih secara demokratis.

KOREKSI TERHADAP TESIS "PRIVATISASI" AGAMA

Sekularisasi dan religiosasi mengandung konsekuensi bahwa agama tidak disudutkan


hanya melulu mengurusi ruang privat, tetapi juga punya kemungkinan keterlibatan dalam
ruang publik. Sejak perang Dunia II, kehidupan agama mengembang di seantero jagad,
kecuali di Eropa Barat, negara- negara komunis, dan beberapa noktah daerah jajahan. pada
era 1980-an dan 1990-an, mulai dari politik Islam hingga teologi pembebasan Katolik, yang
membawa agama keluar dari ruang privat ke ruang publik, me- ngindikasikan bahwa yang
sedang berlangsung justru terjadinya proses deprivatisasi agama. Kekukuhan dari proposisi
"privatisasi" yang ingin menyingkir- kan agama dari kancah publik menjadi hambatan utama
dalam memahami masyarakat yang menempatkan kewajiban agama se- bagai unsur utama
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan menyokong rasa kebersamaan masyarakat.
David Hollenbach (1999) berargumen bahwa usaha untuk mengajukan teori pemisahan
agama sebagai suatu "objektif normatif" bisa dipermasalahkan.

Dengan kata lain, penyudutan agama ke ruang privat bersifat kontraproduktif karena
justru bisa memberi peluang bagi kebangkitan fundamentalisme sebagai kekuatan politik,
yang tidak tertandingi oleh wacana keagamaan lain yang berkeadaban karena terkerangkeng
di ruang privat. Ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah
ekspresi spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya, politik
sekuler memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi moral ketuhanan.

DARI SEPARASI DAN PRIVATISASI KE DIFERENSIASI


Proses pemudaran dan pemisahan per- an agama (dari negara) tidak memiliki bukti
empiris yang kuat, teori modernisasi (termasuk-sekularisasi) menyisakan satu asumsi yang
bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses "pembedaan" (differentiation). terjadi
pembedaan ranah sosial (social sphere) ke dalam ragam fungsi yang di dalamnya agama tidak
lagi menjadi pendefinisi tunggal semua realitas, yang memungkinkan bidang sekuler
menemukan tempatnya yang pas. Konsepsi "diferensiasi" juga sesungguhnya punya akar
yang kuat dalam tradisi Islam. Seperti telah dikemukakan oleh Mohammad Hatta di atas,
Islam (terutama Islam Sunni) tidak memiliki unit otoritas keagamaan perse, "Kerk"
(Hirarki/Kepemimpinan dalam gereja). Oleh karena itu, doktrin pemisahan gereja dan negara,
dengan batas yang tegas, tidak bisa diterapkan untuk konteks Islam. Ketiadaan sistem
kependetaan berarti juga tidak ada otoritas yang memiliki kewenangan untuk memutuskan
bentuk Islam resmi.

Teokrasi sejati mengandaikan adanya satu sudut pandang kebenaran dalam teologi
dan hukum agama. otonomi dan pluralitas institusi keagamaan ini menjadikan jenis negara
teokratis sulit dicapai. Namun kini, kekuasaan negara yang begitu luas dan dominan di
banyak negeri Muslim, terutama yang kondisi masyarakatnya relatif homogen, menjadikan
teologi dan hukum Islam terkooptasi dan terkontrol oleh negara. Dalam pandangan Casanova,
diferensiasi modern menjadi pe- nyangkal dari asumsi pemudaran agama, karena ternyata
berperan penting dalam menumbuhkan gairah keagamaan dalam masyarakat modern. Dalam
penilaian Mohammad Hatta (1945), "Negara teokrasi tidak memperdalam perasaan agama
atau memperkuat semangat aga- ma, melainkan mempergunakan agama untuk keperluan
negara."

Anda mungkin juga menyukai