Anda di halaman 1dari 22

Bab 1

'Tuhan makhluk yang bernama mantan itu termasuk spesies apa sih?'

-Ceritanya lagi galau-

Pucuk Fams

Mia Fam: Please gengs gak usah lebay deh.

Setelah menekan tombol send berwarna hijau pada aplikasi WhatsApp, perhatian Mia kembali
beralih pada cowok yang memakai topi bertuliskan XII TP-C, dengan sengaja depan topinya di balik
ke arah belakang kepala, yang sekarang tengah menyantap mie ayam. Katanya hari ini cowok itu
pengin makan bareng di kantin Kartini bersama Mia enggak mau dibantah, lelah sembunyi terus,
katanya.

Kia Fam: cuekin aja, si Non udh gk butuh kita lagi

Deldol Fam: tul tuh betul, dia pikir kita ini apa, kacung?

Lalan Fam: mana udah 1 bln, tau-tau dri org lain. NON, are you kacang?

Desdes Fam: apasiapasiapasih, satu bln apa? Si Non hamil? Non, lo hamil sama siapa?

“Hahaha, ini si Desi lebih kacang dari si...” sikutan dari samping berasal dari Kia membuat Dahlan
menghentikan tawanya apalagi saat melihat tatapan heran dari cowok bertopi berwarna biru
dongker tepat di samping Mia. “Ups, sori, lanjutin aja guys makannya.” Satu tangannya ia kibas-
kibaskan dengan cuek, lalu setelah itu suasana di meja yang mereka tempati, tepatnya dekat stan
kantin mie ayam Mas Anto kembali sunyi dan lebih fokus pada urusan masing-masing.

Mia meringis, dia kembali menatap teman-temannya yang sepertinya sudah tidak berselera
menyentuh pada makanannya yang masih terlihat banyak. Kabar berita dirinya dan cowok ini balikan
‘lagi’ sepertinya membuat mereka kesal sekaligus penasaran dalam bersamaan.

Please, salahkan saja cowok di sampingnya ini!

“Udah?” Mia menoleh saat cowok bertopi itu mendorong mangkuk kosong ke depan seraya
bersendawa. Kecil sih, tapi itu membuat para sahabat Mia meringis jijik berlebihan hingga ia tidak
bisa tidak memutar kedua bola mata jengah melihat tingkah para sahabatnya.
Cowok itu mengangguk lalu meraih tisu yang Mia serahkan. “Kalian enggak pada makan?” tanyanya
kepada teman-teman Mia yang masih fokus pada benda pipih dari tangan masing-masing.
Sedangkan Mia yang sedari awal hanya membeli rukak ikut menatap heran.

“Oh, ndak, kami udah kenyang,” jawab Della sekenanya dengan logat Jawa yang kadang masih
belum bisa terlepas. Kia tersenyum culas sedangkan Dahlan hanya terbatuk-batuk sok tidak
mendengar.

Cowok itu cengengesan, kepalanya mengangguk-angguk sok paham, lalu kembali menatap Mia,
katanya, “Nyamperin teman-taman aku dulu, ya?” seraya telunjuknya mengarah ke luar pintu kantin.

Mia tersenyum mengangguk dan segera menyampingkan badannya untuk memberi jalan keluar
yang kebetulan cowoknya itu duduk di pojok meja kantin. Barulah setelah kaki itu berjalan jauh
meninggalkan meja mereka, Mia langsung membuka suara.

“Gengs...”

Belum sempat Mia melontarkan penjelasannya, sebuah lengan dan teriakan melengking dari
belakang membuatnya terlonjak.

“Hayooo,” teriak seseorang sari belakang. “Jadi lo hamil satu bulan?” tanya Desi tanpa basa-basi.
Sekelompok adik kelas yang tidak jauh duduk dari meja Mia seketika tersedak dan seketika langsung
menatapnya menyelidik.

“Hus, kalo ngomong jangan keras-keras, rem dikit dong!” Vanka, sahabat Mia yang tadi berteriak
mengagetkannya langsung mencubit lengan Desi yang tengah melingkari leher Mia.

Kia mengibaskan kedua tangannya, perintahnya, “Udah, udah, lo berdua mending pesan makan dulu
baru dengerin cerita si Non.” Vanka dan desi mendesah menurut. Selama menunggu kedua
sahabatnya yang berbeda Jurusan itu, teman-temannya yang tersisa tengah menatap Mia dengan
tajam, menandakan mereka butuh penjelasan. Sekarang juga.

Mia menghela napas, cermin kecil berbentuk bulat yang tadi sempat ia pakai untuk melihat jerawat
yang berada di dagunya buru-buru Mia masukkan ke dalam saku kemeja putihnya, ia mendesah baru
memulai, “Gue kasihan sama dia, tiap malam terus-terusan datang, nggak mandang ujan, badai, dia
terus memohon ke rumah dan...”

Kia mengangkat telapak tangan kanannya ke depan. “Gue nggak mau dengar alasan lo nerima dia
kayak gimana dan alasan kenapa lo nerima dia karena apa, gue udah bisa nebak dan gue gumoh
dengernya,” ketusnya. “Yang kita mau, kenapa lo bisa menyembunyiin hubungan kalian selama satu
bulan lamanya dari kita-kita bahkan dari semua orang?” cercanya hiperbola.
Dahlan dan Della bersedekap dengan wajah jutek, kepalanya mengangguk-angguk setuju akan
semua perkataan Kia.

“Itu...” lagi-lagi ucapan Mia terpotong dengan kedatangan Vanka dan Desi yang kembali berseru.

“Jadi?” sepertinya Desi minta di geprek oleh tangan Kia. Ganggu mulu.

Dahlan dan Kia memutar kedua bola matanya, namun dengan sabar Della memberi tahu, “Ini lagi
cerita, kalian dengerin aja!”

“Oke,” jawab Desi dan Vanka berbarengan.

Kia dan Dahlan mengangguk kepada Mia.

“Pertama.” Mia mulai berbicara, teman-temannya memerhatikan. “Gue mulai pacaran pas seminggu
putus dari Argo, gue minta backstreet ke Adit dan itu persyaratan dari gue kalau kita mau balikan...
lagi. Kedua, lo semua tahu kan peraturan di sekolah kita kayak apa?” Mia mengangkat tangan
kanannya dan dilayang-layangkan seperti tengah menunjuk sesuatu. “Siswa atau Siswi SMK N 1
Ganesha dilarang berpacaran di area sekolah.”

Dari depan terlihat Dahlan ingin protes namun buru-buru Mia mengangkat telapak tangannya, tanda
ia belum selesai menjelaskan pangkal masalahnya. “Dua...” Mia sengaja menjeda sebentar untuk
menatap para sahabatnya satu persatu lalu kemudian dia mendesah, “... gini kan jadinya, lo, lo, lo
semua bertingkah lebay. Gue kan nggak mau bikin si Adit nggak nyaman. Kayak tadi aja kalian udah
bersikap lebay pas tau kami balikan.”

Setelah mendengar penjelasan Mia panjang lebar, untuk beberapa puluh detik teman-temannya
terdiam, mencoba mencerna dan mencari tanggapan yang pas untuk satu sahabatnya ini yang
kelewat ‘enggak enakkan'.

“Pertama.” Kia, sebagai cewek yang paling berani di antara mereka langsung buka suara. “Non, lo
bisa berhitung enggak sih, dari tadi gue pengin ngakak dengar lo ngoceh, masa dari satu, dua, lalu
balik lagi ke dua,” kekehnya.

Saat baru menyadarinya, pecahlah tawa anggota Pucuk Fams itu yang diawali dari Desi dan Kia,
bahkan tawa Dahlan lebih brutal sehingga membuat para penghuni kantin memberikan tatapan
terganggu kepada meja mereka. Tak jauh dari sana, Adit—si bahan gosip—yang tengah berbicara
dengan para temannya di depan kantin juga ikut menoleh saking kencangnya mereka tertawa. Mia
kelabakan, dia menatap semua penghuni kantin hingga matanya berserobok dengan mata Adit lalu
melambai ke arah cowok itu.
“Oke stop kita lanjut,” lerai Kia mencoba meminta perhatian supaya teman-temannya berhenti
tertawa. Katanya lagi, “Kedua, bukan hanya kita di larang pacaran, lo juga tahu kali di sekolah kita
banyak mata-mata. Pas kelas dua aja lo pernah ngalamin sendiri kan saat di panggil ke ruangan Pak
Nandang karena lo ketahuan pacaran sama si Ages yang sok berkuasa itu, dan itu gara-gara ada yang
mata-matain lo.”

“Dan... ketiga, kita bukan lebay, kita ini peduli sama lo, Non. Desi coba lo hitung berapa kali si Non
bolak-balik balikan sama si Adit buaya kadal itu.”

Buru-buru Desi menghentikan makannya dan langsung merentangkan kesepuluh jarinya. Ia


menghitung. “Ada mungkin...” mata Desi melihat ke atas tengah berpikir. “Tak terhingga,” ucapnya
seenaknya. “Saking banyaknya gue jadi pusing sendiri.”

Mia memutar matanya sebal.

“Betul tuh, dan itu putusnya kalau kamu yang ngerasa bosan ya Adit selingkuh sama morotin kamu,”
tambah Vanka membuat Mia semakin gelisah tidak karuan di hakimi seperti itu.

Dahlan menggoyang-goyangkan telunjuknya ke depan Mia. “Tuh, Say, apa lo enggak sadar, lo tuh
terlalu gampang terlena. Kita ini khawatir, peduli sama lo, Adit itu cowok enggak baik, dari kelas satu
lo pacaran sama dia, elo sendiri kan yang sering sakit sama kelakuan itu cowok,” tukasnya pelan,
takut ada yang mendengar. Maklum, Adit salah satu siswa yang cukup berpengaruh di kalangan anak
Teknik.

Mia menghela napas kasar, mengangkat kepalan tangan kirinya untuk menopang dagu, dia jadi
sedikit gamang sama hubungan backstreet ini, semua perkataan para sahabatnya memang benar
adanya, dia terlalu gampang terlena, terlena dengan wajah memelas Adit sehingga membuat dia
merasa terus-menerus kasihan dan ujung-ujungnya dia kembali CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali).
Gini, sebenarnya niat awal Mia menerima ajakan Adit untuk kembali berhubungan itu hanya
sementara, hanya untuk memanas-manasi mantan terindahnya, mungkin dua minggu atau tiga
mingguan paling lama, tetapi entah kenapa akhir-akhir ini sikap cowok itu jadi lebih baik dan tidak
terlalu mendominasi sehingga membuat Mia tidak punya alasan untuk memutuskannya.

“Oke.” Mia tiba-tiba menggebrak meja menimbulkan kekagetan dari teman-temannya. Dia
mencondongkan badannya dan mulai berbisik, “Kayaknya gue bakal putusin Adit, gue juga
sebenarnya enggak ada niat balikan sama dia gue...” matanya memelas seperti kucing tengah
kelaparan. “Gue masih berharap sama Argo.”
Kia, Dahlan dan Desi dengan cepat langsung memutar bola matanya penuh dramatis. Argo lagi, Argo
lagi, pikir mereka.

“Oke terserah kamu, apa pun itu kita akan selalu mendukungnya, kecuali sama Adit dan Agesta,”
tukas Della mencoba diplomatis.

Vanka mengangguk-angguk setuju, tangan kirinya mendorong mangkuk yang sudah kosong
sedangkan tangan kanannya mengambil botol minumannya sambil berkata, “Yuk ah kita balik ke
kelas, lima menit lagi udah mau bel nih.”

****

SMK N 1 Ganesha sekolah kejuruan terfavorit dari kota Bogor memang sering di debut sekolah
Adiwiyata dengan lingkungan yang sangat dijaga akan kebersihannya dan keasriannya, bahkan
saking asri dan luasnya sekolah ini, banyak guru yang memakai sepeda untuk menuju setiap kelas,
bengkel atau lapangan... seperti saat ini. Pak Emon, guru olahraga yang tengah Mia—juga seluruh
anak kelas Multimedia C—tunggu kedatangan laki-laki berkepala plontos dan sekarang tengah di
tutupi oleh topi berlogo Adidas itu selama lima belas menit lamanya.

“Ayo, ayo.” Pak Emon bertepuk tangan meminta perhatian kepada murid-muridnya setelah
memarkirkan sepeda ontel itu. “Jangan bermalas-malasan.”

Mia, Kia, Della dan Dahlan yang sedari tadi menunggu di bawah pohon dekat GOR Kapten Patimura,
segera beranjak masuk ke barisan untuk berdoa bersama sebelum memulai pelajaran, setelah
selesai berdoa yang di pimpin oleh Dewa atau sering di panggil Acil sang ketua kelas, Pak Emon
segera memberi aba-aba untuk memulai pemanasan dan dilanjutkan berlari keliling lapangan yang
luasnya minta ampun.

“Amia Raratianingsish, kenapa lari kamu kayak gitu. Yang benar!”

Mia berdecak dari depan, ada Acil, Rendi, Bagas sang preman kelas lainnya yanv langsung menyoraki
Mia dengan kilatan mata jail menelusuri Mia dari atas ke bawah lalu balik lagi.

Sial, apa-apaan tatapan mereka, dia tahu kok dia benar-benar payah dalam lari-berlari, jadi enggak
usah sok mengejek. Mia mengencangkan larinya seraya melotot supaya berandal-berandal tengik itu
tidak lagi mengejeknya terus-menerus, tetapi tetap saja, langkah berlarinya masih saja lambat
sehingga Mia kembali diejek oleh preman-preman itu. Pak Emon yang berada di tempat teduh
kembali bertepuk tangan, meminta anak-anak didiknya untuk menghentikan lariannya dan
menyuruh untuk mendekatinya.

Saat Mia berjalan ingin menghampiri ke tempat Pak Emon, sayup-sayup telinganya mendengar
segerombolan langkah kaki juga sebuah keributan dari arah lorong. FYI, selain sekolah ini memiliki
dua lapangan: utama untuk melangsungkan upacara yang terletak di dekat Jurusan Multimedia dan
kedua, lapangan serba guna yang sekarang di pakai oleh kelas Mia tepat di dekat GOR Kapten
Patimura yang bersatu dengan gedung bengkelnya anak TSM (Teknik Sepeda Motor). Sebenarnya
bengkel TSM itu ada tiga, bengkel di depan lapangan serba guna ini tepatnya samping GOR adalah
bengkel baru yang dibangun dua tahun lalu.

Hati Mia berdebar, ocehan dan arahan Pak Emon mulai menguap di telinga Mia, matanya terus fokus
ke arah lorong yang menggemakan keributan-keributan seperti teriakan bercanda yang semakin ke
sini semakin jelas. Benar kan, batin Mia, dia datang, cowok jangkung berkulit hitam manis dengan
postur tubuh bongsor yang sekarang tengah memakai seragam bengkel kebangsaan TSM—putih
dengan setiap sisi lengan dan bawah kaki berwarna merah—itu tengah berjalan dan tertawa.

“MIA.” Seketika Mia tersentak dan mendapati pelototan dari Pak Emon. “Kamu ngelamun terus,
maju ke depan!”

“Hah?” hanya itu yang bisa Mia keluarkan saking kagetnya, kaget kenapa tiba-tiba dia di suruh ke
depan.

“Kita mau main bola tangan,” bisik Della sambil menarik lengannya.

Pak Emon membuat garis memanjang di tengah-tengah antara kelompok satu dan dua yang
beranggotakan masing-masing enam orang. Mia melihat ke depan, di sana ada Mayang si pentolan
geng Mermaid Fams, Nisa sang wakil, Cantika, Canda, Rere dan Dewi, sang antek-antek. Eh, tunggu,
tadi kata Della mereka akan bermain bola tangan? Astaga, kelompoknya siapa saja.

Ada dirinya, Della, Ambar, Lulu, Lisna dan Sinta. Oh sungguh sial, di depan lawannya bertubuh besar-
besar dan tinggi-tinggi sedangkan di pihaknya... ya ampun, Mia dan Della saja hampir sama tingginya
149, sedangkan yang lainnya mungkin lebih tinggi dua atau tiga senti meter, mana badannya kurus-
kurus.

“Non, Della, semangatttt.”

Mia menoleh ke sumber suara, ke arah kanan, tepatnya belakang tubuh Pak Emon yang tengah
menulis sesuatu d buku absennya. Di sana, ada Desi dan Vanka yang tengah berteriak kegirangan.

“Haiiiii,” balas Della girang balik dengan melambai-lambaikan tangannya.


Oh sial kuadrat, Argo si cowok jangkung berkulit hitam manis, si mantan terindah, si mantan yang
sudah memutuskannya satu bulan lalu, juga tengah menontonnya. Pada ke mana sih guru
bengkelnya anak TSM, kok, mereka malah duduk-duduk di luar bengkel. Mana para-cowoknya
berteriak-teriak mencoba menggoda cewek-cewek kelasnya. Mentang-mentang gersang.

“Miaku semangat ya, sayang,” teriak Denden si cowok berbehel yang langsung di toyor oleh teman-
temannya. Dengan balasan pedas Mia mengacungkan jari tengahnya dan langsung disambut heboh
oleh and the geng-nya.

Berbeda dengan kelas Multimedia yang bermayoritas perempuan, kelas TSM lebih di dominasi oleh
anak laki-laki, paling-paling anak perempuannya hanya empat orang, termasuk anak TSM kelasnya
Argo. Ada Desi, Vanka dan dua lagi Mia tidak tahu namanya.

“Hai Argo.” Alih-alih menggubris Denden and the geng kembali, Mia memilih menyapa Argo yang
sedari tadi hanya ikut tertawa. Argo mengangguk, memberi senyumnya yang manis semanis gula
Jawa.

“Mantan kekasihku…

jangan kau lupakan aku…

bila suatu saat nanti kau merindukanku…

datang…cepat datang padaku.”

Mata Mia kembali beralih ke arah Denden and the geng. Namun, kali ini bukan Denden yang
menggodanya tapi cowok tengil, nyebelin, hitam, cungkring, rambutnya ikal tidak pernah disisir yang
membuat Mia bergidik jijik sekaligus il-feel.

“Fuck,” ucap Mia tanpa bersuara seraya mengacungkan jari tengahnya, takut terpergok oleh Pak
Emon ia berkata kasar.

Cowok tengil itu tertawa riuh memenuhi lorong bengkel bersama and the geng-nya seraya ikut
mengangkat jari tengahnya naik-turun menggoda balik Mia. TUHAN!
Bab 2

‘Hmm... salah sendiri pakai hati’

-Ada mantan di balik chat-

“Sepuluh bungkus brownies, dua puluh salad buah.” Mata Mia beralih kepada paper bag lain. “Satu,
dua....“ ia menghitung barang jualannya. Namun, alih-alih berkonsentrasi, ia malah terdistraksi oleh
preman-preman STM yang sedari tadi mengganggunya.

"Pucuk Fam!" mulai, cowok jangkung seraya mengacungkan kepalan tangannya ke udara.

"Pucuk ... pucuk ... pucuk. Pucuuuuuuuuk,” seru yang lain berhisteria sambil mengibas-ibaskan
tangannya ke depan seperti vokalis band Giring Nidji.

Mia menutup mata sebentar lalu membukanya, seolah-olah dengan melakukan itu kekesalannya
bisa mereda. Dengan acuh ia kembali berhitung, “... Enam, tujuh, delapan, sembilan—“

Tak mau mengalah, gerombolan anak-anak Teknik tersebut kembali mengganggu dengan cara
bernyanyi. “Miaaa... membuatku bertambah dewasa membuatku ber-pintar bahasa menjadikan aku
manusia—“

Tarik napas, buang, tarik napas.... “Sumpah ya lo semua,” teriak Mia seraya menggebrak meja
dengan kencang. “Lo, lo, lo nggak liat gue lagi ngapain, hah?” napasnya memburu, matanya melotot,
telunjuk kanannya yang tadi dipakai untuk menunjuk beralih untuk menurunkan kacamata minusnya
sehingga bertengger di ujung hidung mungil itu.

Denden, si provokasi yang selalu membawa kecrek itu seketika tersenyum jail. “Jangan marah atuh,
Non!” godanya dengan mencolek dagu terbelah Mia yang langsung cewek mungil itu hempaskan.

“Nggak usah kurang ajar, deh,” bentaknya lagi, lalu kembali membuka paper bag berisi jualannya.
Ada brownies, salad buah dan berbagai macam seblak kering untuk ia hitung kembali. “Enam,
tujuh... aduh tadi berapa ya.” Mia menggaruk kepalanya bingung, lalu melotot pada gerombolan
cowok-cowok tengil itu lagi yang masih berdiri di depannya dengan cengengesan. “Gara-gara lo
semua nih, jadi kan lupa gue berhitung sampai berapa.”

“Baru sembilan,” tukas seseorang. “Lo tadi berhenti di angka sembilan.”


Mia mendelik, dia tidak perlu repot-repot menoleh ke arah cowok yang sedari tadi membawa gitar
ukulele. Dia harus fokus berhitung dan menganggap bantuan tadi hanya angin lalu.

Tidak kuat berdiri terus, Denden memutar meja kantin dan langsung duduk di depan Mia, dia
bertanya, “Non, pesanan brownies gue mana?”

Mia menoleh, “Pesanan lo?” deliknya, lalu dengan refleks mendongak untuk menatap sekilas pada
cowok pembawa ukulele tadi. “Yang ada pesanan dia.” Setelahnya Mia mengambil satu cup panjang
berukuran besar seraya ia serahkan kepada cowok itu tanpa menoleh.

Deden mengibaskan tangannya. “Yailah, punya Dimas mah punya kita juga kali, Non,” elaknya. “Ya
kan, Blader, makananmu juga makananku.”

Dimas tidak menanggapi, dia hanya meraup wajah Denden yang tengah manik-turunkan kedua
alisnya tersebut. Tangannya yang tidak memegang ukulele segera meraih dompet dan langsung
mengambil uang seratus ribu.

“Kebiasaan deh.” Mia langsung mendongak dan kali ini menatap lekat-lekat mata kopi susu cowok
jangkung itu. “Gue belum dapat uang sepeser pun.” Dimas menatap balik, matanya bergerak-gerak
memerhatikan gerak bibir Mia juga tampilan Mia yang sangat menggemaskan. Rambut hitamnya
yang tergerai menutupi pipi chubby-nya, apalagi kaca mata minusnya itu yang membuat Mia
semakin terlihat seperti bintang dalam... sial kan pikiran Dimas malah ke mana-mana.

“Lo aja Den, lo yang bayar dulu, empat puluh.” Mia beralih ke arah Denden saat melihat Dimas
hanya mematung menatapnya.

Cowok berbehel itu mengangkat kedua tangannya tanda tak mampu. “Oyeh, lo punya kagak?”
cowok yang di panggil Oyeh itu menggeleng nyengir. “Taik kucing lu,” dengus Denden lalu nyengir ke
arah Mia.

Dimas melerai, dia mengambil brownies yang Mia simpan tadi di depannya. Katanya, “Kembaliannya
lo simpan aja dulu, nanti gue ambil.” Setelah itu Dimas menggerakkan dagunya kepada Denden dan
Oyeh untuk masuk ke dalam kantin. Perutnya sudah lapar soalnya.

Mia mendengus melihatnya, sok keren banget, mana di lengan kanannya terdapat kain slayer
berwarna hitam terikat pas sehingga mencetak otot-ototnya, sedangkan Denden memakainya di
atas lutut, katanya biar seperti Ariel Noah dan Oyeh melingkarkan kain itu di lehernya. Biar apa
coba?

“Dasar berandal STM,” dumelnya pelan, namun buru-buru dia menutup mulutnya.
Takut ada yang mendengar soalnya sekarang Mia tengah berada di kantin Sudirman, kantinya anak-
anak STM. Mia pernah jelaskan seberapa luas sekolahnya dan saking luas, SMK N 1 Ganesha memiliki
tiga kantin, pertama ada di depan gerbang kedua tepat di samping kiri GOR, lebih tepatnya bukan di
sebut kantin tapi lebih ke koperasi, nah setelah melewati lapangan dan GOR terdapat kantin dua
atau kantin Kartini kantinnya anak-anak Multimedia dan TKJ, isinya di dominasi perempuan dan
jangan heran kalau melihat begitu banyak kelompok-kelompok perempuan membuat blokade alias
geng-gengan.

Dan kantin terakhir kantin tiga, atau kantin Sudirman, atau juga di sebut kantinnya anak STM yang
dekat dengan Musala Al-Amin tepat di sayap kanan lapangan utama, dan isinya berandal-berandal
semua. Mulai dari berandal Teknik Permesinan, Teknik Sepeda Motor, dan paling berbahaya
berandal-berandal anak TKRO (Teknik Kendaraan Ringan Otomotif).

Mia bergidik, jangan sampai dia bertemu berandal yang terakhir, apalagi sampai bertemu dengan
pentolannya. Bisa-bisa hidup Mia berubah menjadi mengerikan. Sudah cukup ia merasakannya.

“Nih, es teh manis pesanan kamu.”

Mia menoleh saat teman-temannya sudah kembali dari membeli pesanannya.

“Makasih,” ucapnya kepada Della.

Kia dan Dahlan menurunkan mangkuk-mangkuk berisi mie soto Bogor Bu Ai dari masing-masing
tangan mereka.

“Makasih juga Lalan, Kia, kalian baik deh.”

Kia mengibaskan rambutnya sombong. “Hmm,” balas mereka hampir bersamaan kemudian langsung
menyantap dengan bersemangat.

“Btw, pada ke mana anak-anak setan yang gangguin lo tadi.”

Mia mengedikan dagu, menunjuk ke arah dalam kantin tanpa menoleh untuk menjawab pertanyaan
Kia, soalnya ia tengah meresapi nikmatnya mie soto Bogor.

FYI, benar-benar, mie soto Bogor kantin anak STM sangat juara, beruntunglah mereka. Pasalnya di
kantin Kartini tidak ada menu soto ini, adanya mie ayam, batagor kuah, yeah, gitu-gitulah, bahkan
Mia hampir merasa bosan terus-terusan memakannya. Menu kantin STM memang lebih bervariasi,
bahkan Mia bisa menemukan rujak, asinan betawi bahkan bubur ayam yang selalu di serbu setiap
pagi oleh siswa-siswi yang malas sarapan di rumah. Sebagai pencinta kuliner dia merasa kepala
sekolah di sini terlalu pilih kasih, Mia kan pengin ada menu-menu itu dan tidak perlu repot-repot
berjalan jauh ke kantin ini yang suramnya minta ampun.

