Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

METODOLOGI PENELITIAN

Disusun Oleh :

Zazkia Halim

711331121049

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh


ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di
samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Siswanto, 2001).
Gizi merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai kesehatan yang prima
dan optimal. Namun sayangnya, masyarakat di Indonesia masih menghadapi
beberapa masalah gizi, salah satunya adalah anemia.

Pada dasarnya anemia sama halnya dengan masalah Kurang Energi Protein
(KEP), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan Kekurangan
Vitamin A (KVA), yaitu suatu keadaan yang salah satu penyebabnya adalah
ketidakcukupan beberapa zat gizi yang dikonsumsi seseorang. Ketidakcukupan
energi dan protein pada KEP, Yodium pada GAKY, Vitamin A pada KVA, serta
tidak adekuatnya asupan beberapa zat gizi seperti zat besi, folat, dan vitamin B12
pada anemia (Arisman, 2004). Oleh karena ketidakcukupan asupan zat gizi
tersebut anemia dikatakan sebagai salah satu masalah gizi. Tidak hanya di
Indonesia, anemia masih merupakan masalah gizi di dunia, terutama di negara
berkembang, hal ini terlihat dari data yang menunjukkan sepertiga dari populasi
dunia (McLean, 2008) atau 30 % 2 (Siswono, 2008) yaitu sekitar lebih dari 1,5
milyar penduduk dunia menderita anemia (Casey, 2009).
Menurut WHO (2001), anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
Hemoglobin (Hb) seseorang dalam darah lebih rendah dari normal sesuai dengan
nilai batas ambang

menurut umur dan jenis kelamin. Anemia Gizi Besi (AGB) merupakan anemia
yang paling sering terjadi. Dari seluruh total kasus anemia, 50 % disebabkan oleh
kekurangan zat besi (WHO, 2008). Menurut Suharno (1983), status gizi
merupakan faktor penyebab terjadinya anemia, status gizi ini dipengaruhi oleh
pola makan, keadaan sosial, ekonomi, budaya, kesehatan lingkungan, daya tahan
tubuh, fasilitas kesehatan, infeksi, infestasi cacing dalam tubuh, serta pendidikan
yang saling berkaitan dan sangat kompleks.

Anemia menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut oksigen


dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak cukup, maka
akan berakibat pada sulitnya berkonsentrasi, sehingga prestasi belajar menurun,
daya tahan fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik menurun, mudah
sakit karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jarang masuk sekolah atau
bekerja (Depkes, 2008). Akibat dari anemia ini jika tidak diberi intervensi dalam
waktu lama akan menyebabkan beberapa penyakit seperti gagal jantung kongestif,
penyakit infeksi kuman, thalasemia, gangguan sistem imun, dan meningitis
(Sulaeman, 2007).

Wanita lebih sering menderita anemia dibandingkan laki-laki, terutama wanita


hamil, wanita muda, dan miskin (Scholl, 1992). Hal ini sesuai dengan kebutuhan
fisiologis wanita yang meningkat saat hamil, dan juga faktor perdarahan melalui
menstruasi yang terjadi setiap bulan (Depkes, 2003). 45,7 % wanita usia subur 3
(WUS) di Asia Tenggara dan 47,5 % di Afrika dilaporkan menderita anemia
(WHO, 2008). Di Bangladesh, 26 % kematian ibu disebabkan oleh anemia dan
perdarahan setelah melahirkan (Ahmed, 2000). Berdasarkan data WHO (2008),
prevlensi anemia tahun 1993-2005 pada WUS di Indonesia mencapai 33,1 %,
angka ini lebih tinggi di bandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti
Brunei (20,4 %), Malaysia (30,1 %), Vietnam (24,3 %), dan Thailand (17,8 %).
Dari hasil Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi anemia pada
perempuan dewasa sebesar 19,7 % (Depkes, 2008).

Remaja putri juga merupakan salah satu kelompok yang berisiko menderita
anemia. Remaja putri adalah calon mahasiswi yang merupakan calon pemimpin di
masa datang, calon tenaga kerja yang akan menjadi tulang punggung
produktivitas nasional, serta sebagai calon ibu yang akan melahirkan generasi
penerus dan merupakan kunci perawatan anak di masa datang. Oleh karena itu,
kualitas remaja putri perlu mendapat perhatian khusus. Remaja putri mempunyai
risiko tinggi untuk anemia karena pada usia ini terjadi peningkatan kebutuhan zat
besi akibat pertumbuhan, adanya menstruasi, sering membatasi konsumsi makan,
serta pola konsumsinya sering menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi (Sakti, 2003).

Apabila sejak remaja seorang wanita menderita anemia, maka akan


mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu, lemah karena sering
terkena infeksi, tidak aktif, malas, cepat lelah, di sekolah sulit berkonsentrasi
dalam belajar, mengantuk, akibat lebih lanjutnya akan mempengaruhi kecerdasan
dan daya tangkap anak (Wirakusumah, 1999). Selain itu, akan semakin berat
kondisinya bila wanita tersebut menikah dan hamil, karena kehamilan
membutuhkan lebih banyak 4 jumlah zat besi untuk pertumbuhan dan
perkembangan janinnya, maka akan berdampak pada kematian bayi, bayi lahir
abnormal, kematian premature, berat badan bayi lahir rendah, dan kematian ibu
(Saraswati, 1997).

Di beberapa Negara dunia, prevalensi anemia remaja putri menunjukkan


masalah kesehatan masyarakat, terutama Negara berkembang. Di bagian Barat
Kenya, prevalensi anemia pada remaja putri umur 12-18 tahun sebesar 21,1 %
(Leenstra, 2003), di Morogoro Municipality, Tanzania ditemukan prevalensi
anemia pada remaja putri umur 11-17 tahun sebesar 42 % (Kinabo, et al, 2003).
Di India, 60- 70 % remaja putri menderita anemia (Pande, 2004). Tahun 2006,
berdasarkan hasil penelitian Chang, et al di Kuala Lumpur Malaysia, ditemukan
prevalensi anemia pada remaja putri sebesar 28,3 %.

Beberapa hasil penelitian di beberapa daerah di Indonesia juga menunjukkan


masih tingginya prevalensi anemia pada remaja putri. Pada tahun 1996, penelitian
Lestari mendapatkan prevalensi anemia pada remaja putri SMU di Kabupaten
Bandung sebesar 41,54 %, penelitian Budiman (1997) pada remaja putri SMU
dan MAN di enam daerah kabupaten di Jawa Barat mendapatkan prevalensi
anemia sebesar 40,4 %, penelitian Susanto tahun 2000 mendapatkan prevalensi
anemia pada remaja putri SLTP 14 Semarang sebesar 50,12 %, hasil penelitian
Saidin, Permaesih, dan Leginem pada tahun 2002 mendapatkan prevalensi anemia
pada remaja putri yaitu sebesar 41 %, 25 %, dan 88 %. Pada tahun 2005, dari
hasil penelitian Permaesih, dkk, di dapatkan prevalensi anemia pada remaja putri
di Indonesia sebesar 30 %. Penelitian Satyaningsih (2007) pada remaja putri SMK
Amaliyah Sekadau Kalimantan Barat, mendapatkan prevalensi anemia yaitu 58,7
%. Dari beberapa 5 penelitian tersebut, didapatkan beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri, yaitu asupan energi,
asupan protein, asupan zat besi, asupan vitamin C, kebiasaan minum teh atau
kopi, investasi cacing, pengetahuan, pendidikan dan jenis pekerjaan orangtua,
pendapatan keluarga, dan pola menstruasi.

Pada tahun 2008, berdasarkan hasil penjaringan status Hb yang dilakukan oleh
petugas Puskesmas Bogor Timur pada remaja putri kelas I di wilayah kerja
Puskesmas Bogor Timur diketahui bahwa kejadian anemia di tingkat SMP/MTs
sebesar 47,87 %. Adapun prevalensi anemia terbesar terdapat di SMPN 18, yaitu
59,3 %. Berdasarkan kriteria WHO (2008), tingginya angka kejadian anemia di
sekolah tersebut merupakan suatu masalah kesehatan tingkat berat (> 40 %).

1.2. Rumusan Masalah

Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih dihadapi dunia sampai
saat ini terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Anemia gizi
besi merupakan yang terbanyak dijumpai dari seluruh kejadian anemia. Remaja
putri merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi menderita anemia. Hal ini
dikarenakan kondisi fisiologis yang setiap bulannya mengalami menstruasi.

Prevalensi anemia di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Negara-negara


tetangga lainnya. Beberapa penelitian mengenai anemia pada remaja putri yang
tersebar di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa anemia pada remaja
putri merupakan masalah kesehatan yang sampai saat ini masih terjadi di
Indonesia. Dari hasil pejaringan status Hb di wilayah kerja Puskesmas Bogor
Timur tahun 2009 diketahui bahwa prevalensi anemia pada siswi kelas I tingkat
SMP/MTs

sebesar 47,87 %, dengan prevalensi tertinggi di SMPN 18 yaiu 59,3 %. SMPN


18 merupakan sekolah unggulan, hanya satu-satunya SMP Negeri yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Bogor Timur, dan berdasarkan nilai rata-rata ujian
nasional, SMPN 18 merupakan SMP yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan
SMP/MTs lainnya yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bogor Timur. Siswi
kelas I merupakan remaja putri yang tergolong masa remaja awal, yang memiliki
minat sangat besar terhadap dunia luar, sehingga memiliki keinginan untuk lebih
bebas termasuk dalam hal memilih makanan yang dikonsumsi terutama di luar
sekolah, selain itu remaja putri identik dengan menjaga penampilan, ingin terlihat
kurus dengan diet yang tidak seimbang, sehingga tidak menutup kemungkinan
makanan yang dikonsumsi kurang memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti zat
besi. Dari kondisi tersebut serta belum adanya informasi mengenai gambaran
kejadian anemia di SMPN 18 membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini.

 REFERENSI

Amaliah, Lili. 2002. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Anemia Pada Remaja Putri Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah
Kabupaten Serang Tahun 2002”. Depok : skripsi FKMUI.

Anda mungkin juga menyukai