Anda di halaman 1dari 4

Der Wille zur Macht: Nietzsche dalam Problematik Reason Vs Sense

Prelogomena
Reason (nalar) dan sense (rasa) adalah dua aspek yang
sangat penting dalam diri semua manusia. Keduanya
memiliki peran yang sangat signifikan dalam berbagai
konteks kehidupan. Mereka selalu terlibat dalam
berbagai upaya seperti pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Hal ini
terlihat dengan jelas jika kita melihat peran kedua
aspek ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya,
ketika memiliki konflik dengan teman, anggota
keluarga, atau pasangan, kita menggunakan nalar
(reason) untuk memahami akar masalah, berargumen
dengan jelas, dan mencari solusi yang masuk akal.
Namun, dalam persoalan itu kita juga mengandalkan
rasa (sense) untuk memahami perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, serta untuk menilai
apakah hubungan tersebut masih sehat. Oleh karena itu, kita tidak dapat menafikan peran kedua
unsur ini dalam pembentukan jati diri kita sebagai manusia.

Nalar dan Rasa: Selayang Pandang


Nalar dan rasa sudah menjadi bahan perbincangan yang betul-betul
menarik perhatian dalam sejarah umat manusia terutama dalam
sejarah filsafat. Filsafat Barat sejak Plato dan Aristoteles hingga
filsuf modern dan kontemporer sangat menekankan nalar atau
rationalitas. Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai: “ζῷον
λόγοϛ ἔχων” atau “Zoon logon echon”, makhluk hidup yang
mempunyai logos”. Thomas Aquinas menerjemahkan ke dalam
bahasa Latin: “Animal rationale” atau “Makhluk hidup yang
berakal budi”.1 Descartes, di lain pihak terkenal dengan pernyataan
"Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada) yang
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk berpikir atau memiliki rasionalitas. Ketiga
contoh di atas kiranya bisa mewakili sejarah filsafat rasionalis yang
telah bergulir kurang lebih selama 2000-an tahun.
Rasionalitas, sebagai salah satu elemen yang sangat penting bagi hidup manusia pada hakikatnya
terkait dengan penalaran, analisis, dan logika. Ia sering dianggap sebagai fitur yang membedakan
manusia dari makhluk lain di planet ini. Rasionalitas adalah kemampuan kita untuk menggunakan
akal sehat, berpikir kritis, dan mengambil keputusan yang didasarkan pada bukti dan argumen yang

1
Leo Kleden, Aku Menyadari Diri dan Yang-Lain sebagai Substansi dan Subjek (Manuscrip perkuliahan yang diberikan
dalam kuliah Filsafat Manusia di IFTK Ledalero, 2023), hlm. 28.

onessimvsfebryan 1
kuat.2 Dalam sejumlah situasi, seperti dalam konteks ilmiah atau dalam konteks pengambilan
keputusan penting yang membutuhkan penilaian objektif, rasionalitas sering dianggap sebagai
panduan yang lebih tepat.
Rasa atau sense, di lain matra, punya perbedaan mencolok dengan nalar. Jika dibandingkan dengan
nalar, dalam sejarah filsafat, banyak filsuf memang tidak menyebut perasaan sebagai salah satu ciri
khas manusia sebagai subjek, karena perasaan ada juga pada hewan. Pada hewan terdapat rasa seperti
rasa lapar dan haus, rasa panas dan dingin. Kita sebagai manusia tentu juga memiliki perasaan seperti
tadi. Namun, manusia memiliki keistimewaan yang lebih dari itu. Sejatinya terdapat perasaan yang
lebih luhur, yang memang khas manusiawi, yaitu rasa estetis, rasa tanggung jawab, rasa solider, rasa
religius, dsb.3 Dalam dunia akademis, kita menyebut “rasa” sebagai sentimentalitas.
Sentimentalitas, yang kita tahu, sering kali dikaitkan dengan emosi, perasaan, dan intuisi, juga
memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan manusia. Sentimentalitas mencakup kemampuan
kita untuk merasakan, mencintai, dan memahami aspek-aspek non-rasional dalam kehidupan, seperti
cinta, kasih sayang, empati, dan nilai-nilai moral. 4 Dalam situasi-situasi tertentu yang membutuhkan
hal-hal di atas, sentimentalitas adalah hal yang paling dibutuhkan.

Problematik Reason Vs Sense


Reason dan sense tidak selamanya sejalan. Keduanya sering kali berhadapan satu sama lain dalam
berbagai konteks kehidupan. Contohnya dapat
dilihat dari dunia perpolitikan dan pengambilan
kebijakan publik di pemerintahan. Dalam dunia
politik dan pemerintahan, terkadang ada
pertentangan antara tindakan yang diambil atas
dasar rasionalitas, seperti kebijakan yang
berdasarkan data dan analisis ekonomi, dengan
tindakan yang dipengaruhi oleh tekanan
sentimental atau opini publik. Hal ini dapat dilihat
dari kasus konkret seputar pembangunan reklamasi Teluk Jakarta beberapa tahun lalu. Dalam kasus
itu, terdapat pertentangan antara yang mendukung reklamasi dan yang menolak reklamasi tersebut.
Sebagaimana yang dilansir dari laman Republika.com, para pendukung reklamasi ingin
melaksanakan proyeknya untuk mengatasi masalah banjir, meningkatkan kualitas hidup, dan
membangun kawasan yang modern. Alasan ini mencerminkan pertimbangan rasionalitas, karena
masalah banjir di Jakarta adalah isu serius yang memerlukan tindakan nyata.5
Namun, rencana ini dianggap kontroversial oleh pihak yang menolak reklamasi. Mereka
menganggapnya kontroversial karena dampak lingkungan yang besar dan sentimen masyarakat yang
kuat terhadap Teluk Jakarta sebagai bagian penting dari identitas kota tersebut. Banyak aktivis
2
Paul Moser, "Rationality" dalam Donald Borchert (ed.), Macmillan Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition (New
York: Macmillan, 2006).
3
Leo Kleden, Op. Cit., hlm. 27.
4
Merriam-Webster, “Sentimental”, dalam Merriam-Webster.com Dictionary,
https://www.merriam-webster.com/dictionary/sentimental, diakses pada 22 September 2023.
5
Bilal Ramadhan, Pro dan Kontra Warga DKI Soal Reklamasi Pantai Jakarta, dalam Republika News (31/10/17),
https://news.republika.co.id/berita/oynbmf330/pro-dan-kontra-warga-dki-soal-reklamasi-pantai-jakarta, diakses pada 22
September 2023.

onessimvsfebryan 2
lingkungan dan masyarakat lokal yang memiliki
ikatan sentimental yang kuat dengan Teluk Jakarta
dan merasa bahwa reklamasi ini akan merusak
ekosistem laut, merugikan nelayan lokal, dan
merusak warisan budaya.6 Kontroversi ini
menciptakan pertentangan antara rasionalitas
(dalam hal penanganan banjir dan pembangunan
ekonomi) dan sentimentalitas (melindungi
lingkungan dan warisan budaya). Kebijakan
publik yang dipengaruhi oleh rasionalitas akan
cenderung mempertimbangkan manfaat jangka panjang dalam hal infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi, sementara kebijakan yang dipengaruhi oleh sentimentalitas akan lebih fokus pada
pelestarian lingkungan dan warisan budaya.
Perdebatan tentang mana yang seharusnya menjadi panduan utama dalam hidup, rasionalitas atau
sentimentalitas, telah menjadi topik yang hangat dalam sejarah pemikiran manusia. Terlalu fokus
pada rasionalitas saja dapat mengabaikan dimensi emosional yang kaya dalam pengalaman manusia.
Terlalu fokus pada sentimentalitas saja juga dapat mengabaikan dimensi rasionalitas yang sangat
dibutuhkan oleh kita semua. Pada hakikatnya, perdebatan antara rasionalitas dan sentimentalitas
melibatkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendalam. Apakah manusia seharusnya mengikuti
akal sehat dan bukti ilmiah dalam mengambil keputusan, atau apakah seharusnya mereka lebih
mengandalkan perasaan dan intuisi mereka? Bagaimana kedua aspek ini berinteraksi satu sama lain,
dan apakah mereka harus selalu berlawanan atau bisa saling melengkapi?
Salah satu pandangan dalam perdebatan ini adalah bahwa kedua aspek ini seharusnya tidak saling
bersaing, tetapi harus saling melengkapi. Dalam pengambilan keputusan, rasionalitas dapat
memberikan kerangka kerja yang kuat, sementara sentimentalitas dapat memberikan arah moral dan
motivasi. Rasionalitas dapat membantu kita mengevaluasi konsekuensi dari tindakan kita, sementara
sentimentalitas dapat memberikan koneksi emosional yang diperlukan untuk merasakan dampaknya
pada orang lain.7
Namun, ada juga pandangan yang berpendapat
bahwa terlalu banyak rasionalitas dapat
menghasilkan kehidupan yang dingin dan tidak
manusiawi, sementara terlalu banyak
sentimentalitas dapat membuat keputusan yang
emosional dan tidak berdasar. Oleh karena itu,
penting untuk mencari keseimbangan yang tepat
antara kedua aspek ini dalam berbagai situasi.
Dalam banyak kasus, pertimbangan rasionalitas
dan sentimentalitas sangat bergantung pada
konteks dan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya,
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, rasionalitas sering menjadi panduan utama karena keputusan
yang didasarkan pada bukti empiris dan logika yang kuat dapat menghasilkan penemuan-penemuan

6
Ibid.
7
Richard Rorty, “Human Rights, Rationality, and Sentimentality” dalam Truth and Progress: Philosophical Papers
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 180-182.

onessimvsfebryan 3
yang signifikan. Namun, dalam hubungan antar manusia, nilai-nilai sentimentalitas seperti empati
dan cinta sering kali lebih berharga dalam membangun hubungan yang sehat dan bermakna.8

Der Wille zur Macht: Tawaran Nietzsche atas Problematik Reason Vs Sense
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19, memandang rasionalitas dan sentimentalitas
dari perspektif yang cukup unik. Dia sering mengecam rasionalitas tradisional yang dia lihat sebagai
pembungkaman dan penekanan terhadap ekspresi individu yang penuh gairah. Nietzsche
berpendapat bahwa rasionalitas sering digunakan oleh masyarakat untuk menindas keinginan dan
insting alamiah manusia.9
Di sisi lain, Nietzsche juga
merasa bahwa sentimentalitas,
terutama dalam bentuk moralitas
Kristen yang dia kritik, adalah
hasil dari penekanan pada emosi
dan penindasan insting yang
lebih kuat.10 Baginya,
sentimentalitas sering digunakan
sebagai sarana untuk
mengendalikan manusia dan
memunculkan rasa bersalah.11
Nietzsche kemudian
mengusulkan gagasan “Der Wille
zur Macht” atau "kehendak untuk berkuasa" sebagai alternatif untuk moralitas yang didasarkan pada
sentimentalitas. Baginya, individu harus mencari kekuatan dalam diri mereka sendiri dan mengikuti
keinginan alamiah mereka tanpa hambatan moral yang diimpose oleh masyarakat.
Jadi, dalam pemikiran Nietzsche, rasionalitas dan sentimentalitas sering digambarkan sebagai
kekuatan yang bertentangan yang dapat menghambat ekspresi individu dan kebebasan. Dia lebih
mendukung pemberontakan terhadap norma-norma moral yang konvensional dan pengejaran
kehidupan yang penuh gairah dan ekspresi diri. Dari ketiganya itu, manakah yang ingin kita pilih?

8
Ibid., hlm. 183.
9
Som Dutt, “10 Reasons Why Nietzsche Hated Socrates”, dalam Medium.com, https://medium.com/nietzsches-
philosophy/10-reasons-why-nietzsche-hated-socrates-7cec4a66194, diakses pada 22 September 2023.
10
Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, penerj. Walter Kaufmann dan R. J. Hollingdale (New York: Random
House, 1969) I.8; 33-4.
11
Zahma Iika, Nietzsche Membunuh Tuhan (Yogyakarta: Narasi, 2021), hlm. 47.

onessimvsfebryan 4

Anda mungkin juga menyukai