Dulu pas kelas satu, Mia dan teman-temannya tidak bisa menginjakkan ke kantin ini, maklum anak-
anak perempuan STM ternyata cukup sangar-sangar terutama kakak kelasnya. Alasannya hanya satu,
mereka tidak mau disaingi dengan anak-anak Multimedia atau TKJ yang terkenal cantik-cantik,
pasalnya setiap ada anak Multimedia atau TKJ menginjakkan kantin Sudirman pasti akan menjadi
pusat perhatian oleh mata-mata kelaparan dari beruk-beruk STM.

Alhasil Mia yang doyan makan hanya bisa gigit jari atau kalaupun dia lagi ngidam dia akan menyuruh
Denden atau Fredy membelikan pesanan Mia, tapi itu tidak berlangsung lama karena cowok-cowok
itu selalu meminta imbalan yang aneh-aneh. Lebih parah saat Mia dan teman-temannya naik ke
kelas dua, permusuhan antar perempuan STM makin parah, bahkan bukan cuma senior STM. Senior
di satu Jurusannya juga ikut memusuhi geng Mia karena saat acara PORSENI geng Mia atau geng
Pucuk Fams menjadi pembuka acara tersebut dengan melakukan flashmob dance yang di tunjuk dan
di latih oleh Bu Rina, guru kesenian, sehingga penampilan mereka menjadi pusat perhatian dari
anak-anak STM.

Bayangkan satu tahun geng pucuk tidak pernah makan di kantin Sudirman maupun Kartini akibat
selalu di musuhi oleh senior-senior perempuan di SMK ini. Tiap hari mereka lebih memilih makan di
taman dekat lapangan utama seraya membawa bekal masing-masing. Geng Mia bukan hanya di
kucilkan bahkan mereka sering mendapatkan tatapan sinis yang amat mengerikan dari berbagai
senior Jurusan karena geng Mia semakin melambung di kalangan anak STM.

Tetapi syukurlah, ketersiksaan itu tidak lagi, setelah menjadi anak kelas XII geng Pucuk mulai
mengeluarkan taringnya, mumpung tidak ada lagi senior, mumpung mereka sudah jadi senior dan
mereka bebas berkeliaran.

“Eh pulang ini kita jadi kan ke Lippo?” Dahlan membuka percakapan setelah beres menyantap
makanannya.

Della dan Kia hanya mengangguk meng-iya-kan lalu kembali meneruskan memakan soto mie-nya.
Apalagi Della yang mengunyah saja lama, lihat saja makanannya masih tertumpuk penuh begitu.

“Eh, gue baru nyadar, Desi sama Vanka ke mana ya, soalnya gue mau nyerahin pesanan mereka
sama pesanan anak-anak STM lainnya."

“Tadi sih kata Vanka lagi ada di bengkel gitu, di tahan sama Pak Burhan katanya.” Kia berkata dengan
mulut penuh.
Mia menghela napas, berarti ia sendiri yang harus menyerahkannya. Jujur, dia paling malas kalau
harus menghampiri ke kelas kedua sahabatnya itu, lebih tepatnya dia malas bertemu dengan sang
mantan, Argo. Bukan apa-apa dia takut khilaf terus tahu-tahu dia malah mengemis minta balikan,
kan memalukan, mana dia sekarang sudah jadi pacar orang. Bisa-bisa perang dunia.

“Non, dicari dari tadi taunya ada di kantin STM.” Segerombolan cewek menghampiri Mia, ternyata
untuk mengambil pesanan.

Mia tersenyum malu, buru-buru dia membuka kedua paper bag-nya di bawah meja, maklum ini area
kantin dan kalau ketahuan ia sangat malu sama ibu-ibu kantin. “Hehe maaf ya lupa, siapa aja nih
yang pesan salad sama brownies?” Selanjutnya meja kantin dekat pintu yang Mia duduki bersama
teman-temannya disesaki orang-orang yang membeli dagangannya.

Saat Mia mengambil uang para pembelinya, sebuah getaran yang berasal dari saku rok seragamnya
mengagetkannya. Saat tangannya meraih ponsel, display WhatsAppa dari Adit terpampang jelas

“Gengs, boleh bantu nggak?” Kia, Dahlan, Della yang juga ikut memilih-milih dagangan Mia langsung
menoleh. “Titip dagangan gue ya?” pinta Mia seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di
depan wajahnya. “Gue ada perlu, si Adit nyuruh gue ke tempatnya.”

Dahlan dan Della langsung membulatkan matanya. Dari kedua temannya Mia melihat Dahlan ingin
mengatakan sesuatu, tetapi dari samping Mia, Kia langsung menukas. Katanya, “Asal lo kudu bisa
hati-hati, ingat di sini banyak mata-matanya.”

Mia meringis, buru-buru dia memeluk Kia erat sebelum pergi.

Tempat tongkrongan Adit berada di ujung kantin tepat di samping bengkel Jurusannya, Teknik
Permesinan. Mia mengaduh dia lupa belum melepaskan kaca mata minusnya, Adit sangat tidak suka
kalau Mia memakainya, katanya mirip ibu-ibu. Saat Mia melewati stand penjual rujak, di samping
kirinya dari kejauhan dia melihat Argo dan Fredy tengah mengobrol sambil menyantap makanan
masing-masing. Asinan Betawi. Itu kesukaan Argo banget.

Tanpa bisa di cegah senyum Mia mengembang, namun senyum itu tiba-tiba berhenti saat matanya
menangkap sosok Devi anak Multimedia A, musuh bebuyutannya, si cewek Paskibraka yang kalau
jalan suka membusung-busungkan dadanya.

‘eoohh'?

“Non?” Fredy melambaikan tangan kanannya, menandakan Mia harus ke sana.

“Hai, Ndy, hai Argo, hai... Devi.” Mia tersenyum culas saat matanya berserobok dengan mata Devi.
“Brownies masih ada kan, Amia?”

Aduh, kalau Argo terus menerus memanggil namanya secara lengkap gini, bisa-bisa dia langsung
meleleh saat ini juga, pertahanannya untuk tidak tergoda mengajak balikan bisa-bisa jebol. Apalagi,
duh, itu senyum manis gula Jawanya bikin pengin jilat aja, eh.

“Ada kok, nanti aku kirim ke kelas kamu ya, soalnya aku ada urusan dulu,” ucapnya penuh dengan
kelembutan. Dari depan Argo, Fredy langsung mengeluarkan batuk andalannya, kebiasaan suka
merusak suasana.

“Aku juga mau dong, Non,” teriak Devi antusias. “Tapi aku mau seblak potato, masih ada kan?”

Dengan malas dia mengangguk. “Masih, kalau lo mau ke Kia aja, soalnya barangnya ada sama
temen-temen gue.”

Please, deh, nggak usah pake aku-kamu orang gue pernah liat lo kalo ngobrol sama yang lain pake
lo-gue, sok nyari perhatian banget.

Mia menepuk dahinya, dia memberitahukan bahwa dia lagi buru-buru mau menemui seseorang dan
berkata kalau nanti pas istirahat kedua Mia janji akan membawakan pesanan Argo langsung ke
kelasnya. Sebelum benar-benar pergi Mia tak lupa berpamitan. “Bye Argo, Ndy.” Dan masa bodo
dengan muka masam Devi.

“Kok lama?” tegur Adit saat Mia sampai.

Cowok berambut cepak itu memakai baju bengkel kebesaran anak-anal TP, berwarna biru dongker
model terusan sehingga bisa membuka baju itu hanya setengahnya lalu kedua lengan baju tersebut
di lingkarkan pada pinggang, persis yang Adit lakukan.

“Tadi aku ngurusin dulu jualanku, banyak banget orang—“

“Maksudnya ngurusin si Argo?” tanyanya dengan senyum super sinis, satu tangannya ditopangkan di
salah satu lututnya, tanda bahwa di sini Adit yang mendominasi.

Mia melongo, dia melihat ke sekeliling Adit yang begitu banyak cowok-cowok tengah ikut
mengejeknya.

Bagus, Mia mulai ketakutan, selama satu bulan ia pikir Adit sudah berubah ternyata tidak. Setelah
dia melihat kilatan marah pada mata bulat itu terutama senyum evil yang selalu membuat Mia
menjadi ciut.
“Nggak,” ucapnya cepat. “Tanya aja ke si Ndy, aku cuma ngurusin jualan dan kebetulan Argo mau
beli brownies.” Setelah itu Mia langsung menggigit bibir bawahnya, seolah dengan menggigit
bibirnya dia bisa menjadi kuat menghadapi sikap Adit selanjutnya.

Adit tersenyum, dia menyimpan mangkuk yang berisi mie soto Bogor di samping tubuhnya lalu
menarik tangan Mia untuk duduk di depan menemani istirahat pertama lelaki tersebut.

Mia menghela napas, buru-buru dia melayani Adit yang meminta minum dan mengelap sudut bibir
hitam cowoknya itu. Semoga nggak ada mata-mata, semoga nggak ada mata-mata, Mia terus
merapalkan kata-kata itu di dalam hatinya. Saat Adit meminta Mia untuk berpindah tempat ke sisi
tubuh cowok itu dan merasakan telapak besar Adit yang bertengger dari pinggang mungilnya, buru-
buru Mia berjengket kaget.

Adit mendekatkan kepalanya pada telinga Mia. “Tenang, Non, nggak bakalan ada mata-mata,
semuanya takut sama gue,” bisiknya pelan, saking pelannya Mia bisa merasakan embusan napas
Adit yang terasa berat.

“Dit...” Mia bergumam pelan, sangat pelan hampir terdengar seperti rengekkan tertahan.

Adit terbahak melihatnya, dia langsung menjauh, tangannya mengacak-acak rambut hitam gelam
milik Mia dengan pelan. Sekali lagi Mia menghembuskan napasnya, buru-buru dia bergeser sedikit
seraya mengeluarkan ponselnya untuk menanyakan kepada Kia mengenai jualannya apakah habis
atau masih tersisa. Namun, belum sempat Mia membuka aplikasi WhatsApp, sebuah pesan tiba-tiba
muncul.

Omes: oh balikan lagi, gk ada kapok-kapoknya

Kacang ini orang, batin Mia seraya mengedarkan tatapannya ke penjuru bengkel mencari
keberadaan orang tersebut.

Apa sih, memangnya urusan sama cowok itu apa kalau ia balikan lagi?
Bab 3

‘Selamat pagi untuk kamu orang yang kupanggil sayang dengan volume 0%’

-Edisi sapa mantan-

Monday is Happy Day.

Itu menurut Mia.

Berdiri paling depan menjadi peserta upacara Bendera, berhadapan langsung pada jajaran para guru
dan kepala sekolah yang melantangkan pidatonya di depan, itu kebahagiaan bagi Mia, apalagi
melihat kelompok Pengibar Bendera Merah Putih. Beuh, sudah jangan ditanya seberapa bahagia,
seberapa gila jingkrak-jingkrak hati Mia kesenangan setiap hari Senin seperti ini.

"Siap, grak!"

Semua mata langsung memandang ke arah sumber suara. Ada Denden si cowok berbehel. Mia
mengernyit, mau apa anak TSM masuk ke barisan anak Multimedia.

Mia berteriak. “Acil si Denden ganggu.”

Acil yang tengah mengobrol dengan gerombolan cowok anak kelas Multimedia B langsung menoleh
dan melihat arah telunjuk dari Mia. “Udah biarin aja,” tukasnya dengan santai.

“Miaku, kenapa lo manyun-manyun gitu, lo mau di ci—awww.” Denden langsung menatap ke arah si
pelaku yang berani-beraninya menggeplak bahu kokohnya. Saat melihat siapa orangnya, “Eh, Atan,
sehat, Tan?” sapanya dengan cengiran super lebar.

Atan atau mantan yang di maksud Denden adalah Kia. Cewek jutek berambut ikal itu hanya memutar
bola matanya muak.

“Jangan cemburu atuh, Tan!” goda Denden kembali.

Kia menoleh ke belakang, kayanya dengan judes. “Del, tukeran deh, ada orang aneh di depan gue,
enek liatnya.”

Denden menyeringai, untung cantik kalau tidak sudah Denden balik semprot; untung juga Kia adalah
mantan terindahnya jadi dia memaklumi kata-kata sang mantan, demi balikkan Denden rela deh
mau di semprot sepedas apa oleh mulut Kia.
“Gue ngegantiin dulu si KM koplak jadi cewek-cewek cantik anak MMC nurut-nurut ya sama Akang
Denden,” kor Denden sembari bertepuk tangan seperti ketua pemandu.

Kia mendelik, bibirnya sudah ia juling-juling saat Denden mengoceh apalagi saat cowok itu
menggombal, makin enek perut Kia. “Del,” panggil Kia kembali, meminta untuk menukar tempat
menjadi Della yang di depan. Namun Della yang anti berdiri di barisan paling depan langsung
menggeleng kuat-kuat.

“Udah ntar juga pergi ke habitatnya,” lerai Mia dari samping Kia, matanya menatap lurus, bukan
lurus ke arah Denden melainkan kepada cowok jangkung yang sangat gagah tengah memakai
kostum berwarna putih khusus untuk Upacara.

“Siap grak!”

Ogah-ogahan Kia dan Mia menuruti perintah cowok berbehel tersebut. Kedua bibir cewek itu
mengerucut dan Denden makin kesenangan. Edan.

"Istirahat di tempat, grak!" semua anak MMC mengikuti arahan Denden. Sepuluh menit lagi Upacara
akan dimulai dan sebagai perwakilan peserta—Acil sebagai wakil kelasnya—wajib meluruskan
barisan bukannya oleh anak TSM seperti ini.

Denden tersenyum, kepalanya mengangguk-angguk. Dari depan ada tiga barisan—dua untuk
perempuan dan satu untuk para laki-laki. Kia menyesal kenapa tadi tidak ikut dengan Dahlan saja
yang sekarang berada di barisan kelompok paduan suara, kan lumayan tidak akan berdiri panas-
panasan seperti ini apalagi melihat beruk di depannya itu. Enak benar Dahlan berdiri di bawah
kanopi di ujung lapangan berseberangan dengan pembaca Naskah Upacara tepat di bawah pohon
besar.

"Siap, grak!" teriak Denden kembali. "Balik kanan, grak!" semua anak MMC berubah menjadi
membelakangi cowok itu. "Dua langkah ke belakang jalan!"

Mia dan yang lain mundur, Denden mencoba menepi ke samping tepat samping Kia seraya mesem-
mesem enggak jelas.

"Dua langkah ke depan jalan!"

Saat Kia melangkah ke depan melewati Denden, cowok itu langsung berteriak, "Eh, stop!" Kia kaget,
langsung berhenti, bahkan semua orang pun ikut berhenti. "Bisa mundur lagi gak, tadi cantiknya
kelewatan,” katanya sambil cengengesan.
Otomatis semua murid mengerang, menyoraki kelakuan Denden sehingga menimbulkan perhatian
dari semua kelas saking kencangnya teriakkan dari anak MMC.

"Yeuuu, kutu kupret." Acil menoyor Denden dan langsung mengambil alih kepemimpinannya sebagai
wakil barisan.

Denden hanya cengengesan, setelah ia mendengar Acil mengembalikan lagi ke posisi semula, cowok
itu mencolek dagu Kia dan berkata manis sebelum balik ke habitatnya. "Selamat pagi untuk kamu,
orang yang kupanggil sayang dengan volume noooool persen."

"Najis," dumel Kia dan mengelap bekas colekannya dengan tisu basah sachet yang selalu ia bawa dan
simpan di saku rok-nya.

"Masing-masing pemimpin barisan akan menyiapkan setiap barisannya!" Suara Pembaca Upacara
a.k.a Master Of Ceremony, menggema di seluruh atmosfer lapangan siap menjalankan Upacara.

Acil berlari ke depan sebagai pemimpin upacara barisan. Merapikan barisan sekali lagi. Setelah
penghormatan kepada pemimpin upacara, Acil kembali ke barisannya. Di depan, senyum Mia tak
pernah berhenti. Matanya menangkap sesosok senyum gula Jawanya yang akan mengibarkan sang
Saka Merah Putih bersama Fredy. Wajahnya yang selalu serius membuat Mia merasa gemas, tatapan
mata tajamnya yang selalu membuat hati Mia kepanasan, apalagi kulitnya yang eksotis itu membuat
Mia sebentar lagi akan terkena penyakit Diabetes Melitus akibat terlalu melihat manisnya kulit Argo.

Aww. Gogo.

Mengingat nama Gogo, panggilan kesayangan dari Mia, sekelebat bayangan saat mereka pacaran
kembali terlintas sehingga Mia merasakan sesak lagi saat mengingatnya.

Tapi sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, wajah serius Argo lebih menarik dan Mia malah pengin
teriak sekencang-kencangnya, “Argo seriusin aku dong, Go.”

Duh Mia kok jadi mupeng gini, sih. Apalagi itu, aduh hobinya itu loh yang suka baris-berbaris tapi,
bukan umbar janji manis. Bikin panas dingin saja.

Tunggu, cewek yang di tengah siapa, yang di apit oleh Argo dan Fredy siapa. Seketika dengan sekali
jumpalit Mia menjadi kesal, matanya menangkap kepada cewek berkulit hitam manis, dengan
senyum merekah, dengan dada yang selalu dibusung-busungkan ke depan siapa lagi kalau bukan
Devi.

Sial!
Astaga, pembawa nampannya ternyata Devi. Tuh kan, Mia jadi bete. Selama berlangsungnya
upacara dia tak henti-hentinya menatap Argo lalu mendumel sendiri melihat senyum sok dari Devi si
cewek ular. Saking fokusnya pada rasa kesal, ia tidak sadar bahwa pengibaran bendera akan segera
dimulai.

Mia siap-siap, tangannya kembali membenarkan tata letak topi abu-abunya.

Dari arah depan, Argo mulai datang bergerak mengapit Devi yang membawa nampan. Gayanya saja
sudah sok manis, apalagi itu senyum palsunya yang membuat Mia muak. Dan...idih, apa itu. Kalau
ada yang tanya apa yang membuat Mia iri kepada Devi. Ya, jelas tinggi badan proporsional dan
juga... dadanya. Ih, Mia jadi malu sendiri kan jadinya. Lihat saja tinggi Fredy, Argo dan Devi hampir
sejajar dan itu membuat Mia makin rendah diri.

Devi menerima bendera dari kepala sekolah, dari atas tangga ia mundur perlahan tanpa
mengalihkan tatapannya yang menatap ke depan, setelah kembali berada di tengah-tengah, pasukan
baris berbaris itu kembali bergerak menuju tiang bendera. Mia tersenyum, pemandangan favorit
bagi Mia adalah di mana mantannya itu akan mengibarkan bendera. Siap, ya!

Argo mengambil Sang Saka Merah Putih dari atas nampan yang di bawa Devi. Fredy membantu Argo
untuk mengikatkan tali bendera pada tali katrol, dan...

"Bendera siap!" teriak Argo lantang nan berat kepada pemimpin upacara.

Ughh!

"Pengibaran bendera merah putih yang diiringi dengan lagu Indonesia Raya.”

Pemimpin Upacara menimpali berteriak lantang, "Hormat, grak!"

Seketika dengan serentak seluruh peserta menghormat pada sang Merah Putih disertai nyanyian
lagu Indonesia Raya. Namun bukannya fokus pada bendera mata Mia malah melihat ke arah Argo
yang tengah serius menaikkan sang Merah Putih. Senyumnya tak luntur-luntur, hatinya masih
bergemuruh dengan konstan, dan wajah tegas itu tidak akan pernah bosan untuk Mia pandangi.

Hmm, mantan, mantan.

****

“Kembaliannya lima belas ribu. Makasih ya.” Cewek bertubuh gempal itu mengangguk, Mia kembali
merapikan jualannya sambil memasukan uang ke dalam dompet berwarna biru dengan gambar
Doraemon.
Serasa terus-terusan di perhatikan oleh seseorang, Mia menoleh. “Apa?” tanyanya kepada Adit.

Adit menggeleng, tangannya meraih rambut lurus hitam legam milik Mia yang menjuntai di samping
lengannya.

“Apa sih, jangan aneh-aneh nanti ada yang liat, paling gawat kalau ada yang merekam.” cerocosnya.
“Udah makan lagi, gih!” dan perhatian Mia kembali tertuju pada calon pembeli-pembelinya.

Kia, Dahlan dan Della? Ah, saking sebalnya kepada Adit, teman-temannya itu langsung memisahkan
diri dan bergabung dengan gerombolan anak-anak perempuan kelas TP yang sempat akrab di acara
MOS hingga sampai sekarang.

Kalau tujuan Mia setiap istirahat selalu datang ke kantin Sudirman untuk berburu soto mie Bogor
dan juga melihat Argo dari kejauhan, sedangkan Kia dan Della bertujuan tengah mencari perhatian
dari cowok incaran mereka masing-masing. Kia menandai Devon anak XII TKRO A sedangkan Della
mengincar anak kelas XI TSM C, sang berondong.

“Kamu bawa motor?”

Mia menoleh, bergumam sebentar lalu setelah paham ia mengangguk.

“Nanti aku nebeng, ya?”

Sudah kuduga, batin Mia. Namun demi menjaga kecurigaan, Mia langsung tersenyum dan
mengangguk sok semangat.

“Non!” panggil seseorang dari arah pintu kantin.

Desi dan Vanka melambai antusias diiringi dengan ocehan para Denden and the geng: Dimas, Oyeh,
Dava, dan Acong bahkan juga ada Acil dan Rendi teman sekelas Mia, mereka memang akrab apalagi
pernah satu sekolah dari SD, SMP dan sekarang.

Desi berlari menghampiri Mia dan langsung mengambil pesanannya sedangkan Vanka tengah
mengobrol seru dengan Dimas. Dasar playboy, dan mau-maunya Vanka mengobrol dengan mantan
yang udah mutusinnya tanpa sebab, mana mantan-mantan Dimas bejibun di SMK ini. Bukti banget
tuh sangat tampak di kelas Mia, ada Cantika, Rere, Dewi dan Mayang si ketua geng Mermaid Fams,
itu semua mantannya. Buaya, kan?

“Non gue ambil dua ya nanti duitnya lo ambil ke kelas.”


“Tapi—“ namun sayang Desi sudah keburu lari menghampiri Kia dan yang lainnya. Mia
memberengut, kebiasaan sahabatnya itu. Sebenarnya yang butuh makanannya siapa sih, masa
penjual nagih sendiri uang penjualannya.

“Sayang.” Mia berjangkit saat sebuah jari-jari besar menyelipkan rambutnya ke belakang telinga,
terutama panggilan bernada manja itu. Jarang-jarang Adit memanggil Mia dengan kata ‘Sayang'. Ada
apa ini?

Pelan-pelan dengan mata awas ke penjuru kantin, Mia menyahut, “Iya?”

“Punten ya ahli bucin,” teriak Denden dan Acil saat melewati meja Mia dan Adit, tak lupa juga
bahakkan ketawa dari and the geng. Kecuali Dimas, cowok itu malah menarik tangan Vanka yang
langsung mengeluarkan semburat di kedua pipinya. Tak perlu orang pintar, semua orang pun kalau
melihatnya akan tahu bahwa Vanka masih mengharapkan Dimas. Ugh.

Adit ikut terbahak, mungkin pikir Mia pacarnya ini sudah biasa dengan lelucon Denden. Maklum
walaupun mereka berbeda Jurusan kalau urusannya tongkrong-menongkrong ya pasti tujuannya
sama. Warung Mang Eutik yang berlokasi tepat di depan gerbang utama SMK N 1 Ganesha ini. Persis
seberang jalan.

“Mangga ya ahli coli,” jawab Adit yang sama dibalas bahakkan dari Denden dan Acil kembali.

“Kamu?” tegur Mia seraya memukul lengan pacarnya itu.

Adit berpura-pura sok polos dengan mengerutkan alisnya dibuat-buat. “Apa?”

Saat Mia akan membalasnya lagi dari arah pintu kantin ‘lagi’, Fredy dan Argo muncul. Mereka berdua
tersenyum, tapi mungkin lebih tepatnya tersenyum kepada Adit.

“Bro,” sapa Fredy, lalu mereka berdua saling adu tos sedangkan Argo hanya menganggukkan
kepalanya.

Saat mata Fredy bertemu dengan mata Mia, Mia tahu kalau sahabatnya itu sedikit terkejut melihat
dirinya dan Adit terlihat bersama terlihat jelas dengan tatapan Fredy yang kalau di artikan—lo
balikan lagi—Ck, sungguh Mia jadi malu sendiri, entah kenapa. Mungkin karena Fredy lah yang tahu
sejarah putus-nyambung hubungan antara dirinya dan Adit.

Namun, saat matanya beralih kepada Argo, debaran di dada Mia makin mengencang tidak karuan
saat melihat senyum simpul itu yang walaupun bukan untuknya. Dia sadar, selama satu bulan lebih
ini jantung Mia tidak pernah berhenti menggila saat melihat Argo—sekalipun dari kejauhan—dan
akan semakin mengencang tatkala mata sayu itu menatapnya.
Tuhan!

Fredy melihat Mia dan Adit bergantian dengan kedua alis dinaik-turunkan menggoda. “Pacaran
mulu, hati-hati banyak CCTV berjalan,” ucapnya bersiap akan berlalu.

Lagi-lagi Adit hanya tertawa untuk menanggapinya, dan entah keberanian dari mana tiba-tiba saja
Mia ingin melakukan sesuatu. Mungkin karena saat melihat raut wajah Argo yang seketika berubah
saat Fredy berkata tersebut, atau juga karena adrenalin yang entah datang dari mana dan ingin
menguji perasaan Argo untuk, apakah masih ada atau tidak rasa yang dulu sempat diberikan kepada
Mia. Langsung Mia meraih jari-jari tangan Adit lalu menautkannya. “Iya nih, doakan ya biar
hubungan kali ini nggak putus-nyambung terus,” ucapnya lembut penuh penekanan di setiap
katanya, seolah-olah dengan begitu Argo mengerti kode dari Mia.

Sesaat Fredy hanya menaikkan satu alisnya, menatap ekspresi Mia beberapa detik—yakin lo—
hingga di detik selanjutnya Fredy hanya bisa mengangguk dan mengikuti alurnya. “Apa pun yang
terbaik buat lo... Non.”

Mia terharu, ucapan sahabat sedari kecilnya itu benar-benar terdengar tulus di telinga Mia. Tapi
tunggu. Buru-buru Mia beralih menatap ke arah Argo dan... yes, wajah cowok itu terlihat muram
dengan kedua bibir ditipiskan dan... apa itu, kok, tangan kanan Argo terlihat mengepal. Samar sih
tapi sepertinya Argo mengerti dan terlihat... kesal? Yipiieee, Mia sangat senang, rencana tak
terduganya ini benar-benar berhasil. Semoga, Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai