Anda di halaman 1dari 19

Clinical Science Session

TUBERKULOSIS SENSITIF OBAT

Oleh :

Rawzan Abdul Aziz 1810311026


Najla Fakhriyah 2140312159

Preseptor:
dr. Fenty Anggrainy, Sp.P (K), FAPSR, FISR
dr. Dewi Wahyu Fitrina, Sp.P (K), FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, dan shalawat
beserta salam untuk Nabi Muhammad SAW, berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science Session dengan judul
“Tuberkulosis Sensitif Obat” yang merupakan salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr. M Djamil Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama ibu dr.
Fenty Anggrainy, Sp.P (K), FISR selaku dosen preseptor yang telah bersedia
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan kepada
penulis.
Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi akademisi,
dunia pendidikan, instansi terkait dan masyarakat luas. Akhir kata, segala saran
dan masukan akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 4 April 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi tertua di dunia
yang dapat ditemukan di sepanjang sejarah peradaban manusia. Hingga saat ini,
TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat bagi seluruh dunia.
Diperkirakan sepertiga dari penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. World Health Organization (WHO) pada tahun
1993 menetapkan TB sebagai suatu global emergency akibat situasi TB di dunia
yang semakin memburuk dan meningkat setiap tahunnya.1,2
Insidensi TB pada tahun 2021 diperkirakan mengenai 10,6 juta jiwa. 6 juta
pria, 3.4 juta wanita, dan 1.2 jiuta anak-anak terkena di seluruh dunia. Sekitar 1.6
juta jiwa mengalami kematian akibat TB pada tahun 2021 (meliputi 187.000
orang dengan HIV). TB berada di urutan ke-13 sebagai penyebab kematian di
seluruh dunia, dan berada di urutan ke-2 kematian akibat penyakit infeksi, setelah
COVID-19.3
Saat ini Indonesia berada di urutan kedua negara dengan penderita TB
terbanyak di dunia, setelah India. Diikuti oleh Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria,
Bangladesh, dan Republik Kongo.3
Penularan penyakit TB terjadi melalui perantara udara. Manifestasi klinis
yang dapat timbul berupa batuk berdahak lebih dari 2 minggu disertai gejala
tambahan lain seperti sesak nafas, nyeri dada, penurunan berat badan, keringat
malam, dan lain sebagainya.
Berdasarkan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis, TB dibagi menjadi
TB sensitif obat, dan TB resisten obat, sehingga terdapat perbedaan regimen
pengobatan terhadap kedua kelompok ini.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik di
bagian pulmonologi dan bertujuan mengetahui definisi, etiologi, faktor risiko,
klasifikasi, diagnosis, dan pengobatan dari tuberkulosis sensitif obat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk basil dan bersifat tahan
asam. Sebagian besar kuman TB menginfeksi parenkim paru dan sebagian lain
dapat menginfeksi organ lain seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ
ekstra paru lainnya.2
2.2 Etiologi dan Transmisi TB
Terdapat 5 spesies bakteri dari genus Mycobacterium yang berperan dalam
infeksi TB, di antaranya M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti,
dan M. canneti. Hingga saat ini M. tuberculosis merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan.
Transmisi kuman TB terjadi melalui rute udara. Tidak ditemukan hewan
sebagai agen perantara infeksi, namun M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi
yang terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna untuk kemudian
menginvasi jaringan limfe orofaring. Angka kejadian M. bovis pada manusia
sudah menurun secara signifikan di berbagai negara berkembang, dikarenakan
proses pasteurisasi susu dan strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada hewan
ternak. Infeksi pada organisme lain jarang ditemukan.
Tuberkulosis menular antar manusia lewat perantara udara, melalui percik
renik atau droplet nukleus (<5 mikron) yang keluar ketika seseorang yang
terinfeksi batuk, bersin, atau bahkan bicara. Kuman TB dapat bertahan di udara
hingga 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil (1-5 mikron), percik renik
yang terhirup ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar untuk kemudian
melakukan replikasi.
Terdapat 3 faktor yang menentukan transmisi TB:
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi

4
Dosis yang diperlukan untuk terjadinya infeksi TB adalah 1-10 basil.
Sedangkan batuk dapat menghasilkan 3.000 percik renik, dan bersin dapat
menghasilkan hingga 1 juta percik renik. Penularan TB biasanya terjadi di
ruangan yang gelap, dengan ventilasi buruk. Cahaya matahari langsung dapat
membunuh kuman TB dengan cepat. Apabila terpajan dengan kuman TB, proses
berkembangnya penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada
individu dengan sistem imun normal, 90% pajanan tidak akan berkembang
menjadi penyakit TB dan hanya 10% yang akan menjadi kasus TB aktif. Orang
dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif. 50-60%
orang dengan HIV-positif akan mengalami penyakit TB aktif. Kondisi medis lain
yang dapat menekan sistem imun di antaranya adalah silikosis, diabetes melitus,
dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
2.3 Faktor Risiko
Beberapa kelompok orang yang berisiko lebih tinggi terkena TB adalah:
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit immunocompromised lain
2. Orang yang mengkonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan penderita TB aktif yang infeksius
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi TB
8. Petugas kesehatan
2.4 Patogenesis
Patogenesis TB berkaitan erat dengan respon imun dari individu host.
Pada sebagian besar individu, sistem imun akan merespon invasi patogen TB
secara adekuat, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya infeksi.
Secara paradoks dikatakan bahwa sebagian besar kerusakan jaringan justru
berasal dari respon imun inang, misalnya pada kejadian nekrosis perkijuan dan
kavitas pada pasien TB.
A. Patogenesis tuberkulosis primer
Droplet tuberkulosis yang terinhalasi dalam jumlah sedikit akan
terdeposisi pada saluran nafas dan segera difagosit dan dicerna oleh sistem

5
imun non-spesifik seperti makrofag. Namun jika jumlah kuman TB
melebihi kemampuan makrofag untuk memfagosit, kuman TB dapat
bertahan dan berkembang biak secara intraseluler di dalam makrofag
sehingga menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang terlokalisasi. Kuman
ini akan keluar dari makrofag saat makrofag mati, yang akan direspon
oleh sistem imun dengan membentuk granuloma sebagai barrier area yang
terinfeksi. Jika respon imun tidak dapat mengontrol infeksi ini, maka
barrier ini akan dapat ditembus oleh kuman TB. Kuman TB kemudian
dapat tersebar ke jaringan dan organ lain melalui sistem limfatik dan
pembuluh darah.
Kuman TB yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di
jaringan paru dan membentuk suatu sarang pneumoni yang disebut
sebagai fokus primer. Fokus primer ini dapat timbul di bagian mana saja
dala paru. Dari fokus primer akan terjadi peradangan kelenjar getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan berlanjut hingga ke hilus (limfangitis
regional. Fokus primer bersama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer kemudian akan mengalami
salah satu kejadian sebagai berikut:
1. Sembuh tanpa meninggalkan cacat (restitution and integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (sarang Ghon, garis
fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar melalui:
a) Perkontinuitatum, contohnya epituberkulosis, suatu peradangan
pada lobus yang mengalami atelektasis sebagai akibat adanya
penekanan bronkus oleh kelenjar hilus yang membesar.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya, atau tertelan.
c) Penyebaran secara limfogen ke KGB sekitar dan dapat
menyebabkan limfadenitis TB.
d) Penyebaran secara hematogen, berkaitan dengan sistem imun
tubuh, jumlah, dan virulensi kuman. Penyebaran jenis ini dapat
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis

6
TB, typhobacillosis Landouzy, dan dapat menimbulkan TB ekstra
paru. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan:
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
meningoensefalitis TB, tuberkuloma), atau
 Meninggal
2.4 Klasifikasi
Tujuan klasifikasi kasus tuberkulosis adalah:
− Meningkatkan kualitas pencatatan dan pelaporan
− Menentukan panduan obat yang tepat
− Menstandardisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan
TB
− Mempermudah evaluasi proporsi penyakit berdasarkan lokasi, hasil
pemeriksaan penunjang, dan hasil pengobatan
− Mempermudah analisis kohort
− Mempermudah evaluasi keberhasilan program TB pada berbagai tingkat
Terduga TB : adalah seseorang dengan keluhan atau gejala klinis mendukung TB.
Kasus TB :
a) Kasus TB definitif yaitu pasien TB dengan ditemukan kompleks
Mycobacterium tuberculosis yang diidentifikasi dari spesimen klinik
(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur, atau
b) Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB
sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati
dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.
Kasus TB dibagi menjadi dua klasifikasi utama, yaitu:
 Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB paru BTA positif
 Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
 Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif
 Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik BTA,
biakan, maupun tes cepat dari sampel jaringan yang terkena
 TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis

7
 Pasien TB terdiagnosis secara klinis
 Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB
 Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
 Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis namun tanpa konfirmasi bakteriologis
 TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.
- Klasifikasi berdasarkan lokasi infeksi:
 Tuberkulosis paru : TB yang berlokasi di parenkim paru. Pasien yang
menderita TB paru dan ekstra paru secara bersamaan diklasifikasikan sebagai
TB paru.
 TB ekstra paru : TB yang terjadi pada organ selain paru. Jika terdapat
beberapa TB ekstra paru di organ yang berbeda, pengklasifikasian dilakukan
dengan menyebutkan organ yang terdampak TB terberat.
- Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
 Kasus baru TB : belum pernah mendapatkan OAT, atau sudah pernah
menelan OAT dengan total dosis <28 hari
 Kasus yang pernah diobati TB:
 Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB
 Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir
 Kasus putus obat: minimal 2 bulan berturut-turut
 Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui
- Klasifikasi berdasarkan hasil uji kepekaan obat
 TB Sensitif Obat (TB-SO)
 TB Resistan Obat (TB-RO)
 Monoresistan: terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
 Resistan Rifampisin (TB-RR) : dengan/tanpa resistensi OAT lain

8
 Poliresistan: >1 jenis OAT lini pertama, selain Isoniazid dan Rifampisin
 Multi drug resistant (TB-MDR): terhadap Isoniazid dan Rifampisin
bersamaan
 Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR): memenuhi kriteria TB MDR
dan resistan terhadap minimal satu florokuinolon
 Extensively drug resistant (TB-XDR): TB MDR sekaligus resistan OAT
golongan florokuinolon dan minimal salah satu OAT grup A
(levofloksasin, moksifloksasin, bedakuilin, atau linezolid)
- Klasifikasi berdasarkan status HIV;
 TB dengan HIV positif
 TB dengan HIV negatif
 TB dengan status HIV tidak diketahui

2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya
A. Gejala klinis
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi.Pada TB paru terdapat
gejala utama berupa batuk berdahak ≥ 2 minggu. Adapun gejala tambahan
meliputi :
− batuk darah
− Sesak nafas
− Badan lemas
− Penurunan nafsu makan
− Penurunan berat badan yang tidak disengaja
− Malaise
− Berkeringat di malam hari tanpa kegiatan fisik
− Demam subfebris lebih dari satu bulan
− Nyeri dada
Adapun gejala-gejala di atas dapat tidak muncul secara khas pada pasien
dengan koinfeksi HIV

9
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran KGB yang lambat dan tidak
nyeri. Pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri dada pada
sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak ditemukan
kelainan. Kelainan pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks, dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas bronkhial, amforik, suara nafas
melemah, ronkhi basah kasar/halus, dan/atau tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Perkusi menjadi redup atau pekak, auskultasi ditemukan suara
nafas melemah sampai menghilang pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis terlihat pembesaran KGB, tersering di
daerah leher, namun harus dipikirkan kemungkinan metastasis tumor. Kadang
juga terdapat pembesaran KGB di daerah ketiak. Pembesaran KGB tersebut dapat
menjadi abses dingin atau cold abscess.

C. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jaringan
halus/BJH). Pengambilan dahak dilakukan sebanyak 2 kali dengan minimal 1 kali
dahak pagi hari. Untuk pemeriksaan TCM, pemeriksaan dahak cukup 1 kali.
Pemeriksaan spesimen dapat dilakukan dengan cara:
 Mikroskopis
 Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin

10
Gambar 2.1 Basil tahan asam pada pemeriksaan mikroskopis a)pewarnaan
Ziehl-Nielsen dan b) pewarnaan auramin-rhodamin.7

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : -
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah yang
ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : +
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++
 Biakan
Merupakan pemeriksaan baku emas. Dilakukan menggunakan dua jenis
medium biakan, yaitu media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair
(MGIT/Mycobacteria Growth Indicator Tube)

Gambar 2.2 Biakan kuman M.Tb pada media padat Lowenstein-Jensen8

11
Gambar 2.3 Biakan kuman M Tb pada media cair MGIT9
 Tes Cepat Molekular (TCM) ; GeneXpert MTB
Merupakan uji amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana
deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin. Hasil pemeriksaan dapat diketahui
dalam waktu kurang lebih 2 jam
 Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs)
Merupakan alat untuk mendiagnosis infeksi M Tb termasuk TB laten
dengan mengukur respon imun tubuh terhadap M. tuberkulosis. Leukosit pasien
yang terinfeksi TB akan menghasilkan interferon gamma apabila berkontak
dengan antigen dari M tuberkulosis. IGRA tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB aktif, tetapi hanya digunakan untuk mendiagnosis TB laten.

D. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah rontgen toraks dengan
proyeksi posteri anterior (PA). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif adalah:
- Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak
berawan/nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
- Fibrotik
- Kalsifikasi

12
- Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung)
- Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan fibrosis parenkim paru.

Gambar 2.4 Gambaran tuberkulosis pada rontgen toraks PA a)bercak milier,


b)multi kavitas, dan c) luluh paru10,11

E. Pemeriksaan penunjang lain


1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien dengan efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis
adalah uji Rivalta positif, kesan cairan eksudat, terdapat sel limfosit dominan,
dan jumlah glukosa rendah
Pemeriksaan adenosine deaminase (ADA) dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis efusi pleura TB. ADA adalah enzim yang
dihasilkan oleh limfosit dan berperan dalam metabolisme purin. Kadar ADA
meningkat pada cairan eksudat yang dihasilkan pada efusi pleura TB.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
TB. Sampel jaringan dapat diperoleh melalui biopsi dari kelenjar getah
bening, pleura, jaringan paru, lesi organ di luar paru yang dicurigai TB atau
juga otopsi.

13
3. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi tuberkulosis.
Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada:
- pasien dengan HIV,
- riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB aktif,
- pasien dengan gambaran khas TB pada rontgen toraks,
- pasien dengan imunosupresi,
- pasien dengan terapi kortikosteroid jangka panjang
- pasien dengan gagal ginjal stadium akhir
Indurasi ≥10 mm dianggap positif pada:
- pasien yang tinggal di atau datang dari (<5 tahun) negara dengan
prevalensi TB tinggi,
- pengguna obat suntik,
- pasien yang tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi,
- staf laboratorium mikrobiologi,
- pasien dengan risiko tinggi (DM, gagal ginjal, sindrom malabsorpsi
kronik), dan
- balita
Indurasi ≥15 mm dianggap positif pada semua pasien

Gambar 2.5 Pemeriksaan uji tuberkulin.12

2. 6 Penatalaksanaan
1. Tahap awal (fase intensif)
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kumanyang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman

14
yang mungkin sudah resistn sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.5
2. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kumanyang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama
4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obatdiberikan setiap hari.5

Pemberian pengobatan TB harus memperhatikan prinsip pengobatan TB yang


adekuat sebagai berikut :

1. Pengobatan yang diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi minimal
empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT.
2. OAT diberikan dalam dosis yang tepat.
3. OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO)
hingga masa pengobatan selesai.
4. OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi tahap awal/
fase intensif dan tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan

Pengobatan tuberkulosis standar untuk TB-SO


1. Pasien Baru
2. Pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama
Tabel 1. Dosis OAT lini pertama untuk dewasa dengan TB-SO
Dosis harian
Dosis(mg/kgB Maksimum (mg)
B)
Isoniazid 5 (4–6) 300
Rifampisin 10 (8–12) 600
Pirazinamid 25 (20–30)
Etambutol 15 (15–20)

15
Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru5,6
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT (TB-SO) kecuali
1. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid
2. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus
baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama
dengan kasus sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan
obat sejak awal pengobatan dan sementara menunggu hasil uji kepekaan
obat maka paduan obat yang berdasarkan uji kepekaan obat kasussumber
sebaiknya dimulai
Paduan OAT untuk TB-SO di Indonesia adalah 2RHZE/4RH. Pada
tahap awal (fase intensif), pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) selama 2 bulan
dilanjutkan dengan pemberian Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) selama 4
bulan selama tahap lanjutan.5 Jika tidak tersedia paduan obat harian, dapat
dipakai paduan 2RHZE/4R3H3.4
Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah
dikombinasikan dalam obat kombinasi dosis tetap (KDT). Satu tablet KDT
RHZE untuk fase intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg,
Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg. Sedangkan untuk fase lanjutan
yaitu KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg dan Isoniazid 75 mg diberikan
setiap hari (atau bila tidak tersedia 3 kali seminggu). Jumlah KDT yang
diberikan dapat disesuaikan dengan berat badan pasien. Secara ringkas,
perhitungan dosis pengobatan TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada
tabel berikut.5
BB (kg) KDT RHZE KDT RH (150/75)
(150/75/400/275)
30–37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38–54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
≥ 55 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

16
Paduan obat standar untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB-
SO/OAT lini pertama
Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji
kepekaan OAT pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan
metode cepat atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional
baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT).4

Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat


berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka
hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien. Bila laboratorium
hanya dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau
padat yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan
maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT lini pertama sambil
menunggu hasil uji kepekaan obat. Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka
pasien TB dengan riwayat pengobatan diberikan OAT lini 1 sambil dilakukan
pengiriman bahan untuk biakan dan uji kepekaan, selain itu perlu diperhatikan
efek samping yang dapat ditimbulkan akibat OAT seperti yang terlihat pada
gambar di bawah.4

17
Gambar 2.6 Tatalaksana terhadap efek samping akibat OAT6
2.7 Prognosis
Tergantung dari perkembangan terapi bisa sembuh dalam pengobatan
tanpa putus dan bisa juga kambuh kembali dalam beberapa kasus menjadi
TB-MDR dan berbagai efek yang dapat ditimbulakn pada tubuh tergantung
organ lainnya yang berkemungkinan dapat diserang oleh M. TB sehingga
prognosis berdasarkan ad fungsionam, ad sanasionam dan ad vitam adalah
dubia ad bonam.4-6

18
DAFTAR PUSTAKA

1. International Standard for Tuberculosis (ISTC) edisi ke-3. 2014


2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2020.
Jakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
3. World Health Organization. Tuberculosis. In https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/tuberculosis. diakses pada 2 April 2023
4. PDPI. Tuberkulosis. Published online 2021
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2020. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis.
6. PDPI. Paduan umum praktik klinis penyakit paru dan pernafasan, 2021
7. Adam J. Caulfield, Nancy L. Wengenack, Diagnosis of active tuberculosis
disease: From microscopy to molecular techniques, Journal of Clinical
Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases. Vol 4. 2016:33-43
8. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9e/M-tuberculosis-on-
Lowenstein-Jensen.jpg diakses 8 April 2023
9. Tarek S. Essawy, Amal M. Saeed, Nehad A. Fouad, Comparative study
between using Lowenstein Jensen, Bio-FM media and mycobacteria growth
indicator tube (MGIT) system in identification of Mycobacterium tuberculosis,
Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 63 (2). 2014:377-84
10. Learning Radiology. Tuberculosis
http://www.learningradiology.com/notes/chestnotes/tbpage.htm#Link638099C0
diakses 8 April 2023
11. Radiopaedia. Tuberculosis summary.
https://radiopaedia.org/articles/tuberculosis-summary?lang=us diakses 8 April
2023
12. Varona Porres, D., Persiva, O., Pallisa, E. et al. Radiological findings of
unilateral tuberculous lung destruction. Insights Imaging 8, 271–277 (2017).

19

Anda mungkin juga menyukai