Anda di halaman 1dari 5

TEKS ARGUMENTASI BAHASA INDONESIA

Pernikahan Dini sebagai Pandemi untuk Negeri

DISUSUN OLEH:
Berliana Aulia Wisnu Putri (10)
Shofiyah Jannatul Firdaus (35)

XI-E1
SMA NEGERI 2 CIBINONG

Jalan Karadenan no. 5, Karadenan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 16913.

2023
Pernikahan Dini sebagai Pandemi untuk Negeri
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki masalah krusial yang harus menjadi
perhatian bagi masyarakat dan juga pemerintah. Pernikahan dini, suatu masalah yang terjadi
terus-menerus dan tidak ada habisnya. Mulai dari nenek moyang hingga cucu, kerapkali
terjerat lingkaran pernikahan dini. Pernikahan adalah sesuatu yang harus diperhatikan dengan
matang, karena merupakan sekali seumur hidup, namun apabila sebuah pernikahan terjadi di
usia muda, maka panjanglah perjalanan manusia untuk hidup bersama. Hal ini menimbulkan
banyak kontroversi, pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan, pernikahan
adalah sesuatu yang sakral. Seumur hidup itu sangat lama untuk 2 insan yang menikah
bahkan sebelum usia 20 tahun, padahal masa depan masih sangat panjang untuk dicapai.

Pernikahan dini bukan hanya sekadar isu sosial, melainkan pandemi yang merongrong
masa depan negeri. Kita melihatnya sebagai fenomena yang mengancam keberlangsungan
generasi muda. Anak-anak yang terjebak dalam pernikahan dini kerap berhadapan dengan
beban tanggung jawab yang melebihi usia mereka. Peluang pendidikan dan perkembangan
pribadi terhambat, mengakibatkan ketidaksetaraan gender semakin memendam akar.
Masyarakat harus bersatu untuk melawan pandemi ini, dengan meningkatkan kesadaran akan
dampak negatifnya dan memperjuangkan hak anak untuk masa depan yang lebih baik.

Indonesia menjadi negara ke 8 di dunia dengan tingkat pernikahan dini yang tinggi,
hal ini dengan 1.459.000 kasus menurut data UNICEF. Persentase potensi pernikahan dini
perempuan adalah lebih banyak daripada laki-laki, hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal
seperti masalah ekonomi ataupun adat istiadat. Namun kebanyakan, masalah ini disebabkan
oleh tingginya pergaulan bebas remaja di Indonesia. Dimana kebanyakan pernikahan dini
disebabkan oleh hamil diluar pernikahan yang kemudian mengajukan dispensasi kawin,
dimana dispensasi kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon
suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Menurut
data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), ada
empat provinsi dengan angka dispensasi nikah tertinggi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Selama 2022, terdapat 51 ribu pernikahan dini yang
mendapat dispensasi kawin (diska) dari Pengadilan Agama (PA).

Pernikahan dini di Indonesia memiliki akar penyebab yang kompleks, termasuk faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Ketidaksetaraan gender yang masih melekat dalam
masyarakat, terutama di daerah pedesaan, dapat memaksa anak perempuan untuk menikah
pada usia yang sangat muda. Faktor ekonomi juga berperan, di mana kemiskinan sering kali
mendorong keluarga untuk mengawinkan anak perempuannya pada usia dini demi keamanan
finansial. Kurangnya akses terhadap pendidikan yang berkualitas juga merupakan faktor
utama, karena anak-anak yang tidak bersekolah memiliki peluang lebih besar untuk menikah
pada usia muda. Dampak dari pernikahan dini sangat merugikan, termasuk risiko kesehatan
yang lebih tinggi bagi ibu dan bayi seperti kasus baby blues, peluang pendidikan yang
terbatas, kurang siapnya mental saat menghadapi berbagai masalah yang timbul, serta risiko
kemiskinan yang lebih besar di kemudian hari karena biaya untuk kebutuhan sehari-hari.
Pernikahan dini juga berdampak pada laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali,
yang dapat mengancam stabilitas sosial dan ekonomi.

Untuk mengatasi pernikahan dini sebagai pandemi sosial, langkah-langkah


komprehensif perlu diambil. Pertama, penting untuk memperkuat program pendidikan
seksual yang inklusif dan edukatif di seluruh tingkatan sekolah. Dengan memberikan
pemahaman yang jelas tentang dampak pernikahan dini, anak-anak dan remaja akan lebih
mampu membuat keputusan yang bijak terkait hidup mereka. Selanjutnya, perlu ditingkatkan
akses terhadap pendidikan berkualitas bagi perempuan di seluruh negeri. Pendidikan
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan
hidup, sehingga mereka dapat berperan lebih aktif dalam pembangunan masyarakat. Selain
itu, penguatan ekonomi keluarga juga penting; program bantuan sosial dan pelatihan
keterampilan ekonomi dapat membantu mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong
pernikahan dini. Upaya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta
dalam memberikan pelatihan vokasional serta menciptakan peluang pekerjaan dapat
memberikan alternatif yang lebih baik bagi remaja. Melalui pendekatan holistik ini, kita dapat
bergerak menuju pengurangan angka pernikahan dini, memberikan peluang yang lebih baik
bagi generasi muda, serta mewujudkan perkembangan berkelanjutan bagi negeri ini.

Pernikahan dini di Indonesia dapat dikatakan sebagai pandemi untuk negeri apabila
angkanya terus menerus meningkat. UU nomor 16 tahun 2019 mengatur usia ideal dimana
terdapat usia setara 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan. Maka, kepatuhan dan
kesadaran hukum wajib untuk tumbuh dalam diri setiap manusia terutama untuk mencegah
berbagai dampak negatif pernikahan dini yang berkelangsungan. Remaja memiliki masa
depan yang masih sangat panjang dan cita-cita yang harus diraih, pernikahan yang sakral dan
seumur hidup adalah hal yang tidak bisa dipermainkan. Maka dari itu, masyarakat harus
mulai melek terhadap kasus pernikahan dini yang kian meningkat di Indonesia, terutama dari
dalam diri remaja itu sendiri untuk bisa memutus lingkaran pernikahan dini, demi
mewujudkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berpendidikan
di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai