Black Star

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

Black Star : ‘Scandal’

Sebuah Novel dari @ruangkeduanona


The Gosip

Semester Akhir: Menjelang Ujian Akhir

❤sma_angkasabangsa menyukai
BLACK STAR | 🚫SEMUA PENUH MISTERI🚫
@blackstar
Oh ini ya ternyata definisi dari kata ‘ditusuk dari belakang’, ku kira bestie ternyata tai. Udah
pada tau kan mereka ini siapa. Buat nama mbak-Nya gak usah di spill ya, seluruh seantero
anak SMA Angkasa Bangsa juga udah pada tau. Maklum mbak-Nya emang cukup terkenal
anak Cheerleader soalnya. Buat Kakak berinisial EB sing sabar ya pacarnya di embat sama
bestie sendiri, maklum zaman sekarang banyak banget orang yang maruk saking maruknya
jatah temen sendiri aja di makan.
(Foto cewek dan cowok yang lagi pelukan)

Satu
Tahun Ajaran Baru
Irene kembali berpura-pura membenarkan earpod-nya saat langkah kakinya menapaki
lorong kawasan kelas 11. Selama berjalan dan bertemu dengan banyak orang, Irene kadang
berpura-pura membenarkan tata letak tas bahunya yang tidak melorot hanya demi terlihat
biasa saja dan tidak terlihat konyol di hadapan orang lain walau pada kenyataannya hatinya
begitu resah dan gelisah, isi kepalanya begitu berisik menyerukan supaya pandangannya
terus fokus menatap ke arah depan dan tidak terdistraksi oleh keadaan. Terutama saat
berpasang-pasang mata mengiringi setiap kaki Irene melangkah, ada yang sembari berbisik-
bisik, ada yang tiba-tiba hening tatkala Irene lewat, atau menatap dari atas sampai bawah
lalu menyindirnya secara terang-terangan. Huh, untung saja Irene tengah mendengarkan
musik lewat earpod-nya untuk menghalau omongan-omongan yang akan menyakiti hatinya.

“Sebelas MIA Lima..., sebelas MIA Lima....” Irene terus melafalkan kata-kata itu seraya
matanya tak lepas mencari-cari papan-papan kecil yang menggantung di setiap pintu yang di
lewatinya.

Saat memasuki area sekolah tadi, Irene langsung mencari papan pengumuman untuk
melihat apakah guru kesiswaan benar-benar menepati janjinya bahwa Irene akan di
pindahkan kelasnya.

“Kenapa mau pindah kelas, padahal bapak sudah memasukkanmu di kelas unggulan
bersama Eve, kalian kan selalu ingin bersama-sama,” ucap guru kesiswaannya itu saat Irene
mengajukan permohonan untuk di pindahkan kelasnya ke kelas mana pun asal jangan di 11
MIA-1 di hari pertama ia masuk sekolah pada tahun ajaran baru ini.

Akhirnya setelah tiga hari Irene mengejar-ngejar guru kesiswaannya itu, pada hari ini, hari
ke tiga di tahun ajaran baru, papan mading kembali di perbarui, Irene sangat bersemangat
ingin melihat pada akhirnya ia di pindahkan di kelas mana. Sayangnya, Irene lupa bahwa
tidak semua pengharapannya harus terpenuhi, ia juga lupa di setiap keputusannya selalu
diiringi dengan konsekuensi yang harus ia terima. Dia sungguh senang akhirnya dia
mendapatkan kelas yang tidak sama dengan orang yang tengah ia hindari, tetapi apa harus
begini juga risiko yang harus ia telan. Salah satunya saat ia melihat hasil akhir dari guru
kesiswaannya di papan mading yang cukup membuatnya terguncang dengan kenyataan.
Kelas : XI MIA-1

07. 0052346891 Evelyn Bakir

17. 00589671902 Jupiter Bahalendra

Kaki Irene berhenti di sebuah lorong paling ujung yang dengan pintu kayu berwarna cokelat
bertuliskan XI MIA-5. Setelah naik tangga dan berbelok-belok menyusuri lorong, Irene
menemukan kelasnya. Namun, sebelum masuk ia mencoba ke bagian ujung kelas di mana
ada papan pengumuman yang terbuat dari seteropom berwarna pink dan mendapatkan
kertas yang sama ia lihat di papan mading yang ada di lorong utama sekolah.

Kelas : XI MIA-6

25. 00524980102 Irene Bella Prameswari

Irene meraba dadanya, matanya ia pejamkan seiring embusan napasnya keluar, pikirannya
segera menyugesti dirinya sendiri bahwa apa pun pilihannya harus ia jalani, bahwa setiap
keputusan akan selalu ada konsekuensinya. Salah satunya ini, saat ia meminta dipindahkan
ke kelas baru kepada guru kesiswaannya. Beradaptasi kembali, mencari teman baru
kembali, memperkenalkan diri kembali, akan bertemu dengan orang-orang yang mungkin
tidak sesuai akseptasinya plus bertemu dengan orang-orang yang tidak tahu sifatnya seperti
apa. Berbeda dengan kelas yang pertama ia dapatkan di kelas XI MIA-1, yang kebanyakan
dari gengnya atau dari alumni SMP-nya terdahulu sehingga dia tidak terlalu ... asing seperti
memasuki kelas ini.
Orang-orang yang memenuhi kelas barunya benar-benar membuatnya merasa bahwa
dirinya benar-benar asing dan sendirian, apalagi saat kelas yang tadinya berisik seketika
berubah hening saat kemunculannya. Semua mata memandang ke arah Irene yang cukup
mencolok dari penghuni MIA-6 itu. Dengan perawakan tinggi semampai dan atribut berbeda
dari anak-anak biasa pada umumnya membuat berbagai pandangan tak mau lepas dari
sosok Irene yang tengah mencari-cari bangku kosong.

“Ini kosong kan?” tanya Irene kepada seorang siswi berambut keriting mengembang yang
masih terperangah terhadap sosoknya.

Irene mencoba tersenyum seadanya saat cewek sumurannya itu mengangguk. Ia tahu
dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di kelas ini, ia juga tahu sebagian
mata mengiringi langkahnya saat berjalan menghampiri bangku kosong yang tepat di depan
berhadapan langsung dengan meja guru. Irene sedikit kurang paham, kenapa bangku-
bangku di barisan terdepan masih terlihat kosong padahal kalau di kelas-kelas lain—seperti
kelas unggulan—pasti bangku di barisan pertama akan menjadi rebutan setiap siswa-siswi.
Termasuk dirinya, dari dulu dia anti duduk di barisan belakang.

Syukurlah hari ini ia mendapatkan bangku sesuai keinginannya. Irene sempat khawatir akan
mendapatkan bangku di barisan tengah yang nantinya akan menjadi pusat perhatian atau
paling mengerikannya mendapatkan barisan paling belakang, pasalnya ia sedikit
menyengaja melambatkan untuk masuk kelas ini dengan mendekam di perpustakaan, ia
sedikit butuh merenungkan kembali dengan pilihannya ini juga sesuatu yang Irene lihat saat
pertama kali di mading. Toh ini tahun ajaran baru, semua orang sibuk dengan kegiatan-
kegiatan ekstrakurikuler, guru-guru di seminggu ajaran baru ini akan banyak yang tidak
masuk mengajar dan juga persiapan-persiapan menyambut siswa baru selama satu minggu
ini di tahun ajaran baru.

Suasana kelas yang sempat hening, kembali menggemakan suara, namun Irene tahu kali ini
suara-suara itu bukan tengah berisik seperti saat ia belum memasuki kelas ini. Kali ini yang
menjadi topik pembicaraan sebagian orang-orang adalah dirinya. Irene menarik napas lalu
mengeluarkannya kembali dengan perlahan. Tidak mau ambil pusing, ia mengambil
handphonenya dan menambahkan volume suara yang terhubung di earpodnya menjadi
maksimal. Kini ia merasa tenang, tenang karena ia tidak mendengar suara-suara yang tidak
mau di dengarnya selain suara musik band favorit kesukaannya. One Ok Rock.

****

Ada banyak tempat nongkrong yang asyik di luar kawasan SMA Angkasa Bangsa, terutama
untuk anak-anak yang baik di sekolah atau di luar sekokah tetap memiliki kesibukan dan
ingin memiliki tempat untuk menjadi basecamp sementara. Salah satunya Leon dan teman-
tamannya baik teman dari kelasnya atau dari tim futsal besutannya. Dengan musyawarah
semua pihak, akhirnya warung kecil yang cukup cozy tepat di samping gapura sekolahnya
yang menjadi pilihan. Warung tersebut sudah menjadi tempat strategis untuk anak-anak
SMA Angkasa Bangsa, selain cukup memojok juga ada beberapa kursi sofa tua dan meja
yang cukup nyaman juga memang sudah dari zaman kakak-kakak senior terdahulu tempat
ini menjadi tempat berbagai kegiatan dan transaksi.

Seperti saat ini, Leon dan teman-teman dekatnya tengah bertransaksi mengenai kaus
seragam futsal yang telah ia dan dua temannya desain untuk keperluan tim futsal sekolah
lain, salah satunya yang menjadi pelanggan adalah anak STM sebelah yang memang dari
dulu sudah menjadi sahabat bagi sekolahnya.

“Kualitas sablonnya bagus nih,” ucap cowok perawakan kurus tinggi berkulit kuning langsat
itu. Tangannya kembali meraba ukiran sablon dari secarik kain yang ia pegang.

Leon tersenyum puas mendengar komentar sang pelanggan. “Gue pilih sendiri tukang
sablonnya, nggak mau lah kalau pelanggan gue kecewa sama hasilnya. Ya, gue juga
merasakanlah gimana kecewanya dapet hasil yang kualitas jelek tapi harga ampun-
ampunan.”

Angga, anak STM sebelah yang sering menantang tim futsal SMA-nya untuk tanding itu
tertawa renyah seraya mengangsurkan secarik kain contoh hasil sablon desain Leon itu. “Iya,
percaya, percaya kok hasil desain lo emang nggak pernah gagal.”

“Jadi deal nih?” Didit, teman Leon menyahut dari kunyahan gorengan yang ia comot di
piring yang ada di meja persegi dengan kaca gelap itu.
Angga mengangguk lalu menerima uluran tangan dari Leon. “Eits tapi.” Angga menahan
tangan Leon saat lawan main futsalnya itu ingin mengangsurkan jabatan tangan. “Gue udah
deal sama desain lo, tapi lo deal juga nggak lawan main tim gue,” imbuhnya seraya
menunjuk teman-temannya yang ada di belakang sekitar enam orang yang ia bawa ke
kawasan SMA ini.

Sebelum berkata, Leon menyeringai. “Kalau minggu ini tim gue kayaknya nggak bisa soalnya
lagi fokus buat acara penutupan MOPD sama ngurusin pendaftaran ekskul futsal.”

“Minggu depannya lagi deh Ga, repot nih bapa ketua satu ini karena nggak punya bini buat
ngurusin anak-anak barunya,” seru seorang cowok berbadan kecil dan berbehel yang tengah
mejeng di depan warung sembari ngecengi siswi-siswi yang baru pulang telat.

Didit yang masih khidmat menikmati gorengan seketika tertawa. “Maklum manajer kita
yang sekaligus bini si pak ketu.” Lalu menunjuk Leon. “Baru aja cerai, gara-gara di tolak cinta
sama si Leon,” adunya kepada rivalnya itu.

Angga yang mendengar itu ikut tertawa terutama saat melihat raut wajah Leon yang cuek
bebek tanpa ekspresi. “Benaran Le?” tanyanya yang di balas dengan dengusan dari Leon.
“Padahal menurut gue, doi lumayan juga Le. Walau nggak terlalu cantik tapi cukup manis,
seksi dan lumayan montok. Ya, walaupun minusnya agak agresif orangnya.”

Leon jadi dongkol terutama saat semua orang makin menggoda dan mengomentari habis-
habisan kekurangan sifat Leon yang terlalu cuek dan terkesan tidak mau berurusan dengan
makhluk yang bernama perempuan. Bukan apa-apa, pikiran dan fokusnya untuk saat ini ya
selain belajar juga mengembangkan bisnis kecil-kecilan dan keahlian dalam mendesain kaus
futsal. Urusan perempuan dan urusan selain futsal dan bisnis tidak pernah Leon tanggapi,
karena baginya orang sukses itu selalu fokus pada apa yang ia tuju.

Angga kembali menggiring topik ke laju jalan yang seharusnya mengenai desain kaus dan
jadwal tanding futsal, hingga saat Ghozi si cowok berbehel dan bertubuh mungil itu berseru
kepada semua yang ada di tongkrongan untuk melihat apa yang tengah ia lihat sedari tadi.

Seorang cewek yang tengah di paksa oleh seorang cowok jangkung yang tengah membawa
motor sport berwarna hitam. Keduanya melangkah beriringan, dengan mesin motor itu di
matikan. Ghozi, Leon, Didit dan yang lain tengah berpura-pura menikmati santapan yang
ada di meja sambil sesekali saling melirik satu sama lain saat terdengar jeritan sang
perempuan.

“Nggak mau, aku mau pulang sendiri.”

“Kenapa sih Bey, kamu keras kepala banget, toh orang-orang udah pada bubar nggak ada
yang liat lagi.”

Dan pertengkaran-pertengkaran semakin memuncak saat

Anda mungkin juga menyukai