Anda di halaman 1dari 23

STUDI KASUS TENTANG BERPIKIR KRITIS

Disusun oleh:
Kelompok 12

1. Yunita Dwi Wardani 1615371001


2. Arti Purnama Sari 1615371007
3. Beby Tria Silvani 1615371029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TANJUNGKARANG
PROGRAM STUDY KEBIDANAN METRO
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Kesehatan Masyarakat
tentang “Studi Kasus tentang Berpikir Kritis”.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Kesehatan
Masyarakat. Pada makalah ini mungkin terdapat benyak kekurangan karena
luasnya informasi belum sepenuhnya termasuk di makalah ini. Untuk itu penulis
meminta tambahan, kritik dan saran bagi pembaca. Semoga makalah ini berguna
sebagai penunjang dan gambaran pembelajaran Kesehatan Masyarakat.

Metro, 16 Februari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................
C. Tujuan............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. .......................................................................................................
B. ........................................................................................................
C. ........................................................................................................
D. .......................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................
B. Saran..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial
untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak
1942. Penelitian dan berbagai pendapat tentang hal itu, telah menjadi topik
pembicaraan dalam sepuluh tahun terakhir ini (Patrick, 2000:1).
Definisi berpikir kritis banyak dikemukakan para ahli. Kember (1997)
menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis
menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan
penilaian ketrampilan berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis
diartikan sebagai problem solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah
merupakan sebagian dari kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).
Review yang dilakukan dari 56 literatur tentang strategi pengajaran
ketrampilan berpikir pada berbagai bidang studi pada siswa sekolah dasar dan
menengah menyimpulkan bahwa beberapa strategi pengajaran seperti strategi
pengajaran kelas dengan diskusi yang menggunakan pendekatan pengulangan,
pengayaan terhadap materi, memberikan pertanyaan yang memerlukan jawaban
pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, memberikan waktu siswa berpikir sebelum
memberikan jawaban dilaporkan membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan berpikir. Dari sejumlah strategi tersebut, yang paling baik adalah
mengkombinasikan berbagai strategi. Faktor yang menentukan keberhasilan
program pengajaran ketrampilan berpikir adalah pelatihan untuk para pengajar.
Pelatihan saja tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan ketrampilan
berpikir jika penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak
disertai dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan
tidak sesuai dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).
Strategi pengajaran berpikir kritis pada program sarjana kedokteran yang
dilakukan di Melaka Manipal Medical College India adalah dengan memberikan
penilaian menggunakan pertanyaan yang memerlukan ketrampilan berpikir pada

4
level yang lebih tinggi dan belajar ilmu dasar menggunakan kasus klinik untuk
mata kuliah yang sudah terintegrasi menggunakan blok yang berbasis pada
sistem organ. Setelah kuliah pendahuluan, mahasiswa diberikan kasus klinik serta
sejumlah pertanyaan yang harus dijawab beserta alasan sebagai penugasan.
Jawaban didiskusikan pada pertemuan berikutnya untuk meluruskan a danya
kesalahan konsep dan memperjelas materi yang belum dipahami oleh
mahasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa pada program tersebut
menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam mengerjakan soal-soal hapalan
maupun soal yang menuntut jawaban yang memerlukan telaah yang lebih
dalam. Mahasiswa juga termotivasi untuk belajar (Abraham RR., et al., 2004)

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah definisi dari berfikir kritis?
2. Bagaimana komponen, indikator, dan pengukuran dari berfikir kritis?
3. Apa saja model berpikir kritis dalam keperawatan?
4. Bagaimana analisa berpikir kritis?
5. Bagaimana kolaborasi antara perawat dan dokter?
6. Apa contoh kasus yang menerapkan berpikir kritis?
7. Bagaimana pembahasan mengenai kasus tersebut?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari berfikir kritis
2. Mengetahui komponen,indikator,dan pengukuran dari berfikir kritis
3. Mengetahui model berpikir kritis dalam keperawatan
4. Mengetahui analisa berpikir kritis
5. Mengetahui kolaborasi antara perawat dan dokter
6. Mengetahui contoh kasus yang menerapkan berpikir kritis
7. Mengetahui pembahasan mengenai kasus tersebut

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Konsep Berpikir Kritis
Definisi berpikir kritis cukup bervariasi, beberapa ahli seperti Paul, Bandman,
Stander mempunyai rumusan berpikir kritis masing–masing. Menurut Paul (2005)
berpikir kritis adalah suatu seni berpikir yang berdampak pada intelektualitas
seseorang, sehingga bagi orang yang mempunyai kemampuan berpikir kritis yang
baik, akan mempunyai kemampuan intelektualitas yang lebih dibandingkan
dengan orang yang mempunyai kemampuan berpikir yang rendah. Menurut
Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide–ide,
kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan.
Stander (1992) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah suatu proses pengujian
yang menitikberatkan pendapat tentang kejadian atau fakta yang mutakhir dan
menginterpretasikannya serta mengevaluasi pendapat-pendapat tersebut untuk
mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif atau pandangan baru.
Paul (2005) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan dasar untuk
mempelajari setiap disiplin ilmu. Suatu disiplin ilmu merupakan suatu kesatuan
sistem yang tidak terpisah sehingga untuk mempelajarinya membutuhkan suatu
ketrampilan berpikir tertentu.
Menurut para ahli (Pery dan Potter,2005), berpikir kritis adalah suatu proses
dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterfensikan atau
mengefaluasi informasi untuk membuat sebuah penilain atau keputusan
berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Menurut Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional
terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran,masalah, kepercayaan,
dan tindakan. Menutut Strader (1992), berpikir kritis adalah suatu proses
pengujian yang menitikberatkan pendapat atau fakta yang mutahir dan
menginterfensikan serta mengefaluasikan pendapat-pendapat tersebut untuk
mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif pandangan baru.

6
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses, sedangkan
tujuannya adalah membuat keputusan yang masuk akal tentang apa yang diyakini
atau dilakukan. Berpikir kritis adalah berpikir pada tingkat yang lebih tinggi,
karena pada saat mengambil keputusan atau menarik kesimpulan merupakan
control aktif yaitu reasonable, reflective, responsible, dan skillful thinking.
Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan keterlibatan
kita dalam pengalaman baru dan menerapkan pengetahuan yang kita miliki, kita
menjadi lebih mampu untuk membentuk asumsi, ide-ide dan membuat kesimpulan
yang valid, semua proses tersebut tidak terlepas dari sebuah proses berpikir dan
belajar.
Definisi para ahli tentang berpikir kritis sangat beragam namun secara umum
berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir kognitif dengan menggabungkan
kemampuan intelektual dan kemampuan berpikir untuk mempelajari berbagai
disiplin ilmu dalam kehidupan, sehingga bentuk ketrampilan berpikir yang
dibutuhkan pun akan berbeda untuk masing–masing disiplin ilmu.
Berpikir berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari konsep
berpikir yang berhubungan dengan proses belajar dan krisis itu sendiri sebagai
sudut pandang selain itu juga membahas tentang komponen berpikir kritis dalam
keperawatan yang didalamnya dipelajari krakteristik, sikap dan standar berpikir
kritis, analisis, pertanyaan kritis, pengambilan keputusan dan kreatifitas dalam
berpikir kritis.
Untuk lebih mengoptimalkan dalam proses berpikir kritis setidaknya paham
atau tahu dari komponen berpikir kritis itu sendiri, dan komponen berpikir kritis
meliputi pengetahuan dasar, pengalaman, kompetensi, sikap dalam berpikir kritis,
standar/ krakteristik berpikir kritis.
Keterampilan kongnitif yang digunakan dalam berpikir kualitas tinggi
memerlukan disiplin intelektual, evaluasi diri, berpikir ulang, oposisi, tantangan
dan dukungan.
Berpikir kritis adalah proses perkembangan kompleks, yang berdasarkan pada
pikiran rasional dan cermat menjadi pemikir kritis adalah denominatur umum
untuk pengetahuan yang menjadi contoh dalam pemikiran yang disiplin dan
mandiri.

7
A. Komponen berpikir kritis
Komponen berpikir kritis terdiri atas standar yang harus ada dalam berpikir
kritis dan elemennya. Menurut Bassham (2002) komponen berpikir kritis
mencakup aspek kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, konsistensi, kebenaran
logika, kelengkapan dan kewajaran. sedangkan menurut Paul dan Elder (2002)
selain aspek–aspek yang telah dikemukakan oleh Bassham perlu ditambahkan
dengan aspek keluasan kemaknaan dan kedalaman dari berpikir kritis.
Pendapat mengenai komponen berpikir kritis juga sangat bervariasi. Para ahli
membuat konsensus tentang komponen inti berpikir kritis seperti interpretasi,
analisi, evaluasi, inference, explanation dan self regulation (APPA, 1990).
Definisi dari masing–masing komponen tersebut adalah :
1) interpretasi, kemampuan untuk mengerti dan menyatakan arti atau maksud
suatu pengalaman yang bervariasi luas, situasi, data, peristiwa, keputusan,
konvesi, kepercayaan, aturan, prosedur atau kriteria.
2) Analysis, kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan kesimpulan
yang benar di dalam hubungan antara pernyataan, pertanyaan, konsep,
deskripsi atau bentuk pernyataaan yang diharapkan untuk manyatakan
kepercayaan, keputusan, pengalaman, alasan, informasi atau pendapat.
3) evaluasi, kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau penyajian
lain dengan menilai atau menggambarkan persepsi seseorang, pengalaman,
situasi, keputusan, kepercayaan dan menilai kekuatan logika dari
hubungan inferensial yang diharapkan atau hubungan inferensial yang
aktual diantara pernyataan, deskripsi, pertanyaan atau bentuk–bentuk
representasi yang lain.
4) inference, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-unsur
yang diperlukan untuk membentuk kesimpulan yang beralasan atau untuk
membentuk hipotesis dengan memperhatikan informasi yang relevan.
5) explanation, kemampuan untuk menyatakan hasil proses reasoning
seseorang, kemampuan untuk membenarkan bahwa suatu alasan berdasar
bukti, konsep, metodologi, suatu kriteria tertentu dan pertimbangan yang
masuk akal, dan kemampuan untuk mempresentasikan alasan seseorang
berupa argumentasi yang meyakinkan.

8
6) Self- regulation, kesadaran seseorang untuk memonitor proses kognisi
dirinya, elemen–elemen yang digunakan dalam proses berpikir dan hasil
yang dikembangkan, khususnya dengan mengaplikasikan ketrampilan
dalam menganalisis dan mengevaluasi kemampuan diri dalam mengambil
kesimpulan dengan bentuk pertanyaan, konfirmasi, validasi atau koreksi
terhadap alasan dan hasil berpikir (APPA, 1990).

B. Pengukuran berpikir kritis


Pengukuran berpikir kritis yang baik adalah pengukuran yang mampu
mengukur komponen–komponen berpikir kritis yang akan diukur, penggabungan
metode merupakan cara terbaik untuk mendapatkan gambaran kemampuan
berpikir kritis yang cukup valid dari seseorang individu, selain itu validitas dan
realibilitas alat ukur tersebut juga harus diperhatikan ketika memilih alat ukur
yang mencakup content validity, concurrent validity, reliabilitas dan fairness.
Secara umum pengukuran berpikir kritis ada 4 cara : pertama dengan cara
observasi kinerja seseorang selama suatu kegiatan. Observasi dilakukan dengan
mengacu pada komponen berpikir kritis yang akan diukur, kemudian observer
menyimpulkan bagaimana tingkat berpikir kritis individu yang diobservasi
tersebut. Cara kedua dengan mengukur outcome dari komponen- komponen
berpikir kritis yang telah diberikan. Ketiga dengan mengajukan pertanyaan dan
menerima penjelasan seseorang mengenai prosedur dan keputusan yang mereka
ambil terkait dengan komponen berpikir kritis yang akan diukur. Keempat dengan
cara membandingkan outcome suatu komponen berpikir kritis dengan cara
berpikir kritis lainnya. Tidak ada petunjuk baku mengenai masing–masing cara,
yang terpenting adalah menentukan apakah cara pengukuran yang kita pilih
mampu menggali komponen berpikir kritis yang akan kita nilai. Cara terbaik
adalah dengan menggunakan penggabungan berbagai metode sehingga gambaran
kemampuan berpikir kritis individu cukup valid (APA, 1990).
Alat ukur berpikir kritis cukup banyak, salah satunya Watson Glaster Critical
Thinking Aprasial (WGCTA). WGCTA oleh Watson Glaster adalah sebuah
contoh alat yang menggunakan metode mengukur outcome berpikir kritis dari
komponen atau stimulus yang diberikan. Elemen berpikir kritis yang dinilai dalam

9
alat ukur ini adalah inference, pengenalan asumsi, deduksi, interpretasi, dan
evaluasi pendapat. WGCTA form S merupakan format terbaru yang terdiri atas 40
soal multiple choice, dengan pilihan item antara 2 sampai 5. Responden
disediakan 5 skenario dan mereka diminta memilih kemungkinan penyelesaian
dari data–data yang ada. Skor penilaian dalam tiap skenario ini antara 0 sampai 40
yang merupakan penjumlahan dari semua skor 40 soal multiple choice. Format
WGCTA disusun dengan pendekatan deduktif, dalam penyusunan instrument
tersebut juga telah diuji validitas dan reliabilitasnya (Gadzella, 1994).
Facione pada tahun 1990 menyusun instrument California Critical Thinking
Skill Test (CCTST), alat ukur ini menggunakan pendekatan berpikir induktif dan
deduktif sehingga lebih lengkap dibandingkan dengan WGCTA. CCTST telah
diuji validitas dan realibilitasnya. Instrumen ini disusun atas 34 pertanyaan pilihan
ganda yang mengukur 5 elemen berpikir kritis yaitu thinking analisis, evaluasi,
inference, deduktif dan induktif reasoning. Gambaran berpikir kritis seseorang
diperoleh dari total skor untuk 34 soal yang tersedia dan tingkat kemampuan
seseorang untuk masing–masing elemen diperoleh dari skor untuk masing-masing
elemen tersebut (Facione, 2000).
Alat ukur yang lain adalah Hamilton Critical Thinking Score Rubric
(HCTSR) yang lebih fleksibel untuk mengukur berpikir kritis dalam berbagai
kegiatan belajar seperti penulisan esai, presentasi dan kegiatan pembelajaran di
klinik. Elemen yang diukur dalam instrument ini adalah interpretasi, analisis,
evaluasi, inference, penjelasan dan self regulation. Hasil buah pikiran seseorang
yang dituangkan dalam tulisan, presentasi atau kegiatan belajar yang lain, dinilai
dengan menggunakan 4 skala yang mengukur 6 elemen inti critical thinking.
Proses penilaian dilakukan 2 orang atau lebih untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis.

C. Elemen berpikir kritis


Berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian dan komponen,
pemecahan masalah, keperawatan serta kriteria yang digunakan dengan komponen
keterampilan dan sikap berpikir kritis.
Elemen berpikir kritis antara lain:

10
1. Menentukan tujuan
2. Menyususn pertanyaan atau membuat kerangka masalah
3. Menujukan bukti
4. Menganalisis konsep
5. Asumsi

D. Indikator Berpikir Kritis


Adapun indicator dan sub-indikator menurut kesepakatan secara internasional
dari para pakar mengenai berpikir kritis (Anderson, 2003) adalah :
a. Interpretasi (interpretation)
1) Pengkategorian
2) Mengkodekan/membuat makna kalimat
3) Pengklasifikasian makna
b. Analisis (analysis)
1) Menguji dan memeriksa ide-ide
2) Mengidentifikasi argument
3) Menganalisis argumen
c. Evaluasi (evaluation)
1) Mengevaluasi dan memepertimbangkan klain/pernyataan
2) Mengevaluasi dan mempertimbangkan argumen
d. Penarikan kesimpulan (inference)
1) Menyangsikan fakta atau data
2) Membuat berbagai alternative konjektur
3) Menjelaskan kesimpulan
e. Penjelasan (explanation)
1) Menuliskan hasil
2) Mempertimbangkan prosedur
3) Menghadirkan argument
f. Kemandirian (self-regulation)
1) Melakukan pengujian secara mandiri
2) Melakukan koreksi secara mandiri

11
Sedangkan indicator berpikir kritis yang berkaitan pembelajaran di dalam
kelas menurut Ennis (Innabi, 2003) adalah :
Indikator umum :
a. Kemampuan (abilities)
1) Fokus pada suatu isu spesifik
2) Menyimpan tujuan umum dalam pikiran
3) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi
4) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan penjelas
5)Memperhatikan pendapat siswa, salah maupun benar kemudian
mendiskusikannya
6) Mengkoneksikan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang
baru
7) Secara tepat menggunakan pernyataan atau symbol
8) Menyediakan informasi dalam suatu cara yang sistematis
9) Kekonsistenan dalam pernyataan-pernyataan
b. Pengaturan (dispositions)
1) Menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasi tujuan dan apa yang
seharusnya dikerjakan sebelum menjawab
2) Menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasi informasi yang
diberikan sebelum menjawab
3) Mendorong siswa untuk mencari informasi yang diperlukan
4) Mendorong siswa untuk menguji solusi uang diperoleh
5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk merepresentasikan
informasi dengan menggunakan table, grafik, dan lain-lain.

Indikator-indikator yang berkaitan dengan isi (konten) :


a. Konsep (concept)
1) Mengidentifikasi karakteristik konsep
2) Membandingkan konsep dengan konsep lain
3) Mengidentifikasi contoh konsep dengan jastifikasi yang diberikan
4) Mengidentifikasi kontra contoh konsep yang diberikan

12
b. Generalisasi (generalization)
1) Menentukan konsep-konsep yang termuat dalam generalisasi dan
keterkaitannya
2) Menentukan kondisi-kondisi dalam menerapkan generalisasi
3) Menetukan rumusan-rumusan yang berbeda dari generalisasi (situasi
khusus)
4) Menyediakan bukti pendukung untuk generalisasi
c. Algoritma dan keterampilan (algoritms and skills)
1) Mengklarifikasi dasar konseptual dari keterampilan
2) Membandingkan performan siswa dengan performan yang patut
dicontoh
d. Pemecahan masalah (problem solving)
1) Merancang bentuk umum untuk tujuan penyelesaian
2) Menentukan informasi yang diberikan
3) Menentukan relevansi dan tidak relevansinya suatu informasi
4) Memilih dan menjastifikasi suautu strategi untuk memecahkan
masalah
5) Menentukan dan mendeduksi sub-tujuan yang mengarah pada tujuan
6) Menyarankan metode alternative untuk memecahkan masalah
7) Menentukan keserupaan dan perbedaan suatu masalah yang diberikan
dan masalah lain.

E. Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan


Dalam penerapan pembelajaran pemikiran kritis di pendidikan keperawatan,
dapat digunakan tiga model, yaitu: feeling, vision model, dan examine model
yaitu sebagai berikut:
1. Feling Model
Model ini menerapkan pada rasa, kesan, dan data atau fakta yang ditemukan.
Pemikir kritis mencoba mengedepankan perasaan dalam melakukan pengamatan,
kepekaan dalam melakukan aktifitas keperawatan dan perhatian. Misalnya
terhadap aktifitas dalam pemeriksaan tanda vital, perawat merasakan gejala,
petunjuk dan perhatian kepada pernyataan serta pikiran klien.

13
2. Vision model
Model ini dingunakan untuk membangkitkan pola pikir, mengorganisasi dan
menerjemahkan perasaan untuk merumuskan hipotesis, analisis, dugaan dan ide
tentang permasalahan perawatan kesehatan klien, beberapa kritis ini digunakan
untuk mencari prinsip-prinsip pengertian dan peran sebagai pedoman yang tepat
untuk merespon ekspresi.
3. Exsamine model
Model ini dungunakan untuk merefleksi ide, pengertian dan visi. Perawat
menguji ide dengan bantuan kriteria yang relevan. Model ini digunakan untuk
mencari peran yang tepat untuk analisis, mencari, meguji, melihat konfirmasi,
kolaborasi, menjelaskan dan menentukan sesuatu yang berkaitan dengan ide.
Model berfikir kritis dalam keperawatan menurut para ahli:
a. Costa and colleagues (1985)
Menurut costa and colleagues klasifikasi berpikir dikenal sebagai ‘the six Rs”
yaitu:
1. Remembering ( mengingat)
2. Repeating (mengulang)
3. Reasoning (memberi alasan)
4. Reorganizing (reorganisasi)
5. Relating (berhubungan)
6. Reflecting (merenungkan)
b.Lima model berpikir kritis
1. Total recall
2. Habits ( kebiasaan)
3. Inquiry ( penyelidikan / menanyakan keterangan )
4. New ideas and creativity
5. Knowing how you think (mengetahui apa yang kamu pikirkan)
Ada empat alasan berpikir kritis yaitu: deduktif, induktif, aktifitas informal,
aktivitas tiap hari, dan praktek. Untuk menjelaskan lebih mendalam tentang
defenisi tersebut, alasan berpikir kritis adalah untuk mengenalisis penggunaan
bahasa, perumusan masalah, penjelasan, dan ketegasan asumsi, kuatnya bukti-
bukti,menilai kesimpulan, membedakan antara baik dan buruknya argumen serta

14
mencari kebenaran fakta dan nilai dari hasil yang diyakini benar serta tindakan
yang dilakukan.

F.Analisa berpikir kritis


1. Analisis kritis merupakan suatu cara untuk mencoba memahami
kenyataan kejadian atau peristiwa dan pernyataan yang ada dibalik
makna yang jelas atau makana langsung. Analisis kritis
mempersaratkan sikap untuk berani menentang apa yang dikatakan atau
dikemukaan oleh pihak-pihak yang berkuasa
2. Analisis kritis merupakan suatu kapesitas potensi yang dimiliki oleh
semua orang demikian analisis kritis tetap akan tumpul dan tidak
berkembang apabila tidak di asa atau dipraktekan
3. Analisis kritis merupakan upaya peribadi atau upaya kolektif
4. Analisis kritis menentukan kemungkinan sesuatu kesempatan yang
lebih baik ke arah langka untuk memperbaiki kenyataan atau situasi
yang telah dianalisis.
5. Peran terpenting untuk melaksanakan analisis kritis bukanlah
serangkaian langkah atau pertanyaan yang berangkat dari ketidak
tahuan menuju kepencerahan.
6. Analisis kritis juga mencoba memahami riwayat pernyataan situasi atau
masalah yang perlu dipahami. Analisis kritis mengkaji situasi atau
peristiwa yang tengah dalam proses perubahan.

2.1.2 Kolaborasi Antara Perawat dan Dokter


TREND DAN ISSUE YANG TERJADI
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah
cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien.Perspektif yang
berbeda dalam memendang pasien,dalam prakteknya menyebabkan munculnya
hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendalap
sikologi keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua
profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborsi yang dapat menjadikan
keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.

15
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat
timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American
Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit
melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan,
tetapi juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien ( Kramer dan
Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas
huungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat
profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi
sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam
aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan
biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial
masih mendkung dominasi dokter. Inti sesungghnya dari konflik perawat dan
dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara
berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di Rumah Sakit nampaknya perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi
khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien
berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara
dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada.
Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat Rumah Sakit
Pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi
dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu
menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai
asistennya, serta kebijakan Rumah Sakit yang kurang mendukung.
Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional
dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan
masyarakat yang membutuhkan jasa pelayang kesehatan, serta menghambat upaya
pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.

16
PEMAHAMAN KOLABORASI
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika
hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu
terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi.bagaimana masing-
masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak
sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, “ Apa
diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya “ pola pemikiran
seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya.Sudah dijelaskan
secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum
kedokteran terus berkembang.Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan
klinis dibina dalam masalah etika,pencatatan riwayat medis,pemeriksaan fisik
serta hubungan dokter dan pasien.Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat
langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu
seperti gabungan bimbingan-pasien.Selama periode tersebut hampir tidak ada
kontak formal dengan para perawat,pekerja sosial atau profesional kesehatan
lain.Sebagai praktisi memang mereka berbagi linkungan kerja dengan para
perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai
rekanan/sejawat/kolega.
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir, apa masalah pasien ini?
Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? dan apa
yang dapat diberikan kepada pasien Perawat dididik untuk mampu menilai status
kesehatan pasien, merencanakan interfensi, melaksanakan rencana, mgevaluasi
hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai
proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi
keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat
dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga
pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat didik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien.
Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam
praktek rumah sakit dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar

17
bekerja di unit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat,
menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan shering
pengetahuan yang direncanakan yang disengaja,dan menjadi tanggung jawab
bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama
antara tenaga profesional.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat
klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam
lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi
sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang
ditentukan oleh perturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan
dokter merencanakan dan mempraktekkan sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkonstribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

2.2 Kasus
AKAN MENGAMBIL TINDAKAN NAMUN TERHALANG OTORITAS
Seorang perawat berada dalam situasi ketika pasien mengalami hipotensi dan
dia ingin menolong pasien. Tetapi, dia tidak bisa melakukan itu tanpa perintah
dokter. Karena itu adalah kewenangan dokter. Sementara dokter tidak ada di
tempat.

2.3 Pembahasan
1. Rumusan Masalah
Apakah perawat harus mengambil tindakan untuk menolong pasien
menormalkan tekanan darahnya atau tidak?
2. Argumen
Hipotensi merupakan penyakit tekanan darah rendah yang biasanya
ditandai dengan kondisi pasien yang melemah, kepala pusing dan
pembuluh darah pasien biasanya mengendur.

18
Perawat harus melakukan tindakan dasar atau melakukan pertolongan
pertama pada pasien agar kondisi pasien tidak menjadi lebih parah. Jika
tidak segera ditolong bisa menyebabkan kondisi yang lebih parah dan bisa
berakibat fatal. Kemudian setelah itu perawat sesegera mungkin
menghubungi dokter agar mendapatkan perintah untuk melakukan proses
penanganan pasien selanjutnya.
3. Deduksi
Pada pasien yang menderita hipotensi, sebaiknya perawat melakukan
memberikan pertolongan dasar yaitu, pemeriksaan fisik pasien (suhu,
tekanan darah, umur, dan denyut nadi), pasien diberi minum air, pasien
ditidurkan dengan posisi kepala lebih rendah misalnya dengan tidak diberi
bantal agar suplai oksigen ke otak lebih lancar, dan setelah melakukan
pertolongan dasar kepada pasien perawat segera menghubungi
(menelepon) dokter.
4. Induksi
Pertolongan dasar seperti pemeriksaan fisik pasien (suhu, tekanan darah,
dan denyut nadi), pasien diberi minum air, dan pasien ditidurkan dengan
posisi kepala lebih rendah misalnya dengan tidak diberi bantal agar suplai
oksigen ke otak lebih lancar, harus dilakukan oleh perawat jika
menghadapi pasien dengan keadaan hipotensi serta tak lupa segera
menghubungi (menelepon) dokter jika dokter tidak ada di tempat setelah
melakukan pertolongan dasar.
5. Evaluasi
a. Melakukan pertolongan dasar tanpa menelepon dokter
Positif :
1) Kondisi pasien akan lebih cepat membaik dan hipotensi yang
diderita pasien tidak akan bertambah parah
2) Kelancaran suplai oksigen pada otak pasien dapat teratasi
dengan cepat dan tepat
3) Tidak akan membahayakan jiwa pasien

19
Negatif :
1) Pasien tidak tertangani dengan sempurna karena penanganan
yang dilakukan masih sangat dasar (setengah-setengah)
b. Melakukan pertolongan dasar kemudian segera menelepon dokter
Positif :
I. Dokter dapat langsung memberikan perintah untuk
menginjeksi pada pasien
II. Waktu dan tenaga yang dibutuhkan lebih efisien, karena
penanganan yang dilakukan tidak harus menunggu kedatangan
dokter melainkan melalui perintah dokter lewat telepon
III. Pasien dapat langsung diinjeksi atau diberi obat atau ditolong
atau ditangani tanpa harus menunggu kedatangan dokter
IV. Mempercepat memulihkan kondisi pasien
Negatif :
I. Jika kasus tersebut terjadi pada daerah terpencil yang alat
komunikasi masih minim atau sulit, maka penanganan pasien
dapat tertunda
II. Harus mengeluarkan biaya untuk menghubungi dokter
c. Menelepon Dokter untuk mendapat perintah penanganan pasien
Positif :
I. Dokter dapat memberikan perintah untuk menangani pasien
meski itu melalui telepon
Negatif :
(1) Waktu dan tindakan kurang efisien karena tindakan dasar
belum dilakukan perawat pada pasien tersebut
(2) Harus mengeluarkan biaya untuk menghubungi dokter
d. Menunggu kedatangan dokter
Positif :
(1) Penanganan pasien dapat lebih intensif dan akurat
(2) Ketika dokter datang, dapat langsung dilakukan injeksi obat-
obatan untuk mengatasi hipotensi yang dialami pasien

20
Negatif :
(1) Bila dokter berada dalam jarak yang jauh dan tidak segera
datang, maka kondisi pasien dapat menjadi lebih parah karena
tidak segera ditangani
(2) Membahayakan jiwa pasien karena dapat berakibat fatal
(pasien tidak tertolong) jika masih menunggu dokter
e. Melakukan injeksi secara langsung tanpa menunggu dokter
Positif :
(1) Pasien tertangani dengan baik
(2) Suplai injeksi obat-obatan dapat membantu mengurangi
hipotensi yang terjadi pada pasien
Negatif :
(1) Perawat dapat disalahkan atau ditegor karena melakukan
injeksi tanpa menunggu dokter
(2) Perawat tidak menghargai wewenang dokter
(3) Perawat melanggar undang-undang
6. Keputusan
Perawat harus melakukan pertolongan dasar pada pasien, yaitu dengan
pemeriksaan fisik pasien (suhu, tekanan darah, dan denyut nadi), lalu
pasien diberi air minum, dan pasien ditidurkan dengan posisi kepala lebih
rendah misalnya dengan tidak diberi bantal agar suplai oksigen ke otak
lebih lancar. Kemudian, setelah melakukan pertolongan dasar kepada
pasien perawat segera menghubungi (menelepon) dokter yang
bersangkutan sehingga perawat tersebut dapat segera menerima perintah
dari dokter untuk melakukan injeksi obat-obatan atau penanganan yang
lain.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial
untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan
lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak
1942. Keterampilan kongnitif yang digunakan dalam berpikir kualitas tinggi
memerlukan disiplin intelektual, evaluasi diri, berpikir ulang, oposisi, tantangan
dan dukungan.
Sebagai perawat atau tenaga kesehatan, kita dituntut untuk selalu berpikir
kritis untuk menangani pasien. Dalam hal ini, kritis yang dimaksud harus tetap
berada dalam jalur yang ada sesuai dengan tugas dan peran perawat. Selain itu,
tugas dan peran perawat juga harus diseimbangkan dengan tenaga medis lain,
misalnya dengan tugas dan wewenang dokter.
Seorang perawat tidak memiliki wewenang menginjeksikan obat-obatan
kepada pasien tanpa melalui perintah dokter. Bila hal ini terjadi, perawat tersebut
dapat dituntut pidana karena melanggar undang-undang. Di zaman yang serba
canggih ini, perintah penanganan atau penginjeksian pasien tidak harus dilakukan
dokter ketika bertatap muka saja. Tetapi, dapat melalui telepon. Hal ini dapat
meningkatkan efisiensi terhadap waktu dan tenaga yang dibutuhkan.

3.2 Saran
Saran penulis, sebagai tenaga kesehatan, perawat sedapat mungkin harus
selalu berpikir kritis dalam penanganan pasien tentunya tetap beracuan pada tugas
dan peran perawat itu sendiri.

22
DAFTAR PUSTAKA

(https://dianmutiarach.wordpress.com/2012/12/12/makalah-berpikir-kritis/)
diakses pada tanggal 16 Februari 2019 pukul 09.30 WIB.

23

Anda mungkin juga menyukai