Anda di halaman 1dari 3

Hotmaulina Malau

No. 10 Upaya memberikan identifikasi

Pada era Orde Baru di Indonesia, konfigurasi politik pemerintahan daerah ditandai oleh
beberapa identifikasi yang mencerminkan ciri-ciri pemerintahan otoriter dan sentralistik
yang mendominasi seluruh aspek kehidupan politik di tingkat daerah. Berikut adalah
beberapa identifikasi dalam konfigurasi politik pemerintahan daerah era Orde Baru:

1. Penguasaan Pusat atas Pemerintahan Daerah: Pemerintah pusat memiliki


kendali yang kuat atas pemerintahan daerah, termasuk dalam hal anggaran,
program pembangunan, dan kebijakan-kebijakan utama.

2. Pembatasan Otonomi Daerah: Otonomi daerah terbatas, sehingga


pemerintahan daerah memiliki sedikit kewenangan dalam mengambil keputusan
penting tanpa persetujuan pemerintah pusat.

3. Pengangkatan Kepala Daerah: Kepala daerah, seperti gubernur atau bupati,


biasanya diangkat oleh pemerintah pusat atau melalui mekanisme yang
dikendalikan oleh partai penguasa.

4. Pengawasan Aparat Pusat: Aparat pemerintahan pusat, termasuk aparat


intelijen, sering kali ikut mengawasi dan mengontrol tindakan pemerintahan
daerah, sehingga mengurangi kebebasan keputusan di tingkat lokal.

5. Ketergantungan Keuangan: Pemerintahan daerah sangat tergantung pada


transfer dana dari pemerintah pusat, sehingga otonomi finansial mereka sangat
terbatas.

6. Kontrol Partai Penguasa: Partai Golkar, sebagai partai penguasa pada masa
Orde Baru, memiliki pengaruh besar di tingkat daerah dan sering kali
memonopoli proses politik di tingkat lokal.

7. Keterlibatan Militer dalam Pemerintahan Daerah: Angkatan Bersenjata


Republik Indonesia (ABRI) memiliki peran dan pengaruh yang signifikan dalam
pemerintahan daerah, mengikuti konsep dwifungsi ABRI yang memungkinkan
campur tangan militer dalam urusan non-militer.

8. Keterbatasan Partisipasi Politik: Partisipasi politik masyarakat lokal seringkali


dibatasi, dan ada kontrol ketat terhadap organisasi kemasyarakatan atau
kelompok masyarakat yang dianggap mengancam stabilitas pemerintah.
9. Prioritas Pembangunan Pusat: Pembangunan di daerah cenderung didikte
oleh pemerintah pusat, yang sering kali lebih memprioritaskan pembangunan di
wilayah-wilayah tertentu daripada di daerah-daerah pedalaman atau perbatasan.

10. Korupsi dan Nepotisme: Praktik korupsi dan nepotisme seringkali meluas di
pemerintahan daerah, dimana elit lokal mendapatkan keuntungan dan
kesempatan dengan memanfaatkan posisi politik mereka.

Identifikasi di atas mencerminkan kontrol sentralistik pemerintah pusat atas


pemerintahan daerah, ketergantungan daerah pada pemerintah pusat, dan
keterbatasan otonomi dan partisipasi politik di tingkat lokal selama era Orde Baru.
Pemerintahan daerah pada masa itu berperan lebih sebagai alat untuk mengamankan
kekuasaan dan kebijakan pemerintah pusat daripada sebagai entitas yang benar-benar
otonom dan responsif terhadap kebutuhan lokal.

No. 11Bekerjanya pilar-pilar demokrasi

Pada era Orde Baru di Indonesia, meskipun rezim tersebut mengklaim bahwa
Indonesia merupakan negara dengan sistem politik "Demokrasi Terpimpin,"
kenyataannya pilar-pilar demokrasi mengalami berbagai keterbatasan dan manipulasi.
Beberapa pilar demokrasi yang berperan dalam konfigurasi politik pada masa itu
adalah:

1. Partisipasi Politik: Pada teorinya, partisipasi politik dipromosikan melalui Partai


Golkar dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berafiliasi dengan
penguasa. Namun, partisipasi sebenarnya dibatasi oleh kendali pemerintah dan
intimidasi terhadap oposisi politik.

2. Pemilihan Umum: Pemilu diadakan secara berkala, tetapi prosesnya tidak


kompetitif dan seringkali diatur untuk memastikan kemenangan partai penguasa,
terutama Partai Golkar.

3. Kebebasan Berpendapat dan Pers: Meskipun konstitusi menjamin kebebasan


berpendapat dan pers, dalam kenyataannya, media massa dikendalikan oleh
pemerintah, dan kritik terhadap penguasa sering dihambat atau dihukum.

4. Pengakuan Hak Asasi Manusia: Meskipun konstitusi mengakui hak asasi


manusia, pada kenyataannya, banyak pelanggaran hak asasi manusia yang
terjadi, termasuk penahanan tanpa proses hukum yang adil dan pembatasan
terhadap kebebasan sipil.
5. Pemisahan Kekuasaan: Prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif seharusnya menjadi landasan bagi sistem demokratis.
Namun, pada era Orde Baru, kekuasaan sangat terpusat pada Presiden
Soeharto, dengan lembaga-lembaga lain tunduk pada penguasa.

6. Kemerdekaan Partai Politik: Terdapat batasan dan pengawasan ketat terhadap


partai politik oposisi, sehingga Partai Golkar mendominasi pemandangan politik
dan memonopoli kekuasaan politik.

7. Perlindungan Hak Minoritas: Meskipun konstitusi menjamin perlindungan hak-


hak minoritas, pada kenyataannya, minoritas sering menghadapi diskriminasi
dan tekanan politik.

8. Akuntabilitas Pemerintahan: Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan


seringkali lemah, dan korupsi merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan.

9. Hak Asosiasi dan Kebebasan Berserikat: Hak untuk membentuk serikat


pekerja dan organisasi masyarakat sipil dibatasi, dan ada kontrol ketat atas
organisasi kemasyarakatan.

Dalam konfigurasi politik era Orde Baru, sebagian besar pilar-pilar demokrasi yang
menjadi ciri khas sistem politik demokratis sebenarnya mengalami pembatasan dan
manipulasi oleh pemerintah otoriter. Era ini ditandai oleh dominasi penguasa,
keterbatasan partisipasi politik, kendali terhadap media massa, dan pengawasan ketat
terhadap partai oposisi, yang secara kolektif mengurangi kualitas demokrasi dalam
sistem politik Indonesia pada masa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai