Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Rumput Laut

Rumput laut merupakan jenis tumbuhan tingkat rendah yang belum memiliki akar, batang, dan
daun sejati. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan
thallus. Bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung, pipih,
gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya
oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler).

Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua
berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan
ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang
lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak
bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al,
1978).

Pada umumnya rumput laut tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang
selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu
mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Pertumbuhan/penyebaran rumput
laut dipengaruhi oleh toleransi fisiologi biota tersebut untuk beradaptasi terhadap faktor
lingkungan seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, tekanan dan nutrisi. Rumput
laut tumbuh membutuhkan fotosintesis untuk tumbuh sehingga rumput laut umumnya tumbuh
pada perairan dangkal dimana sinar matahari masih dapat menembus permukaan dasar laut.
Rumput laut bersifat seperti benthic yang melekatkan diri (thallus) pada substrat pasir, karang,
fragmen karang mati dll. Secara alami, rumput laut dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah
perairan Indonesia yang memiliki rataan terumbu karang. Makanan rumput laut berasal dari
aliran air yang melewatinya. Selain dapat membawa nutrisi, aliran air juga dapat mencuci
kotoran yang menempel, membantu pengudaraan, dan mencegah fluktuasi suhu air yang besar.

Indonesia memiliki 45% spesies rumput laut dunia dan merupakan produsen terbesar rumput laut
jenis cottonii. BOSSE (1928) dalam Kadi dan Genisa, (1993) menyebutkan bahwa di Indonesia
terdapat hingga 555 jenis. Dari semua jenis rumput laut tersebut, hanya sebagian saja yang telah
dimanfaatkan. Kadi dan Genisa mencatat, terdapat 55 jenis rumput laut telah dimanfaatkan di
Indonesia, sedangkan di Filipina rumput laut yang dimanfaatkan berasal dari 7 marga.
Pemanfaatan rumput laut terus berkembang, dari semula sebagai bahan obat tradisional,
kemudian dimanfaatkan di berbagai bidang industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil,
fotografi, dan pestisida. Nilai ekonomis rumput laut tergantung dari kandungan bahan koloid,
yaitu agar-agar, karaginan dan algin (Chapman dan Chapman, 1980). Kandungan koloid terdiri
dari koloid, asam dan garam, yang dapat dikelompokkan berdasarkan kelas dan jenisnya. Di
Indonesia, rumput laut yang dimanfaatkan masih terbatas sebagai bahan baku industri makanan
agar dan ekspor.

Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar dimana produksi rumput laut Indonesia
mencapai 13,7 persen. Namun demikian, dalam hal nilai, Jepang adalah produsen penting kedua
karena tingginya harga produksi Nori. Di Asia timur, sebagian besar membudidayakan rumput
laut yang untuk dikonsumsi manusia, meskipun demikian Jepang juga menggunakannya untuk
iodin dan algin. Sebaliknya, di Asia Tenggara, budidaya rumput laut didominasi oleh spesies
Euchema yang merupakan bahan dasar pembuat karaginan. Karaginan banyak digunakan sebagai
sediaan makanan, sediaan farmasi dan kosmetik sebagai bahan pembuat gel, pengental atau
penstabil (Nehen, 1987). Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
produksi rumput laut di Indonesia mencapai 4,3 juta ton pada 2011, dan ditargetkan meningkat
hingga 5,1 juta ton pada 2012.

Budidaya Rumput Laut

Meskipun jenis spesies rumput laut di alam cukup banyak, namun sebagian besar rumput laut
yang bernilai ekonomis diperoleh dari budidaya. Spesies yang banyak dibudidayakan di
Indonesia adalah jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria spp, dan Sargassum
spp. Rumput Laut Eucheuma cottonii merupakan jenis rumput laut yang paling banyak
dibudidayakan di wilayah perairan Indonesia. Hal ini didukung oleh faktor kemudahan dalam
upaya budidaya dan permintaan pasar yang tinggi. Eucheuma cottonii merupakan rumput laut
penghasil karaginan yang sebagian besar hasilnya digunakan untuk bahan baku industri kosmetik
dan farmasi. Sentra wilayah budidaya rumput laut jenis ini terdapat di Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Nusa
Tenggara Barat.
Sargassum spp merupakan jenis rumput laut yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Sargassum spp adalah jenis rumput laut penghasil alginat. Di Indonesia Sargassum spp satu-
satunya rumput laut penghasil alginat selain Turbinaria spp. Perkembangan budidaya rumput laut
jenis ini masih sangat terbatas. Oleh karena permintaannya yang masih rendah perkembangan
budidaya rumput laut jenis ini tidak sepesat rumput laut Euchema cottonii dan Gracilaria spp.

Dalam budidaya rumput laut, kesesuaian lingkungan perairan merupakan faktor penting yang
menentukan tercapainya produksi yang maksimal. Studi dan kajian daya dukung kesesuaian
perairan untuk budidaya rumput laut dan jenis substratnya sangat diperlukan sehingga dapat
ditentukan lokasi budidaya rumput laut yang mempunyai peluang terbaik. Namun demikian,
kondisi sosial masyarakat pesisir juga sangat penting dalam menunjang keberhasilan budidaya
rumput laut ini.

Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar merupakan rumput laut dari jenis Eucheuma dan
Glacillaria.

Sebagian rumput laut yang sempat berhasil dipanen masih diekspor dalam bentuk mentah
dengan nilai tambah yang rendah, tanpa tersentuh teknologi yang tinggi sehingga menjadi
produk yang penting seperti; alginat, karaginan, agar-agar dan lain sebagainya (Winarno, 1996).

2.2. Budidaya Rumput Laut


Kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
maupun luar negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dan sektor nonmigas. Maka cara
terbaik untuk tidak menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan budidaya rumput laut,
baik secara ekstensif maupun secara intensif dengan menggunakan lahan yang ada (Anugrah,
1990). Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga, dibuat potongan dengan ukuran tertentu (30- 150
gram) untuk dijadikan bibit. Bibit ini ditanam dengan cara mengikatnya pada tali nilon maupun
rakit di atas perairan dengan jarak tanam 20 cm. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan
bertambah besarnya bibit tersebut (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut Winarno (1996),
bahwa sebagian besar rumput laut Indonesia masih merupakan hasil panen alami, oleh karena itu
mutu, jumlah dan kesinambungan produksinya masih belum menentu. Mengatasi masalah
tersebut perlu dilakukan usaha pembudidayaan. Kegagalan budidaya rumput laut sering
disebabkan adanya penyakit yang dapat merusak tanaman, bahkan menyebabkan kematian.
Penyakit ini disebabkan oleh terjadinya 13 perubahan lingkungan yang eksterm (arus, suhu dan
kecerahan) sehingga bakteri mudah hidup. Karena itu monitoring lingkungan perlu dilakukan
dengan cermat (Poncomulyo et al, 2006). Budidaya rumput laut secara umum di perairan pantai
cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta penduduk padat.
Sehingga diharapkan pembukaan lahan budidaya rumput laut di perairan tersebut menjadi salah
satu alternatif terbaik untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang makin kecil, khususnya di
Pulau Jawa (Aslan, 2006). Metode rakit apung cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana
pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit
dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material.
Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang
dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam
(Anggadiredja, 2006). Menurut laporan Anggadiredja (2006), keberhasilan budidaya rumput laut
sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, metode budidaya,
suhu, arus, salinitas, kecerahan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama
pemeliharaan, hama dan penyakit.
Pembagian ini didasarkan atas pigmen yang dikandungnya (Kordi dan Ghurfan, 2011).

a. Alga Merah Alga merah (Rhodophyceae) merupakan kelas dengan spesies yang memiliki nilai
ekonomis dan paling banyak dimanfaatkan. Tumbuhan jenis ini dapat hidup di dalam dasar laut
dengan menancapkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang hidup, karang mati, cangkang
moluska, batu vulkanik ataupun kayu. Habitat atau tempat hidup umum tumbuhan jenis ini
adalah terumbu karang. Tumbuhan jenis ini hidup pada kedalaman mulai dari garis pasang surut
terendah sampai sekitar 40 meter. Di Indonesia alga merah terdiridari 17 marga dan 34 jenis serta
31 jenis diantaranya telah banyak dimanfaatkan. Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas
alga merah sebagai penghasil carrageenan (karaginofit) adalah Kappaphycus dan Eucheuma,
sedangkan yang mengandung agar-agar (agarofit) adalah Gracilaria dan Gelidium (Kordi dan
Ghurfan, 2011).

b. Alga Hijau Alga hijau (Chlorophyceae) dapat ditemukan pada kedalaman hingga 10 meter
atau lebih di daerah yang memiliki penyinaran yang cukup. Rumput laut jenis ini tumbuh
melekat pada substrat seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada juga yang
tumbuh di atas pasir. Di Indonesia rumput laut jenis ini terdapat sekitar 12 marga. Terdapat
sekitar 14 jenis telah dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi dan obat (Kordi dan Ghurfan, 2011).

c. Alga Coklat Pada perairan Indonesia terdapat sekitar 8 marga kelas alga coklat
(Phaeophyceae). Tumbuhan jenis ini merupakan kelompok alga laut penghasil algin (alginofit).
Jenis rumput laut coklat sebagai penghasil algin adalah Eucheuma sp. dan Turbinaria sp. Alga
coklat memiliki ukuran besar dan membentuk padang alga di laut lepas (Kordi dan Ghurfan,
2011).

Anda mungkin juga menyukai