Berusaha mati-matian untuk tidak gila namun di cap gila.
Kalimat tersebut mungkin sangatlah mewakili kondisi penderita anxiety di Indonesia. Mayoritas penderita anxiety terkadang tidak menyadari atas kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja, bahkan denial atau tidak ingin mengakui kondisi tersebut. Hal ini tentu bukan yang penderita anxiety inginkan, yang mereka inginkan adalah bertemu dengan ahlinya atau bahkan meneriakkan kepada dunia bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Namun persepsi masyarakat Indonesia patut dipertanyakan, tanggapan orang di lingkungan sekitar yang justru menyudutkan acapkali menyebabkan penderita anxiety getir untuk meminta pertolongan. Mirisnya, faktor rasa takut itu timbul dari orang-orang di sekitarnya, terutama orang dewasa. Pandangan orang-orang dewasa tentang hubungan manusia dengan Tuhan terkadang menghambat para penderita anxiety untuk berkonsultasi kepada ahli kejiwaan. Bukan berarti penderita anxiety adalah orang-orang yang jauh dari Tuhan, namun perlu digarisbawahi bahwa mereka butuh pertolongan nyata, semua untuk nyawa. Senyum hanya untuk menutup luka bukan bahagia. Sebagai remaja penderita anxiety, ada banyak yang perlu dipertimbangkan, tentang bagaimana mengatasi gangguan dalam diri ataupun pandangan orang-orang. Menjadi penderita anxiety bukan berarti tidak dapat menjalani hidup, namun ada lebih banyak gelombang yang dirasakan. Menjadi lebih rentan bukan berarti lemah dalam menghadapi dunia dan masalahnya, hanya saja terlalu lelah untuk melewati sendiri namun terlalu takut untuk meminta pertolongan. Kerapkali, kala rembulan datang, meraung di sudut kamar beralaskan bantal yang telah basah oleh genangan, berusaha mencari ketenangan dengan sebatang tembakau, atau sebilah benda tajam yang dapat menciptakan bulir merah. Namun saat sang surya telah muncul, kala fajar telah menyingsing, senyuman telah berbaur bersama wajah lelah, berusaha berkata kepada dunia bahwa saya baik-baik saja. Setelah itu akan menjalani aktivitas sebagaimana biasanya, berinteraksi dengan lautan manusia, belajar dan bekerja walau pikiran berkecamuk, kemudian berkata bahwa saya ingin mati. Bukan ingin mati, hiduplah yang paling diinginkan, namun ketenangan yang dibutuhkan hingga berpikir terlalu jauh. Melukai diri sendiri, merusak diri sendiri, hingga merasakan bahwa hidup adalah kesia-siaan, bukanlah sesuatu yang tabu untuk para penderita anxiety, namun hal ini merupakan hal tercela yang tanpa pertimbangan datang dari orang-orang di sekitar. Padahal apesiasi, dukungan, motivasi, dan pertolongan sudah cukup untuk para penderita anxiety tanpa perlu tenaga lebih untuk suatu kata yang tidak perlu. Orang-orang seringkali acuh tak acuh kemudian terlambat menyadari bahwa orang di sekitarnya butuh bantuan, ketika telah tiada akan tetap menyalahkan para penderita tanpa berpikir bahwa mereka berkontribusi terhadap rasa penatnya. Bukannya para penderita anxiety terlalu berlebihan, namun mereka sedang dalam tahap mencari ketenangan. Bilamana ditanya, apa yang paling diinginkan penderita anxiety, mereka akan menjawab mati. Namun seumpama ditanyakan pada jiwa penderita, mereka akan menjawab hidup bahagia bersama orang-orang yang dicintai seakan tiada hari esok. Pengalaman adalah penyebab namun kata-kata adalah pemicu. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan gangguan mental, akan tetapi, semua orang memiliki kemampuan bertahan yang berbeda dan lingkungan yang tentu saja berbeda. Trauma masa kecil terkadang ambil peran dalam ketidakseimbangan mental manusia, pengalaman akan kehilangan, pertengkaran, hingga kekerasan akan selalu ambil bagian dalam hidup seseorang. Aktivitas masa kini seperti kegagalan, kehancuran, hingga ketidaksempurnaan masa remaja juga punya andil menyumbang penyebab anxiety. Terlepas dari berbagai pengalaman ada rasa lelah yang diterima manusia, lelah yang dapat berubah jadi pasrah hingga menyerah, perasaan ini yang selalu ditepis oleh orang-orang di sekitar karena katanya belum seberapa, hingga tanpa sadar memercikkan kata-kata pembunuh. Harapan yang dimiliki untuk hidup bahagia terkadang pupus akibat kata-kata manusia, membuat jiwa yang bersedih akhirnya tidak tahu lagi harus berbuat apa dan kembali menutup diri. Gila. Itulah kata yang tidak dapat lepas dalam dunia penderita anxiety. Kata-kata yang akhirnya memicu trauma untuk terus berkelana, dan merambat, menghabisi raga yang telah kehilangan jiwa. Jangan mati sebelum mati. Kematian tentu saja menjadi klimaks bagi dunia para penderita anxiety, namun nyatanya ada banyak raga yang telah kehilangan jiwa bahkan sebelum benar-benar mati. Banyak penderita anxiety yang menjalani hidup hanya sebagai formalitas bukan lagi berdasarkan keinginan. Gangguan mental dapat mengantarkan individu pada berbagai masalah dalam banyak aspek, seseorang yang telah kehilangan hasrat hidup akan sukar menumbuhkan potensi dalam dirinya, berhenti dari banyak hal yang ia sukai, hingga enggan untuk berbuat. Pikiran yang berkecamuk akan berpengaruh pada pendidikan atau pekerjaannya, tidak dapat fokus hingga mengantarkan pada kegagalan yang berujung pada masalah utamanya. Keengganan berinteraksi kemudian berimbas pada kehidupan sosialnya, orang-orang mulai menganggap aneh dan gagal bersosialisasi sehingga sulit untuk menemukan seseorang yang sekiranya dapat diajak berbagi pikiran. Prevalensi menyakiti diri sendiri juga akan mengundang persepsi yang berbeda-beda dari orang lain, hingga bisa jadi gagal dalam berbagai aspek karena bukti yang tidak dapat hilang. Maka dari itu, seorang penderita anxiety sering dikatakan telah mati jiwanya sebelum benar-benar mati raganya. Bagaimana akhirnya harapan kembali datang setelah pupus begitu lama? Memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari jurang kesengsaraan adalah hal yang pasti dimiliki semua orang, akan tetapi tidak semua orang benar-benar dapat lepas dari jurang tersebut. Saya, sebagai remaja yang tengah berjuang melawan anxiety nampaknya sudah cukup dapat meyesuaikan diri dan perlahan lepas dari jerat setan anxiety. Lalu, apa yang saya lakukan untuk kemudian bisa berusaha untuk lepas dari anxiety? 1. Sadari bakat dan potensi dalam diri. Dengan menyadari bakat dan potensi dalam diri, kita jadi tahu arah dan tujuan dalam hidup, impian akan lebih terarah, memiliki kesempatan maksimal untuk mencapai mimpi dan keinginan. 2. Menyibukkan diri dengan hal positif. Singkat saja, dengan mengetahui bakat dan potensi, kita jadi tahu apa yang kita bisa, sehingga tahu dapat berbuat apa. Dengan memiliki kesibukan, akan minim waktu yang akhirnya terbuang sia-sia untuk hal-hal negatif. 3. Perhatikan sekitar, ada banyak orang yang mendukung dan hadir untuk kita. Jangan ragu untuk ceritakan masalah yang sedang dialami kepada orang yang dipercaya, banyak orang di sekitar kita yang peduli dan sayang pada kita. Berhenti untuk berpikir bahwa kita hidup sendiri, berusahalah untuk hidup dengan bebas bersama orang lain. 4. Percaya diri dan yakin bahwa hidupmu akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja, kalau bukan hari ini, ada hari esok. Percaya diri akan mengantarkan kita pada banyak persepsi positif. Semua akan menjadi lebih baik, biarkan persepsi orang, yakinlah bahwa kamu akan sembuh. Jangan takut untuk pergi kepada ahlinya, ingatlah hubungan dengan Tuhan.