Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION

BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

LBM 2

“Aku Kenapa?”

Disusun Oleh :

NAMA : BAIQ AZIZA TIARA WARDANI

NIM : 022.06.0010

KELOMPOK :2

BLOK : ENDOKRIN DAN METABOLISME

FASILITATOR : dr. Sulatun Hidayati, S.ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan hasil Laporan Tutorial LBM 2 “Aku
Kenapa?” BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

Dalam penyusunan Laporan SGD LBM 1 ini, penulis menyadari sepenuhnya


bahwa masih terdapat kekurangan didalam penyusunannya. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari bahwa
tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil laporan
SGD LBM 1 ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada:
 Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan dengan baik.
 dr. Sulatun Hidayati , S.Ked selaku fasilitator dalam SGD kelompok 2, atas segala
masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi keterbatasan penulis.

 Seluruh anggota SGD kelompok 2 yang telah membantu dan memberikan masukan
dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 17 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 SKENARIO .................................................................................... 1


1.2 DESKRIPSI MASALAH .............................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

MAIND MAPP................................................................................................ 2
Anatomi ,inervasi dan vaskularisasi dari hipofisis dan hypothalamus ..... 2

2. Biosintesis dari hipofisis dan hypothalamus ............................................ 4

3. Regulasi dari hipofisis dan hypothalamus ............................................... 5

4. Histologi dari hipofisis dan hypothalamus ............................................. 7

5. Fisiologi hormon ......................................................................................... 8

6. Mekanisme Gh dan IGF ............................................................................ 9

7. Mekanisme GHRH dan Somatostatin ..................................................... 10

8. Konsep target organ dari IGF .................................................................. 11

9. Efek metabolic dari Growth promoting dan IGF .................................. 12

3.1 KESIMPULAN ......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
“AKU KENAPA?”
Tn. U berusia 30 tahun datang ke puskesmas mengeluhkan badan terasa sering
kesemutan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya rasa kesemutan dirasakan di telapak kaki,
namun makin lama rasa kesemutan menyebar ke bagian tubuh lainnya hingga ke jari
dan tangan. Walaupun kesemutan, pasien masih bisa merasakan bila disentuh ataupun
memegang sesuatu, hanya terasa tebal. Tn.U juga mengeluhkan sering kencing sejak
tiga bulan yang terakhir, terutama saat tidur di malam hari. Setiap malam pasien bisa
terbangun lebih dari tiga kali untuk kencing. Nafsu makan pasien meningkat sejak
sekitar kurang lebih setahun yang lalu namun pasien mengeluhkan berat badan yang
menurun.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD 130/90 mmHg, N 120
kali/menit, suhu 36,7, RR 20 kali/menit. Sebagai seorang dokter apakah yang akan
anda lakukan?
1.2 Deskripsi Masalah

Pada scenario terdapat pasien berusia 30 tahun yang mengeluhkan beberapa


keluhan seperti merasa kesemutan pada telapak kaki yang kemudian menyebar ke
bagian tubuh lainnya, sering kencing sejak 3 bulan terakhir terutama pada malam
hari dan juga mengeluhkan nafsu makan yang meningkat sejak satu tahun yang lalu
namun berat badan pasien yang menurun, kemudian sudah dilakukan pemeriksaan
tanda tanda vital dan didapatkan TD 130/90 mmHg, N 120 kali/menit, suhu 36,7,
RR 20 kali/menit. Pada laporan LBM 2 kali in yang berpacu pada laporan kasus
diatas akan membahas beberapa materi yang mengacu pada diabetes melitus seperti
definisi, klasifikasi dari diabetes melitus, kemudian perlu juga mengetahui penyebab,
penyebaran, faktor resiko serta gejala klinis pada diabetes melitus dan juga
mengetahui bagaimana patofisiologi bisa terjadinya diabetes miletus, selain itu
diperlukan untuk membahas terkait pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjuang ,
tatalaksana, prognosis dan KIE pada pasien dengan diabetes melitus serta membahas
komplikasi yang dapat terjadi pada organ lain yang disebabkan oleh diabetes melitus.
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin. Diabetes melitus dibedakan menjadi DM tipe 1 dan DM
TIPE 2. DM tipe 1 merupakan hasil dari penurunan kadar insulin pankreas, baik
dalam kadar hampir tidak diproduksi sama sekali sampai tidak diproduksinya
hormon insulin sejak lahir. Diabetes melitus tipe 2 merupakan sekumpulan kelainan
heterogen yang dikenali dengan adanya variasi derajat resistensi hormon insulin,
kerusakan sekresi insulin, danpeningkatan kadar glukosa darah. Pengelolaan DM
dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
Pengelolaan terapi farmakologis yaitu pemberian insulin dan obat hipoglikemik
oral. Sedangkan non farmakologis meliputi pengendalian berat badan, latihan
olahraga, dan diet.
BAB II

PEMBAHASAN

MIND MAPP

1. Definisi, Klasifikasi DM

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan


kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat kegagalan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya. Penyakit ini bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus
meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi, usia,
prevalensi obesitas dan penurunan aktivitas fisik. Hiperglikemia dapat tidak terdeteksi
karena penyakit Diabetes Mellitus tidak menimbulkan gejala(asimptomatik) dan sering
disebut sebagai pembunuh manusia diam-diam "Silent Killer" dan menyebabkan
kerusakan vaskular sebelum penyakit ini terdeteksi (Setiati, Siti. 2017).

klasifikasikan Diabetes Melitus (DM) sebagai berikut :


1) Diabetes Melitus tipe 1

Pada Diabetes Melitus Tipe 1 diduga berkaitan dengan faktor genetik, pada DM
tipe ini disebabkan oleh reaksi dari autoimun yang mana sistem pertahanan
tubuh menyerang sel beta pada pankreas sehingga akan berakibat tubuh tidak
dapat memproduksi insulin yang dibutuhkan untuk mengatur kadar gula darah
(Setiati, Siti. 2017).
2) Diabetes Melitus tipe 2
Pada Diabetes Melitus tipe 2 sering terjadi karena gaya hidup yang tidak sehat.
Pada DM tipe ini penyebabnya dikarenakan menurunnya sekresi insulin sel beta
secara progresif, Yang mana pada diabetes tipe 2 ini tubuh masih bisa
memproduksi insulin namun resistenterhadap insulin itu sendiri sehingga insulin
menjadi tidak efektif. Sehingga dalam keadaan tersebut menyebabkan kadar
glukosa darah menjadi tinggi (Setiati, Siti. 2017).
3) Diabetes Melitus Gestational

Diabetes gestational terjadi selama kehamilan yang diawali dengan intoleransi


glukosa yang mana intoleransi tersebut di diagnosa pada trimester kedua dan
trimester ketiga (Setiati, Siti. 2017).
4) Diabetes Melitus tipe lain
Tipe diabetes ini disebabkan oleh penyebab lain seperti, sindrom diabetes
monogenik (seperti diabetes neonatal atau diabetes yang dialami oleh bayi baru
lahir), penyakit yang terjadi pada pankreas eksokrin seperti pankreasitis,
fibrosis kistik dan diabetes yang disebabkan oleh obat-obatan dari bahan kimia
seperti penggunaan glukokortikoid dalam pengobatan HIV/AIDS dan setelah
transplantasi organ (Setiati, Siti. 2017).
2. Etiologi DM

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada


metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa padakelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Setiati, Siti. 2017).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa darahdalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta
pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak seperti
contoh penyakit autoimun dan idiopatik (Setiati,Siti. 2017).
Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi
insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post
reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas insulin untuk
menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan
otot dan lemak serta menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan
sensitivitas tersebut juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam
darah tinggi (Setiati, Siti. 2017)

Kadar glukosa darah yang tinggi akibat menurunya kerja insulin selanjutnya
berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini
mengakibatkan glukosa dalam darah akan diekresi melalui urin (glukosuria) sehingga
terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan
(polyuria). Banyaknya cairan yang akan menimbulkan rasa haus (polydipsia). Glukosa
yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang
akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat
(polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa
mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi
tersebut. Jika keadaan tersebut terjadi secara terus menerus dan tubuh sudah tidak
mampu untuk mengkompensasi maka akan terjadi diabetes militus (Setiati, Siti. 2017).
3. Manifestasi klinis DM

Diabetes sering disebabkan oleh faktor genetik dan perilaku atau gaya hidup
seseorang. Selain itu faktor lingkungan sosial dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
juga menimbulkan penyakit diabetes dan komplikasinya. Pada diabetes memiliki
Gejala-gejala, antara lain, yaitu :
1. Poliuri (sering buang air kecil)
Buang air kecil lebih sering dari biasanya terutama pada malam hari (poliuria),
hal ini,dikarenakan kadar gula darah melebihi ambang ginjal (>180mg/dl),
sehingga gula akan dikeluarkan melalui urine. Guna menurunkan konsentrasi
urine yang dikeluarkan, tubuh akan menyerap air sebanyak mungkin ke dalam
urine sehingga urine dalam jumlah besar dapat dikeluarkan dan sering buang air
kecil. Dalam keadaan normal, keluaran urine harian sekitar 1,5 liter, tetapi pada
pasien DM yang tidak terkontrol, keluaran urine lima kali lipat dari jumlah ini.
Sering merasa haus dan ingin minum air putih sebanyak mungkin (poliploidi).
Dengan adanya ekskresi urine, tubuh akan mengalami dehidrasi atau dehidrasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka tubuh akan menghasilkan rasa haus
sehingga penderita selalu ingin minum air terutama air dingin, manis, segar dan
air dalam jumlah banyak (Lestari, 2021).
2. Polifagi (cepat merasa lapar)
Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. Insulin menjadi
bermasalah pada penderita DM sehingga pemasukan gula ke dalam sel-sel
tubuh kurang dan energi yang dibentuk pun menjadi kurang. Ini adalah
penyebab mengapa penderita merasa kurang tenaga. Selain itu, sel juga menjadi
miskin gula sehingga otak juga berfikir bahwa kurang energi itu karena kurang
makan, maka tubuh kemudian berusaha meningkatkan asupan makanan dengan
menimbulkan alarm rasa lapar (Lestari, 2021).
3. Berat badan menurun
Ketika tubuh tidak mampu mendapatkan energi yang cukup dari gula karena
kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengolah lemak dan protein yang ada
di dalam tubuh untuk diubah menjadi energi. Dalam sistem pembuangan urine,
penderita DM yang tidak terkendali bisa kehilangan sebanyak 500 gr glukosa
dalam urine per 24 jam (setara dengan 2000 kalori perhari hilang dari tubuh).
Kemudian gejala lain atau gejala tambahan yang dapat timbul yang umumnya
ditunjukkan karena komplikasi adalah kaki kesemutan, gatal-gatal, atau luka
yang tidak kunjung sembuh, pada wanita kadang disertai gatal di daerah
selangkangan (pruritus vulva) dan pada pria ujung penis terasa sakit (balanitis)
(Lestari, 2021)
4. Faktor resiko DM

Factor resiko diabetes melitus :


Menurut (Kementrian Kesehatan RI, 2020) , Faktor resiko diabetes melitus
terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis
kelamin, ras atau suku, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat ibu
yang melahirkan bayi >4.000 gram dan riwayat bayi lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) atau <2.500 gram, sedangkan factor resiko yang dapat
dimodifikasi adalah :(Christianty, M. A. 2021).

a) Berat badan lebih dan obesitas sentral/abdominal


Seseorang yang memiliki kelebihan berat badan maupun obesitas semakin
lama akan menjadi kurang sensitif terhadap insulin (retensi insulin).
Dikarenakan lemak pada penderita yang memiliki berat badan lebih maupun
obesitas akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas yang menyebabkan
retensi insulin sehingga sel beta akan bekerja lebihkeras dalam memproduksi
insulin dan akan mengalami kelelahan sehingga tidak mampu lagi untuk
memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup akibatnya kadar gula darah
menjadi naik (Christianty, M. A. 2021).

b) Kurangnya aktivitas fisik


Kurangnya aktivitas fisik merupakan faktor risiko penyakit diabetes melitus.
Ketikaseseorang kurang dalam melakukan aktivitas fisik maka glikogen atau
cadangan glukosa yang tersimpan pada otot akan menumpuk akibatnya gula
darah akan naik (Christianty, M.A. 2021).

c) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko diabetes melitus karena memengaruhi
sekresi insulin di pankreas yang akibatnya meningkatkan kadar gula darah
(Christianty, M. A. 2021).

d) Dislipidemia

Dislipidemia ditandai dengan kenaikan kadar trigliserida dan penurunan


kadar HDL yangsering terjadi pada penderita diabetes melitus (Christianty, M.
A. 2021).

e) Diet tidak sehat dan tidak seimbang (tinggi kalori)

Diet yang tidak sehat merupakan faktor risiko dari diabetes melitus karena
sebagian besar penderita diabetes melitus diakibatkan oleh kebiasaan dari
mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori namun nutrisi yang kurang
(Christianty, M. A. 2021).
f) Kondisi prediabetes

g) Ditandai dengan toleransi glukosa terganggu (TGT 140-199 mg/dl) atau gula
darah puasaterganggu (GDPT <140 mg/dl) (Kementrian Kesehatan RI, 2020)
(Christianty, M. A. 2021). Merokok

Perokok aktif memiliki resiko lebih tinggi terkena diabetes melitus dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Nikotin pada rokok memengaruhi sekresi insulin akibatnya
terjadi penumpukan glukosa dalam darah (Christianty, M. A. 2021).
5. Patofisiologis DM

Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik yang
menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan pankreas
untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh
proses autoimun (Setiati, Siti. 2017).

Patofisologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:


1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel B pancreas

Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin Substrate)


sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama GLUT 4 yang
mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan yang menyebabkan
penumpukan glukosa darah yang pada akhirnya akan menimbulkan hiperglikemia atau
meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. Pelatihan fisik mempotensiasi efek
olahraga terhadap sensitivitas insulin melalui beberapa adaptasi dalam transportasi
glukosa dan metabolisme. Kegiatan senam diabetes sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar gula darah dengan
cara merangsang stimulasi hormon insulin yang akan mengakibatkan peningkatan
glukosa transporter terutama GLUT 4 yang berakibat pada berkurangnya resistensi
insulin dan peningkatan pengambilan gula oleh otot serta memperbaiki pemakaian
insulin yang berakibat menurunya kadar gula darah post prandial dan gula darah puasa.
Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Setiati, Siti. 2017).

DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel
sel sasaraninsulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini
lazim disebut sebagai“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitasfisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan
sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe
2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut (Setiati, Siti. 2017).
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi
pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel
B pankreas. Kerusakan sel- sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen (Setiati, Siti. 2017).
6. Pemeriksaan fisik DM

Pemeriksaan fisik yang perlu dolakukan oleh tenaga kesehatan apabila ada pasien
dengan gejala DM bisa di lakukan dengan beberapa pemeriksaan fisik seperti: vital sign,
status gizi ( BB, TB, IMT), Ankle Brachial Index (ABI) : 0,9-1,8 mmHg, pemeriksaan
sensibilitas kaki ( rasa, raba halus-kasar, nyeri ), yang terakhir pemeriksaanpulsasi pada
kaki di area tibialis, inguinalis, femoralis, dorsalis pedis. (Lestari, 2021)

7. Pemeriksaan penunjang DM

Macam pemeriksaan diabetes melitus yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan gula
darah sewaktu (GDS), pemeriksaan gula darah puasa (GDP), pemeriksaan gula darah 2
jam prandial (GD2PP), pemeriksaan hBa1c, pemeriksaan toleransi glukosa oral (TTGO)
berupa tes ksaan penyaring. Adapun keluhan khas diabetes berupa poliuria, polidipsi,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Keluhan lain yang
sering disampaikan adalah lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
dan pruritus vulvae. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar gula darah sebagai
berikut:

• Gula darah puasa > 126 mg/dl


• Gula darah 2 jam > 200 mg/dl
• Gula darah acak > 200 mg/dl.
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita diabetes melitus yaitu dengan
terapi insulin, mengonsumsi obat diabetes, mencoba pengobatan alternatif, menjalani
operasi dan memperbaiki life style (pola hidup sehat) dengan memakan makanan yang
bergizi atau sehat, olahraga (Lestari, 2021).
8. Tatalaksana DM

Tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi


• Terapi Farmakologi, antara lain:

a. Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)


1. Golongan sulfoniluria

Cara kerjanya merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin.


Jadi golongan sulfoniluria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, mengalangi
pengikatan insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin dan
menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan
sulfoniluria adalah bila berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat
badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stres
akut, seperti infeksi berat (Adi, Soebagijo. 2019).
2. Golongan biguanid

Cara kerjanya tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat


menurunkankadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Efek samping obat ini (metformin)
menyebabkan anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare (Adi, Soebagijo.
2019).
3. Alfa glukosidase inhibitor

Cara kerjanya menghambat kerja insulin alfa glukosidase di dalam saluran


cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hiperglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin (Adi,
Soebagijo. 2019).
4. Insulin sensitizing agent

Mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah


akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia (Adi, Soebagijo.
2019).
b. Insulin ada 3 jenis menurut cara kerjanya, antara lain :

1. Cara kerjanya cepat : RI (regular insulin) dengan masa kerja 2-4 jam. Contoh
obatnya:Actrapid
2. Cara kerjanya sedang: NPN dengan masa kerja 6-12 jam

3. Cara kerjanya lambat: PZI (Protamne Zinc Insulin) dengan masa kerjanya
18-24 jam (Adi, Soebagijo. 2019).
• Terapi non farmakologi

a. Jenis makanan

1. Karbohidrat

Sebagai sumber energi yang diberikan pada dibetisi tidak boleh lebih dari
55-65% daritotal kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari 70%
jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal.
Pada setiap hari karbohidrat terdapatkandungan energi sebesar 4 kilokalori
(Adi, Soebagijo. 2019).
2. Protein

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total


kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asuhan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu
ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energi sebesar 4 kilokalori/ gram (Adi, Soebagijo. 2019).
3. Lemak

Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori/ gram. Bahkan


makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan lemak
jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagidiabetisi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabitis
(Adi, Soebagijo. 2019).
b. Jadwal makan

Jadwal makan pengidap diabetes mellitus dianjurkan lebih sering dengan


porsi sedang. Disamping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam
dianjurkan juga porsi makanan ringan di sela- sela waktu tersebut (Adi,
Soebagijo. 2019).
c. Jumlah kalori

Jumlah kalori perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi,


umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. Penentuan 24 status gizi
dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca (Adi, Soebagijo.
2019).
Table 2.2 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT

NO Indeks Massa Tubuh Klasifikasi

1 <18,5 Berat badan kurang

2 18,5-22,9 Berat badan normal

3 >23,0 Berat badan rendah

23-24,9 Berat badan lebih beresiko

25-29,9 Obesitas 1

>33 Obesitas 2
Pertama-tama lakukan perhitungan berat badan ideal berdasarkan rumus
berat badan ideal(BBI kg)= (TB cm-100)- 10%. Untuk laki laki <160 cm dan
wanita <150 cm, perhitungan bb ideal tidak dikurangi 10% (Adi, Soebagijo.
2019).
d. Olahraga

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity
Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus- menerus tanpa henti, otot-
otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal
dilakukan selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat
digunakan untuk melakukan oahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot
yang teratur akan merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa
kedalam sel. Olahraga lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00)
karenaselain udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai sehingga
membantu penderita lebih nyaman dan tidak mengalami stress yang tinggi.
Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara
meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya
glukosa ke dalam sel (Adi, Soebagijo. 2019).
9. Komplikasi DM

Komplikasi diabetes melitus :


a. Kompikasi akut

Komplikasi akut diabtes meliputi hipoglikemia, ketoasidosis


diabetikum (KAD), dan sindrom hyperosmolar hiperglikemia non-ketotik
(hyperosmolar hyperglycemia state,HHS) (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Efek Somogyi (penurunan kadar glukosa darah saat malam hari yang
menyebabkan peningkatan glukosa darah pada pagi harinya) dan dawn
phenomenon (peningkatan kadarglukosa darah saat pagi hari akibat pelepasan
hormon pertumbuhan, kortisol dan katekolamin tanpa didahului oleh kejadian
hipoglikemia) juga dapat dijumpai (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Hipoglikemia pada pasien diabetes sering disebut sebagai syok insulin
atau reaksi insulin. Risiko hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 lebih kecil
dibanding dengan pasien DM tipe 1 karena mekanisme glucose
counterregulatory yang masih lengkap (intact). Hipoglikemia pada pasien DM
tipe 2 terjadi pada pasien yang mendapat terapi insulin sekretagog
(sulfonilurea) atau insulin eksogen. Gejala yang muncul berupa wajah
kepucatan, tremor, gelisah, takikardia, palpitasi, berkeringat, nyeri kepala,
pusing, iritabilitas, kelelahan, sulit mengambil keputusan, bingung, gangguan
penglihatan, terasa lapar, kejang sampai koma. Terapi yang harus segera
diberikan adalah pemberian pengganti glukosa baik per oral atau intravena.
Glukagon dapat digunakan di rumah terutama untuk pasien kelompok risiko
tinggi." Pencegahan dapat dilakukan denganpemberian terapi secara individual
baik obat maupun diet disertai pemantauan glukosa darah dan edukasi
(Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi serius yang
disebabkan defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra insulin
(katekolamin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan). KAD terjadi pada
30% anak dengan DM tipe 1 dan 5%pasien DM tipe 2. KAD lebih sering terjadi
pada pasien DM tipe 1 karena defisiensi insulin berat. KAD ditandai dengan
hiperglikemia, asidosis dan ketonuria. Pada keadaan normal, insulin akan
menstimulasi lipogenesis dan menghambat lipolisis sehingga katabolisme
lemak terhambat. Pada keadaan defisiensi insulin, akan terjadi lipolisis dan
peningkatan jumlah asam lemak nonester yang dibawa ke hepar. Akibatnya,
terjadi glikoneogenesis dan hiperglikemia serta terbentuknya benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton) oleh mitokondria di hepar dengan
kecepatan melebihi yang dibutuhkan jaringan perifer. Akumulasi benda keton
menyebabkan penurunan kadar pH dan asidosis metabolik. GejalaKAD meliputi
pernapasan Kussmaul (hiperventilasi sebagai mekanisme kompensasi asidosis),
rasa pusing akibat perubahan posisi, depresi sistem saraf pusat, ketonuri,
anoreksi, mual, nyeri perut, rasa haus, dan poliuria. Terapi KAD meliputi
kombinasi pemberian cairan, insulin dan koreksi elektrolit (Indaryati, S., &
Pranata, L. 2019).
Sindrom hiperosmolar hiperglikemia non-ketotik (hyperosmolar
hyperglycemic state, HHS) adalah suatu kondisi yang jarang terjadi dan
merupakan komplikasi serius DM tipe 2 dengan mortalitas yang tinggi. Ini
sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan komorbiditas, seperti infeksi,
penyakit kardiovaskular atau kelainan ginjal. Sindrom ini berbeda dengan KAD
baik dari derajat defisiensi insulin (yang lebih berat pada KAD) dan derajat
dehidrasi (yang lebih berat pada HHS). Gambaran laboratorium HHS meliputi
kadar glukosa darah dan osmolaritas yang sangat tinggi, sedangkan kadar
bikarbonat dan pH biasanya mendekati normal. Kadar glukosa darah lebih tinggi
pada HHS akibat kekurangan cairan. Mengingat jumlah insulin yang
dibutuhkan untuk menghambat pemecahan lemak lebih sedikit dari yang
dibutuhkan untuk transpor glukosa, maka lipolisis dan ketosis yang berlebihan
masih dapat dihambat. Manifestasi klinis HHS meliputi pasien tampak dehidrasi
berat, kehilangan elektrolit termasuk kalium,serta perubahan status neurologis,
seperti stupor. Terapi yang diberikan berupa rehidrasi cairan, insulin, dan
koreksi elektrolit (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
b. Komplikasi kronik

1. Komplikasi Makroangiopati merupakan gangguan berupa lesi yang terjadi


pada pembuluh darah ukuran sedang dan besar, meliputi penyakit
kardiovaskular, stroke, dan penyakit arteri perifer (Indaryati, S., & Pranata, L.
2019).
Komplikasi makrovaskular (lesi pada pembuluh darah ukuran sedang
dan besar) meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta mempercepat
timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner, stroke, penyakit arteri
perifer, terutama pada pasien DM tipe 2. Anak dengan diabetes yang tidak
terkontrol mempunyai risiko komplikasi makrovaskularyang tinggi dalam satu
sampai dua dekade ke depan. Proses tersebut bisa lebih berat atau cepat bila
disertai faktor risiko lain, seperti obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
(Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian pada 75%
pasien diabetes dan perempuan mempunyai risiko yang lebih tinggi. Hipertensi
sering terjadi bersamaan dengan diabetes mellitus. Hipertensi lebih sering
terjadi pada pasien dabetes dibanding dengan populasi nondiabetik dengan
berbagai macam penyebab. Pada pasien DM tipe 1, hipertensi berkaitan dengan
mikroalbuminuria. Pada DM tipe 2, hipertensi berkaitan dengan sindrom
metabolik. Hipertensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke.
Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pasien diabetes. Mekanisme yang mendasari adalah hiperglikemia
dan resistensi insulin, peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL) dan
trigliserida, penurunan kadar high density lipoprotein (HDL) kelainan
trombosit, dan disfungsi endotel.4 Secara umum, prevalensi PJK semakin
meningkat sesuai dengan lamanya menderita diabetes dan bukan berdasar
derajat keparahan diabetesnya. Awitan PJK dapat tidak bergejala (Indaryati, S.,
& Pranata, L. 2019).
Stroke. Stroke terjadi dua kali lipat lebih sering pada pasien diabetes
(terutama DM tipe 2) dibandingkan dengan pasien nondiabetes. Angka
keberlangsungan hidup pasien diabetes setelah serangan stroke lebih rendah
dibandingkan pasien non-diabetes. Faktor risiko utama yang berperan terhadap
kejadian stroke antara lain hipertensi, hiperglikemia,dan thrombosis (Indaryati,
S., & Pranata, L. 2019).
Penyakit arteri perifer. Terjadi peningkatan insidensi penyakit arteri
perfier berupa klaudikasio (nyeri saat beraktivitas akibat penurunan aliran
darah), ulkus, gangren,dan amputasi pada pasien diabetes. Usia, lama menderita
DM, genetik dan faktor lainnya (merokok, hiperlipidemia, hipertensi)
mempengaruhi diagnosis dan manajemen penyakit arteri perifer. Pada diabetes,
manifestasi klinis sering kali lebih luas dan melibatkan arteri di bawah lutut.
Oklusi di arteri kecil dan arteriol menyebabkan gangren pada ekstremitas bawah
dan area di sekitar kaki dan jari kaki. Lesi biasanya diawali dengan ulkus dan
berlanjut menjadi osteomielitis atau gangren yang membutuhkan tindakan
amputasi. Salah satu faktor yang memperburuk perjalanan penyakit adalah
infeksi dan neuropati perifer. Amputasi yang luas meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
2. Komplikasi Mikroangiopati merupakan gangguan yang terjadi pada
pembuluh darah kapiler, meliputi retinopati diabetukm, nefropati diabetikum,
dan neuropati diabetikum.
Komplikasi mikrovaskular (gangguan di kapiler) menjadi penyebab
kebutaan, gagal ginjal kronik, dan berbagai kelainan neuropati. Oklusi kapiler
merupakan karakteristik komplikasi mikroangiopatu pada diabetes. Frekuensi
dan derajat lesi dipengaruhi oleh durasi penyakit (umumnya lebih dari 10 tahun)
dan kendali glukosa darah. Hipoksia dan iskemia akibat mikroangiopati
biasanya dijumpai di mata, ginjal, danserabut saraf (Indaryati, S., & Pranata, L.
2019).
Penanganan Komplikasi Diabetes Melitus :
Prinsip utama penanganan komplikasi diabetes melitus adalah dengan
mengendalikan kadar gula darah agar tidak merusak organ-organ tubuh.
Penanganan yang diberikan mencakup pengobatan secara medis, pengaturan
gizi, dan penerapan pola hidup sehat untuk penderita diabetes (Wisse, B.
National Institute of Health 2020).
Semakin baik Anda mengelola kadar gula darah, tekanan darah, dan
kadar lemak darah, semakin rendah risiko terjadinya komplikasi diabetes
melitus. Anda dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin ke dokter agar
penyakit diabetes dapat dikelola dengan baik (Wisse, B. National Institute of
Health 2020).
Pola makan yang tepat dan penerapan pola hidup sehat dengan cara rajin
berolahraga, menjaga berat badan, menghentikan kebiasaan merokok, serta
menghindari peningkatan tekanan darah dan kolesterol, akan mendukung Anda
untuk tetap sehat dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi diabetes melitus
(Wisse, B. National Institute of Health 2020).
Jika Anda mengalami salah satu gejala atau diketahui memiliki faktor
risiko seperti yang telah dijelaskan di atas, segera konsultasikan ke dokter.
Jangan mengabaikan tanda dan gejala yang timbul, karena dapat mempersulit
proses pengobatan dan pemulihan komplikasi diabetes melitus (Wisse, B.
National Institute of Health 2020).
10. Proglosis

Prognosis diabetes mellitus tipe 1 berkaitan dengan morbiditas


signifikan dan mortalitas prematur. Komplikasi yang perlu diwaspadai pada
jangka pendek berupa penyakit arteri perifer ataupun neuropati. Kondisi
tersebut membuat pasien menjadi rentan mengalami ulkus diabetikum yang
akan meningkatkan keperluan amputasi. Pasien diabetes mellitus telah
dilaporkan 40 kali lebih berisiko menjalani amputasi dibandingkan kontrol.
Faktor yang meningkatkan risiko adalah kontrol glikemik yang buruk dan
komplikasi renal. (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
Prognosis diabetes mellitus tipe 2 berkaitan dengan kejadian
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, dimana hal ini dapat berisiko
morbiditas bahkan mortalitas. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu
penyebab kebutaan terbanyak dan kematian terbanyak dalam studi
epidemiologi global. Namun, untuk mereka yang mencapai 20 tahun pertama
setelah diagnosis tanpa komplikasi, prognosisnya baik. (Indaryati, S., &
Pranata, L. 2019).
Sementara itu, diabetes mellitus tipe 3 bukanlah diagnosis resmi
dan klasifikasinya sangat kontroversial. Ini adalah istilah yang diusulkan untuk
menjelaskan hipotesis bahwa penyakit Alzheimer disebabkan oleh jenis
resistensi insulin dan disfungsi faktor pertumbuhan mirip insulin yang terjadi
khususnya di otak. (Indaryati, S., & Pranata, L. 2019).
11. Konseling Informasi Edukasi pasien yang terkena DM

Pasien harus diedukasi tentang pentingnya manajemen glukosa darah


untuk menghindari komplikasi yang terkait dengan DM. Stres harus diberikan
pada manajemen gaya hidup, termasuk kontrol diet dan latihan fisik. Pemantauan
diri glukosa darah adalah sarana penting bagi pasien untuk bertanggung jawab
atas manajemen diabetes mereka. Estimasi kadar glukosa, hemoglobin terglikasi,
dan lipid secara teratur diperlukan (Goyal, Singhal, & Jialal., 2023).
Profesional kesehatan harus mendidik pasien tentang gejala hipoglikemia
(seperti takikardia, berkeringat, kebingungan) dan tindakan yang diperlukan
(konsumsi 15 hingga 20gram karbohidrat) (Goyal, Singhal, & Jialal., 2023).
Pasien harus termotivasi untuk berhenti merokok. Penekanan diperlukan
pada pemeriksaan mata dan perawatan kaki secara teratur (Goyal, Singhal, &
Jialal., 2023).
12. Epidemiologi DM

Diabetes Melitus terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama DM yang
disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan life style atau gaya hidup gaya
hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi
DM. Bila dicermati, penduduk dengan obes mempunyai risiko terkena DM lebih
besar dari penduduk yang tidak obesitas. Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih
tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara
fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.
Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di
Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes
melitus didunia adalah sebanyak371 juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes
melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetesmellitus
dan hanya 5% dari jumlahtersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus
merupakan penyakit yang disebabkan karena kurangnya atau tidak adanya peranan dari
hormon insulin. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi diabetes melitus tipe
satu dan tipe dua. Komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi komplikasi akut dan
kronis.

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah di dalamtubuh, Penyakit ini berhubungan erat dengan keberadaan hormon
Insulin yang di produksi oleh kelenjar Pankreas serta berfungsi mengubah glukosa
menjadi glikogen. Terdapat beberapa tipe Diabetes melitus yakni DM tipe I, DM tipe II,
DM Gestasional dan DM jenis lain. Penyebab umumdari Diabetes melitus adalah adalah
genetika, usia, obesitas, hipertensi, gaya hidup yang tidak sehat, dan factor lingkungan.
Diabetes melitus memengaruhi berbagai sistem tubuh yang meliputisistem pencernaan,
sistem urinaria, sistem imun, sistem integument, sistem kardiovaskuler, sistem
pernapasan, system saraf dan sistem indra sehingga menimbulkan beberapa gejala
kesehatan padapenderitanya. Sebagai contoh adalah hal yang dirasakan pasien dalam
kasus pemicu yaitu sering buang air kecil, sering haus dan lapar, serta terjadi penurunan
berat badan dan merasa sering kesemutan pada ekstremitas bawah. Gejala yang
umumnya ada pada penderita DM yaitu hipoglukemia, polyuria, polydipsia,polifagia,
rasa lelah dan kelemahan otot , penurunan berat badan secara drastis dan beberapa
kasus mengalami gangguan pandangan. Terdapat beragam komplikasi diabetes melitus
yang mengancam jiwa penderitanya. Komplikasi pada diabetes melitus dapat dibagi
menjadi dua, yakni komplikasi akut dan juga komplikasi kronis. Komplikasi akut
diabetes dapat meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabeticum (KAD), dan sindrom
hyperosmolar hiperglikemia non-ketotik. Komplikasi kronis sendiri dibagi lagi menjadi
makroangiopati (retinopati, nefropati, dan neuropati diabeticum) dan mikroangiopati
(ganggua kardiovaskuler). Komplikasi ini dapat ditangani dengan beberapa
penatalaksanaan mulai dari terapi cairan hingga ke penggunaan insulin. Usaha untuk
menangani penyakit DM ada bermacam-macam dan umumnya adalah mengenai pola
hidup. Aktivitas yang dapat mendukung kesehatan penderita DM meliputi perbaikan
pola makan, olahraga, pemberian injeksi Insulin ( DM tipe 1)
dan meminum obat oral untuk diabetes (biasanya DM tipe 2). Dengan begitu
diperlukan usahayang aktif dari penderita DM untuk memulihkan kesehatannya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Indaryati, S., & Pranata, L. (2019). Peran Edukator Perawat Dalam Pencegahan
Komplikasi Diabetes Melitus (Dm) Di Puskesmas Kota Palembang Tahun
2019.

Adi, Soebagijo. 2019. Buku Pedoman “Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Dewasa di Indonesia”

Christianty, M. A. (2021). Gambaran pola hidup pada penderita diabetes melitus pada
ny. S di wilayah karangploso kabupaten malang (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Malang).

Setiati, Siti. 2017. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Edisi VI. Jilid 2. Interna
Publishing. JakartaPusat.

Wisse, B. National Institute of Health (2020). U.S. National Library of Medicine


MedlinePlus. Diabetic ketoacidosis.

Martiningsih, D. (2019). Analisis faktor yang mempengaruhi kejadian neuropati


diabetik padapasien diabetes melitus tipe 2. Viva Medika: Jurnal Kesehatan,
Kebidanan danKeperawatan, 13(01), 40-49.

Anda mungkin juga menyukai