Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rima Melati

NIM : 2019 211 078

Kelas : 2C. Manajemen

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

INDONESIA 2050 SEPERTI APA?

Dengan jumlah warga sekitar 400 juta pada tahun 2050 jika pertumbuhan penduduk
1,48 persen per tahun berkelanjutan Indonesia mungkin akan menggeser posisi Amerika
Serikat yang kini berada di peringkat ketiga setelah China dan India dengan jumlah penduduk
325.000.000, berkat program keluarga berencana yang dijalankan.

China dan India dengan penduduk masing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar tampaknya akan
tetap berada di puncak saat penghuni planet Bumi ini mencapai 9.850 juta (mendekati 10
miliar) tahun itu. Para pakar demografi umumnya mencemaskan laju pertumbuhan penduduk
yang dahsyat itu jika negara-negara di dunia tidak cukup awas memperhitungkannya lebih
awal. Hanya tersisa 30 tahun menjelang umat manusia berada pada angka yang mencemaskan
itu. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, laju pertumbuhan penduduk yang tak
terkendali pasti akan mengundang masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.

MENGAPA DEMIKIAN?

Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang
sering mendera adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku
sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta
ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni? Kemudian, dengan semakin dalam cakaran
kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan
Indonesia yang sangat kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut, dan perilaku korup politisi
dan pengusaha hitam, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam
sama sekali? Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.

Menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan
periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta
hektar per tahun. Maka jadilah Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan
hutan tertinggi di muka Bumi.Lagi, berdasarkan data resmi 2006, luas hutan yang rusak dan
tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di
Indonesia. Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta
hektar per tahun. Anda tinggal mengalikan saja jika tidak ada politik tegas dan keras yang
diterapkan bagaimana kira-kira Indonesia pada tahun 2050.

Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang


bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari
warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia.
Berlaku tali-temali di sini antara mengejar keperluan primer dan kerusakan lingkungan
sebagai akibatnya. Buntut dari kerusakan lingkungan ini amatlah jauh: habitat hewan dalam
berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia. Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis
lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur
berantakan

Sebagai negara kepulauan yang cantik, Indonesia masih menyisakan sekitar 10 persen hutan
tropis dunia. Hutan Indonesia memiliki 12 persen dari jumlah spesies binatang mamalia, 16
persen spesies binatang reptil dan amfibi. Dihuni pula oleh 1.519 jenis burung dan 25 persen
dari spesies ikan dunia. Kita tidak bisa membayangkan jika kerusakan lingkungan, darat, laut,
dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, bagaimana nasib
spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang. Masihkah kita bangga sebagai manusia
beradab yang mengacu pada sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab?

Dari sumber Wahana Lingkungan Hidup Indonesia kita disuguhi fakta kerusakan yang tidak
boleh dianggap sepele. Di perbukitan Bandar Lampung, misalnya, kerusakan hutan mencapai
80 persen, umumnya oleh warga demi kelangsungan hidup mereka. Di delta Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, 50 persen dalam kondisi
rusak. Penyebab utamanya adalah perluasan tambak yang tak terawasi dengan baik, di
samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu.

Sebenarnya tidak ada sebuah pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Di
Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, yang didiami sekitar 59 persen penduduk
Indonesia, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi
perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain. Jika distribusi penduduk tak mengalami
pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan
kemiskinan golongan paria

Kelapa sawit sumber devisa?

Tahun-tahun belakangan ini penanaman kelapa sawit digalakkan. Pada pertengahan 2010 di
Indonesia terdapat 7,5 juta hektar perkebunan sawit, 40 persen milik rakyat, sementara di
seluruh dunia hanya 13,1 juta hektar. Sawit menghasilkan 21,5 juta ton CPO (crude palm oil)
per tahun. Diperkirakan tahun 2014 luas kebun sawit akan mencapai 10 juta hektar, sebuah
sumber devisa yang tidak kecil.

Namun, berbeda dari tanaman karet yang dapat meresap air, kelapa sawit sebaliknya. Tanah
sekitar akan jadi gersang, sumber-sumber air mengalami kematian. Jadi, rencana perluasan
perkebunan kelapa sawit harus benar-benar dikaji agar tak terjadi serba kontradiksi ini: devisa
mengalir, sementara lahan sekitar kekurangan air. Air di mana pun adalah sumber kehidupan
paling utama.
Dengan penduduk 257,9 juta pada tahun 2020 saja Indonesia telah keteteran oleh berbagai
masalah yang berimpit. Pada tahun 2050, jika rahim Nusantara gagal melahirkan para
negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan.

Anda mungkin juga menyukai