Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN TERAPI POLA DIET PADA PERUBAHAN KADAR

GULA DARAH PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS


DI RS PERMATA CIBUBUR

MINI PROPOSAL
NAMA : SEPTIYANA INDAH PRAPTIWI
NPM : 225139028

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang kenapa penelitian ini diambil dan tujuan yang diinginkan
peneliti dalam penelitian ini.

1.1 Latar Belakang


Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di Rumah Sakit (Kemenkes, 2018).
Diabetes adalah penyakit Menahun ( kronis ) berupa gangguan metabolic yang ditandai
dengan kadar gula darah yang melebihi normal. Penyebab kenaikan gula darah tersebut
menjadi landasan pengelompokkan jenis diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 1 disebabkan
kenaikan kadar gula darah karena kerusakan sel beta pancreas sehingga produksi insulin
tidak ada sama sekali. Insulin adalah hormone yang dihasilkan oleh pancreas untuk mencerna
gula dalam darah. Penderita diabetes tipe ini membutuhkan asupan insulin dari luar
tubuhnya. Diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan kenaikan gula darah karena penurunan
sekresi insulin yang rendah oleh kelenjar pancreas. Diabetes gestasional ditandai dengan
kenaikan gula darah pada selama masa kehamilan, gangguan ini biasanya terjadi pada
minggu ke- 24 kehamilan dan kadar gula darah akan kembali normal setelah persalinan ( info
Datin, 2020 ).
Penegakkan diagnosa diabetes mellitus dilakukan dengan pengukuran kadar gula darah.
Pemeriksaan kadar gula darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan secara enzimatik dengan
menggunakan plasma darah vena. Kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi 4 hal yaitu :
pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori selama minimal 8 jam, pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah tes
toleransi glukosa oral ( TTGO ) dengan beban glukosa 75 gram, pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik, pemeriksaan Hba1C ≥ 6,5 % dengan
menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glychohaemoglobin
Standardization Program ( NGSP ). Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal
maupun kriteria diabetes mellitus maka di golongkan ke dalam kelompok pradiabetes yang
terdiri dari toleransi glukosa terganggu ( TGT ) dan glukosa darah puasa terganggu ( GDPT ).
GDPT terjadi ketika hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100 – 125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam < 140 mg/dl. TGT terpenuhi jika hasil
pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa < 100 mg/dl ( info Datin, 2020).
Diabetes tidak hanya menyebabkan kematian premature di seluruh dunia. Penyakit ini
juga menjadi penyebab utama kebutaan, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Organisasi
International Diabetes Federation ( IDF ) memperikirakan sedikitnya terdapat 463 juta orang
pada usia 20 – 79 tahun di dunia menderita diabetes pada tahun 2019 atau setara dengan
angka prevalensi sebesar 9,3 % dari total penduduk pada usia yang sama. Berdasarkan jenis
kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2019 yaitu 9 % pada perempuan
dan 9,65 % pada laki laki. Prevalensi diabetes diperkirakan meningkat seiring penambahan
umur penduduk menjadi 19,9 % atau 111, 2 juta orang pada umur 65 – 79 tahun. Angka
diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun
2045 ( info Datin, 2020 ).
Negara di wilayah Arab – Afrika Utara dan Pasifik Barat menempati peringkat Pertama
dan ke 2 dengan prevalensi diabetes pada penduduk umur 20 – 79 tahun tertinggi diantara 7
regional di dunia yaitu sebesar 12 % dan 11,4 % ( info Datin, 2020 ).
Wilayah Asia Tenggara menempati peringkat ke 3 dengan prevalensi sebesar 11,3 %.
IDF juga memproyeksikan jumlah penderita diabetes pada penduduk umur 20 – 79 tahun
pada beberapa Negara di dunia yang telah mengidentifikasi 10 negara dengan jumlah
penderita tertinggi. Cina dan India menempati urutan 3 teratas dengan jumlah penderita 116,4
juta dan 77 juta ( Info Datin, 2020 )
Indonesia berada di peringkat ke 7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita terbanyak
yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia menjadi satu satunya Negara di Asia Tenggara pada daftar
tersebut, sehingga dapat di perkirakan besarnya kontribusi Indonesia terhadap prevalensi
kasus diabetes di Asia Tenggara. Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ) yang dilaksanakan
pada tahun 2018 melakukan pengumpulan data penderita diabetes mellitus pada penduduk≥
15 tahun. Kriteria diabetes mellitus pada Riskesdas 2018 mengacu pada konsensus
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia ( PERKENI ) yang mengadopsi kriteria American
Diabetes Association (ADA ). Menurut kriteria tersebut, diabetes mellitus di tegakkan bila
kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl atau glukosa darah 2 jam pasca pembebanan ≥ 200
mg/dl atau glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala sering lapar, sering haus, sering
buang air kecil dan dalam jumlah banyak, berat badan turun. Hasil Riskesdas 2018
menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter
pada umur ≥ 15 tahun sebesar 2 %. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
prevalensi diabetes mellitus pada penduduk ≥ 15 tahun pada hasil Riskesdas tahun 2013
sebesar 1,5 %. Namun, prevalensi diabetes mellitus menurut hasil pemeriksaan glukosa darah
meningkat dari 6,9 % pada tahun 2013 menjadi 8,5 % pada tahun 2018. Angka ini
menunjukkan bahwa baru sekitar 25 % penderita diabetes yang mengetahui bahwa dirinya
menderita diabetes ( Info Datin, 2020).
Hampir semua provinsi menunjukkan peningkatan prevalensi pada tahun 2013 – 2018,
kecuali Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdapat 4 provinsi dengan prevalensi tertinggi pada
tahun 2013 dan 2018 yaitu D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan
Timur. Terdapat beberapa provinsi dengan peningkatan prevalensi tertinggi sebesar 0,9 %
yaitu Riau, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, dan Papua Barat. Di DKI Jakarta sendiri
menunjukkan prevalensi peningkatan kasus diabetes mellitus sebasar 3,4 % pada tahun 2018
( Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI, 2019 ).
Terapi Pola Diet merupakan bagian penting dari penatalaksanaan diabetes secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim ( dokter, perawat, ahli gizi, pasien serta keluarganya ( Kemenkes RI, 2022 ). Pengelolaan
diet oleh penderita penting dilakukan untuk meningkatkan pengendalian berat badan dan
kontrol metabolik. Namun demikian, bagi sebagian besar penderita diabetes, pengaturan diet
merupakan komponen pengelolaan mandiri yang sulit dilakukan ( ADA, 2020 ). Pengelolaan
diet diabetes yang baik berdampak pada penurunan berat badan dan terbukti secara signifikan
dapat meningkatkan kontrol glikemik dan trigliserida serta mengurangi kebutuhan regimen
pengobatan sehingga mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup ( ADA, 2021 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan mandiri diet diabetes adalah
sosiodemografi, psikososial, serta kondisi yang berhubungan dengan penyakit. Faktor
psikososial, diantarnya adalah pengetahuan, motivasi, koping, self-efficacy, distress dan lain-
lain merupakan faktor yang dapat dimodifikasi melalui berbagai intervensi yang disusun
sedemikian rupa. Sedangan faktor sosiodemografi yang merupakan faktor predisiposisi
pembentukan perilaku yang dapat mempengaruhi pengelolaan mandiri diet diabetes adalah
usia , jenis kelamin, status sosial ekonomi, status perkawinan dan etnisitas. Penderita diabetes
usia tua menunjukkan kemampuan pengelolan mandiri diabetes yang buruk. Usia tua
cenderung mempunyai selfefficacy yang lebih rendah sehingga menyebabkan penurunan
kemampuan dalam pengelolaan diet diabetes. Penderita diabetes perempuan menunjukkan
kesulitan dalam melakukan pengelolaan diet diabetes. Status sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan rendah menyebabkan keterbatasan dalam akses pelayanan kesehatan sehingga
dapat meningkatkan masalah dalam pengelolaan diet. Status perkawinan juga dapat
berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan diet yang dihubungkan dengan adanya
dukungan dari pasangan hidup. Selain itu, etnisitas juga akan mempengaruhi preferensi jenis
makanan yang dikonsumsi, pengelolahan, dan kebiasaan dan budaya makan sehingga dapat
mempengaruhi diet penderita diabetes (Z. Xie, K. Liu, C. Or, J. Chen, M. Yan, and H. Wang,
2020).
Pengaturan pola makan pada penderita diabetes mellitus ditujukan dengan mengurangi
asupan gula dan lemak akan menurunkan pemasukan glukosa dalam tubuh, sehingga
pemakaian energi dalam tubuh akan mengambil cadangan energy yang tersimpan. Jika
glukosa yang digunakan diubah menjadi energy, akan menurunkan kadar glukosa dalam
darah. Sumber makanan dan minuman yang perlu di hindari pada penderita diabetes mellitus
adalah makanan dan minuman yang mengandung gula tinggi seperti kental manis, sirup
tinggi gula, aneka kue yang menggunakan tinggi gula serta aneka makanan yang
mengandung indeks glikemik yang tinggi dan menaikkan kandungan gula darah (Permatasari
TAE, Chadirin Y, 2019 ).
Penerapan pola diet menjadi solusi yang tepat dalam penanganan diabetes melitus dimana
jumlah kalori ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Penerapan ‘isi piringku’ setiap kali
konsumsi makan juga menjadi penting pada penderita diabetes melitus dan menerapkan 4
(empat) pilar pola diet yaitu mengkonsumsi makanan beraneka ragam dan bergizi seimbang
dengan membatasi asupan gula sebanyak 4 sendok makan (50 gram) per orang per hari,
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, memantau berat badan secara teratur, dan
melakukan aktifitas fisik. Studi sebelumnya melaporkan bahwa terdapat bermacam tipe diet
yang dapat diterapkan pada penderita diabetes melitus, salah satunya adalah diet mediterania
yang menganjurkan konsumsi minyak zaitun, ikan, sayur mayur, kacang-kacangan, dan buah
buahan. Studi lainnya melaporkan bahwa diet yang dianjurkan adalah diet keto, yaitu diet
rendah karbohidrat dan tinggi asam lemak. Hal ini ditujukan dengan konsumsi glukosa yang
rendah, maka asam lemak dari keto akan mengambil alih glukosa sebagai sumber tenaga
(Blagosklonny M V, 2019 ).
Bagi penderita diabetes mengharuskan adanya perubahan perilaku terutama pola makan.
Studi yang dilakukan oleh Nowakowski, et al pada tahun 2020 di polandia pada 124
penderita diabetes tipe I dan diabetes tipe 2 menunjukkan bahwa lebih dari 60 % responden
menyatakan mulai mengonsumsi makanan lebih bergizi dan teratur (Nowakowski, et al, 2020
).

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pasien
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai